Senin, 23 November 2015

Mamala-Amalatu, Markas VOC Pertama di Ambon




Pendahuluan

Kerajaan Tanah Hitu memiliki hubungan erat dengan barbagai kerajaan Islam di Pulau Jawa seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan Banten, Sunan Giri di Jawa Timur dan Kesultanan Gowa di Makassar seperti dikisahkan oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu, begitu pula hubungan antara sesama kerajaan Islam di Maluku (Al Jazirah Al Muluk; semenanjung raja-raja) seperti Kerajaan Huamual (Seram Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kerajaan Makian.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan kenapa sampai negeri Latu dan Mamala dalam bagian awal buku Hikayat Tanah Hitu-nya Imam Rijali, disebut sebagai pos dari penjajah yang menimbulkan kesan bahwa orang Mamala pada saat itu  membantu penjajah.


Kutipan Hikayat Tanah Hitu

“.........Itulah daripada pihak bendahara. Maka datang kepada kerabat serri sultan daripada bangsya raja:pertama kiyaicili* Cuka, kedua cili Kodrat, ketiga cili Abu Syahid dan keempat cili Kaba, kelima cili Naya, keenam cili Ici dan ketujuh cili Aya, kedualapan baginda cili Ali, tatkala bulum lagi dinaikan kapitan laut, lain daripada itu tiada kusubutkan. Dan daripada pihak hamba raja pertama Kalaudi dan kedua Usman dan ketiga Kabutu Malu dan keempat Sagaluwa*, kelima Sibangua, keenam Ambalau. Lain daripada itu tiada kusubutkan dan sekalian ini termasyhur pendagar. Pun ia utusan, pun ia pergi datang berulang-ulang membawah titah sebagailah, karena pada tatkala itu sangat parang sabil Allah di tanah Ambon. Ada parang di darat, ada parang di laut, ada mennang, ada yang dimennang, ada disarang, ada yang menyarang, sebagailah kedua pihak itu tiada berputusan lagi. Segali perastawa gimelaha Kakasingku* keluar dengan kelengkapannya, maka ia bertemu dengan angkatan Nasrani di tanjung Mamala. Lalu melawanlah kedua angkatan itu daripada waktu duha sehingga datang kepada bakda lohor. Serta dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi sekali-kali dengan kelengkapannya dan mayitnya perdana Kakasingku* pun sabil Allah tiada kettahuan lagi. Kemudian daripada itu dan kuceriterakan, sekalian keluar dengan kelengkapannya mendattangi sebuah negeri, Latu namanya. Maka datang angkatan kafir laknat bantu kepada negeri itu. Maka kedua pihak berparanglah seperti orang bepasarang beramai-ramaian jualbeli. Hatta datang malam masing-masing pulang kepada tempatnya. Apabila datang esok harinya demikian juga, tiada berputusan berkawal-kawal kedua tentara itu. Hatta datang kepada suatu ketika serta dengan kehendak Allah ta`ala kepada pihak Islam itu pergi barjalan ke sini dan orang kawal itu pun serta dengan alpanya ia tidur. Maka dipandang oleh kafir laknat tempat itu sunyi dan kotanya itu pun tiada manusyia, lalu ia masuk. Laknat itu alah kepada kota Islam itu........”

Pembahasan




Belanda tiba di Tanah Hitu pada tahun 1599 dan kemudian mendirikan kongsi dagang bernama VOC pada tahun 1601. VOC mendirikan pos di Mamala, di pantai utara pulau Ambon, pada awal 1601. Kota ini membuat tembikar, dan bersama-sama dengan Hitulama adalah salah satu pusat perdagangan yang paling aktif di wilayah Hitu di semenanjung utara Ambon. Mamala bukanlah sebuah bandar, tetapi memainkan peran cukup penting, perhatian bangsa Portugis maupun Belanda terhadap negeri ini  karena pemimpinnya kala itu memilik pengaruh yang begitu besar, dalam dokumen lain Kesultanan Ternate Bayan Sirullah pernah mengirim utusan menemui pengusaha (orangtua / kepala suku) negeri ini. Di akhir abad ke-15 yang menandai babak baru, dengan nama baru dari Latu menjadi  mala mala (Mamala) sekarang. (Lihat: Misteri Asal Nama Mamala untuk Negeri Latu). Untuk yang satu ini memang ada beberapa perbedaan, tetapi tak masalah, tinggal bagaimana menyatukannya. Di awal kedatangan Portugis pun Mamala sebagai tempat pertama Loji (tempat beli hasil rempah) catatan Francois Valentijn. (Lihat: Kekalahan Mengerikan di Tanah Hitu)

Saat itu untuk urusan perdagangan terdapat seorang tokoh dengan gelar Kapitan Hitu.  Menurut Richard  Z. Leirissa, jabatan ini adalah ciptaan Portugis untuk melancarkan hubungan perdagangannya dengan kerajaan Tanah hitu, Kapitan Tanah Hitu pertama adalah Perdana Nusatapi (Jamilu)(Lihat: Hubungan Cerita Sejarah Tanah Hitu di Ambon dengan Ternate, bagian dua), sedangkan Kapitan Tanah Hitu yang terakhir yang dijumpai oleh orang-orang Belanda pada tahun 1601 adalah Tepil putra Abubakar Nasediki (Healatu)  yang  memegang  jabatan  tersebut  sampai  tahun 1633, .sejak itulah terjadi perlawanan antara Belanda dengan Kerjaan Tanah Hitu, karena mendirikan monopoli dagang tersebut. Setelah itu terjadi pemberontakan rakyat Tanah Hitu melawan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Tanahitu I / Perang Wawani (1634-1643) dan Perang Tanahitu II / Perang Kapahaha (1643/1646) yang menyebabkan dibubarkannya pemerintahan Empat Perdana (Upu Hata) oleh Gerard Demmer. 

Kakiali adalah putera Kapitan Hitu Tepil yang ketiga setelah Raja Negeri Mamala yang bernama Halaene (putera kedua Kapitan Hitu Tepil). Kapitan Kakiali bergelar “Kapitan Hitu” dan berketurunan dari Perdana Jamilu (Nusapati) adalah seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Kakiali terkenal sebagai pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 – 1643 melawan penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli perdagangan dan “hongi tochten” pada zaman VOC sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu). Karena itu rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Kakiali.

Simpulan

Saat mempelajari sejarah anda akan menemukan beberapa versi, dan saat anda menggabungkan versi itu, anda akan menemukan sejarah yang sebenarnya.



Selasa, 17 November 2015

Kapitan Kakiali Pahlawan Nasional Maluku Asal Tanah Hitu




Pendahuluan

Tulisan ini sebenarnya telah di muat beberapa waktu lalu, namun di kembalikan ke draft sampai dipastikan keterkaitan hubungan kekeluargaan antara marga Lating di negeri Hila dengan marga Malawat di negeri Mamala. Halaene selain menjadi Raja Mamala saat itu, juga menjadi Hukom di Tanah Hitu, namun beliau tidak di tunjuk menjadi Kapitan Hitu menggantikan ayahnya (Kapitan Tepil), Kapitan Hitu sebelumnya. Sehingga dalam De Ambonsche Lantbeschrijvinge, Halaene disebut sebagai Kapitan tanpa gelar. (Lihat: Pengorbanan Halaene Sang Raja Mamala untuk Tanah Hitu (Ambon) )




Kapitan Kakiali

Kakiali adalah putera Kapitan Hitu Tepil yang ketiga setelah Raja Negeri Mamala yang bernama Halaene (putera kedua Kapitan Hitu Tepil). Kapitan Kakiali bergelar “Kapitan Hitu” dan berketurunan dari Perdana Jamilu (Nusapati) adalah seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Kakiali terkenal sebagai pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 – 1643 melawan penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli perdagangan dan “hongi tochten” pada zaman VOC sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu). Karena itu rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Kakiali.

Pada tahun 1634 peperangan mulai berkobar melawan Belanda dan rakyat Hitu dibantu oleh Gimelaha Luhu dari Jasirah Hoamual di Seram Barat dan para pejuang dari Hatuhaha di Pulau Haruku dan rakyat Iha dari Pulau Saparua. Selain itu rakyat Hitu mendapat bantuan dari Makassar dan Ternate. Setelah digempur dengan armada oleh pasukan Belanda yang dikirim dari Batavia (Jakarta), para pejuang Hitu terpaksa menyingkir dan bertahan di gunung Wawani yang dijadikan benteng pertahanan yang kuat dan dipimpin panglima Hitu Patiwani. Pada tahun 1635 Kakiali dapat ditangkap melalui suatu tipu daya dalam perundingan dengan Belanda. Ia dibuang ke Batavia. Tahun 1637, Kakiali dipulangkan ke Hitu untuk menentramkan rakyat Hitu yang semakin bergolak.

Bersama dengan Kakiali datang pula Gubernur Jenderal van Diemen. Ia meminta bantuan Sultan Hamzah dari Ternate (politik adu domba) untuk bersama-sama melawan Hitu. Kemudian diangkatlah Gubernur Gerard Demmer. Tokoh Belanda yang keras ini mulai mengadakan serangan besar-besaran ke benteng Wawani. Pada tahun 1643 Belanda dapat menduduki Wawani setelah perang tersebut dikosongkan pasukan Hitu dan Panglima Patiwani. Kakiali kembali menyusun siasat baru melawan Belanda dengan rencana meminta bantuan Makassar, namun dia dikhianati oleh teman-temannya sendiri. Kakiali gugur bukan karena peluru VOC. Pada tanggal 16 Agustus 1643 seorang kenalannya yang baik yaitu Fransisco de Toire (seorang Spanyol) setelah disogok uang oleh Belanda, ia membunuh Kakiali pada saat sedang tidur. Kakiali ditikam dengan sebilah keris. Pahlawan dari Wawani ini meninggal seketika. Namun perlawanan rakyat Hitu belum berhenti. Peperangan diteruskan pada tahun 1643 – 1646 sebagai perang Hitu II yang dipimpin oleh Kapitan Tulukabessy dan Imam Rijali.


Kamis, 12 November 2015

Upaya Penanganan Konflik Antara Masyarakat Mamala dan Masyarakat Morela Dalam Perspektif Psikologi Sosial




Pendahuluan

Konflik berkepanjangan antara masyarakat negeri Mamala dan negeri Morela semakin sulit terlihat untuk diselesaikan. Perdamaian antara masyarakat kedua negeri sulit dipertahankan sejak pertama kali timbulnya pertikaian antara masyarakat kedua negeri sejak tahun 2006. Kondisi ini menimbulkan banyak kerugian di antara kedua negeri, baik dalam bentuk materil maupun jiwa. Jika ditelusuri melalui pemberitaan media sosial  dan media cetak nampak sekali jika  tingkat ketegangan masyarakat kedua negeri meningkat pada saat menjelang Perayaan Tujuh Syawal. Penyebab konflik berkepanjangan antara kedua negeri itu mempunyai hubungan yang erat dengan masalah sejarah dan adat istiadat kedua negeri yang sebenarnya sama, namun menjadi berbeda tanpa sebab yang masih perlu ditelaah lebih lanjut apa penyebabnya.




Persoalan yang ditimbulkan akibatnya semakin banyak, dan semakin sulit untuk telusuri dan ditegakkan keadilannya.  Maka dalam narasi ini dicoba untuk membahas bagaimana  penanganan konflik antara kedua negeri agar masalah yang ada tidak berlanjut kerumitannya.  Menyamakan persepsi tentang adat dan sejarah kedua negeri ditinjau dari referensi ilmiah yang mengedepankan metodologi ilmu sejarah, dan menghadirkan beberapa ahli sejarah Maluku dalam rangka mendudukkan persoalan sesuai adat istiadat yang berlaku dalam tataran budaya Siwalima. Menghadirkan ahli Tata Pemerintahan untuk membahas urgensi dari sebuah produk peraturan daerah tentang Pemerintahaan Daerah terkait dengan eksistensi negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Maluku, pentingnya catatan khusus ini, agar solusi pemecahan yang diambil benar-benar bersifat rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berbicara mengenai konflik antar kelompok, maka erat kaitannya dengan kepentingan. Konflik terjadi antar dua kelompok disebabkan oleh perbedaan pendapat, kepentingan atau tujuan antara dua atau lebih pihak yang mempunyai obyek yang sama (Acara Pukul Sapu dan Sejarah kedua Negeri). Konflik juga bisa terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dengan realita. Ketika suatu kelompok mempunyai harapan atau keinginan, dan ketika harapan itu terbentur oleh situasi nyata yang berlawanan, maka bisa menimbulkan konflik di dalam dan di luar kelompok. Namun dalam memahami konflik antar kelompok tidak sesederhana itu, banyak faktor yang menyebabkan mengapa timbul konflik antar kelompok tergantung konteksnya seperti apa. Masalah perekonomian, psikologis (kecemburuan, prasangka), hukum, ekonomi, serta perbedaan identitas kelompok (etnik, agama) menjadi masalah utama yang menyebabkan konflik terutama di negeri ini. Konflik intergroup juga bisa terjadi karena masalah politik, agama, etnik, sejarah dan ekonomi (Costarelli, 2006). Contohnya konflik yang terjadi antara orang mamala dan morela.

Definisi

Definisi konflik sangat kompleks dan beragam tergantung bagimana tempat dan persepsi terhadap konflik tersebut. menurut Rubin, dkk (dalam Isenhart & Spangel, 2000) konflik diartikan sebagai persepsi terhadap kepentingan berbeda. Menurut Swanström dan Weissmann (2005) konflik adalah perbedaan persepsi terhadap suatu isu oleh dua kelompok pada waktu yang sama. Wallensteen (dalam Swanström & Weissmann (2005) mendefinisikan konflik secara umum, ia mengatakan bahwa konflik adalah situasi yang dimana ada dua atau lebih kelompok yang menginginkan sumber yang langka pada waktu yang sama. Sumber langka tidak hanya berorentasi secara ekonomi saja, tetapi sejarah, lingkungan dan keamanan.

Dalam memahami konsep konflik, kita harus mengetahui tiga hal bagian dari konflik, yaitu persepsi, perasaan, dan konflik tindakan. Konflik persepsi berkaitan dengan pemahaman terhadap sesuatu yang dinginkan kepentingan, nilai yang berseberangan dengan orang lain atau kelompok lain. konflik sebagai perasaan berkaitan dengan reaksi emosi terhadap sesuatu, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka. Sedangkan konflik sebagai action merupakan ekspresi dari perasaan dan persepsi. Konflik sebagai action biasanya berhubungan dengan power, bisa berbentuk kekerasan, dan destruktif. Lalu bagaimana konflik antar kelompok?

Konflik antar kelompok terjadi ketika ada dan kepentingan sama atau berbeda dengan tujuan berbeda dari masing-masing kelompok. menururt teori realistis konflik (realistic conflict theory) bahwa dalam hubungan antar kelompok terdapat dua tujuan berbeda terhadap sesuatu yang sama. Hal ini menyebabkan setiap kelompok ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan kelompok lain. selain itu konflik antar kelompok juga dapat dijelaskan dengan teori identitas sosial. Teori ini melihat bahwa hubungan antar kelompok harus dilihat dari perspektif kelompok bukan individu. Setiap individu dalam masyarakat dikelompokkan berdasarkan katagori yang berbeda-beda, misal jenis kelamin, suku, agama, dan pekerjaan. Maka terbentuk identitas individu, yang nantinya dapat membentuk identitas kelompok. setiap kelompok merasa lebih unggul dari kelompok lain. kelompok menjadi pusat segalanya atau etnosentris dan cenderung besifat in-group, melihat kelompok lain sebagai musuh. Hal-hal sepeti ini yang berpotensi timbulnya konflik intergroup.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik intergroup merupakan ketidaksesuaian atau perselisihan yang terjadi antar kelompok, yang diakibatkan oleh kepentingan sama atau beda dan tujuan berbeda terhadap sesuatu isu dan terjadi pada waktu relatif sama.

Tipe konflik intergroup

Tajfel and Turner (dalam Hewstone & Cairns, 2006) membedakan tipe konflik intergroup menjadi dua tipe, yaitu :

a. Objective Vs Subjective Conflict
Konflik objektif merupakan konflik yang memiliki sasaran atau tujuan yang jelas. Misalkan kekuasaan, kekayaan dan wilayah. Factor penyebab Konflik objektif biasanya bukan berasal dari factor psikologis, tetapi lebih mengarah pada faktor sosial, ekonomi, politik, dan struktur sejarah. Sedangkan konflik subjektif lebih kearah faktor psikologis (prasangka, stereotype). Walaupun berbeda, konflik objektif dan subjektif dapat saling berhubungan dan konflik subjektif dapat bertahan lebih lama.

b. Explicit Vs Implicit Conflict
Konflik eksplisit (terbuka) adalalah konflik legitimasi dan institusional berdasarakan peraturan atau norma (kompetisi antar group atau kompetisi world cup dalam sepakbola). Menurut Tajfel and Turner perilaku terhadap out-group dalam konflik ini dibagi menjadi dua, yaitu : Instrumental behavior (perilaku sebagai alat) mengacu pada tindakan yang diarahkan pada in-group untuk memenangkan kompetisi (perilaku seperti itu) dapat diterangkan dalam kaitan dengan alasan untuk memenangkan) dan Noninstrumental behavior ialah perilaku yang berkaitan dengan aspek psikologis. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seseorang bersikap, dan berperilaku terhadap kelompok lain. Misalkan, Perilaku diskriminasi dan sikap prasangka terhadap out group.

Konflik implicit (tersembunyi) adalah konflik yang mengacu pada perbedaan yang ada di dalam kelompok diakibatkan ketiadaan institusi yang jelas. Pembedaan di dalam kelompok sengaja dihembuskan oleh anggota kelompok tersendiri atau dari luar. Padahal sebenarnya tidak ada sesuatu hal berbeda secara mendasar. Misalkan kasus masyarakat Mamala dan Morela. Masyarakat Mamala dan Morela memiliki banyak keasamaan, mulai dari bahasa, agama, budaya dan sejarah melalui pertukaran identitas dengan perkawinan antar negeri tesebut. Tetapi karena egoisme pengakuan acara Pukul Sapu dan egoisme pengaburan sejarah serta adat istiadat keduanya dalam Uli Sailesi yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, maka terjadilah konflik antara kedua kelompok masyarakat tersebut.

Penyebab konflik antar kelompok (intergroup)

Ada beberapa penyebab konflik antar kelompok, yaitu :
Kepentingan sama.
Bila dua kelompok mempunyai kepentingan sama terhadap sesuatu, maka timbul persaingan untuk mendapatkannya. Ketika persaingan terjadi, maka ada upaya upaya dari setiap kelompok untuk mendapatkan yang diinginkan, sehingga terkadang kelompok menggunakan tindakan-tindakan yang merugikan kelompok lain. Akibatnya timbul konflik antar kelompok (Bornstein, 2003). Misalkan: pada saat menjelang hari raya 7 Syawal. Kedua kelompok tersebut memeiliki tujuan sama, yaitu ingin mempopulerkan acara pukul sapu di negerinya. Dan pada akhirnya dapat menimbulkan konflik antar kelompok bila tidak ditangani secara baik.

Streotype, prasangka dan diskriminiasi (Sear, dkk, 1994)
Menururt Sears, dkk, (1983) Streotype, prasangka dan diskriminasi merupakan tiga komponen dalam antagonisme kelompok. Pertama, streotype—yang merupakan komponen kognitif. Streotype adalah keyakinan tentang sifat-sifat pribadi yang dimiliki orang dalam kelompok. Biasanya streotype berdasarkan katagori sosial. Kedua, prasangka—yang merupakan komponen afektif. Prasangka merupakan salah satu sikap yang cenderung negatif. Prasangka adalah sikap negatif terhadap kelompok tertentu atau seseorang karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu (Baron & Bryne, 1997). Dasar munculnya prasangka adalah kekeliruan dan generalisasi yang tidak fleksibel (Allport, 1974). Menurut Baron dan Bryne, (1997) bila prasangka diartikan sebagai siikap, maka dalam memahami prasangka ada dua aspek, yaitu skema kognitif. Skema ini berfungsi sebagai framework kognitif; bagaimana mengorganisasi, mengintrepetasi, dan me-recall informasi (e.g.Fisk & Tayler, 1995). dan evaluasi negatif. Seseorang yang berprasangka, terhadap anggota kelompok lain, maka cenderung mengevaluasi secara negatif. Ketiga, diskriminasi—yang merupakan komponen konatif. Diskriminasi adalah perlakuan berbeda dari pihak lain berdasarkan oleh keanggotaannya kelompoknya. Ketika seseorang mengalami perlakukan diskriminasi karena keanggotaanya sebagai aggota kelompok tertentu, maka, akan timbul konflik kecil pada diri orang tersebut. Bila ini terus berlanjut dan berlangsung lama, maka bisa terjadi konflik. Ketiga kriteria ini juga terlihat pada konflik antar kedua negeri Mamala dan Morela saat ini.

Identitas sosial atau katagori berbeda.
Setiap kelompok mempunyai identitas sosial berbeda. Indentitas suatu kelompok berkaitan dengan dengan atribut yang dimiliki. Seperti ciri-ciri, nilai yang dianut, tujuan, dan norma. Identifikasi social sangat berguna untuk proses katagori dan perbandingan sosial (Hogg & Grieve, 1999). Seseorang cenderung menilai homogen kelompoknya dan cenderung menilai kelompok lain berbeda. Hal ini sudah menjadi kenyataan dalam masyarakat Morela yang menganggap diri mereka sebagai garda terdepan dalam perjuangan melawan penjajah di Kapahaha dan berusaha mempopulerkannya melalui acara Pukul Sapu yang nyata sekali baru terlihat dalam satu dekade terakhir. Perbedaan identitas dapat memicu timbulnya konflik antar kelompok, bila tidak ditangani secara cepat dan tepat.

Ketidakadilan (injustice)
ketidakadilan sering kali menimbulkan konflik. Kita bisa melihat banyak konflik-konflik yang terjadi diakibatkan ketidakadilan. Menururt teori keadilan (equity theory), konflik terjadi karena adanya ketidakadilan dalam distribusi yang membuat orang atau kelompok menjadi distress dan frustasi. Akibatnya kelompok menggunakan cara menurut pandangan mereka benar, tetapi bagi kelompok lain hal tersebut dapat menimbulkan konflik. Namun perlu dipahami bahwa sebenarnya keadilan keadilan bersifat relatif atau subjektif bagi setiap orang atau kelompok.persepsi keadilan bagi setiap kelompok berbeda-beda. Orang atau kelompok lebih cenderung menilai sesuatu itu adil ketika hasil yang diperoleh lebih menguntungkan bagi kelompoknya sendiri. Kondisi ini terlihat saat menjelang hari raya Tujuh Syawal dalam hal usaha mempromosikan acara Pukul Sapu.

Perilaku agresif
Perilaku agresif yang dilakukan suatu kelompok terhadap kelompok lain dapat menimbulkan konflik antar kelompok. Ketika suatu kelompok menyerang kelompok lain, maka kelompok yang diserang akan membalas. Hal ini akan bisa berlanjut kepada konflik yang berkepanjangan. Seperti kondisi antara kedua negeri Mamala dan Morela saat ini.

Dari uraian diatas diketahui banyak faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya konflik intergroup, mulai dari kepentingan, sumberdaya, atau masalah psikologis. Namun yang tak kalah pentingnya adalah situasi di mana konflik itu terjadi. Situasi yang tidak menyenangkan (aversif situation) dapat meningkatkan kecenderungan timbulnya konflik intergroup (Forsyth, 1983).

Dinamika konflik intergroup

Interaksi antar kelompok merupakan suatu hal yang penting bagi setiap kelompok. Dengan berinteraksi, setiap kelompok akan memperoleh banyak manfaat. Kelompok akan mempunyai jaringan relasi serta kelompok bisa belajar dari kelompok lain. Namun tak jarang interaksi dapat menimbulkan konflik antar kelompok. konflik intergroup terjadi ketika dua atau lebih kelompok memperebutkan sesuatu yang sama dan terjadi pada waktu yang sama. Biasanya hal yang diperebutkan suatu hal yang penting atau sumber yang langka. Kondisi ini akan menimbulkan persaingan antar kelompok untuk meraih apa yang dinginkan. Persaingan antar kelompok dapat berpotensi menimbulkan konflik (Sherif, dkk dalam Forsyth, 1983). Menurut Campbell dan Sherif (dalam Echebarria & Guide,2003) Persaingan antar kelompok dapat membuat relasi antarkelompok semakin buruk dan sikap memilih in-group dan diskriminisai out-group. Setiap kelompok menganggap lebih baik dari kelompok lain. timbul suatu sikap bahwa kelompoknya-lah yang paling benar. Menganggap kelompok lain salah dan sebagai musuh. Timbul sikap etnosentris, yaitu pandangan yang menganggap kelompok diri sendiri adalah pusat segalanya.

Selain itu, persaingan antar kelompok membuat timbulnya permusuhan (hostility) antar kelompok tersebut. Menurut Sear, dkk. (1994) setiap kelompok merasa tidak senang bila kelompok yang menjadi lawannya memperoleh target yang ingin diraih setiap kelompok. Akibatnya timbul reaksi ketidaksenangan, yang pada akhirnya menimbulkan rasa iri, permusuhan dan persaan marah. Menurut DeSteno, dkk., (2004).rasa marah sangat berkaitan dengan kompetisi dan konflik. Rasa marah dapat menimbulkan bias dan kecenderungan untuk menimbulkan prasangka terhadap kelompok lain. Prasangka juga bisa lahir dari streotype yang terbentuk dari suatu kelompok. ketika kondisi ini terjadi, maka setiap kelompok akan cenderung menutup diri dari pihak luar dan cenderung mengurangi komunikasi dengan pihak lawan (Blake & Mounten, dalam Johson &Johson, 2000).

Ketika setiap kelompok berada pada situasi, yang dimana kepentingan kelompok yang menjadi dominan, maka setiap kelompok berasaha melakukan yang ‘terbaik’ bagi kelompok. setiap kelompok berusaha untuk meraih segala tujuan, dan kalau perlu dengan cara mengorbankan kelompok lain. Bila ini terjadi, maka akan terjadi konflik terbuka antar kelompok. konflik terbuka akan dapat menimbulkan korban jiwa. Kondisi ini merupakan puncak dari konflik. Ketika timbul korban jiwa, biasanya setiap kelompok mulai menyadari bahwa konflik yang terjadi perlu segera untuk diakhiri. Namun untuk mengakhiri konflik tidaklah mudah, perlu kerjasama dari kedua kelompok yang berkonflik. Ada niatan baik untuk mewujudkan tujuan bersama. Kalau tidak, maka konflik akan terus berlanjut, walau tidak separah sebelumnya. Kondisi seperti ini nampak sekali pada kondisi masyarakat kedua negeri Mamala dan Morela.

Konflik terbuka lebih mudah diatasi dari konflik yang bersifat psikologis. Menurut Tajfel and Turner (dalam Hewstone & Cairns, 2006) konflik yang bersifat psikologis lebih mampu bertahan lebih lama. Karena konflik psikologis melekat pada individu masing-masing kelompok, dan perlu waktu untuk mengatasinya. Misalkan, konflik secara terbuka (fisik) telah selesai, namun setiap kelompok masih berkembang hal –hal yang bersifat psikologis, seperti, prasangka, streotype, atau persaan marah. Kondisi inilah yang nantinya bisa memudahkan untuk munculnya konflik antar kelompok. untuk mengatasi hal seperti perlu dilakukan usaha bersama dari kedua kelompok yang berkonflik, yang nanti dijelaskan setelah ini.

Mengurangi konflik Intergroup

Ada beberapa cara yang harus dilakukan untuk mengurangi konflik, yaitu:

a). Komunikasi
Hal yang pertama dilakukan adalah melakukan kontak dengan kelompok yang menjadi lawan konflik. Hal ini bertujuan untuk membuka komuniksi antar kelompok—yang selama konflik tidak berjalan dengan baik. Pendekatan Komunikasi merupakan elemen penting dalam memahami konflik dan menemukan resolusi konflik (Elliz &Maoz, 2003). Komunikasi merupakan salah satu saran yang efektif untuk mengurangi konflik intergroup. Dengan komunikasi dapat mengurangi bias-bias yang terjadi dalam konflik.Selain itu, komunikasi dapat mengurangi prasangka-prasangka yang terjadi selama konflik (Allport, dalam Costarelli, 2006).

b). Berunding
Setelah terjalin komunikasi antar kelompok, yang harus dilakukan adalah mengadakan perundingan untuk membuat suatu kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengurangi konflik. Menurut Bila kedua kelompok tidak bisa menemui kesepakatan karena setiap kelompok masih berpegang pada ego kelompoknya masing-masing, maka perlu orang ketiga sebagai mediator. Diharapkan dengan adanya pihak ketiga, jalannya perundingan lebih bisa fokus dan terkontrol pada permasalahan.

Ada beberapa sifat yang harus dikembangkan setiap kelompok ketika dalam perundingan. Pertama, Keterbukaan, setiap kelompok harus terbuka terhadap informasi, keinginan keinginan dan permasalahan yang ada. Dengan sikap saling terbuka akan membuat setiap kelompok akan mengetahui, memahami apa yang sebenarnya yang terjadi pada setiap kelompok. Keterbukaan juga bermanfaat untuk mengklarifikasi isu-isu selama terjadi konflik. Kedua, Saling menghargai, setiap kelompok harus saling menghargai pendapat atau keinginan pada setiap kelompok. Dengan sikap ini dapat menjaga dan membuat suasana kondusif selama proses perundingan. Sikap saling menghargai membuat setiap kelompok merasa nyaman dan bebas dalam menyampaikan ide-ide dan keinginan yang dimiliki. Bila kedua sifat diatas dikembangkan dalam perundingan, maka tidak mustahil kesepakat bersama akan lebih cepat diperoleh.

c). Menerima dan menjalani keputusan yang disepakati
Setelah kesepakatan telah ditetapkan secara bersama, yang harus dilakukan setiap kelompok adalah menerima kesepakatan tersebut dengan lapang dada. Selanjut setiap kelompok melaksanakan ketetapan yang telah disepakati bersama.

d). Evaluasi
Evaluasi sangat diperlukan untuk menilai apakah kesepakatan yang telah disepakati dijalan dengan baik oleh setiap kelompok. Bila tidak berjalan dengan baik, maka proses evaluasi harus dilakukan oleh setiap kelompok. Evaluasi juga bermanfaat untuk mengidentifikasi hambatan-hambtan atau permasalahan yang terjadi setelah perundingan. Dengan adanya evaluasi setiap kelompok akan mengetahui apa-apa yang sebaiknya harus dilakukan ke depan.


Daftar Pustaka

Baron, R.A & Bryne. 1997. Social Psychology. (8 th edition). Boston:Ally & Bacon.
Bornstein, G. 2003.Intergroup Conflict: Individual, Group, and Collective Interests.
Personality and Social Psychology Review.2003, Vol. 7, No. 2, 129–145
Cho, B & Connelley,D.L. (2006) The Effect Of Conflict And Power Differentials On Social
Identity And Intergroup Discrimination.
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=320286
Isenhart, MW. & Spangel,M. 2000. Colaborative Aproach to Resolving Conflict.London:Sage
Publication.
Costarelli, S. 2006. Heldref Publications The Distinct Roles of Subordinate andSuperordinate
Group Power, Conflict, and Categorization on Intergroup Prejudice in a
Multiethnic Italian Territory The Journal of Social Psychology, 2006, 146(1), 5–13
DeSteno,D, Dasgupta, N., Monica Y. Bartlett, M.Y and Cajdric,A. 2004.Prejudice From Thin
Air The Effect of Emotion on Automatic Intergroup Attitudes. Psychological
Science. Volume 15—Number 5
Echebarria, A & Guede, E. E. F. 2003. Extending the Theory of Realistic Conflict to
Competition in Institutional Setting: Intergroup Status and Outcome. The Journal of
Social Psychology. 143(6),763-782
Ellis, D.G & Maoz,I.2003 A Communication And Cultural Codes Approach To Ethnonational
Conflict.The International Journal Of Conflict Management, Vol 14, No. 3/4, Pp.
255-272
Forsyth,D. R.1983. An Introduction to Group dynamics. California:Brooks/cole publishing
company
Hewstone. M And Cairns, E. 2006. Social Psychology And Intergroup Conflict.
From:http://www.ripon.edu/academics/psychology/FYS175/syllabus/Hewston.htm
Hogg & Grieve. 1999. Social identity theory and the crisis convidence in social psychology:A
comentari and some research on uncertain reduction. Asial journal of social
psychology (1999) 2:79-93
Johnson, D.W. & Johnson, F.P. (2000). Joining Together:Group Theory and Group Skill.
Seventh edition. Boston:Ally & Bacon.
Miles Hewstone, M. & Cairns. E. Social Psychology And Intergroup Conflict retrieved. 22
April 2006 http://www.ripon.edu/academics/psychology/
Reid, A.2004.Social Identity-Specific Collectivism (SISCOL) and Group Behavior. Self and
Identity, 3: 310–320, 2004
Rempel, Martin W., Fisher, & Ronald J.1997.Perceived Threat, Cohesion, And Group
Problem Solving In Intergroup Conflict. International Journal of Conflict
Management (1997), Vol. 8, Issue 3.
Sears, D.G., Freedman,J.L & Peplau, L.A. 1994. Psychology Sosial. Jilid 2. Alih
Bahasa:Michael Adriyanto. Jakarta :Erlangga
Swanström, N.L.P &. Weissmann, M. S. 2005.Conflict, Conflict Prevention andConflict
Management and beyond: a conceptual exploration. © Central Asia-Caucasus
Institute and Silk Road Studies Program, 2005
(http://www.silkroadstudies.org/new/docs/ConceptPapers/2005)
Wheelan, 1994. Group Procces A Development Perspective. Boston :Allyn & Bacon.