Minggu, 31 Januari 2016

Cerita Sejarah Hubungan Gandong Antara Negeri Mamala dan Negeri Kaibobo

Mamala Amalatu Gandong Dengan Kaibobo Henapoput Tahisane Samale



Pendahuluan

Masyarakat Maluku adalah masyarakat yang memiliki khazanah budaya. Khazanah budaya itu terkonfigurasi sejak lama dan sering dimaknai sebagai suatu keberlanjutan (continuity) tapi sekaligus suatu keterputusan (discontinuity). Dalam khazanah budaya itu, persaudaraan merupakan sebuah nilai berharga yang dijunjung tinggi di samping nilai-nilai budaya lain seperti nilai kerja sama, tolong menolong, keberanian, kebersamaan dll.

Saniri Ke-empat Negeri Bersaudara Mamala, Kaibobu, Tiouw dan Lateri
 
Sebagai sebuah nilai, persaudaraan merupakan bagian dari kebudayaan yang lahir dari kesadaran manusia terkait hubungan atau relasi antarindividu atau antarkomunitas. Nilai persaudaraan tidak dapat diamati secara langsung, juga tidak dapat diraba. Namun, bisa dicermati dan dirasakan melalui berbagai bentuk simbolisasi dan representasi. Dalam realitas kehidupan bersama di Maluku, nilai ini mudah ditemukan dalam medium manifestasinya seperti ikatan fam atau klan, matarumah, soa, negeri atau kampung, agama, tapi juga dalam pranata adatis seperti ikatan pela dan gandong. Nilai persaudaraan menjadi kekuatan besar yang mengikat individu-individu sebagai sebuah masyarakat.

Acara Penyambutan Kedatangan Gandong dari Kaibobu saat Pelantikan Raja Mamala Upu Latu Ramli Malawat (6/06/2015)
 
Nilai persaudaraan yang bagi masyarakat Maluku memiliki daya rekat yang kuat biasanya didasarkan pada ikatan genealogis-biologis, kesamaan identitas agama tapi juga ikatan teritorial komunitas. Dalam dirinya nilai ini bersifat ambigu. Pada satu sisi ia bersifat mengikat atau mempersatukan suatu komunitas tapi pada saat yang bersamaan melakukan pemisahan dari orang atau komunitas dengan identitas berbeda. Dalam kenyataan, nilai persaudaraan ini sering mengalami penyempitan makna. Ia sering dimaknai secara eksklusif, terbatas pada keluarga, etnis, sub-etnis, kelompok sosial dan agama tertentu tergantung pada konteks dan waktu penggunaannya. Akibatnya orang membedakan dan memisahkan diri dengan orang lain yang memiliki identitas berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai persaudaraan merupakan sesuatu yang lentur, yang berada pada titik labil. Akibat kelenturannya itu maka tidak mudah nilai persaudaraan ini menjadi patron bersama bagi masyarakat Maluku.

Acara Penyambutan Kedatangan Gandong dari Kaibobu dan Tiouw saat Pelantikan Raja Mamala Upu Latu Ramli Malawat (6/06/2015)
 
Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, nilai persaudaraan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis. Proses pemaknaannya dalam masyarakat Maluku senantiasa berada dalam proses menjadi. Dengan demikian nilai persaudaraan itu selalu terbuka untuk mendapatkan pemaknaan yang baru yang lebih kontekstual dan fungsional. Pemaknaan persaudaraan yang cenderung eksklusif dibatasi pada ikatan genealogis-biologis atau teritorial tertentu, mulai mengalami pergeseran dan menjadi semakin terbuka karena mendapat pemaknaan baru. Itulah proses transformasi budaya. Transformasi itu terjadi seiring dengan makin berkembangnya dinamika masyarakat Maluku. Dengan kata lain, nilai persaudaraan mengalami transformasi sehingga menjadi lebih terbuka bersamaan dengan tuntutan hidup bersama (living together) secara terbuka dan adil dalam masyarakat.

Suasana Kedatangan Gandong Kaibobu di Gapura Negeri Mamala

Secara sosio-kultural, Ungkapan Katong Samua Basudara mengandung makna yang sangat dalam bagi orang Maluku. Ungkapan ini merupakan ungkapan perasaan dan kesadaran tentang sebuah ikatan persaudaraan atau sebuah ikatan emosional. Layaknya sebuah keluarga yang memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan. Dalam konsep ini sesungguhnya terkandung kesadaran dan pengakuan tentang apa yang dipahami sebagai “common feeling”. Pengakuan bahwa Katong Samua Basudara kemudian melahirkan kesadaran dan kesediaan untuk saling berbagi rasa baik suka maupun duka (solidaritas). Istilah-istilah budaya yang mengandung kesadaran dan kesediaan berbagai rasa itu misalnya “ale rasa beta rasa”, “sagu salempeng patah dua, potong di kuku rasa di daging. Dari ungkapan-ungkapan budaya ini terlihat secara jelas ada hubungan dialektika antara nilai persaudaraan dengan nilai solidaritas. Orang bersaudara mestinya memiliki rasa solidaritas dan sebaliknya rasa solidaritas menunjukkan adanya ikatan persaudaraan.


Cerita Sejarah Hubungan Gandong Antara Negeri Mamala dan Negeri Kaibobo

Sekitar abad ke 17, Putra Raja Mamala Latuhamis ingin menikah. Dan orang tua-tua keluarga Raja Mamala mencari perempuan untuk Putra Raja Latuhamis dan mendapatkan seorang Putri di negeri  Kaibobu, nama dari Putri Raja kaibobu tersebut yaitu Nyai Riri. Tapi sebelumnya menjadi masalah karena permintaan mas kaweng dalam bentuk harta adat yang paleng istemewa dari orang tua Putri Raja kaibobu berupa meriam-meriam kecil yang terbuat dari tembaga. Pada waktu itu masyarakat mamala sudah tidak ada lagi yang memiliki harta adat (meriam kecil) ini lagi. Kejadian ini juga terkait dengan satu kampong yang hilang dari negeri Urimesing namanya kampong Amanputa (letaknya dilorong sagu dekat Batu Gajah) karena sering malawan Belanda. Kampong ini melarikan diri dan menetap di Negeri Mamala dengan secara kebetulan kampong Amanputa ini ada mempunyai harta adat berupa meriam kecil tembaga, akhirnya orang tua-tua dari Mamala meminta bantuan dari orang tua-tua Lilisula (Amanputa). Dengan penuh keikhlasan orang tua-tua Lilisula menyerahkan harta adat tersebut setelah menyerahkan dari kedua pihak angkat “Makao” (kao –ipar). Dan orang tua-tua dari mamala membawanya ke putri raja Negeri Kaibobu dan membawa pulang Putri Raja Kaibobu Nyai Riri,

Suasana Penerrimaan Secara Resmi Gandong dari Negeri Tiouw oleh mantan Raja Mamala Upu Latu Ir.H.Abdullah Malawat

Karena pemberian harta adat ini Negeri mamala menambahkan satu soa sehingga mereka tidak akan melupakan asal usul mereka dari mana? Namanya Soa Puta, serta memberikan tanah sekitar 10 hektar.

Suasana Mengharukan antara mantan Raja Mamala dengan Gandongnya dari Negeri Kaibobu



Diceritakan langsung oleh Mantan Raja Mamala bapak Ir.H.Abdulah Malawat pada waktu pelantikan Raja Mamala (6-06-2015), yang disadur oleh Rolly Matahelumual.

Sabtu, 30 Januari 2016

Cerita Sejarah Hubungan Pela antara Negeri Mamala dan Negeri Lateri




Pendahuluan

Budaya adalah bagian dari identitas bangsa. Kehilangan budaya yang dimiliki suatu daerah bukan hanya kehilangan jati diri dari daerah tersebut tetapi juga turut mempengaruhi tatanan masyarakat, menimbulkan  ketidakseimbangan yang mengarah kepada degradasi budaya sehingga mengancam ketidakstabilan dalam kehidupan masyarakat yang berdampak kepada potensi ancaman pada kehidupan generasi muda yang tidak mampu meneruskan konsep yang telah terbangun dalam kesepakatan bersama para leluhur. Sebagaimana penjelasan pasal 32 UUD 1945 bahwa : “ Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya bangsa Indonesia seluruhnya, kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah adat budaya dan persatuan”.

Budaya Siwalima

Maluku sebagai saah satu wilayah Indonesia bagian timur memiliki kultur budaya yang berbeda dengan daerah-daerah wilayah lain yang ada di Indonesia. Budaya Siwalima adalah aset yang telah mengakar dalam kehidupan bersama masyarakat Maluku dimana salah satu nilai-nilai yang terkandung dalam instrumen pelaksanaannya meliputi: Pela-Gandong yakni kehidupan bersama dalam komunitas agama yang berbeda dari dua atau tiga desa yang berbeda dalam suatu hubungan kekerabatan. Makan Patita atau makan bersama dalam masyarakat kelompok masyarakat dalam komunitas yang banyak, menggambarkan hubungan kekerabatan dalam masyarakat Maluku. Pernyataan kekaguman terhadap kehidupan masyarakat Maluku ini juga dinyatakan oleh Presiden Indonesia yang pertama dalam buku Lokolo (1997:5) bahwa: ‘ kalau mau mencari persatuan carilah dan belajarlah pada orang Maluku. Dalam budaya Siwalima masyarakat Maluku mengatur pula sistem pemerintahan negeri adat, di mana setiap daerah-daerah di Maluku memiliki pemerintahan adat yang diatur berdasarkan hukum adat.

Cerita Sejarah Hubungan Pela  antara negeri Mamala dan negeri Lateri


Kesamaan Toreng Mesjid di Mamala dan Toreng Gereja di Lateri
 
Hubungan Pela terjadi pada sekitaran tahun 1957 -1958, pada saat itu negeri Lateri masih menjadi sebuah perkampungan. Sebelum terbentuknya hubungan pela ini, pada tahun 1940-an.....ke-atas, orang tua-tua Mamala kalau mau ke Ambon atau mau pulang ke kampungnya, biasa singgah di Lateri untuk makan bekal di sebuah parigi dekat pohon sagu dipinggir pantai. Di saat yang sama, secara kebetulan juga orang Lateri juga biasa bekerja membuat sero di Negeri mamala. Dan pada tahun 1957 itu kesebelasan bola Mamala dan Lateri terbentuk Mamala yang dipimpin oleh alm bapak Saleh Pulhehe (kepala pemuda pada waktu itu) sedangkan Lateri dipimpin oleh alm bapak Mon Leihitu, dari sinilah cikal bakal terjadi pela antara Mamala dan Lateri.

Pada waktu itu bapak Saleh datang ke Lateri untuk meminta bantuan kepada kesebelasan Lateri untuk kerjasama dan melatih pemain Mamala selama 1 minggu dari latihan bersama-sama ini terjadi hubungan yang sangat erat.....selama melatih pemain bola Mamala berbulan-bulan ada suatu kisah dirumah alm bapak Gawi Malawat. Saat itu dari kesebelan Lateri dan kesebelasan Mamala sedang minum teh bersama-sama, karena kegembiraan dan merasa puas apa yang selama ini dilatih oleh kesebelasan Lateri maka kedua keseblasan ini berjabat tangan berpelukan sambil menangis....disaat itu Bapak Raja Mamala Lewat dan singah dirumah Bapak Gawi Malawat, beliau sangat terharu........Pada waktu Bapa Raja Mamala masuk kedalam rumah dan kesebelasan Lateri pun mengendong Bapak Raja Mamala dan kesebelasan Mamala juga mengendong ketua kesebelasan Lateri. Bapak Raja Mamala pun berpesan kepada ketua kesebelasan dan pemain Lateri ," Basudara-basudara nanti pulang ka Lateri kirim beta punya pung pesan kepada bapak Raja kampong Lateri, untuk datang bersama-sama masyarakat Lateri ke Negeri Mamala "setelah penyampain itu tidak lama kemudian bapak Raja kampong Lateri dengan masyarakat Lateri datang ke Negeri mamala , Bapak Raja Mamala pun mengambil pankuku(dari bambu) dan berkata kepada Bapak Raja kampong Lateri mari katong dua sama-sama pegang pangkuku untuk kuku durian.

Disaksikan oleh masyarakat kedua negeri Mamala dan Lateri, setelah durian jatuh Raja mamala membela menjadi dua bagian dan memberikan sebelah kepada bapak Raja kampong lateri sebelah kepada bapak Raja Mamala dan mengangkat hubungan saudara dengan Lateri, dalam kesempatan itu juga Bapak Raja kampong Lateri menyampaikan kami sangat berterimah kasih kepada Bapak raja Mamala dengan masyarakat Mamala dan suatu waktu nanti kami dari Lateri akan pulang berunding dan mengundang Bapak Raja Mamala bersama-sama masyarakat Negeri mamala untuk datang ke Lateri di rumah kediaman bapak Mon Lehitu(ketua kesebelasan Bola) sebelum ikrar pela diucapkan ketua kesebelasan lateri membawa selempeng sagu deng satu buah ketupat kepada bapak Raja Mamala dan bapak Raja kampong Lateri. Bapa Raja kampong Lateri mengambil sagu salempeng dipatah dan mengatakan " ini sagu mengikatkan kita basudara dari Lateri dan Mamala menjadi hubungan Pela yang tidak boleh dipisahkan sampai anak cucu". dan Bapak raja Mamala mengambil ketupat dan dibelah dan mengatakan "Dihari ini juga kita berjanji untuk sama-sama Lateri membangun Mamala, Mamala membangun Lateri". Pada tahun 1960 kampong Lateri meminta bantuan kepada negeri Mamala untuk membuat sekolah Rakyat bantuan itu berupa atap dan melibatkan masyarakat mamala untuk pekerjaan Sekolah Rakyat di Lateri.

Pada tahun 1962 Mamala meminta tenaga dari Lateri untuk merenovasi Mesjid pada waktu itu, dari Lateri yang menjadi bas bapak Boby Sinanu, sedangkan kepala tukang bapak Pede Adrian, semua pekerjaan sudah selesai tinggal kubah mesjid yang dibuat, bapak Raja Mamala pun meminta kepada Bapak Ongo Rumate (tukang kayu) untuk menyelesaikan bagian atas kubah. Atas pekerjaannya dalam menyelesaikan kubah mesjid, masyarakat Mamala membangun rumah kepada Wellem, anak dari pada bapak Ongo. Pada tahun 1992 dari Lateri bas bapak Yeye Adrians dipangil untuk membantu membuat gapura negeri Mamala dalam mengikuti lomba antar desa dan mendapat juara 1 antar desa pada waktu itu. Sebagai keberhasilan tersebut bapak Raja Mamala saat itu (Ir.H.A. Malawat) mendapat undangan Presiden RI untuk menghadiri HUT Proklamasi di Istana Merdeka Jakarta. Bapak Yeye Adrians inilah juga yang  dipakai untuk membuat toreng Mesjid yang merupakan monumen hubungan Pela Pembangunan antara Mamala dan Lateri. Kedua bangunan tersebut sangat berkesan bagi  kedua masyarakat Negeri Mamala dan Lateri, yaitu Toreng Masjid Mamala Sama Persis Dengan Toreng Gareja Lateri.



Sumber dari tua-tua adat Lateri pada pelantikan Raja Mamala yang disadur oleh Rolly Matahelumual. 

(Lihat Tulisan lainnya: Pengorbanan Halaene sang Raja Mamala untuk Tanah Hitu (Ambon))

Sabtu, 09 Januari 2016

Beringin Besar dan Berakar, Dari Uli Siwa menjadi Uli Lima



Upu Latu Polanunu (Upu Latu Ramli Malawat)

Sudah ratusan tahun pohon ini besar
Banyak ranting dan jaga yang kuat

Namun banyak juga ranting dan jaga yang rusak
Semoga mereka akan tergantikan dengan yang baru.

Dari  Tiga Hatu Manu Latu yang mengelilingi Bukit Ulu Pokol
Dia lah Uka Latu Apel Raja  Negeri Latu (Amalatu)

Dari Negeri Latim dan Negeri Ollong Bercabang-cabang
Dari Uli Siwa Menjadi Uli Lima

Satu cabang menuju Hatu Hitiy Latu
Dahannya berjalan dari Way Ume ke Way Tua
Mulai dari Loing, Polut, Latu, Hausihol dan Liang


Dia adalah
Upu Latu Polanunu

Dia lah Upu Latu Liu
Yang kembali menuju Baileo Adat Hatu Sela

Dan bermukim di Lumbato dekat mesjid Al Muhibbin
Tiga Batu Tungku dilambangkan ketiganya

Lumbato, Baileo Adat Hatu Sela dan Mesjid Al-Muhibbin
Melambangkan Mamala Amalatu

Ama Barakate

Selasa, 05 Januari 2016

Oud en Nieuw Oost-Indien Karya Monumental Francois Valentijn


Francois Valentijn



"Walaupun banyak dikritik karena dianggap tidak etis, pada kenyataannya, kandungan isi buku ini tetap banyak dimanfaatkan oleh peneliti sejarah maupun sastra. Tidaklah mengherankan jika buku yang kontroversial itu dianggap memiliki nilai estetika, selain juga berkat penceritaannya yang menarik. Seperti pernyataan seorang kritikus sastra, Edward du Perron, bahwa Francois Valentijn adalah seorang pencerita yang ulung".

Betapapun juga Oud en Nieuw Oost-Indien itu memang bermanfaat bagi ilmu sejarah. Sumber sejarah yang digunakannya memang belum ditelusuri secara tuntas, tetapi jelas ada keterangan-keterangan yang hanya bisa diperoleh dari buku itu saja. Namun, harus dikatakan juga bahwa sebagai historiografi buku Valentijn tersebut sama sekali tidak etis.

Namun, sekalipun dari segi sejarah karya Valentijn itu dikatakan tidak etis, dari segi sastra ada nilai estitikanya. Menurut Beekman, tidak kurang dari seorang Edward du Perron, kritikus sastra modern itu, yang menilai bahwa Valentijn dapat dikategorikan sebagai “{...} a remarkably fine storyteller in prose (....)” (Beekman 1988:79)

Buku Valentijn itu juga merupakan sumber inspirasi bagi Maria Dermout (1888-1962). Novelis Belanda itu banyak menggunakan keterangan dari buku Valentijn itu untuk menulis novel-novelnya yang mengandung cerita-cerita yang berlangsung di Ambon dan sekitarnya, seperti De tienduizend dingen, atau cerpen-cerpen yang dikumpulkan dalam antologinya yang berjudul Verzamelde werken seperti “Koning Baboe en de veertig jongelingen”, “De boom des levens”, “De goede slang” (Beekman 1988:80,93). Mengenai pengalamannya membaca buku Valentijn itu, novelis Belanda itu menulis: “Saya sering membaca buku itu, terutama bagian-bagian mengenai ‘Deskripsi tentang Maluku’ dan ‘Masalah-masalah Maluku’ tetapi kemudian menyingkirkannya karena saya terganggu oleh begitu banyak kesombongan, kemunafikan, bajakan dari Rumphius, namun kemudian saya kembali membacanya lagi karena ia menaruh perhatian yang begitu baik dan karena ia pandai bercerita” (Beekman 1988:80).”   

Oud en Nieu Oost-Indien adalah judul singkat dari karya monumental Francoist Valentijn. Buku yang terbit dalam delapan volume (1724-1726) memuat deskripsi wilayah-wilayah kegiatan VOC di Asia dan juga khususnya di Nusantara. Cara penyajian materi isi tidak berurut baik secara geografis maupun historis. Namun, isi buku ini jelas terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum VOC (Oud Oost-Indie) dan masa VOC (Nieuw Oost-Indie). Walaupun banyak dikritik karena dianggap tidak etis, pada kenyataannya, kandungan isi buku ini tetap banyak dimanfaatkan oleh peneliti sejarah maupun sastra. Tidaklah mengherankan jika buku yang kontroversial itu dianggap memiliki nilai estetika, selain juga berkat penceritaannya yang menarik. Seperti pernyataan seorang kritikus sastra, Edward du Perron, bahwa Francois Valentijn adalah seorang pencerita yang ulung.

Referensi:
Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Vol: 10, No.2, Oktober 2008, hal 191. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.