Minggu, 06 Maret 2016

Hubungan Cerita Sejarah Tanah Hitu Di Ambon Dan Ternate (Bagian 1)




Pendahuluan

Keingintahuan tentang cerita sejarah perjalanan para leluhur di Maluku umumnya dan di Tanah Hitu khususnya sangat besar. Sebelum era digitalisasi informasi seperti saat ini,  informasi tentang hal tersebut sangat sulit diperoleh.  Kondisi saat ini memberikan berbagai kemudahan untuk menuntaskan rasa keingintahuan tersebut. Untuk memahami cerita sejarah Tanah Hitu, tidaklah lengkap jika hanya memfokuskan kepada pembahasan cerita sejarah Tanah Hitu. Penggalian cerita sejarah Tanah Hitu melibatkan banyaknya simbol-simbol sejarah kesultanan Ternate, Seram dan kaum penjajah seperti Portugis dan Belanda.  Dengan memahami simbol-simbol sejarah tersebut akan memperkuat pemahaman tentang posisi Tanah Hitu dalam cerita sejarah di Maluku selama penjajahan.

Situasi Pemerintahan Ternate

Silsilah Para Kimelaha di Ambon, Seram dan Sekitarnya

Karena Maluku merupakan jazirah kerajaan, tidak mengherankan bila gaya pemerintahannya adalah monarki yang dielaborasi dengan unsur-unsur adat dan tradisi. Takhta adalah lambang supremasi pemerintahan yang diduduki seorang raja sebagai pengambil keputusan akhir atas semua urusan kerajaan dan pemerintahan. Raja dibantu suatu birokrasi yang disebut Bobato (semacam Menteri), yang dikepalai seorang Jogugu (perdana menteri), yang selalu dijabat tokoh-tokoh kepercayaan raja. Pimpinan militer dipegang seorang Kapita Laut (Panglima Laut) yang selalu dijabat putera mahkota atau salah seorang putera raja lainnya. Wilayah Kerajaan terbagi dalam beberapa Jiko (semacam distrik) yang dipimpin seorang Sangaji (dari bahasa Jawa: Sang Aji) yang disebut Jiko Ma Kolano (Kepala Pemerintahan Wilayah) yang membawahkan sejumlah Soa (komunitas setingkat desa) yangdikepalai seorang Kimalaha.

Di samping seorang Sangaji yang menjalankan tugas pemerintahan, raja juga mengangkat seorang Utusan sebagai wakil pribadi raja untuk mengurus kepentingan kerajaan, seperti mengumpulkan upeti dan tugas-tugas khusus lainnya. Pada daerah-daerah taklukan yang bukan kerajaan, raja mengangkat seorang Salahakan (Gubernur), sementara daerah-daerah taklukan yang sudah ada rajanya maka raja tetap memegang kekuasaan dan daerahnya menjadi vasal.

Situasi Ekonomi

Kekayaan Maluku terutama diperoleh dari rempah-rempah cengkih. Tanaman rempah-rempah ini mula-mula tumbuh secara liar di pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Kasiruta. Cengkih baru dibudidayakan mulai tahun 1450. Kekayaan akan rempah-rempah tersebut telah menyebabkan para pedagang Cina, Melayu, Jawa, Arab, Persia, dan Gujarat datang di daerah-daerah ini dengan membawa tekstil, beras, perhiasan dan kebutuhan hidup lainnya untuk ditukar dengan rempah-rempah.

Para pedagang asing tersebut meraup keuntungan berlipat ganda dari pada rakyat kerajaan-kerajaan Ternate, Tidore, dan Bacan penghasil rempah-rempah. Tetapi para sultan, terutama Ternate dan Tidore yang menguasai sentra-sentra perdagangan rempah-rempah, juga menjadi kaya raya dan sangat makmur. Bahan makanan utama rakyat Maluku adalah sagu, beras, dan ikan. Tetapi sagu dan beras tidak dihasilkan oleh Ternate dan Tidore. Kedua jenis bahan pangan ini didatangkan dari Moro, Bacan, Sahu, dan wilayah Halmahera lainnya.

Situasi Keagamaan

Sebelum masuknya Islam, kepercayaan yang dianut raja dan rakyat adalah Animisme. Walaupun dalam sejarah Indonesia dikatakan bahwa sebelum masuknya Islam, Kerajaan Majapahit yang Hindu itu telah menguasai seluruh Nusantara, namun di Maluku tidak terdapat bukti kesejarahan bahwa rakyat dan para rajanya pernah menjadi penganut agama Hindu. Di kawasan ini tidak pernah ditemukan candi atau prasasti yang mengidentifikasikan hal itu. Bertolak dari bukti-bukti kesejarahan tersebut, sangat disangsikan apakah kekuasaan Majapahit yang besar itu pernah sempat menanamkan pengaruhnya di Maluku.

Ekspansi Ternate

Di kawasan Indonesia timur, Ternate merupakan kerajaan terbesar dan terluas daerah kekuasaannya. Peletak dasar politik ekspansionis Kerajaan Ternate ini adalah Kolano Ngara Malamo. Pada masa pemerintahannya, beberapa desa di Jailolo mulai dianeksasinya. Pada masa awal perkembangan ekspansi Ternate, patut disebutkan bahwa keluarga Fala Raha – yang terdiri dari klan Tomaito, Tomagola, Limatahu, dan Marsaoli – adalah pelaksana-pelaksana ekspansi Ternate.

Pada akhir abad ke-15, klan Tomaito mengirimkan ekspedisi ke kepulauan Sula dan membawa kawasan ini menjadi daerah seberang laut Ternate yang pertama. Untuk jasa-jasanya, Raja Ternate mengangkat klan Tomaito sebagai Salahakan (Gubernur) kepulauan Sula dan Sulabesi.

Demikian pula, pada akhir abad ke-16, keluarga Tomagola memperluas wilayah seberang laut Ternate ke Buru. Klan Tomagola, di bawah pimpinan Kibuba, mulai menduduki Seram dan sekitarnya, kemudian melangkah ke kepulauan Ambon, sebelum akhir tahun 1600. Kibuba sendiri ketika itu belum beragama, tetapi akhirnya ia memeluk Islam dan menikah dengan Baifta Broly, puteri seorang Ternate bernama Sehe Jumali yang bermukim di Makian. Dari perkawinan ini lahir 3 orang anak: Dudu, Samarau, dan Molicanga. Dudu melanjutkan kepemimpinan klan Tomagola setelah wafatnya Kibuba.

Setelah Dudu meninggal, keluarga Tomagola berada di bawah dua sub-klan, masing-masing dipimpin Samarau dan Molicanga. Dari kedua pimpinan sub-klan Tomagola itu, Samarau yang paling menonjol. Hal ini menyebabkannya diutus Sultan Khairun sebagai Salahakan di Ambon. Samarau mempunyai dua orang putera: Rubohongi dan Saptiron. Dari kedua putera Samarau itu, Rubohongi merupakan orang kepercayaan dan pembantu utama Babullah. Setelah Babullah dinobatkan sebagai Sultan Ternate, ia mengirim Rubohongi ke Ambon (1570) sebagai Salahakan untuk menggantikan ayahnya, Samarau, yang sudah tua. Di bawah Rubohongi, Ternate berhasil memantapkan posisinya atas Seram, Buru dan sekitarnya. Rubohongi juga berlayar ke Tomimi dan mempersembahkan Teluk Tomimi di Sulawesi Tengah kepada Kesultanan Ternate. (Lihat: Perjuangan Melawan Portugis di Mamala)

Rubohongi mempunyai lima anak: Jumali, Angsara, Kasigu, Dayan, dan Basaib. Jumali, putera pertama Rubohongi, memiliki seorang putera bernama Sabadin, yang menurunkan Majira. Pada masa pemerintahan Sultan Hamzah, Majira menjadi Salahakan, dan melakukan pemberontakan melawan VOC.

Keturunan Rubohongi lainnya yang menjadi Salahakan adalah Luhu dan Leilato, masing-masing adalah putera Dayan dan Basaib. Pada masa kekuasaan merekalah Portugis mulai datang ke Ambon (1515).Tetapi, di bawah para Salahakan klan Tomagola ini pula, Ternate mendominasi kepulauan Amboina, termasuk pulau Buru, Ambalau, Manipa, Kelang, Buano, Seram, Seram Laut, Nusalaut, Honimoa (Saparua), Oma (Haruku) dan Ambon sendiri.

Keluarga Tomagola secara berkesinambungan menjadi Salahakan dan memerintah negeri-negeri di atas hingga akhir abad ke-17. Pada akhir abad ini, Sultan Mandar Syah menyerahkan kepulauan Amboina kepada VOC, berdasarkan perjanjian Ternate-VOC tertanggal 12 Oktober 1676. Sementara keluarga Limatahu dan Marsaoly terus melakukan upaya untuk mengokohkan dominasi Ternate atas daerah seberang lautnya, yang menyebabkan timbulnya pengaruh kuat di pusat kekuasaan.

Aktivitas penaklukan Ternate paling spektakuler terjadi pada masa pemerintahan Sultan Babullah (1570-1583). Pada masa ini, wilayah kesultanan Ternate membentang dari Mindanao di utara sampai Bima di selatan, dan dari Makassar di barat sampai Banda di timur. Babullah adalah Sultan Ternate terbesar dan dikenal sebagai “penguasa 72 pulau” yang seluruhnya berpenghuni. Di masa pemerintahan Babullah, Ternate tampil sebagai kerajaan paling kuat dan berpengaruh dalam politik maupun militer di kawasan timur Indonesia. Bahkan pada masa ini, ketiga kerajaan Maluku lainnya “tidak berkutik”.

Babullah, demikian rakyat menyapanya, menurut sebuah sumber, mampu mengerahkan 90.700 tentara bila diperlukan. Kontributor terbesar pasukan Babullah – di atas 10.000 pasukan –adalah Veranulla dan Ambon (15.000 tentara), Teluk Tomimi (12000), Batu Cina dan sekitar Halmahera Utara (10.000), Gorontalo dan Limbotto (11.000), serta Yafera (10.000). Penyumbang pasukan terkecil adalah Moti dan Hiri, masing-masing 300 tentara.

Keberhasilan Babullah tidak lepas dari keberanian dan kecakapan sejumlah panglima dan komandan tentaranya, seperti Kapita Laut Kapalaya dan Salahakan Rubohongi. Kapalaya dalah penakluk pantai timur Sulawesi, khususnya Buton, dan Rubohongi adalah penakluk Maluku Tengah dan kawasan Teluk Tomimi.

Enam tahun setelah bertakhta, Babullah sudah menguasai pulau-pulau di Ambon, Hoamoal di Seram, Buru, Manipa, Ambalau, Kelang, dan Buano. Empat tahun kemudian, Babullah menguasai negeri-negeri di sepanjang pantai timur Sulawesi, seperti Banggai, Tobungku, Buton, Tiboro, dan Pangasani. Setelah itu, giliran Makassar dan Selayar serta berbagai daerah lainnya di Sulawesi Tengah dan Utara – mulai Gorontalo dan Limbatto, Bolaang Mangondow, Bual, Tolitoli, hingga Tomini dan Parigi – masuk ke dalam kekuasaan Babullah.

(Lanjut : Hubungan Cerita Sejarah Tanah Hitu di Ambon dan Ternate (Bagian 2))