Rabu, 13 April 2016

Misteri Asal Nama Mamala Untuk Negeri Latu



Penjelasan  atas  Polemik  Sebutan  Mamala-Amalatu  dari  Negeri  Mamala

Pendahuluan

Masyarakat Ambon umumnya hanya mengetahui nama Mamala sebagai nama salah satu negeri di Tanah Hitu, sedangkan penambahan nama Amalatu terasa asing bagi mereka. Penjelasan mengenai  alasan penyebutan nama Amalatu sebagai tambahan dari Mamala, baik sebelum dan sesudahnya, sangat dirasa perlu untuk diurai berdasarkan referensi sejarah yang sudah lama ada dan telah dijadikan acuan standar  sejarah Maluku. Hal ini penting untuk diuraikan mengingat banyaknya penafsiran negatif tentang hal ini, sehingga berakibat  pergeseran makna dari sebutan “negeri Mamala” yang dimaksud itu, sebenarnya merupakan sebutan untuk “negeri Latu”.  Polemik yang terjadi, bersumber dari perbedaan penafsiran kata “Ama” yang dalam bahasa daerah di Ambon, dapat berarti bapak atau negeri, sedangkan untuk masyarakat Seram dan Lease mengartikannya sebagai bapak. Maupun perbedaan memaknai kata “Ama” dan “Amang” untuk kata “negeri”. Dalam pembahasan ini juga turut menyertakan pertanyaan kenapa sampai negeri Latu akhirnya disebut Mamalo / Mamala.

Negeri Latu atau Negeri Mamala
Negeri Latu atau negeri Mamala merupakan salah satu negeri dari tigapuluh negeri di Tanah Hitu, yang meliputi: 1. Hunut, 2. Tomu, 3. Mossapal, 4. Latu atau Mamalo, 5. Polut, 6. Hausihol, 7. Loijen, 8. Lien, 9. Waccal, 10. Pelissa, 11. Eli, 12. Senalo, 13. Hoeconalo, 14. Kaijtetto, 15. Nockohali, 16. Thealaa, 17. Wawani, 18. Essen, 19. Zeijt, 20. Hautoena, 21.Libbalehoe, 22. Wauselaa, 23. Laijn, 24. Nau, 25. Binau, 26. Henneheloe, 27. Hennelale, 28. Hennelatoea, 29. Toelehoe, 30, Tihil. (Sumber: De Ambonsche Lantbeschrijvinge)

Tiga Puluh Negeri di Tanah Hitu

Asal pemberian nama Mamala, menurut cerita yang bertolak dari penuturan  tua-tua adat bahwa negeri  Mamala dalam bahasa daerah disebut dengan kata “Ama-Latu”  yaitu “Ama’ artinya Negeri , dan “Latu”  artinya  Raja, jadi kata  “Ama-Latu”  artinya Negeri  Raja. Penafsiran kata “Ama” sebagai negeri dapat dibenarkan dengan gambar di bawah ini.
Dikatakan bahwa ketika masyarakat Mamala bertemu dengan orang-orang Portugis, kemudian mereka bertanya kepada masyarakat Mamala  bahwa dimana tempat tinggal mereka atau negerinya, maka masyarakat Mamala menjawab sambil  menunjuk ke arah gunung dengan menyebut kata “Mala-mala”, yang maksudnya  letak  negeri mereka  ke arah gunung yang berwarna kebiru-biruan, yang oleh orang Portugis  di sebut “Mamalo”.

Jika hal ini dibuktikan dengan referensi di atas, maka saat itu orang Portugis tidak serta merta menyebutnya sebagai Mamala, namun dengan sebutan Mamalo. Penyebutan nama Mamalo sebagai nama dari negeri Latu yang dimaksud, apakah akibat keterangan yang didengar atau kesimpulan orang Portugis tersebut dengan latar belakang pengertiannya tentang negeri yang dimaksud seperti penuturan di atas. Yang mengherankan dalam dua referensi utama Maluku tersebut baik F. Valentijn dan GE Rumphiuss selalu menggandengkannya dengan nama Latu yang disebut  terlebih dahulu, baru kemudian Mamalo.  Definisi kata “Mamalo” menurut Urban Dictionary adalah “You say it to someone who is overly impressed with someone else” (Anda mengatakan kepada seseorang yang terlalu terkesan dengan orang lain).  Dengan melihat makna dari kata tersebut, akhirnya dapat diperkirakan jika orang Portugis tersebut menyebut negeri Latu dengan nama Mamalo karena mempunyai kesan yang besar terhadap negeri Latu.

Definisi kata “Mamalo” menurut Urban Dictionary adalah “You say it to someone who is overly impressed with someone else” (Anda mengatakan kepada seseorang yang terlalu terkesan dengan orang lain)

Kemudian penyebutan kata tersebut berubah dari Mamalo menjadi Mamala. Nama Mamala sendiri kemudian sebagai nama sebuah negeri tidak  hanya digunakan untuk negeri Latu di Tanah Hitu, Ambon. Namun juga digunakan di salah satu negeri di India Selatan. Nama “Mamala” di India diterjemahkan sebagai “Mamala is everything but it is nothing at the same time so basically it encompasses all but is nothing” yang diterjemahkan sebagai “Mamala adalah segalanya tapi tidak pada saat yang sama sehingga pada dasarnya meliputi semua tapi ada”. Dari Kedua pengertian ini memperlihatkan makna yang cukup mendalam sehingga kedua sejarawan yakni GE Rumphiuss dan F. Valentijn selalu menyebut  Mamala sebagai “negeri Latu atau yang identik dengan negeri Mamala”.

.“Mamala is everything but it is nothing at the same time so basically it encompasses all but is nothing” yang diterjemahkan sebagai “Mamala adalah segalanya tapi tidak pada saat yang sama sehingga pada dasarnya meliputi semua tapi ada”.

Pengertian Amalatu

Penggunaan kata “Amalatu” di kawasan Maluku Tengah, dipakai pada saat menyebut nama teon negerinya, ada yang Amalatu, Amapati dan sebagainya. Umumnya penyebutan kata tersebut diartikan sebagai “Bapak Raja”. Penyebutan ini sesuai dengan negeri yang berteon Amalatu, yang kesemuanya bercirikan Uli Siwa dengan sebutan pada pemimpinnya sebagai “Amalatu”.  

Sedang untuk menyebut negeri dalam bahasa daerah adalah dengan istilah “Hena”, “Amang” dan “Ama”. Khusus untuk kawasan Ambon, penyebutan negeri cenderung menggunakan kata “Ama”.


Kata "Ama" yang diartikan sebagai negeri

Kesimpulan:

Mamala  Amalatu merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan bahwa negeri Mamala yang di maksud adalah negeri Latu (negeri Raja). 

Nama Amalatu pada Mamala-Amalatu bukanlah hanya nama yang dimaksud untuk teon negerinya saja, tetapi lebih berdasarkan pada nama negeri Mamala yang sebenarnya adalah negeri Latu.


Referensi:

Hubungan Masyarakat Mamala dan Morela di Jazirah Leihitu Pulau Ambon, Haris Malawat,Spd; 1993

http://www.urbandictionary.com/define.php?term=mamalo

https://en.wikipedia.org/wiki/Mamala















Kamis, 07 April 2016

Hubungan Cerita Sejarah Tanah Hitu di Ambon dan Ternate (Bagian 2)




Pendahuluan

Kalau melihat bagian satu lebih menitik beratkan pada ringkasan cerita sejarah Ternate, maka pada bagian dua ini menceritakan sejarah Tanah Hitu, dalam menghadapi Portugis dan VOC. Dalam rangka membuat sistematika cerita sejarah Tanah Hitu dengan menggabungkannya dengan referensi lain. Jika penulisan cerita sejarah dengan topik yang sama pada bagian-1, dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang kesultanan Ternate yang mendalam, sehingga dapat lebih memahami tentang cerita sejarah Tanah Hitu yang lebih luas sebagai bagian dari pengetahuan sejarah para generasi muda di Tanah Hitu khususnya dan Maluku pada umumnya.

Maka pada bagian dua menguraikan cerita sejarah Tanah Hitu, mulai dari terbentuknya suatu peradaban di Tanah Hitu khususnya secara ringkas.

Kondisi Sosial Politik di Pulau Ambon Sebelum Islam

Penduduk Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, masing-masing mempunyai organisasi pemerintahan dan struktur sosial politik yang berbeda-beda. Penduduk pulau Ambon dahulu hidup berkelompok-kelompok, membentuk masyarakat-masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa keluarga. Mereka menetap di pegunungan-pegunungan dan negeri-negeri kecil. Masyarakat ini kelak oleh Belanda dipaksa pindah ke daerah-daerah pantai sampai saat ini.(1)

Sebelum Kerajaan Islam berdiri di Pulau Ambon maka yang ada adalah kelompok masyarakat-masyarakat kecil yang sederhana terdiri dari beberapa keluarga saja yang menduduki suatu tempat tertentu. Kelompok kecil ini dikepalai oleh seorang “Upu” atau “Latu” (pemimpin). Dia diakui kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi. Oleh karena kekuatan yang unggul, baik dalam perang maupun dalam masa damai, karena wibawanya dalam memelihara stabilitas keamanan. Dia dibantu dalam urusan pertahanan dan keamanan oleh seseorang yang disebut “Malesi” (Panglima perang) dan dalam urusan keagamaan (keamanan rohani) oleh seorang yang disebut “Mau-Weng” (Imam / dukun) yang mengurus segala hal yang berhubungan dengan masalah kerohanian. (2)

Lama kelamaan oleh karena perkembangan dari dalam serta peperangan antar kelompok-kelompok pendatang baru dengan penduduk yang sudah ada, maka proses pertumbuhan dan perubahan terjadi, di mana masyarakat-masyarakat kecil itu bertambah besar atau bergabung satu dengan yang lain hingga terbentuk satuan-satuan yang lebih besar yang disebut “Aman”. Salah seorang di antara para Upu muncul sebagai yang terkuat dan terpandang dan dialah yang menjadi “Latu” (yang berkuasa). Upu-upu lain  diberi atau memperoleh jabatan sebagai “Soa”. Soa adalah bagian dari masyarakat negeri (hena) yang lebih rendah itu yang terdiri dari beberapa “Rumatau” (mata) rumah. Yaitu golongan-golongan perkerabatan / hubungan darah yang mengikuti garis keturunan kebapaan (patrlinial). Masing-masing soa diwakili dalam berbagai fungsional sebagai Malesi, Mau-Weng dan pejabat-pejabat lainnya. (3)

Inilah susunan kemasyarakatan pokok yang terdapat sampai dewasa ini di Pulau Ambon. Sedang susunan politiknya telah menyesuaikan diri dengan kondisi sekarang.  Apabila diperhatikan kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat Pulau Ambon sebelum kedatangan pengaruh Islam yang sudah dijelaskan di atas tadi, maka jelaslah ada status resmi dari kedudukan mereka. Oleh sebab itu mobilitas  sosial waktu ditentukan oleh saluran kekuasaan.  Salah satu contoh adalah jabatan ‘Soa”, sebagai penguasa merupakan jabatan turun temurun yang tidak diduduki oleh anggota lain dari kelompok itu, kecuali dirinya menduduki status sebagaimana status sosial orang tuanya.

Meskipun kekuatan Majapahit meliputi Maluku dan tentunya Pulau Ambon juga, tetapi pengaruh ajaran Hindu tidak kuat di sana. Hal itu terlihat tidak adanya peninggalan Hindu sehingga yang timbul dalam masyarakat adalah ciri masyarakat lokal.  Hal itulah yang akan menjadi sebab kenapa Islam di Pulau Ambon tumbuh dan berkembang dengan kuat, sekaligus mempercepat proses Islamisasi dalam masyarakat Pulau Ambon waktu itu. Kemudian pada masa tahun 1450 sampai 1675 timbul beberapa kejadian yang membawa pengaruh besar dari luar.

Pengaruh Islam

Pengaruh penting yang pertama adalah Islam yang datang ke Maluku Tengah sebagian besar dari Maluku Utara. Mulai kurang lebih tahun 1480 M. Kekuasaan-kekuasaan Kesultanan Ternate dan Tidore meluas ke Selatan dengan membawa agama Islam ke negeri-negeri di pesisir Utara pulau-pulau di Maluku Tengah. Proses pengislaman itu berlangsung sampai pertengahan abad ke 17, walaupun melambat setelah kedatangan Portugis dan Belanda yang menyebarkan agama Kristen. Dengan demikian di dalam bidang perkerabatan di Seram dan Ambon serta Lease. Sebelum kedatangan pengaruh dari luar, sistem perkerabatan disusun berdasarkan keibuan (Matrilineal). Perubahan ini mungkin sekali adalah akibat dari pengaruh-pengaruh luar, khususnya Agama Islam yang kemudian diperkuat oleh Kristen dan kebudayaan Eropah yang semuanya menganut secara tegas dalam sistem perkerabatan. (4)

Tentu saja pengertian kepercayaan dari agama suku ke agama Islam telah membawa perubahan-perubahan lain pula. Terutama dalam lembaga keagamaan, tetapi juga di dalam lembaga lain seperti ekonomi rakyat, nilai-nilai sosial dan sebagainya.

Empat Perdana Tanah Hitu 

Imam Ridjali di dalam Hikayat Tanah Hitu menceritakan tentang datangnya empat kaum yang menjadi cikal bakal penduduk Hitu. Merekalah yang menjadi pendiri kerukunan yang amat kuat yang kemudian dikenal dengan nama “Empat Perdana”. Keempat kaum tersebut datang dari tempat yang berbeda. Yang pertama datang dari pantai tenggara pulau Seram. Kaum ini disebut Saupele atau Zaman Jadi. Kelompok kedua menurut Ridjali datang dari Tuban yang menurut Rumphius tiba pada tahun 1460 dan menetap di pantai dekat sungai Waipaliti. Kaum ketiga disebut Latim (Lating), datang dari Jailolo (Halmahera) dipimpin oleh Jamilu pada tahun 1465. Menurut Rumphius mereka juga menetap dekat Waipaliti.

Gb Skema Lokasi negeri Latem yang berdekatan dengan Waipaliti

Kaum keempat bernama Olong datang dari Gorong (pulau Seram bahagian Timur). Mereka dipimpin oleh Mata Lian yang terkenal dengan gelar Patih Putih. Seperti yang telah dikemukakan Patih Putih inilah yang berkunjung ke Jawa sekitar tahun 1500, setelah tinggal beberapa bulan kembali ke Tanah Hitu dan dikenal dengan nama Pati Tuban. Dialah yang bertemu dengan penguasa Ternate yang juga sedang belajar agama di Jawa, sehingga hubungan dengan kesultanan Ternate menjadi lebih erat. Tanah Hitu kemudian berhasrat menjadi suatu pusat kekuasaan politik dan agama yang diperintah oleh lembaga-lembaga Kesultanan seperti di Ternate. Maka disusunlah pemerintah Hitu yang dikenal Pemerintahan Empat Perdana. Pemerintahan Empat Perdana tersebut dijalankan secara periodik oleh empat orang yang merupakan pimpinan dari empat kaum utama dari masyarakat Hitu. (Sumber: Sejarah Masuknya Islam di Maluku Penulis  Dr. Usman Thalib M.Hum) (6)

Pengaruh Portugis dan Belanda

Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon. Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.(7)

Keuning (1973: 19-20) selanjutnya menjelaskan bahwa sejak tiba di Hitu dalam tahun 1512, orang-orang Portugis di bawah pimpinan d’Abrio dan Serroa disambut dan dijamu dengan ramah tamah oleh orang Hitu (uli lima) yang telah beragama Islam. Jumlah orang Portugis yang sedikit itu tidak dianggap sebagai ancaman, apalagi mereka segera pergi setelah tinggal beberapa lama. Maksud orang-orang Portugis itu hanyalah mencari rempah-rempah (cengkih dan pala), dan zaman itu mereka harus pergi ke Ternate, Tidore dan Banda. Dalam tahun 1525, barulah orang Portugis mendapat izin membangun sebuah rumah di pantai Hitu sebelah Utara, tepatnya di Hassamuling-tanjung Tetulaing (lokasinya berada di antara Mamala-Hitu). Tetapi, keadaan tersebut menjadi buruk ketika orang Portugis melanggar kedaulatan orang Hitu yakni ketika mereka hendak membangun sebuah benteng dan mengadakan peraturan-peraturan sendiri. (Lihat: Kekalahan Mengerikan Di Tanah Hitu) Orang Hitu menolaknya dan menghendaki orang Portugis meninggalkan wilayah mereka dan tinggal di antara orang-orang uli siwa (cikal bakal benteng Victoria). Sejak itu pula terjadi pengkristenan orang uli siwa di Leitimor oleh Portugis. Orang-orang uli siwa ini meminta dibaptis menjadi Kristen oleh orang Portugis dengan harapan akan mendapat bantuan terhadap penyerbuan orang uli lima tersebut. Keuning mencatat bahwa abad ke 16 bagi Ambon bukanlah zaman yang damai. Adanya orang Portugis pada umumnya merupakan faktor yang mengganggu suasana, terutama di Leitimor. Kehadiran mereka memperuncing pertentangan lama (tradisional) antara uli siwa dan uli lima, dan membagi seluruh negeri dalam dua kelompok kekuatan yang terus menerus saling memerangi.

Belanda mendirikan pos di Mamala , di pantai utara pulau Ambon , pada awal 1601. Kota ini membuat tembikar , dan bersama-sama dengan Hitu lama adalah salah satu pusat perdagangan yang paling aktif di wilayah Hitu di semenanjung Ambon bagian utara.(8)   Belanda, ketika menyerang dan merebut benteng Portugis tersebut, dibantu oleh negeri-negeri dari uli lima dari jazirah Hitu yang beragama Islam, sedangkan dari Leitimor (uli siwa) hanya penduduk Nusaniwe dan Urimeseng yang memberi bantuan.

Keuning (1973: 21) menjelaskan bahwa kekuasaan Portugis di Ambon kemudian diambil alih oleh Belanda di bawah pimpinan Steven van der Haghen, yang berhasil merebut benteng Victoria pada tgl. 23 Februari 1605. Van der Haghen yang telah menjadi gubernur Belanda di Ambon, ternyata sanggup mengatasi keadaan krisis terus. Van der Haghen berhasil mengusahakan sehingga penduduk kampung-kampung di sekitar benteng, yang telah mengungsi ke daerah-daerah pegunungan, kembali ke tempat tinggalnya yang  dahulu. Van der Haghen berjanji untuk melindungi mereka. Beberapa hari kemudian, janji yang sama diberikannya kepada sejumlah kepala suku dari pulau-pulau Ulias (di sekitar pulau Ambon) dan dalam waktu singkat berhasil menjamin keamanan Ambon dan sekitarnya.

Keuning (1973: 23) menjelaskan, setelah van der Haghen mengambil alih benteng Portugis, pater Mosonio (pekabar Injil Portugis) menemui van der Haghen untuk membicarakan nasib kaum Kristen (ulisiwa). Selain membicarakan soal-soal harta dan milik, mereka minta kebebasan dalam menjalankan ibadah. Dalam hari-hari kemudian, datanglah Diego Barbudo, seorang Portugis yang sudah lama menetap di situ, dan bersama dengan beberapa kepala kampung (desa) penting di Ambon, bertemu dengan van der Haghen. Mereka berjanji akan setia dan takluk kepada Staten van Holland dan minta perlindungan. Karena takut akan gangguan-gangguan dari pihak islam (ulilima), Pedro Masonio telah meminta kepada van der Haghen agar diadakan perdamaian antara kedua pihak, Kristen (ulisiwa) dan Islam (ulilima).

Setelah Diego Barbudo datang membawa 22 kepala kampung (raja, orang kaya) dari negeri-negeri dari Leitimor, ia kemudian membawa sejumlah pemimpin lainnya dari pulau-pulau di sekitar Ambon, yakni Saparua, Haruku dan Nusalaut, untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada Belanda. Sikap yang sama diajukan oleh para pemimpin dari Hitu, dengan pimpinan kapitan Hitu, dan uli lima lainnya (Leirissa, 2005: 24, 25). Berkumpulnya para pemimpin negeri-negeri dari uli siwa dan uli lima di pulau Ambon, dan dari pulau-pulau di sekitar Ambon, menjadi momentum bagi van der Haghen untuk mempersatukan para pemimpin tersebut, menciptakan perdamaian, sekaligus membawa keuntungan politik dan ekonomi baginya. Van der Haghen, dengan demikian berhasil menaklukan dan menguasai monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Van der Haghen, dalam bulan Februari 1605 berhasil mengadakan persetujuan dengan kapitan (panglima perang) dan kepala-kepala suku lainnya, dengan syarat-syarat terpenting, sebagai berikut (Keuning, 1973: 24):
1. Kami, semua kepala-kepala, bersumpah untuk membantu Gubernur terhadap semua musuh yang mungkin mempunyai rencana untuk menyerang beliau atau benteng ini, baik dari laut, maupun dari darat.
2. Kami bersumpah, bahwa kami tidak akan menjual cengkih kepada siapapun, melainkan kepada orang-orang Belanda, kecuali dengan pengetahuan terlebih dahulu dari Gubernur.
3. Setiap orang akan hidup menurut agama masing-masing, sesuai dengan apa yang dianggapnya adalah kehendak Tuhan atau akan membawa keselamatan bagi mereka; akan tetapi tiada orang yang diperbolehkan menganiaya atau mengganggu orang lain.
4. Apabila Gubernur memanggil kami untuk melakukan suatu pekerjaan, maka orang Uli siwa wajib memberi bantuan kepada orang Uli lima, dan demikianpun orang Uli lima kepada orang Uli siwa.
5. Berdasar perjanjian-perjanjian tersebut, Gubernur, atas nama “de Heeren Staten Generaal der vereenighde provintien ” dan Yang Mulia Pangeran (van Oranye), berjanji untuk menolong dan mendampingi kapitan Hitu dan semua kepala-kepala dan rakyat dari daerah-daerahnya itu, seperti negara sendiri terhadap semua musuh-musuhnya.


Referensi

1    

Hamadi B.Husen, M.Noor Tawainella, Monografi Sejarah Departemen Agama Daerah Maluku, Departemen Agama RI Jakarta. 1982, halaman 6-7

Pramita Abdurahman, R.Z.Leirissa, C.P.F.Luhulima, Bunga Rampai Sejarah Maluku I, Lembaga Penelitian Sejarah Maluku, Jakarta,1973, halaman 119.

Ibid, halaman 119

Ibid, halaman 120-121

Ibid, halaman 122-124

Usman Thalib, Sejarah Masuknya Islam di Maluku, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Provinsi Maluku dan Maluku Utara 2011

http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/portugis.html

http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Mamala.440p#.Vk3v2HvnSvs.facebook