Sabtu, 17 September 2016

Perjuangan Melawan Portugis di Mamala





Pendahuluan

Peristiwa perlawanan leluhur Tanah Hitu melawan Portugis yang bersumber dari Hikayat Tanah Hitu- nya Imam Rijali menjadi menarik, setelah membandingkannya dengan keterangan yang ada dalam referensi lainnya seperti Sejarah Kepulauan Rempah-Rempahnya M. Adnan Amal. Kedua referensi ini saling melengkapi dalam tahun kejadian dan tokoh-tokoh yang terlibat sehingga dapat menegakkan peristiwa apa yang terjadi. Sekaligus memberi bantahan kepada M. Adnan Amal tentang “Penculikan Sultan Baabullah yang dilakukan Portugis” tidak dicampuri oleh leluhur Tanah Hitu saat itu, seperti yang disampaikan dalam tulisannya. Mamala ditekankan dalam tulisan ini mengingat Mamala adalah tempat pertama kali didatangi oleh Portugis dan kemudian menjadi basis pertahanan Portugis. Bagian ini sekaligus merupakan penjelasan perjuangan leluhur Tanah Hitu di Ambon sebelum mengalami kekalahan (lihat: Kekalahan Mengerikan di Tanah Hitu) yang kemudian menjadi acuan Kapitan Tepil dalam diplomasinya terhadap Belanda.

Kedatangan Portugis di Tanah Hitu

Sejak tiba di Hitu dalam tahun 1512, orang-orang Portugis di bawah pimpinan d’Abrio dan Serroa disambut dan dijamu dengan ramah tamah oleh orang Hitu yang telah beragama Islam. Jumlah orang Portugis yang sedikit itu tidak dianggap sebagai ancaman, apalagi mereka segera pergi setelah tinggal beberapa lama. Maksud orang-orang Portugis itu hanyalah mencari rempah-rempah (cengkih dan pala), dan zaman itu mereka harus pergi ke Ternate, Tidore dan Banda. Dalam tahun 1525, barulah orang Portugis mendapat izin membangun sebuah rumah di pantai Hitu sebelah Utara, tepatnya di Hassamuling-tanjung Tetulaing (lokasinya berada di antara Mamala-Hitu). Tetapi, keadaan tersebut menjadi buruk ketika orang Portugis melanggar kedaulatan orang Hitu yakni ketika mereka hendak membangun sebuah benteng dan mengadakan peraturan-peraturan sendiri. (Lihat: Kekalahan Mengerikan Di Tanah Hitu) Orang Hitu menolaknya dan menghendaki orang Portugis meninggalkan wilayah mereka dan tinggal di antara orang-orang uli siwa (cikal bakal benteng Victoria). Sejak itu pula terjadi pengkristenan orang uli siwa di Leitimor oleh Portugis. Orang-orang uli siwa ini meminta dibaptis menjadi Kristen oleh orang Portugis dengan harapan akan mendapat bantuan terhadap penyerbuan orang uli lima tersebut. Keuning mencatat bahwa abad ke 16 bagi Ambon bukanlah zaman yang damai. Adanya orang Portugis pada umumnya merupakan faktor yang mengganggu suasana, terutama di Leitimor. Kehadiran mereka memperuncing pertentangan lama (tradisional) antara uli siwa dan uli lima, dan membagi seluruh negeri dalam dua kelompok kekuatan yang terus menerus saling memerangi.

Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.


Keberadaan Portugis di Mamala

Don Duarde datang dari Portugis dengan kelengkapannya, maka ia naik ke darat, dengan berbagai bunyi-bunyian. Maka didirikanlah panji-panji perang dan tentara Islam pun demikian. Panglima dan pendekar serta dengan harkatnya. Maka kedua pihak saling berperang. Pada saat itu Khatib ibnu Maulana dan  Tahalele ibnu Abubakar Nasiddik keduanya syahid. Kemudian Totohatu ibnu Zamanjadi mengamuk dan menyerang orang Portugis. Pendekar perang Umar mengamuk dan merampas panji-panji Portugis.

Disamping kemarahannya kepada Portugis, pahlawan Tubanbesi maju dan merengsek kedalam medan pertempuran sambil membathin dalam dirinya, “Sangat beruntunglah aku pada kesempatan kali ini, karena pintu surga sudah terbuka”. Saat itu atas kehendak Allah Swt, kulitnya menjadi kebal terhadap besi. Tentara Portugis bercerai berai hingga akhirnya mundur dan melarikan diri.

Beberapa waktu kemudian, terbertik kabar di telinga Empat Perdana tentang berita kedatangan Sultan Ternate Baabullah yang biasa disebut Sultan Bab, ke Ambon (tahun 1583). Setelah memastikan kebenaran berita tersebut, maka Empat Perdana bermufakat untuk berdamai dengan Portugis dan melakukan upaya diplomasi bertemu dengan Sultan Baabullah. Kerajaan Tanah Hitu merupakan wilayah yang independen, tidak dibawahi oleh Kesultanatan Ternate. Kedatangan Baabullah ke Ambon (Kota Laha) sendiri ternyata adalah hasil upaya Portugis untuk membuat kesepakatan damai Portugis dan Ternate. Namun dibalik rencana tersebut Portugis memprovokasi adu domba antara Ternate dan Hitu sehingga terkesan bahwa orang Hitu membantu menculik Sultan Ternate Baabullah. Karena rencana busuk Portugis inilah akhirnya Portugis mau berdamai dengan Empat Perdana di Tanah Hitu.

Empat Perdana Tanah Hitu mengutus empat puluh orang gagah yang membawa empat puluh mata keris yang dimasukkan ke dalam gendaga dan di atas keris itu adalah kain muslim sehelai yang ditaburi sirih pinang, bunga dan buah-buahan. Setelah melihatnya, Sultan berkata. “Sampaikan salamku kepada Empat Perdana. Adapun daging darahku tidak demikian. Tanda kasih dan tulus serta kehendaknya itu telah sampai kepada kami, maka kami pun menerima dengan sempurnanya. Kalian saudaraku dari dunia datang ke akhirat.” Setelah penyampaian tersebut disampaikan kepada Empat Perdana, keempatnya sebenarnya hendak melakukan kunjungan ulang kepada Sultan di kapal, namun Portugis telah berlayar membawa Sultan.(Diketahui kemudian adalah upaya penculikan Sultan Baabullah oleh Portugis).

Maka terjadilah lagi perang antara Tanah Hitu serta Tanah Ambon sekalian berperang melawan Portugis kembali.  Don Duarte datang dan membuat poskonya di pantai Hitu, maka terjadilah perang yang amat dasyat, siang dan malam. Orang Tanah Hitu terdesak dan mundur serta bertahan di Ulu Kolol (Ulu Pokol?) perbukitan di Mamala dan bertahanlah orang Tanah Hitu di situ.
 
Gambar 1. Pegunungan Ulu Kolol (Ulu Pokol?) di Mamala, sumber Valentijn


Akhirnya pertahanan di Ulu Kolol (Ulu Pokol?) pun kalah. Maka takluklah orang Tanah Hitu kepada Portugis. Sehingga ke-Empat Perdana dan sebagian masyarakat Tanah Hitu pindah ke tanah besar (Seram) tepatnya di Luciela. Sekalipun demikian peperangan selalu terjadi berulang di Tanah Hitu. Saat itu Kimelaha Laulata ada di Tanah Ambon, dan kembali ke negeri Luhu. Kemudian setelah beberapa waktu kemudian Hukom Abubakar menghadap Sultan Ternate, untuk membuat perjanjian. Untuk keterangan lebih lanjut tentang hal ini belum berhasil didapatkan dari referensi lainnya.
 
Gambar 2. Skema perang gerilya perlawanan terhadap Portugis

Sistem kerajaan Tanah Hitu saat itu adalah dipimpin oleh seorang raja dan hukom, serta empat perdana dengan tujuh punggawa (tujuh punggawa yang dimaksud adalah pimpinan dari masing-masing uli) serta membawahi tiga puluh gelaran (tiga puluh gelaran yang dimaksud adalah tiga puluh negeri yang terbentang dari Negeri Lima sampai Tial sekarang). Kedudukan antara raja dan hukom sampai saat ini sulit ditemukan referensi lainnya yang menerangkan keduanya. Apalagi pada ulasan berbagai referensi terlihat posisi hukom yang lebih dominan, pada masa dijabat oleh Abubakar.

Gambar 3. Peta ketigapuluh negeri di Tanah Hitu

Masyarakat Tanah Hitu yang mendengar berita kedatangan Hukom Abubakar dari Ternate, segera menyuruh gelaran (pimpinan negeri) Tuheasal dan Tuhelusun menemui Hukom dan keempat perdana. Keduanya menyatakan loyalitasnya serta mempertanyakan keberadaan dan perhatian  Hukom Abubakar kepada mereka serta meminta Hukom untuk kembali ke Tanah Hitu. Hukom Abubakar menyampaikan bahwa perhatian beliau kepada mereka sangat besar dan meminta mereka untuk mengenyahkan para penjajah, jikalau mereka loyal kepadanya.

Keduanya menyampaikan kepada negerinya dan mereka pun membunuh kafir di dalam negeri itu. Hasilnya mereka sampaikan kepada Hukom Abubakar dan keempat perdana, ketika pulang ke Tanah Hitu, dan mendiami bukit Hatunuku. Pada masa itu negeri Hitu sekalian memberi upeti ikan kepada keempat perdana. Hal ini diperintahkan oleh Hukom Abubakar dan keempat perdana, dan semua negeri pun kembali kepada Hukom Abubakar dan keempat perdana. Sekelumit info mengenai Hatunuku (Hatoenoeko); Pada tahun 1600, yakni dua tahun sebelum VOC didirikan, Belanda membangun benteng Verre di sini untuk menentang Portugis, yang kemudian disebut benteng Kota Warwijk, nama dari seorang pelaut Belanda yang pertama kali menginjakkan kaki di Ambon.

Negeri Hitu dan negeri Nusaniwe bermusyawarah untuk bermufakat dan membuat perjanjian, Pati Lopulalan dengan Perdana Tanahitumesen, Totohatu dengan Lisakota, Latuhalat dengan Perdana Nusatapi, Pati Tuban dengan Pati Naelai. Hasil musyawarah menyatakan jika ada kesulitan atau kebaikan di keduanya, adalah milik bersama. Sejak saat itu tidak ada perbedaan antara negeri Nusaniwe dan negeri Hitu. Nama gelaran negeri Henalale dinamai Hehahitu dan gelaran negeri Latua dinamai Hehatomu. (Keduanya berada di Uli Nau Binau). Negeri Ureng dan Asilulu sekalipun termasuk dalam kategori uli siwa, tetapi dalam pihak uli lima (dalam martabat negeri Hitu). Perjanjian itu mencakup negeri Alang, Liliboi, Larike, Wakasihu, Asilulu dan Ureng. Nusaniwe merupakan suatu negeri asli di pesisir selatan Ambon, dan salah satu kerajaan pertama di Ambon. Kebangkitan Islam di sana dibendung sejak masa Portugis maupun masa-masa awal kolonialisme Belanda. Hal tersebut juga dilakukan di negeri-negeri lainnya seperti Alang dan Hutumuri.

Mendengar penculikan Sultan Baabullah oleh Portugis, Kimelaha Rubohongi yang merupakan orang dekat sekaligus pembantu utama Baabullah datang ke Ambon beserta keluarganya Kimelaha Haji dan Kimelaha Sakatruna, Kimelaha Kasigu, Kimelaha Jumali, Kimelaha Kulabu, Kimelaha Aja, Kimelaha Basi dan Kimelaha Angsara. Sementara dari pihak Sultan Ternate yang datang adalah Kaicil Cuka, Kaicil Kodrat, Kaicil Abu Syahid, Kaicil Kaba, Kaicil Naya, Kaicil Ici, Kaicil Aya, Kaicil Ali. Sementara dari pihak anggota Kesultanan Ternate yakni raja pertama Kalaudi, Usman, Kabutu Malu, Sagalua, Sibangua, dan Ambalau. Kisah selanjutnya bersumber dari Hikayat Tanah Hitunya Imam Rijali. (Lihat: Kekalahan Mengerikan di Tanah Hitu)

Pembahasan

Pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu dipimpin oleh seorang Raja atau Hukom dengan Empat Perdana yang membawahi tigapuluh negeri (gelaran) dengan tujuh punggawa (Pimpinan Uli). Kedudukan Raja atau Hukom sulit untuk dibedakan, karena keterbatasan referensi. Dari kisah yang ternarasikan di atas memperlihatkan peran Hukom Abubakar Nassidik yang begitu besar laiknya seorang raja.

Pergolakan awal leluhur Tanah Hitu melawan Portugis yang dipimpin oleh Hukom Abubakar Nassidik dan Empat Perdana serta ketujuh Punggawanya (lihat: Kekalahan Mengerikan di Tanah Hitu); menggunakan sistem gerilya ditandai dengan mundur disaat terdesak ke Mamala, Ulu Kolol (Ulu Pokol?) akhirnya ke Luciela (daratan Huamual di sebelah Luhu sekarang). Hukom Abubakar Nassidik kembali ke Tanah Hitu untuk mengkonsolidasikan kekuatan dengan membuat basis pertahanan di bukit Hatunuku.

Pertemuan antara Sultan Baabullah dengan empatpuluh orang utusan Empat Perdana dimanfaatkan Portugis untuk membuat opini bahwa penculikan terhadap Sultan Baabullah ini juga dibantu oleh orang Hitu. Kunjungan balasan Hukom Abubakar Nassidik ke Ternate, sepertinya menjadi pencerahan bagi pihak kesultanan Ternate dengan mengirimkan Kimelaha Rubohongi dan keluarganya serta para pangeran (Kaicil) Ternate serta pasukannya untuk menyerang Portugis yang sudah membuat basis pertahanan di Mamala.

Rubohongi merupakan orang kepercayaan dan pembantu utama Babullah. Setelah Babullah dinobatkan sebagai Sultan Ternate, ia mengirim Rubohongi ke Ambon (1570) sebagai Salahakan untuk menggantikan ayahnya, Samarau, yang sudah tua. Di bawah Rubohongi, Ternate berhasil memantapkan posisinya atas Seram, Buru dan sekitarnya. Rubohongi juga berlayar ke Tomimi dan mempersembahkan Teluk Tomimi di Sulawesi Tengah kepada Kesultanan Ternate. Rubohongi mempunyai lima anak: Jumali, Angsara, Kasigu, Dayan, dan Basaib. Jumali, putera pertama Rubohongi, memiliki seorang putera bernama Sabadin, yang menurunkan Majira. Pada masa pemerintahan Sultan Hamzah, Majira menjadi Salahakan, dan melakukan pemberontakan melawan VOC. (Lihat: Hubungan Cerita Sejarah Tanah Hitu di Ambon dan Ternate Bagian Satu).

Perjalanan sejarah kolonialisme  di Maluku, dapat digambarkan dengan video yang berjudul "This is the spice island history according to Indonesia coloniser  history", yang menjelaskan kepentingan bangsa penjajah akan rempah-rempah dimulai dari Banda, Mamala (Ambon) dan Ternate sebagai berikut:





Referensi

Imam Rijali, Hikayat Tanah Hitu, source www.anu. edu. au

Amal Adnan M, Kepulauan Rempah-Rempah, available at
www.batukarinfo.com/system/files/Sejarah%20Kepulauan%20Rempah-Rempah.pdf

Nusaniwe, available at 
http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Noessanive.403p

Hatoenoeko, available at
http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Hatoenoeko.435p

Valentijn F, 
Oud en Nieuw Oost-Indiƫn: vervattende een naaukeurige en uitvoerige, available at
https://books.google.co.id/books?id=1XtEAQAAMAAJ