Sabtu, 01 Oktober 2016

Pengorbanan Halaene sang Raja Mamala Untuk Tanah Hitu (Ambon)



Pendahuluan

Mamala sebagai suatu negeri terbentuk jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Islam Tanah Hitu di Ambon.  Mamala adalah ulisiwa bersama dengan Halong, Hatiwe, Hutumuri dan Baguala.  Mamala termasuk dalam uli Saylesi dengan pimpinan atau raja yang bergelar Latu Polonunu.  Peralihan dari ulisiwanya Mamala menjadi ullima setelah kedatangan Mihirsihul dari Kesultanan tertua Jailolo yang merupakan ayah dari Jamilu {Klan Nusatapi di Tanah Hitu} {Gb 1}, Kiyai Pati atau Ulima Sitaniya dan Sallat. Keberadaan Mamala sebagai negeri akhirnya tenggelam bersama dengan terbentuknya Kerajaan Islam Tanah Hitu, yang keberadaannya muncul bersamaan dengan perlawanan imperialisme Portugis. Latu Polonunu pertama Mamala sewaktu sudah menjadi Ulilima adalah Mihirsihul. Peninggalannya yang masih ada di Mamala saat ini adalah Bendera Harimau Champa  dan Bendera Latu Liu. Halaene yang merupakan cicit dari Jamilu  menjadi pimpinan uli Saylesi sekaligus menjadi Hukom di Tanah Hitu. Penyebutan ulisiwa dan ulilima merupakan budaya asli Ambon, bukan adopsi dari Tidore {Ulisiwa} dan Ternate {Ulilima}, seperti yang dijelaskan oleh Ziwar Effendi.{1,2,3,4} Pemaparan ini sekaligus memaparkan bahwa Klan Nusatapi adalah leluhur Mamala sekaligus raja Uli Saylesi yang bergelar Latu Polonunu. Dalam uraian yang panjang ini juga menjelaskan landaad tahun 1637 tentang dua raja yang dimaksud adalah raja negeri Mamala dan raja negeri Hitu {bukan dua raja dalam Kerajaan Tanah Hitu}, sekaligus menjelaskan Kakiali yang kemudian menggantikan Halene namun tidak tertulis dalam Landaag tahun 1637 dan kenapa Samusamu kemudian menjadi raja setelah meninggalnya Kakiali.


Gb 1. Silsilan Klan Nusatapi / Silsilah Jamilu {Latu Polonunu}


Era Kedatangan Belanda di Maluku

Di Maluku terdapat dua pulau terbesar yakni Buru dan Seram selain Ambon yang jauh lebih kecil, sekitar lima puluh kilometer panjangnya. Ambon memiliki teluk yang menjorok dalam  pulau ini dan membagi menjadi bagian utara dan bagian selatan,serta hanya dihubungkan oleh tanah genting yang sempit. Bahkan sebelum munculnya Ternate dan Tidore, teluk ini adalah tempat yang popular pelabuhan perdagangan. Ibukota pada waktu itu di daerah pinggiran air besar Mamala {Way Solopay}, bagian utara Ambon. Sebagai hasil dari perdagangan, selain orang Jawa, orang Melayu juga banyak tinggal di sana dan banyak bahasa Melayu dituturkan di pelabuhan. Islam ditemukan pertama kali di antara para imigran ini dan kemudian di antara yang lainnya penduduk Tanah Hitu. Populasi selatan teluk Ambon mempertahankannya kepercayaan tradisional. Sementara Tanah Hitu sendiri tidak mengejar penaklukan untuk meluaskan wilayahnya, perlu waktu yang cukup lama untuk mempertahankan kemerdekaannya dari Ternate dan Tidore {Gb.2} Sebelumnya posisi Kerajaan Islam Tanah Hitu berada dalam posisi sejajar dengan Ternate sekembalinya Pati Tuban {Pati Putih} yang merupakan anak mantu Jamilu, sekaligus Perdana ke empat dan Sultan Zainal Abidin {Sultan Ternate} pulang berguru dari Sunan Giri untuk sertifikasi pembentukan Kerajaan Islam. Pada akhir abad keenam belas, mereka menjadi milik Ternate.{5}

Gb.2 Ternate, Hitu dan VOC


Ambon bagian Selatan adalah yang paling penting pada akhir abad keenam belas karena menjadi basis Portugis, setelah mengalami pengusiran dari masyarakat Tanah Hitu sewaktu mereka mau mendirikan banteng di pesisir barat Mamala yakni Pikapoli atau Hasamuling {Gb.3}. Yakni tempat pertama kali Portugis disambut oleh Jamilu. Pada bulan Maret 1599, untuk pertama kali dikunjungi oleh kapal Belanda, milik armada Belanda Jacob van Neck. Sub-komandan mereka adalah Jacob van Heemskerk, keduanya hibernasi di Nova Zembla tahun sebelumnya.  Masyarakat Tanah Hitu, berharap bantuan Belanda untuk membantu melawan Portugis, tetapi Belanda datang hanya untuk berdagang. Setahun kemudian skuadron Belanda lain tiba, di bawah Steven van der Hagen yang bersedia memberikan bantuan militer. Aliansi formal antara Belanda dan Tanah Hitu kemudian dibentuk pada tahun 1600, tetapi Van der Hagen gagal menaklukkan benteng Portugis yang kuat.{5}

Gb.3 Pikapoli atau Hasamuling {Dikutip dari ref no 14}

Portugis kemudian memutuskan untuk mengambil tindakan drastis untuk mengakhiri Belanda memasuki di kepulauan Indonesia. Sampai pada tahun 1601 hanya tersisa  tiga puluh armada kapal perang dari Malaka. Tujuan pertama Portugis adalah pelabuhan Banten, tetapi akhirnya mereka mengangkat blokade ini setelah mereka diserang oleh lima skuadron kapal Belanda, yang menenggelamkan beberapa kapal Portugis. Selepas kemenangan di pantai Bantam ini, prestise Belanda di Jawa mencapai puncaknya. Portugis segera pindah ke Ambon, mereka menuju Tanah Hitu  untuk memberikan hukuman karena telah beraliansi dengan Belanda. Kemudian mereka mencoba menaklukkan Ternate, tetapi ternyata mereka juga tidak berhasil. Armada Portugis babak belur dan kembali ke Malaka. {5}

Karena ekspedisi yang gagal ini, posisi Portugis di Maluku  sangat lemah baik secara militer maupun politik. Pada akhir 1604, para pemimpin Tanah Hitu membuat permintaan bantuan mendesak  kepada Van der Hagen yang sedang bersama dengan armada dari Belanda yang telah tiba di Bantam, sekarang di bawah bendera VOC. Van der Hagen kemudian berlayar ke Ambon untuk upaya baru menaklukkan benteng Portugis. VOC mendirikan pos pertama di Mamala. Kali ini  Portugis segera menyerah.  Belanda mengambil Victoria. Tak lama kemudian mereka juga menguasai benteng Portugis di Tidore.  Ini berarti akhir dari Pemerintahan Portugis di Maluku. {5,6,7}

Ambon sebenarnya menjadi koloni pertama Belanda pada Februari 1605. VOC menganggap Ambon Selatan {Leitimor} diambil alih dari Portugal, sebagai wilayahnya sendiri di bawah "hak penaklukan". Bahkan Kapitan Hitu membuat perjanjian baru setelah kapitulasi Portugis dengan VOC, di mana ia menjanjikan setia selamanya kepada Belanda dan Perusahaan. Dalam perjanjian yang sama, mereka menyatakan tidak akan memasok cengkeh kepada orang lain selain Belanda. Sementara 1600 perjanjian itu masih disimpulkan berdasarkan kesetaraan, Hitu dianggap sebagai "Eternal Covenant" pada tahun 1605, tetapi sebenarnya adalah pengikut Belanda.{5}
Semua ini membuat VOC berpusat Ambon.  Sedangkan tempat lainnya merupakan cabang VOC, seperti Banten, Jakarta dan Ternate, dan semua tunduk pada otoritas lokal; yang ada di Ambon.{5}

Era Kedatangan Belanda Menurut Hikayat Tanah Hitu {Dari Disertasi Manusama} {8}

Pada saat itu, ada kekalahan dan kemenangan di kedua sisi. Saya menyebutkan kemenangan Muslim atas orang-orang kafir: pertama kemenangan atas kapal di Bandan, kedua atas yang lain di pantai Hitu dan ketiga bersama dengan armada Bandan atas yang lain dan keempat akhir dari sekoci bersenjata dan kelima pengeringan layar persegi. Aku tidak memberitahumu lebih banyak. Dan orang-orang kafir juga meraih kemenangan atas umat Islam, sejak pertempuran suci di Ambon berlangsung tujuh puluh tahun dari pertempuran Don Duarte  hingga pertempuran melawan Furtado. Ketika Furtado belum tiba, sebuah kapal Belanda di bawah pimpinan van Warwijck voer op 3 Maart 1599 tiba di Hitu. Ia memasuki teluk Hitu dan orang-orang Tanah Hitu bertanya kepada mereka, "Dari mana Anda berasal dan apa nama negara Anda?" Dan mereka menjawab: "Kami datang dari Belanda  dan gelar raja kami adalah Pangeran". Orang-orang Tanah Hitu berkata, "Bolehkah kami meminta armada Anda untuk membantu kami?" Mereka berkata: "Mengapa itu tidak boleh. Itu mungkin, tetapi biarkan Pangeran dan raja-raja besar di Belanda tahu itu, sehingga kita dapat mendengar dari mereka perintah apakah itu diizinkan atau tidak." Keempat perdana berkata, "Jika demikian, maka sampaikan pesan ini dari kami terlebih dahulu. Apa yang akan menjadi keinginan Pangeran dan para bangsawan, haruskah kita pergi ke sana atau dikirim ke sini?" Dan dengan hadiah sebagai bukti Ambon, mereka berlayar kembali ke Belanda untuk menyampaikan pesan kepada para penguasa besar Belanda. Ketika Monsun Barat tiba, Kapten Admiral datang.

Steven van der Hagen tiba di Ambon pada tanggal 2 Mei 1600. Mereka bertemu empat perdanas dan menyimpulkan kesepakatan tentang pembayaran dan memutuskan apa yang harus dilakukan: Suatu tindakan yang tidak konsisten dengan adat akan ditinggalkan oleh kedua belah pihak. Sebagai hadiah disepakati: Jika benteng itu ditaklukkan, orang Hitu membayar empat ratus Bahar kepada Belanda. Benteng dan senjata serta orang kulit berwarna milik orang Tanah Hitu dan kulit putih milik Belanda. Jika sebuah kapal ditangkap, empat puluh Bahar harus dibayar. Kapal dan senjata serta kulit putih adalah milik Belanda, orang kulit berwarna untuk Tanah Hitu. Kemudian dia pergi ke Kota Laha dan menjelajahi benteng Portugis. Dan mereka  berlayar kembali ke Belanda dan menyerahkan semua janji kepada Pangeran Oranye dan para penguasa besar di negeri Maurice. Enam orang yang disebut orang penting, ini adalah pedagang besar dan kaya, terkenal di Belanda, adalah pemilik kapal dagang yang berlayar ke negara-negara Leeward. Dan saya katakan, seperti yang telah dilaporkan kepada saya, bahwa setelah kapal berlayar, kapten Portugis berkata kepada empat perdana, "Ayo, mari kita berdamai dan memulihkan ketertiban di tanah Ambon." Tetapi keempat perdanas menolak, karena mereka ingat perjanjian dengan Laksamana Steven van der Hagen. Karena mereka tidak ingin melanggar perjanjian itu, kedua belah pihak bertarung tanpa henti sampai kedatangan Furtado.

Kisah kedatangan Furtado. Ketika Furtado datang dengan armadanya Ambon 9 Februari 1602, ia menyerang negeri Hitu. Dan negeri Hitu dipindahkan ke Gunung Binau dan dia memanjatnya dan bertempur di sana. Setelah beberapa waktu dia menaklukkan gunung itu pada tanggal 7 April 1602 dan semua negeri tunduk kepadanya. Perdana Tubanbesi dan orang kaya Patiwani dibawa pergi oleh orang-orang kafir yang terkutuk itu, sementara empat perdana melarikan diri ke tanah Besar {Huamual}. Orang-orang kafir menyerang Negro Luhu, Lasidi dan Kambelo. Kemudian mereka menyerang negeri Iha dan orang-orang Iha  keluar dan melawan mereka. Setelah waktu yang singkat, perintah orang-orang kafir dipatahkan karena mereka dilempari batu oleh negeri itu, yang mengenai kepala Furtado di kepala, dan kemudian mereka mundur dan kembali ke Kota Laha. Itu adalah akhir pertarungan Antoni Furtado di Ambon. Dan saya menceritakan tentang pengalihan dari empat perdanas ke Tanah besar {Huamual}. Perdana Tanihitumesen menetap di Anin dan perdana Pati Tuban menetap di Waiputih dan perdana Nusatapi menetap di Gamusungi, yaitu negeri Luhu. Dan Kapitan Hitu naik perahu untuk mencari bantuan sejauh Seram. Dan dia bertemu dua kapal Belanda  dari armada di bawah Wolphert Hermanszoon dan dia mengajukan pertanyaan: "Di mana penjaga armada?" Dan jawabannya adalah, "Penjaga armada ada di Bandan." Kemudian Kapitan Hitu berlayar ke Bandan dan bertemu dengan kapten Belanda dan keduanya mengadakan diskusi dan musyawarah. Empat orang dibawa ke kapal oleh penjaga armada yakni Hatumenabessy, Hatuwaila ibn Syatu-ela, Lessy dan Waran setelah itu mereka pergi, dan Kapitan Hitu-pun kembali ke Ambon.

Ketika Monsun Barat tiba, sebuah kapal lain datang ke Ambon dan menemui empat perdanas. Dan keempat perdanas memerintahkan Mihirjiguna, putra Kapitan Hitu, dan pahlawan Sibori, putra Tubanbesi, untuk pergi dengan kapal bersama mereka berdua untuk memenuhi armada. Dan ketika mereka tiba di Jawa, setelah mereka akhirnya tiba di tanah Banten, mereka terus menunggu. Setelah beberapa waktu, armada muncul dan Mihirjiguna dan pahlawan Sibori bertanya, mengatakan, "Dari mana datangnya armada ini dan kepada siapa milik armada ini?" Dan mereka menjawab: "Armada ini adalah armada Belanda, berasal dari tanah Maurits dan armada ini milik Pangeran Oranye dan komandan armada ini adalah laksamana Matelief  dan Steven van der Hagen. Dan Mihirjiguna berkata, "Kemana kamu pergi?" Dan mereka menjawab, "Kami mencari musuh kami, yang disebut Portugis." Kemudian Mihirjiguna dan pahlawan Sibori berkata, "Pergilah bersama kami ke Ambon, karena musuh itu ada di Ambon." Dan mereka, pada gilirannya, menjawab kata-kata Mihirjiguna: "Jika itu berguna, kita akan pergi bersama ke Ambon." Kemudian Mihirjiguna menggambar perjanjian itu dan menunjukkannya kepada Laksamana Matelief  dan Steven van der Hagen.  Isinya berbunyi: "Jika benteng itu ditaklukkan, kami memberikan empat ratus cengkeh bahar. Benteng dan senjata milik orang Tanah Hitu dan dari pendudukan orang kulit berwarna kembali ke orang kulit berwarna dan orang kulit putih ke orang kulit putih. kapal ditaklukkan, diberikan empat puluh bahar.Kapal dan senjata  serta orang kulit putih dan kapal mereka, adalah milik Belanda.

Setelah ini, ketika hari yang baik telah tiba, mereka berlayar dengan Mihirjiguna dan pahlawan Sibori ke Ambon dan memasuki benteng benteng Portugis. Setelah kedatangan mereka, kapten Portugis meminta mereka bertanya pada dengan mengatakan, "Dari mana datangnya armada ini?" Mereka menjawab: "Armada ini dari Belanda". Dan mereka berkata kepada kapten Portugis, "Tinggalkan negara ini." Dan kapten Portugis berkata, "Mengapa Anda berbicara demikian.  Mengapa kita harus meninggalkan tanah ini milik kita?" Dan sang laksamana berkata: "Bukan kamu milik negara ini, karena yang lain adalah pemilik negara ini. Mereka telah memberikannya kepada kita dan mereka ada di samping kita." Kemudian Mihirjiguna dan pahlawan Sibori dibawa keluar dan kapten Portugis terdiam dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Keesokan paginya kunci-kunci itu diserahkan dan diserahkan kepada para laksamana dan Portugis meninggalkan benteng dan menetap di luarnya. Dan mereka diberi haluan, dan Anda berlayar kembali ke tanah mereka. Lalu kata adminraals Cornelis Matelief  dan Steven van der Hagen ke Kapitan Hitu dan empat perdanas: "Apa yang harus kita lakukan dengan benteng ini?" Dan Kapitan Hitu dan orang kayas berkata, "Yang terbaik adalah jika kita menghancurkan benteng itu dan membuangnya ke laut." Laksamana dan Steven van der Hagen berkata: "Memang benar, apa yang Anda katakan, tetapi kami telah mengambil benteng itu karena kami akan mencuri seorang pria dari istrinya. Lalu ketika pria itu datang untuk menemukan istrinya, di mana tempat untuk mengambilnya? jawab? Tempat itu tidak lain adalah benteng, dan dari sana kita akan melawannya. " Kapitan Hitu dan empat perdanas berkata: "Jika seperti yang dikatakan para laksamana, kami mengizinkan Belanda menduduki benteng itu, tetapi melaksanakan apa yang harus dilakukan oleh benteng dengan orang-orang kulit berwarna. Belanda hanya memiliki perintah dan di sana naik". Laksamana Matelief  dan Steven van der Hagen berkata: "Kami setuju, jika demikian dikatakan." Kemudian  Frederik Houtman diangkat menjadi gubernur benteng Ambon. Laksamana Matelief  dan Steven van der Hagen pulang dengan armada mereka untuk melapor kepada Pangeran dan para bangsawan di Belanda.

Ketika Monsun Barat tiba, armada itu kembali ke Hitu dan (kemudian) menuju Kota Laha . Baginda Cili Ali dan kimelaha Aja dan hamba raja Ambalau datang untuk bertanya kepada para laksamana, dengan mengatakan, "Ambon sudah terbebas dari bahaya. Mari kita pergi ke Maluku untuk membantu Ternate." Dan Laksamana Matelief dan Steven van der Hagen berbicara dan kedua Laksamana itu menjawab: "Jika memiliki kelebihan, kami ingin pergi ke Maluku". Baginda Cili Ali dan kimelaha Aja berkata, "Mengapa berbicara tentang manfaat lagi, sekarang Kapitan Hitu mengatakan bahwa upahnya untuk kita semua." Laksamana itu berkata, "Mengapa apa yang sudah berlalu harus diulangi lagi?" Kiyaicili dan Kimelaha berkata, "Jika Anda berbicara demikian, beri tahu kami apa yang diinginkan laksamana, agar kami dapat mendengarnya." Admirals Matelief dan Steven van der Hagenmengatakan: "Beri kami hasil dari tiga negeri dan kami akan pergi ke Ternate". Kiyaicili Ali dan kimelaha dan hamba raja berkata, "Apa tiga negeris itu?" Para laksamana berkata: "Kami bertanya pada Luhu, Lasidi dan Kambelo, ketiga negeris di negeri itu". Kimelaha dan Kiyaicili menolak, dan para laksamana bersikeras. Kimelaha dan Kiyaicili berkata, "Mari kita pulang dulu, besok kita akan bicara lagi",dan mereka kembali ke rumah. Kapitan Hitu dan empat perdanas Hitu dipanggil dan Baginda Cili Ali berkata kepada kimelaha dan semua orang kaya: "Apa yang akan kita lakukan, ketika negeri Ternate sedang dalam kesulitan". Mereka menjawab: "Keinginan mereka adalah hasil dari tiga negeris. Jika kita memberi bahwa kita melakukan kesalahan, kita tidak memberikannya, maka kita juga bertindak salah. Apa yang bisa kita lakukan sekarang?" Kapitan Hitu berkata: "Ternate telah dihancurkan, dan di samping itu semua harta benda telah dirampok oleh orang-orang kafir itu. Semoga dengan kehendak Tuhan yang paling tinggi dan dengan restu dari agama nabi Allah, Tuhan memberkatinya dan memberikan keselamatan kepadanya, negeri Ternate dan kerajaan dipulihkan. Dari mana harus datangnya kompensasi kepada penghuni istana pangeran? Karena seluruh populasi - dan Tuhan yang tahu yang terbaik - dalam kesulitan, hasilnya hanya bisa datang dari Ambon. Ketika tiba saatnya bagi subyek untuk kembali dan Ternate untuk dikembalikan ke kejayaannya, hasilnya akan cukup mengalir ke Ternate di masa depan. " Dan dia berkata, "Jika armada itu ingin membantu Ternate - Insya Allah - pembayaran akan ditanggung oleh Hitu." Setelah itu, Kimelaha dan Kiyaicili berbicara dengan Admirals Comelis Matelief dan Steven van der Hagen dan semua kapten armada.

Kapitan Hitu berbicara dan semua kapten setuju dengan kata-katanya dan Kapitan Hitu berbicara kepada orang banyak dan para laksamana berkata: "Izinkan putra Kapitan Hitu ikut dengan kami sehingga kami bisa membawanya ke Pangeran dan para penguasa di Belanda. ". Putra Kapitan Hitu, Wansa  Halaene, diberi izin untuk menemani para laksamana ke Maluku. dan akhirnya mereka tiba di Ternate. Sebuah benteng dibangun, di negeri Melayu. Seluruh penduduk kembali ke Ternate, dan Yang Mulia Sultan Mudafar, putra Sultan Said Aldin, bayang-bayang Tuhan di dunia, diangkat menjadi raja, dan gubernur serta tentaranya ditempatkan di darat untuk menjaga benteng. Kemudian armada berlayar dan membawa Wansa Halaene, putra Kapitan Hitu, dan putra raja Nusaniwe dan putra orang kaya Lakatua dan putra orang kaya Hehuat ke Belanda, Halaene; Laurens, putra Don Marcus, Hukom  Hatiwe; Martinho, putra Antoni Hehuwat, kepala Tawiri; Sibori, saudara Femando dari Nusaniwe; yang terakhir meninggal di Channel pada 1608. Saya katakan bahwa pada masa Gubernur Houtman, seorang laksamana bernama Simon Hoen datang dengan armadanya. Dia membagikan banyak hadiah dan mengucapkan kata-kata yang menyanjung sehingga semua orang Ambon akan memenuhi keinginannya. Lalu datanglah seorang laksamana lain, Pieter Both, yang membawa Wansa Halaene kembali ke tahu. Dia juga murah hati, dan kemudian Gubernur Houtman pergi, karena tinggal Gubernur Houtman adalah enam tahun 1605 – 1611 . Jasper Jansz diangkat menjadi gubernur, yang hanya bertahan selama tiga tahun  1611 - 1615

 Pada saat itu, jenderal, Gerard Reynst, datang. Dia datang dari Batavia, pergi ke Maluku, dari Maluku dia datang ke Ambon, lalu ke Bandan, dari Bandan dia kembali ke Ambon. Pada saat itu, negro Luhu dan Kambelo menerima Inggris, yang menetap di Kambelo. Gubernur Jasper Jansz mengirim armadanya ke pantai Kambelo untuk membiarkan Inggris pergi, tetapi mereka tidak mau. Kedua belah pihak dengan keras kepala menempel pada posisi mereka, dan kedua belah pihak menembak dan menembak. Setelah beberapa waktu, jenderal Gerard Reynst datang dan perdana Kapitan Hitu mengirim seseorang ke kimelaha Syabidin, karena kimelaha itu adalah penguasa tanah Ambon; karena itu ia diperintahkan untuk melakukannya menanyakan. Kimelaha Syabidin berkata: "Mengapa saya harus bertanya lagi, sekarang saya sudah mengusirnya dari negeri Luhu. Bahwa mereka sekarang di negeri Kambelo adalah di luar pengetahuan saya. Biarkan jendral melakukan apa yang diinginkannya tetapi jenderal harus adil, karena tempat di mana Inggris tinggal adalah wilayah pangeran Ternate dan negeri Kambelo tunduk pada pangeran Ternate. Kemudian Jenderal Reynst dan Gubernur Jasper Jansz memerintahkan agar mereka mengangkat senjata untuk menyerang Kambelo.
Dan perdana Kapitan Hitu berkata kepada jenderal dan gubernur: "Bersabarlah agar kami dapat mengirim seseorang ke orang kaya di Kambelo. Jika mereka mendengarkan kami - Puji Tuhan - kami ingin berhubungan baik dengan mereka. sayangnya kita tidak bisa berbuat apa - apa ". Dan sang jenderal dan gubernur setuju dengan kata-kata Kapitan Hitu itu, dan sebuah pesan nasehat dan tulus dikirim ke orang kaya di negeri Kambelo. Dan mereka mengikutinya, dan kemudian mereka pindah ke pantai Eran, dan Belanda memasuki negeri itu, dan Inggris pergi, naik ke kapal mereka, dan berlayar kembali ke tanah mereka. Dan sang jenderal dan gubernur kembali ke Kota  Laha. Dan Arend Blok dipromosikan menjadi gubernur 1615-1618  sebagai penerus Jasper Jansz dan ia kembali ke Batavia dan gubernur Arend Blok menetap di benteng Ambon. Pada waktu itu timbul keresahan, sehingga terjadi perkelahian melawan negeri Kristen, yang menjadi sasaran Belanda, bernama  Hutumuri.

Setelah beberapa waktu mereka didamaikan oleh Kapitan Hitu dan tidak ada lagi gangguan. Ketika setelah beberapa waktu tahun yang ditunjuk untuk tujuan itu Arend Blok kembali dan Herman van Speult diangkat sebagai penggantinya .

Peran dan Akhir Perjalanan Halaene Sang Raja Mamala

Pada 1606 Matelief de Jonge, pemimpin armada yang mencoba menaklukkan Malaka dari Portugis, membawa serta tiga putra Maluku tengah kepala-kepala "untuk mengangkat mereka menjadi pangeran."  Salah satunya adalah Halaene, sang putra Kapitan Hitu, yang ketika itu berusia dua puluh tahun melakukan perjalanan jauh ke Belanda dan kembali ke Ambon pada 1611. Belanda berharap akan politik kekuasaan Halaene akan mengikuti Belanda ketika dia menjadi Hukom di Tanah Hitu. {Gb.4}  VOC telah memastikan kesetiaan ayahnya dengan memberinya  sebagai lisensi perdagangan perkebunan dan cengkeh terbaik Ambon. Politik yang luas dari jaringan keluarga Kapitan telah membantu perusahaan melawan Portugis, tetapi pada 1630-an mereka telah menjadi  ancaman potensial bagi kepentingan VOC sendiri. Halaene menjadi musuh VOC ketika ia menolak kesepakatan perdagangan yang telah disetujui oleh ayahnya. {9}

Gb.4 Halaene IRaja Mamala} dengan Gelar Latu Polonunu

Sewaktu kedatangan Jans Pieterschoen di Kota Laha, didengar oleh Kapitan Tepil.  Kapitan Tepil segera memikirkan upaya apa yang diberikan buat masyarakat Banda, setelah mengetahui tujuan Jan Pietershoen yang hendak menuju Banda. Kapitan Tepil yang berhutang budi terhadap bantuan masyarakat Banda sewaktu perang melawan Portugis, segera memikirkan hal ini. Dalam pertimbangan beliau saat itu yakni jika  tak mampu menolong dengan persenjataan apalagi dengan makanan, maka sebaiknya dengan nasehat {perkataan}. Kapitan Tepil bersama enam orang lainnya segera bergabung dengan angkatan tersebut, Kemudian Halaene ibn Kapitan Tepil  bersama tiga puluh anak-anak orang kaya lainnya mengikuti dengan kapal Inggris di belakangnya. Ketika angkatan sudah masuk di pantai Lonthor dan berlabuh di pelabuhan Kumber. Kapitan Tepil berkata kepada jenderal untuk menunggu sampai beliau menanyakan kepada orang-orang kaya Tanah Banda untuk mau berdamai atau tidak.  Jenderal menyambut perkataan Kapitan Tepil dengan menyebutkan bahwa mereka bukan meminta untuk berdamai, tetapi untuk berperang. Sekalipun demikian jenderal akhirnya mengikuti kemauan Kapitan Tepil. Maka Kapitan Tepil segera naik dan pergi menuju negeri Salamon dan bertemu dengan orang-orang kaya Tanah Banda semuanya.{10}

Kapitan Tepil membuka percakapan dengan menyebutkan bahwa beliau bukan utusan jenderal. Kedatangannya bersama-sama jenderal, karena mengingat hubungan baik antara Tanah Hitu dan Tanah Banda sejak dulu. Selanjutnya  dia berkata, yang hanya bisa dia lakukan hanya dengan memberikan masukan dan nasehat, karena tidak bisa dengan memberikan makanan dan senjata. Sambil  mengatakan tidak ada daya, tetapi hal ini merupakan pekerjaan yang benar, tidak dapat kita cegah perbuatan itu, tetapi ikhtiar dulu kepada budi akal kita supaya jangan sampai menyesal kemudian, demikian Kapitan Tepil menjelaskan. Sambil menegaskan kelengkapan empat pada orang-orang Kaya Banda yakni kelenegkapan negeri, kelengkapan senjata, kelengkapan manusia dan kelengkapan makanan.  Jika sudah lengkap hadapi;ah, tetapi jika belum maka berdamailah dulu. Para orang Kaya menolak dan terjadilah perang antara keduanya, hingga banyak penduduk Banda yang mengungsi ke Seram dan Gorom, sebagian lagi dievakuasi oleh bantuan dari Makassar. Sekembalinya Kapitan Tepil dari Banda. Mihirjiguna menghadap kepada ayahnya Kapitan Tepil ke Batavia, untuk bernegoisasi dengan Belanda tentang nasib masyarakat Banda.Mihirjiguna meninggal dalam perjalanan pulang karena sakit. {10}

Sejak meninggalnya Mihirjiguna, Halaene kemudian diangkat menjadi Hukom di Tanah Hitu.  Halaene orang yang tegas, pembawaanya seperti raja ada padanya, pembawaannya seperti bendahara {perdana} ada padanya, dan pembawaannya seperti hulubalangpun ada padanya. Kemana-mana dia selalu membawa senjata. Halaene dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Halaene di sebut sebagai “Capitein Caus”, dikarenakan sebagai seorang Hukom, dia berperan sebagai Kapitan Hitu, terutama sewaktu ayahnya sedang ke Batavia. Upayanya memasukkan negeri negeri ulisiwa masuk ke dalam kekuasaan Tanah Hitu. Perilaku Halaene yang tanpa kehadiran ayahnya Tepil yang dianggap berlebihan oleh Samusamu yang merasa lebih tua dan merasa tidak anggap keberadaanya. {1,3,10}

Terlahir dalam keluarga yang sangat berpengaruh, terbina dalam sebuah keniscayaan yang membentuk pribadinya menjadi pemuda pemberani, tangguh, bijak, dan cerdas dalam banyak hal. Dialah Unus Halaene putera kedua Kapitan Tepil, cucu dari Hukum Abubakar, dan cicit dari perdana Jamilu atau kapitan Hitu pertama pada kerajaan Tanah Hitu. Kendatipun tumbuh dan besar dalam keluarga bangsawan, namun sifatnya tetap merakyat, tidak sombong dan sangat bermurah hati kepada masyarakat kurang mampu. Kedermawanan dan kebaikannya bukan saja dikenal di Tanah Hitu, akan tetapi terkenal pula di seantero Tanah Ambon. Disisi lain dalam dirinya mengalir darah Ksatria, menjadikan Unus Halaene seorang yang tegas dan keras dalam menyikapi permasalahan-permasalahan besar, tidak suka mentolelir kesalahan-kesalahan fatal. Hal ini ditunjukkannya ketika ayahnya, Kapitan Tepil melakukan kunjungan ke Batavia. Selama kapitan Tepil di Batavia, tidak ada perang maupun fitnah yg terjadi di Tanah Ambon dan sekitarnya, Orang-orang Belanda pun tidak berani berbuat semena-mena terhadap rakyat, gubernur Belanda paling segan dengan sosok yang satu ini, sehingga Belanda membuat siasat jahatnya, dan meracuni Halaene. Karena beliau diracuni Belanda maka wafat lah beliau sekitar tahun 1631, mendahului ayahnya. Sepeninggal Halaene maka adiknya yang bernama Kakiali  dinobatkan menjadi Hukom Tanah Hitu{Gb.5}. Sebelum kemudian menjadi Kapitan Hitu. Jabatan Kapitan Hitu dan Hukom merupakan jabatan tertinggi di Tanah Hitu, jabatan ini secara turun temurun, dengan gelar adatnya Latu Polanunu, Raja Mamala, sebagian orang menganggapnya sebagai Raja Tanah Hitu, yang berkedudukan di wilayah Mamala sekarang. {1,3,10}

Gb 5. Kakiali Menggantikan Halaene

Seperti orang-orang Ternate, orang orang tanah Hitu {Hituese}  menyambut hangat orang Belanda karena sentimen anti-Portugis . Selama pemerintahan kapitan Hitu Tepil, 1602-1633, hubungan Belanda-Hitu cukup baik, alasannya antara lain karena Tepil sendiri menyadari bahwa  kekuatan militer Eropa adalah fenomena yang bisa berakibat fatal bagi setiap orang negara adat yang menentangnya. Dia pernah mengalami ini sendiri tahun 1602, ketika orang Hitu menderita kekalahan yang mengerikan di tangan pasukan ekspedisi Portugis di bawah komando Andrea Furtado de Mendonya. Belanda, melihat Tepil sebagai orang berpengaruh yang kerjasamanya sangat diperlukan untuk stabilitas dari wilayah tersebut. Meskipun demikian ada beberapa situasi yang bisa dengan mudah memicu terjadinya konflik terbuka antara Hitu dan VOC, seperti harga cengkeh, membebaskan akses kepada pedagang  asing dari Asia, dan kontrol atas sejumlah negeri di bagian barat pulau Ambon, seperti Larike, Wakasihu, Tapi, Uring, dan Asilulu. Secara menyeluruh hubungan umumnya tetap baik (Tiele 1886: 211-212, 223; Knaap 1987b: 8, 18). Sekitar tahun 1630, bagaimanapun, Kebijakan Tepil dipertanyakan oleh banyak orang Hitu, khususnya oleh desa-desa di bagian  Timur, yang berkumpul  di Kapahaha dengan Samusamu yang merupakan anggota elit Hitu lainnya (Rumphius 1910: 69; Knaap 1987b: 82-87). {11}

Karena kepentingan strategis dan ekonomisnya, Belanda mempertahankan dan memerhatikan Hitu,dan menggunakan setiap kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak pengaruh dalam urusan internal tanah Hitu . Kejadian-kejadian ini kapan saja terjadi khususnya bila seorang anggota elit yang berkuasa meninggal dunia maka seorang penerus harus dinominasikan (Knaap 1987b: 84-85). Kesempatan seperti itu muncul dengan sendirinya pada kematian Tepil pada bulan April 1633. Menurut Rumphius, almarhum lebih memilih adiknya, Latu Lisalaik, sebagai  penggantinya, pendapat yang tampaknya sejalan dengan bagian tertentu dalam Hikayat Tanah Hitu. Namun, untuk menghindari konsentrasi kekuatan lebih lanjut di tangan satu orang, Belanda berhasil membagi  fungsi Tepil menjadi  tiga pesaing utama untuk suksesi: Latu Lisalaik menjadi kepala desa Hila saja, sementara saudara lelaki lainnya, Barus, menjadi kepala klan Nusatapi, yang otomatis membuatnya menjadi salah satu dari klan Nusatapi empat perdana yang secara tradisional memerintah negara. Akhirnya, Tepil putra tertua yang masih hidup, Kakiali, menjadi kapitan Hitu. Posisi dari kapitan Hitu adalah kepemimpinan yang paling bergengsi dan berpengaruh di tanah Hitu  (Rumphius 1910: 96; Manusama 1977: 59, 60, 126,128). {11}

Kakiali segera berangkat dengan rencana anti-Belanda, bekerja sama dengan kimelaha dan menyematkan harapannya pada koalisi kekuatan dengan kesultanan Makassar yang kemudian berkembang pesat. Untuk menghentikan  perkembangan,ini pada bulan Mei 1634 Gubernur Anthonie van den Heuvel melakukan penangkapan mengejutkan dua belas pemimpin Hitu terkemuka, termasuk Kakiali. Kakiali dituduh mencoba bergabung dalam koalisi anti-Belanda. Dalam beberapa hari, semua pemimpin yang ditangkap,dibebaskan kecuali Kakiali dan Tamalesi, kepala desa Wakal. Kakiali dan Tamalesi dipenjara. Pada 1636 (tidak menjelang akhir 1635 sebagai Rumphius secara keliru menyatakan) bahwa mereka diangkut ke Batavia. Dalam Sementara itu, karena kebencian pada intervensi Belanda, hamper seluruh tanah Hitu telah bangkit untuk melawan Belanda (Rumphius 1910: 104-105, 114-116, 124; VOC 1116: 188v- 189r). {11}

Apa yang terjadi di tanah Hitu pada saat perkembangan dramatis  di wilayah VOC sendiri? Kakiali dan Tamalesi masih menjadi tawanan. Lawan utama Kakiali yakni Kayoan yang merupakan perdana Tanahitumesen yang baru saja dinominasikan sebagai Kapitan  Hitu sementara, pergi ke Batavia  dan beberapa pemimpin lain untuk mencoba membebaskan Kakiali. Kayoan melakukannya karena dia menyadari bahwa pembebasan Kakiali adalah satu-satunya cara memulihkan persatuan dan kedamaian di tanah Hitu. Sewaktu Kayoan kembali ke Ambon pada awal 1636, ia tampaknya ingin sekali  dinominasikan sebagai kapitan Hitu, saat itu oleh Gubernur Jenderal sendiri. Fakta mengejutkan lainnya adalah pencalonan Latu Lisalaik, yang sudah memegang gelar kehormatan orangkaya Bulang, untuk menjadi perdana Nusatapi yang sudah diduduki Barus, saudaranya sendiri. Latu Lisalaik  sama sekali tidak senang dengan penunjukan barunya; dia secara terbuka menolak untuk menerima Itu. Dalam percakapan dengan otoritas lokal VOC di akhir April dia menyatakan bahwa Gubernur Jenderal tidak memiliki hak untuk  mencalonkan staf  pemerintahan di tanah Hitu, sama seperti dia sendiri tidak memiliki hak untuk mempromosikan Gubernur Belanda Ambon menjadi raja. Populasi penduduk tanah Hitu tetap tinggal di benteng pedalaman mereka dan tidak ingin ada hubungannya dengan Belanda,terkecuali pengikut terdekat Tanahitumesen dan Latu Lisalaik. Menjelang akhir tahun 1636, Latu Lisalaik memimpin delegasi kedua dari tanah Hitu ke Batavia untuk mengurus pembebasan Kakiali (Colenbrander 1899a: 232; Knaap 1987b: l40, 141, 149-151). {11}

Pada 25 April 1637, Van Diemen tiba di Hila dengan Hitu. Di Hitu, VOC lawan telah membentengi diri mereka sendiri di dua tempat, Wawani dan Kapahaha. Yang paling anti-Belanda adalah orang-orang Wawani, yang terdiri uli Nau-Binau, Leala, dan Hatunuku, dan sebagian Sawani. Di Kapahaha berkonsentrasi pada uli Saylesi, yang lebih menguntungkan menuju rekonsiliasi dengan Belanda dibandingkan dengan Wawani. Sejak awal krisis, Wawani menuntut pembebasan Kakiali dan Tamalesi sebagai prasyarat untuk negosiasi lebih lanjut. Akhirnya, Belanda memutuskan untuk menggunakan umpan ini. Alhasil, Kakiali,  kembali dengan Van Diemen dan sekali lagi menawarkannya kerjasama untuk menenangkan Hitu, diangkut dengan Tamalesi dari Victoria ke Hila sehari sebelum Van Diemen tinggal di sana (Enkhuizcn 399: 65, 67, 82, 176, 180, 183, 184). Melalui Latu Lisalaik, para pemimpin Wawani mengirim kabar bahwa mereka siap untuk bertemu dengan Van Diemen. Kakiali dan Tamalesi dibebaskan pada 26 April. Mereka pergi segera ke Wawani, di mana semua kepala desa berkumpul untuk mempersiapkan delegasi ke Gubernur Jenderal. Tamalesi juga membantu dalam melibatkan Kapahaha dalam proses perdamaian. Akhirnya, pada 3 Mei, delegasi dari Wawani dipimpin oleh Barus, akting perdana Nusatapi, hadir untuk Van Diemen di Hila. Pada kesempatan itu diputuskan bahwa orang Hitu juga akan berpartisipasi dalam landdag di Castle Victoria itu dijadwalkan untuk bulan itu. Keesokan harinya, Van Diemen berangkat dari Hila, membawa serta Kakiali, yang pembebasannya harus menunggu landdag (Enkhuizen 399: 186--189, 194-199). {11}

Sementara itu, tidak ada kemajuan dalam hubungan di antara  Hitu dan Belanda. Para pemimpin utama tidak menunjukkan keinginan untuk berkunjung Gubernur Jenderal di Victoria. Karena itu, pada 20 Mei, Van Diemen memutuskan untuk memberikan Kakiali kebebasan penuh. Kakiali mendapat sambutan hangat oleh pengikutnya di kembalinya yang pasti ke Wawani, dan para pemimpin di sana membuat resolusi terakhir untuk menghadiri landdag (Rumphius 1910: 149; Enkhuizen 399: 210.212, 213). Pada 31 Mei, Kakiali dengan delegasi 100  orang menghadiri landdag,  tidak hanya dari Hitu sendiri tetapi juga dari Uring, Asilulu, Wakasihu, Tapi, Alang, dan Lilibooy. Kedua pihak dengan cepat sepakat untuk memulihkan perdamaian dan memperbarui perjanjian yang lama. Belanda dijanjikan monopoli cengkeh, yang berarti bahwa Hitu harus menahan diri untuk tidak menerima pedagang asing ke pantainya. Di kembali Van Diemen mengizinkan Hitu mengembalikan pemerintahan tradisionalnya. Kakiali menjadi kapitan Hitu {Gb.6}. Kayoan, perdana Tanahitumesen, kehilangan posisi kapitan Hitu dan diberi judul kehormatan orangkaya tua sebagai gantinya. Barus secara resmi dipulihkan sebagai Perdana Nusatapi di tempat Latu Lisalaik yang tua dan sakit, yang tidak pernah menginginkan posisi ini. Soulisa adalah perdana Totohatu dan Beraim-ela perdana Patih Tuban. Hitu juga menyatakan  mereka adalah teman dan bukan subyek dari Sultan Tcrnate dan bahwa mereka tidak memiliki klaim apa pun ke desa Uring, Asilulu, Larike, Wakasihu, Tapi, Alang, dan Lilibooy. Pada bulan Juni saya, baik Hitu dan sekutu mereka dari desa terakhir bersumpah setia kepada Belanda. Akhirnya, Gubernur VOC yang baru, Johan Ottens, mengambil sumpah  dia akan melindungi dan mengenali Hituese sebagai teman dan sekutu sejati Republik Belanda (Karlsruhe 480: 179v-186r; Enkhuizen 399: 2 16).{11}

 
Gb.6  Kakiali sebagai Kapitan Hitu {Latu Polonunu/ Raja Mamala}


Silsilah Raja Mamala sejak Uli Lima

Yang tercatat pernah menjadi Raja Mamala, sebagai berikut:
  1.  Mihirsihul
  2. Jamilu
  3. Abu Bakar {Healatu}
  4.  Kapitan Tepil
  5.  Halaene 
  6.  Kakiali
  7. Haniayi 
  8. Samusamu   
  9. Sibori 
  10.  Bangay  
  11. Kakipati 
  12. Mombo Malawat {1727}



Catatan:
Keberadaan Samusamu yang merupakan ayah dari Tulukabesy, kemudian menjadi  raja Mamala, dipastikan karena campur tangan Belanda yang berupaya merusak tatanan adat masyarakat Tanah Hitu.  Keberadaan dan peran Latu Polonunu dalam lani kapata {Gb.7} Di dalam kapata atau nyanyian adat (lannea) masyarakat Hitu seperti yang dituturkan langsung kepada peneliti oleh penulis buku “Lani Nusa, Lani Lisa” sebagai berikut:{12}

Gb.7. Peran penting Latu Polonunu di Tanah Hitu {Dikutip dari ref no.12}


Upu hatta rulu-u, hai uli halawang-e
Upu latua polanunu, hai uli kassalessy
Rele Hitu-o, sairele Hitu-o
Sai rele Hitu tumbah nisa nurua sei pare
Upu monia lolo helu, uli nau hena helu
Upu wakai surinaya, hai uli solemata
Upu titai wa’a Hitu, hala tita nusa Hitu
Hala tita nusa hitu, ile uli kassalessy

Lani tersebut kurang lebih terjemahannya sebagai berikut:
Empat tuan turun {datang} dari Uli Halawang
Tuan Latu Polonunu dari Uli Saylesi
Mengitari Tanah Hitu, mendayung sekitar Tanah Hitu
Mendayung sekitar Tanah Hitu, terpancar
Seberkas cahaya terang benderang
Tuan Mony baru menuju Uli Nau Hena Helu
Tuan Wakang sudah masuk dari Uli Solemata
Tuan yang perintah di Tanah Hitu, dialah Uli Saylesi

Latu Polonunu yang memerintah di Tanah Hitu yang dimaksud adalah Jamilu, Kapitan Hitu pertama sekaligus raja Mamala kedua. Fakta sejarah ini kemudian membuat sejarawan Ambon Maryam Lestaluhu, membuat kesimpulan yang rancu, menyimpulkan bahwa Mamala, Hitu dan Hila termasuk dalam Uli Halawang. {Gb.8}

Gb 8. Maryam Lestaluhu  {Sejarawan Ambon} keliru membuat kesimpulan {ref no 13} 


Daftar Pustaka

1. Rhumpiuus, DE GENERALE LANT-BESCHRIJVINGE VAN HET AMBONSE GOUVERNEMENT of De Ambonsche Lantbeschrijvinge
2. WM Abdul Hadi, Dari Hitu Ke Barus,Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,2008 hal:12
3. Valentijns F,Oud en Niew Oost-Indien, hal 106
4. Eric Hiariej,dkk, Identitas Lokal dan Nasional dalam Konteks Modernitas Global,2017
5. Burgers Herman,DE GAROEDA EN DE OOIEVAAR,Indonesiƫ van kolonie tot nationale staat
,KITLV Uitgeverij Leiden 2011, hal 13-38
6. Mamala, available at http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Mamala.440p
7. Indonesia. List of Dutch Colonial Forts and possesions available at https://www.colonialvoyage.com/indonesia-list-dutch-colonial-forts-possessions/
8. Hikayat Tanah Hitu, Available at: http://gw.peter.bakker.name/haghen/Hikayat.htm
9. Ricci Ronit, Exile in Colonial Asia, Kings, Convicts, Commemoration, University of Hawai Press, Honolulu,2016R
10. Hikayat Tanah Hitu, Sifar Ar Rijal {Imam Ridjali},Sumber: www.anu.edu.au
11. Knaab GJ, Crisis and Failure War and Revolt in The Ambon Islands, 1636-1637, Royal Institute of Linguistic and Anthropology, Leiden, Cakalele Vol.3. 1992
12. Abdurahman, Sejarah Sosial Kerajaan Hitu Ambon, Puslitbang Lektur dan Khasanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RI, 2012
13. Assagaf H, Posisi Islam dalam Sejarah Pemerintahan Negeri Adat di Pulau Ambon, Dialektika, Vol 9 no 2, Januari Desember 2015

14.Pattikayhatu, JA, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984