Senin, 07 September 2020

Pengaruh "WaliSongo" terhadap Champa di Vietnam dan Mamala di Tanah Hitu {Ambon}

 

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan bagian dari penjelasan  “Misteri Sembilan Bendera Panji Islam Mamala” dan “Bendera Bergambar Harimau Champa atau Cheetah / Citah” yang bertujuan menjelaskan hubungan  dari “Bendera LatuLiu” dengan Syeikh Ibrahim As-Samarqandy {Ibrahim Zain al-Akbar} yang mengislamkan raja Champa “Che Bong Nga”. Pemahaman dan pembahasan tentang Wali Songo dalam menjawab misteri bendera Latu Liu, menjadi sangat penting mengingat bendera Latu Liu mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Champa dilihat dari seluruh gambaran bendera. Sekaligus mencoba menjawab latar belakang Jamilu yang mengantar anak mantunya {Pati Putih} berguru ke Sunan Giri seperti dikisahkan dalam Hikayat Tanah Hitu. Penjabaran ini juga penting untuk melihat hubungan emosional yang erat antara Majapahit, Demak dan Mamala di Ambon, hingga akhirnya Ratu Kalinyamat memberikan bantuan sewaktu Tanah Hitu berperang melawan Portugis. Selain hal itu, juga untuk menegaskan perbedaan penokohan antara Syeikh Maulana Malik Ibrahim dan Syeikh Ibrahim Asmarqandy serta kaitannya dengan Syeikh Jamaluddin Al Akbar yang terkenal dengan sebutan Syeikh Jumadil Kubra.

Perbedaan Silsilah Wali Songo

Gambar 1. Silsilah Wali Songo


Syeikh Ibrahim As Samarkand dan Syeikh Maulana Malik Ibrahim adalah dua wali yang berbeda, namun sering dikaitkan dengan tokoh yang mengislamkan raja Champa. Dari Champa menuju Maja[ahit. Penyusuran silsilah Wali Songo merupakan upaya yang rumit, dikarenakan banyak literatur yang memberikan keterangan yang berbeda.

Syeikh Ibrahim Zainuddin Al Akbar As-Samarqandiy

Chermin adalah negara Majapahit saat itu. Sayyid Ali Nurul Alam, sang putra dari Jumadil Kubro yang menjabat sebagai patih di bawah koordinasi Mahapatih Gajah Mada. Putranya kemudian melanjutkan posisi Raja Champa pada tahun 1471-1478, namanya Sultan Maulana Sharif Abdullah Mahmud Umdatuddin alias Wan Bo Tri Tri. Beliau mempunyai anak bernama Syarif Hidayatullah yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jati. Sebelumnya, anak JumadilKubro lainnya yakni Ibrahim Zainuddin Al Akbar As-Samarqandiy alias Ibrahim Asmoro, menikah dengan putri Raja Champa bernama Candra Wulan, salah satu anaknya adalah Sunan Ampel yang lahir di Champa, beliau  adalah  paman dari Sunan Gunung Jati.{19} {1}

Putri Champa menikah dengan raja Majapahit Brawijaya V yang makamnya masih bisa ditemukan di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Slamet Muljana menulis buku berjudul “Runtuhnya Umat Hindu-Jawa kerajaan dan munculnya negara-negara Islam di Nusantara, ”mengacu kepada Babad Tanah Jawi / Serat Kanda. putri Champa yang menjadi istri Raja Majapahit Angkawijaya, dinamai Dwarawati hingga melahirkan Retna Ayu. Putri Champa Dwarawati wafat 1320 Tahun Saka dan dimakamkan Secara Islam di Citrawulan (sekarang Trowulan). Putri Campha adalah seorang Muslim. Dia Diyakini bisa mengajak Prabu Brawijaya V masuk Islam setelahnya menikahinya. Sebab, dalam ajaran Islam,  perkawinan beda agama dilarang. {1}

Champa telah menjadi kerajaan Islam sejak Raja “Che Bo Nga” yang berkuasa Diislamkan oleh Sayyid Hussein Jumadil Kubro. Namanya Sultan Zainal Abidin. Sultan Zainal Abidin berkuasa pada 1360 dan kemudian meninggal dalam perang dengan orang-orang Viet pada tahun 1390.  {1}

Salah satu tokoh yang memiliki andil besar dalam keberhasilan islamisasi di Jawa adalah Ibrahim Asmarakandi. Ia disebut-sebut sebagai cendekiawan Muslim sekaligus sufi yang merupakan keturunan asmara-kandi (Samarkand)  Ia juga dikenal sebagai salah satu dai yang berfokus pada Champa dan Indonesia khususnya Jawa. Ia juga ayah dari Raden Rahmat (Sunan Ampel), salah satu dari sembilan wali terkenal (Sembilan wali) yang juga berhasil menyebarkan Islam tidak hanya di Jawa tetapi juga di Indonesia. Ironisnya, keberhasilannya menjadi salah satu ulama terkemuka terutama dalam upaya-upaya islamisasi yang juga menghubungkan Samarkand, Champa, dan Jawa diabaikan oleh para sejarawan. Salah satu buktinya adalah fakta bahwa nama Samarkand tidak pernah disebut-sebut sebagai tokoh penting dalam proses awal islamisasi di Indonesia. Kedatangan Islam serta penyebarannya selalu berkorelasi dengan Gujarat, Malabar, Bengal, Colomader, Persia dan Arab Saudi.{2}

Ada banyak transkrip historiografi Islam periode pertama yang menyatakan bahwa Ibrahim berhasil mempromosikan Islam di masyarakat dan membangun komunitas Muslim yang sebenarnya menjembatani Samarkand, Champa, dan Jawa. Keberhasilan ini tidak lepas dari jalur yang ditempuh selama kegiatan usaha islamisasi yang dilakukannya. Sebagai gambaran, sebelum fokus ke Jawa, ia tinggal lama di Champa dan berhasil membangun komunitas muslim di daerah tersebut. Setelah mengislamkan champa, ia melanjutkan islamisasi di Sumatera dan akhirnya menetap di Gisik.Proses pembentukan komunitas Muslim di Champa yang melibatkan Ibrahim Asmarakandi dimulai saat ia tiba di daerah tersebut . Meski menempuh rute yang panjang untuk menuju Champa dari asalnya, perjalanannya ke Champa dianggap logis mengingat hubungan baik antara Turkistan dan kaisar Cina dari Dinasti Yuan. Salah satu buktinya adalah dengan diangkatnya beberapa orang Turkistan sebagai pejabat di istana negara. Selain itu, diasumsikan juga kuat bahwa mereka juga membangun hubungan baik di daerah Champa mengingat komunitas Muslim sudah ditemukan di Champa sejak abad ke-10. Mereka telah memiliki otonomi yang dikenal sebagai tokoh da'i Islam dan menjadi pembantu kaisar Cina sejak abad ke-15. Di sini, Salah satunya adalah Laksamana Cheng Ho yang terkenal. {2}

Pada abad ke-14 hingga 15 M, Champa dikenal sebagai kerajaan besar dan merupakan konfederasi dari lima provinsi; masing-masing dipimpin oleh satu pangeran. Provinsi tersebut adalah Indrapura, Amarawati, Vijaya, Kauthara, dan Panduranga. Kemuliaan kerajaan itu terjadi pada era Che Bong Nga 1360-1390 M. Ibrahim Asmarakandi berhasil memasukkannya ke dalam agama Islam dan namanya diubah menjadi Sultan Zainal Abidin. Daerah ini merupakan kota terkenal yang banyak dikunjungi oleh para pedagang di dunia pada awal abad 15 M, termasuk India dan timur tengah.  {2}

Penting untuk dicatat bahwa kedatangan Asmarakandi dan usahanya dalam dakwah Islam mengganggu otoritas saat itu. Beberapa penguasa bahkan mengeluarkan instruksi untuk menghukum semua orang di daerah itu yang mengikuti atau masuk Islam. Ia pun mengeluarkan perintah untuk menghukum Ibrahim. Kondisi ini membuat Ibrahim memutuskan untuk berhenti dan pindah tinggal di gunung Singasari yang  masih di daerah Champa. Dia mulai mengislamkan komunitas di daerah baru itu. Kegiatannya berdakwah di wilayah baru ini juga menimbulkan kemarahan di kalangan penguasa saat itu yang kemudian memutuskan untuk menghukumnya dengan hukuman mati. Untungnya, sebelum Ibrahim dieksekusi, penguasa Champa meninggal dunia. Keuntungan bagi Ibrahim adalah raja baru itu memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang Islam dan Ibrahim Asmarakandi. Faktanya, dia kemudian masuk Islam dan bahkan menikahkan putrinya dengan Ibrahim. Di sini, Ibrahim memiliki dua orang putra yaitu Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kini dikenal sebagai Raja Pandhita dan Sunan Ampel. Kisah-kisah ini dapat ditemukan di Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Tjirebon. {2}

Keberhasilan Ibrahim Asmarakandi menjadi lingkaran dalam keluarga kaisar tidak dapat disangkal memainkan peran penting dalam membantu dakwah Islam di Champa. Tidak dapat disangkal bahwa Islam telah ada di daerah itu sejak abad ke-10 M dan ini terjadi sebelum kedatangan Ibrahim di daerah tersebut. Namun, penyebarannya masih tidak signifikan dan penyebaran Islam serta komunitas Muslim menjadi lebih kuat dan mapan secara signifikan, ketika seorang yang disebut “ Syarif Auliya” datang ke daerah itu. Beliau kemudian  dikenal sebagai Syarif Ibrahim Zainuddin al-Akbar. Beberapa sumber seperti babad dan serat menyatakan bahwa Syarif Auliya adalah Syeikh Mahdum Ibrahim Asmara atau Ibrahim Asmarakandi. {2}

Ibrahim Asmarakandi menawarkan arah baru bahwa islamisasi pada era awal di Indonesia sebenarnya berawal dari Samarkand. Selain itu, kajian tersebut juga menunjukkan bahwa pendekatan dakwahnya adalah tasawuf. Oleh karena itu, meskipun hasil kajian tersebut tidak serta merta mengubah fakta yang diyakini secara umum tentang asal mula penyebar Islam pertama di Nusantara, setidaknya akan memberikan posisi yang kuat bagi wawasan dan pandangan baru bahwa Samarkhand telah memainkan peran yang tidak dapat disangkal. peran penting dalam proses islamisasi di Nusantara (Indonesia). Ibrahim, bersama keluarga dan rekan-rekannya, telah menjadi orang terdepan dalam proses islamisasi di Jawa dan daerah lain di Indonesia sejak tahun 15 Masehi. Oleh karena itu, relatif benar jika Samarkhand diberi posisi yang setara dengan Gujarat, Malabar, Bengal, Kolomander, Persia dan Arab Saudi dalam hal peran-peran awal era islamisasi di Indonesia. Selain itu, kajian ini juga akan menghasilkan pengakuan tasawuf sebagai pendekatan yang cukup efektif sejarah proses islamisasi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Ibrahim adalah seorang sufi yang hebat dan juga karena fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Ibrahim memang menggunakan tasawuf sebagai pendekatan dakwahnya. {3}

Walaupun ada kesamaan pandangan bahwa Islam mulai masuk ke Indonesia sejak berkembang di Makkah dan Madinah, namun pada masa syahabat, catatan sejarah hanya menemukan data sejak kedatangan Ibrahim Asmarakandi. Hal ini dibuktikan dengan diterimanya masyarakat Jawa, dari masyarakat kelas bawah sampai elit, terhadap Islam dan terhadap Asmarakandi serta para keturunannya dan disini termasuk Sunan Ampel. Oleh karena itu, sangat relevan untuk menyebutnya sebagai pelopor dan bapak Islamisasi di Jawa.  {3}

Ibrahim Asmarakandi atau Ibrahim Al-Samarkandi diperkirakan lahir pada paruh awal periode 14 Masehi. Berdasarkan babad tanah Jawi, ia dikenal sebagai Makdum Brahim Asmara atau Maulana Ibrahim Asmara. Kata “Asmara” atau Asmarakandi sepertinya merupakan hasil pengucapan dari dialek Jawa. Selain itu, juga cukup terlihat bahwa kedatangan Asmarakandi ke Champ sebelum datang ke Jawa menggunakan media perdagangan di Asia yang berpusat di Samarkand. Historiografi Islam mencatat dengan jelas bahwa Samarkand telah menjadi bagian penting sebelum 15 M sejarah islami. Hal tersebut tidak lepas dari penerimaan dan juga dukungan dari otoritas pada saat itu untuk perkembangan ilmu pengetahuan di Samarkand.  Wewenang atau penguasa pada saat itu tidak sekedar membatasi perannya dalam menjalankan pemerintahan tetapi juga mendapat dukungan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. {3}

Era migrasi Ibrahim Asmarakandi diperkirakan terjadi pada era Dinasti Timurid (1370 M-1506 M). Samarkand, terutama di bawah kekuasaan Timur Lenk (1336-1405 M), tidak hanya menjadi pusat perkembangan Islam tetapi juga pusat seni arsitektur, ilmu sekuler modern. Ia juga memainkan peran penting dalam perdagangan di Asia dan merupakan kawasan perdagangan strategis yang menghubungkan dua benua. Ulugh Bek (1409–1499) yang menggantikan Timur Lenk terkenal karena memiliki pengetahuan yang dalam dan luas tentang Islam serta peran aktifnya. dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya melalui perguruan tinggi atau yang biasa disebut Madrasah di Samarkand. {3}

Salah satu poin penting dari penuturan ini adalah bahwa Ibrahim Asmara-kandi, tidak seperti pemahaman pada umumnya, bukanlah Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang populer di Muslim Nusantara sebagai dai atau dai pertama yang menyebarkan Islam di Jawa. Bahkan dalam historiografi Jawa, Ibrahim diidentifikasi sebagai Maulana Malik Ibrahim. Identifikasi yang salah ini menyebabkan rumitnya mempelajari kisah hidupnya termasuk silsilah dan silsilah keluarganya. Faktanya, kekeliruan ini juga membawa konsekuensi lain, yakni penyangkalan Ibrahim Asmarakandi sebagai tokoh sejarah sendiri. Menariknya, situs kuburan dan gapura serta bilik masjid yang ada di dalam kawasan purbakala menunjukkan letak yang berbeda serta jaman yang berbeda dengan yang dimiliki Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Cerbon, Syekh Ibrahim Asmoroqondi adalah putera Syekh Karnen dan berasal dari negeri Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini otentik, berarti Syekh Ibrahim as-Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand, melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena negeri Tulen yang dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tuylen, kepulauan kecil yang terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhstan, tepatnya dia arah barat Laut Samarkand.Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim Asmoroqondi disebut dengan nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Seperti dalam sumber historiografi lain, dalam naskah Nagarakretabhumi, tokoh Molana Ibrahim Akbar disebut sebagai ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan Raja Pandhita dan Sunan Ampel. {3}

Gambar 2. Silsilah Wali Songo dikutip dari referensi no 6
Gambar 2. Silsilah Wali Songo dikutip dari Ref no. 6


Selain karena sangat sulitnya mendapatkan kepastian dalam mendefinisikan dan menentukan nama asli atau asli dari Ibrahim Asmara-kandi, hal ini dikarenakan adanya kekurangan yang dibuat oleh historiografi Jawa yang mengidentifikasikannya sebagai Maulana Ibrahim, bahkan lebih dari itu. sulit untuk melacak silsilah keluarganya. Sofwan dkk. menyatakan bahwa Kitab Purwaka Caruban Nagari dan Kitab Hikmatil Asyirah menyebutkan Syekh Ibrahim Asmarakandi sebagai putra Syekh Jamaluddin Jumadil Kubro dan ayah Sunan Ampel. Di sini, nama Ibrahim Asmarakandi disebut sebagai Ibrahim Zainal al-Akbar.Diakui, cukup sulit untuk menentukan silsilah mana atau data mana yang dapat dibenarkan sebagai yang valid. Salah satu penyebab terbesarnya adalah tidak adanya dokumen yang dapat mendukung setiap data tersebut di atas. Sebagai gambaran, narasumber yang benar-benar menceritakan kisah biografi Maulana Jamaludin Akbar Husein, Jamaluddin Jumadil Kubro, atau Jamaluddin al-Husein yang diklaim sebagai nama ayah Ibrahim hampir mustahil ditemukan. Artinya silsilah keluarga Ibrahim Asmarakandi masih menjadi misteri hingga saat ini.Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak ada satupun ahli sejarah yang menyangkal kelahiran Ibrahim di Samarkand. Ada beberapa bukti yang membuktikan hal tersebut dan salah satunya adalah adanya naskah “Usul Nem Bis” yang terdiri dari enam bab yang tersebar. secara luas di banyak sekolah tradisional (pesantren). Dalam manuskrip ini, setiap bab secara konsisten diawali dengan “Bismillah al-rahman  al-rahim”. Naskah ini ditulis oleh Ibrahim Asmara yang nama belakang diambil dari ejaan al- Samarkandi sebagai asalnya dari Samarkand di Asia Tengah. Penambahan nama daerah asal penulis sebagai nama belakang merupakan hal yang lumrah dan masih umum sampai saat ini.  {3}

Keseragaman silsilah Sunan Ampel juga mendukung anggapan bahwa Ibrahim Asmarakandi berasal dari Samarkand. Asumsi Ibrahim al-Samarkandi berasal dari Samarkand di Asia didasarkan pada tiga hal: fakta bahwa istilah Al-samarkandi dilafalkan Asmarakandi, keberadaan kitab Usul Nem Bis, keseragaman silsilah Sunan Ampel. Dalam berbagai silsilah, sosok tersebut selalu dikorelasikan dengan nama Husein bin Ali bin Abi Thalib yang asal-usulnya dikenal luas di beberapa negara besar di luar Arab khususnya di Khurasan. Untuk diketahui bahwa Khurasan pada masa itu meliputi sebagian besar Asia Tengah termasuk Samarkand.  Selain itu, ditemukannya Suluk Ngasmara atau Asmara; sebuah kitab tasawuf, yang bertanggal 15 M, juga mendukung data yang ada. Suluk ini diyakini kuat karena ditulis oleh Ibrahim Asmara-kandi yang juga digunakan oleh Zoetmulder (1990), sebagai data pembanding dalam pembahasan Kitab Sunan Bonang. Di sini, walaupun hanya membandingkan antara dokumen Kitab Sunan Bonang dan Suluk Ngasmara dari segi sastra, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa pengarang Mahdum Ibrahim Asmara adalah kakek dari Sunan Bonang. {3}

Aspek sejarah penting lainnya dari Ibrahim Asmarakandi adalah lokasi kuburan. Kebanyakan sejarawan memiliki pandangan yang sama tentang kuburan Ibrahim Asmarakandi. Secara historis, setelah sukses mengislamkan masyarakat di Champa, ia berniat membuka wilayah dakwah baru di Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit saat itu. Ia datang ke Jawa melalui pelabuhan Tuban dan pindah ke sisi timur pelabuhan untuk memulai upaya islamisasi di Gisik. Sayangnya, impiannya untuk menjadikan kawasan itu sebagai pusat islamisasi belum terwujud. Setelah tinggal di Gisik, akhirnya ia meninggal dunia dan dimakamkan di depan pantai. Kuburan selalu dianggap sakral oleh masyarakat sekitar serta sebagian besar Muslim tradisional. Makam ini dikenal dengan nama Makam Sunan Gesik atau Sunan Gesik. Sekarang, Gisik telah berubah menjadi Gisikharjo yang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Palang, Tuban-Jawa Timur. {3}

Semua pembahasan di atas memberikan petunjuk yang sangat penting bahwa Ibrahim Asmarakandi adalah salah satu dai Islam pertama di Jawa, yang profil dan sejarahnya hingga saat ini masih belum jelas. Historiografi Jawa yang mengidentifikasi dan mempersonifikasikan Ibrahim asmarakandi sebagai Makdum Ibrahim disebut-sebut menjadi salah satu faktor di balik misteri tersebut.Personifikasi yang salah ini menimbulkan berbagai pendapat sejarawan tentang latar belakang keluarga dan silsilah Ibrahim. Meskipun demikian, ada satu cara pandang yang sama di antara mereka, yaitu Ibrahim adalah seorang pengkhotbah yang berasal dari Samarkand. Selain itu, makam yang berada di tepi pantai Gesik juga merupakan hal lain yang disepakati oleh sebagian besar ahli sejarah. {3]

Setelah tinggal di Champa kurang lebih 20 tahun, Ibrahim memutuskan untuk membuka kawasan dakwah baru dan pilihannya adalah membukanya di Jawa sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi. Salah satu alasan di balik pilihan ini adalah optimisme bahwa upaya tersebut akan berhasil karena pada saat itu Jawa sebagian besar berada di bawah kekuasaan Majapahit dan terdapat hubungan yang erat antara Champa dan Kerajaan Majapahit. Ini karena salah satu penguasa Majapahit adalah ipar istrinya. Dewi Darawati, adik Dewi Condrowulan, menikah dengan Prabu Brawijaya (Raja Majapahit). Babad Walisongo menceritakan bahwa perjalanan Ibrahim ke Jawa ditemani oleh keluarga besarnya dan di sini termasuk kedua putranya, Raden Burereh (keponakannya) serta sejumlah kerabat dan teman-temannya. Mereka melakukan perjalanan menyusuri Sumatera hingga pelabuhan Palembang. {3}

Di Palembang, kedatangan Ibrahim disambut oleh Adipati Arya Damar. Adipati Arya Damar sebenarnya adalah salah satu pangeran dari Majapahit yang dipercaya sebagai penguasa di Palembang. Menariknya, dalam pertemuan mereka, Ibrahim menyempatkan diri berdiskusi tentang keyakinan mereka; mereka Islam dan Hindu. Di sini, Ibrahim menekankan aspek tasawuf dan spiritual Islam yang memiliki kemiripan dengan Hindu. Diceritakan dalam sejarah bahwa Adipati Arya Damar tergerak dengan diskusi tersebut hingga akhirnya ia masuk Islam dan berganti nama menjadi Ario Abdullah. Keputusannya menjadi seorang Muslim tidak dapat disangkal telah terbuka bagi penyebaran dan kemapanan Islam. komunitas Muslim di antara masyarakat elit di Palembang; para penguasa dan bangsawan. Akibatnya, Islam kemudian diterima oleh sebagian besar masyarakat pada tingkat status yang lebih rendah. {3}

Gambar 3. Silsilah Wali Songo Dikutip dari Ref no.6


Seperti semua sayyid Hadrami, turunan  keenam  Imam Syiah, Jafar al-Sadiq, melalui cicitnya, Ahmad al-Muhajir merupakan keturunan Nabi pertama yang menetap di Hadramaut. Silsilah untuk enam generasi berikutnya itu tetap identik dengan beberapa keluarga terkemuka sayyid Hadrami (misalnya, Mahayudin 1984: 40, 47, 50, 54-5; al-Baqir 1986: 17, 42). Nenek moyang terakhir Jamaluddin  dengan kategori sayyid adalah Muhammad 'Sahib Mirbat yang cucunya bernama Abd al-Malik, dikatakan telah menetap di Nasrabad, di India, di mana  keturunannya dikenal sebagai keluarga Adhamat Khan dan melahirkan gelar bangsawan, cucunya Ahmad bahkan dipanggil 'Syah' (al-Haddad 1403/1983: 6-7; al-Baqir 1986: 42).  Jamaluddin putranya Ahmad Jalal Shah dan anak saudara-saudaranya dikatakan telah berkumpul di seluruh Asia Tenggara, Jamaluddin sendiri pertama kali menginjakkan kaki di Champa dan Aceh, lalu berlayar pergi ke Semarang dan menghabiskan bertahun-tahun di Jawa, dan akhirnya melanjutkan lebih jauh ke timur ke 'pulau Bugis', di mana dia meninggal (al-Haddad 1403/1983: 8-11). Putranya, Ibrahim Zain al-Akbar, menikah dengan seorang putri Champa  dan melahirkan dua putra, Maulana Ishaq dan Rahmatullah, alias Sunan Ampel. Melalui putranya yang lain, Ali Nur al-Alam, Jamaluddin menjadi buyut Sunan Gunung Jati, dan melalui putra ketiga, Zain al-Alim, kakek dari wali lain, Maulana Malik Ibrahim.{4}

Jamaluddin al-Akbar ini memiliki banyak kesamaan dengan Jumadil Kubra dari babad. Al-Baqir juga memperhatikan hal ini, berkomentar bahwa buku-buku berbahasa Jawa sering salah menuliskan nama Jamaluddin sebagai Jumadil Kubra (al-Baqir 1986: 43n). Kisah Jamaluddin adalah produk dari upaya awal abad ke-20 untuk 'mengoreksi' legenda Jawa. Kubra diganti dengan Akbar yang lebih 'tepat', dan Jumadi dengan nama Arab yang paling mirip, Jamaluddin. Selanjutnya, silsilah yang lebih kredibel dibangun, sayyid Hadrami dengan nyaman juga menjadi keturunan dari Jafar al-Sadiq, seperti Jumadil Kubra dari babad. Berbeda dan seringkali legenda yang saling bertentangan yang melibatkan Jumadil Kubra digabungkan menjadi satu kesatuan yang kurang lebih koheren.[4]

Semua cerita yang dikisahkan di atas menghasilkan kesimpulan yang penting, yaitu fakta bahwa Ibrahim Asmarakandi memang mengambil peran yang sangat penting dalam proses islamisasi pertama baik di Champa maupun di Jawa. Ia berhasil menjadikan Islam tidak hanya disebarkan dan diterima oleh masyarakat umum dari kalangan bawah tetapi juga oleh masyarakat elit. Hal itu dibuktikan dengan naiknya Raja Champa menjadi Muslim dan juga dengan pernikahan Ibrahim dengan putrinya, Dewi Condrowulan. Tak hanya di champa, Ibrahim juga berhasil membangun komunitas muslim di Palembang. Terbukti dengan disahkannya Adipati Palembang, Adipati Arya Damar, menjadi Muslim. Penyebaran Islam di semua lapisan dan golongan masyarakat muslim di palembang juga terjadi di Tuban. Ibrahim dan keluarganya berhasil menjaga hubungan baik dengan para elit dan salah satu strateginya adalah melalui pilihannya untuk menikahkan cucunya dengan putra adipati Tuban. {2}

Keberhasilan Ibrahim Asmarakandi dalam mengislamkan Champa dan Jawa tidak lepas dari pendekatan tasawufnya. Penelitian Zoetmouder menemukan bahwa ia adalah salah satu sufi terkenal di masanya bahkan telah menyusun secara lengkap bukunya tentang tasawuf yang terkenal oleh masyarakat judul “Suluk ngasmara”. Buku ini diperkirakan lebih tua dari “Suluk Wujil” karangan Sunan Bonang.  {2}

Sunan Ampel {Raden Rahmat}

Setelah Syekh Ibrahim As Samarkand wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai mufti atau pemimpin agama Islam di Pulau Jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan Sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta, atau Ngampel Denta (menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsme), itu dinisbahkan kepada tempat tinggalnya, sebuah nama tempat dekat Surabaya. {5}

Menurut tradisi, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan isterinya pun berasal dari kalangan istana, bernama Nyai Ageng Manila putri seorang Adipati di Tuban, bernama Arya Teja. la dikaruniai beberapa putera dan puteri, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan isteri dari Sunan Kudus. Di antaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan mendapat restu dari penguasa kerajaan. {5}

Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuangan  Ibrahim As Samarkand. Memulai aktivitasnya dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya, yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Jawa. Agar pesantren yang didirikan di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit mendapat simpatik, mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan abad ke-15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh. Para pemuda-pemudi Islam dididik sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh pulau Jawa. Di antara muridnya Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah (Raden Fatah, putera Prabu Brawijaya V, raja Majapahit) yang kemudian menjadi Sultan Pertama dari Kesultanan Islam di Bintoro Demak (1475 M.), Raden Makdum Ibrahim yang dikenal dengan Sunan Bonang (putera Raden Rahmat), Raden Kosim Syarifuddin yang dikenal dengan Sunan Drajat (putera Raden Rahmat), Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk dakwah islamiyah disana, dan banyak lagi muballig yang mempunyai andil besar dalam dakwah Islam di Pulau Jawa, dan Madura. {5}

Sunan Ampel turut membidani lahirnya Kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibukota di Bintoro, Demak, tahun 1477 atau 1479 M. la pula yang menunjuk muridnya Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya VI Majapahit, menjadi Sultan Demak tahun 1475 M dengan gelar: Sultan Alam Akbar AI Fatah. Kota Demak terletak sekitar 25 km di selatan Kota Kudus. Karenanya, tidaklah berlebihan jika kemudian Sunan Ampel dipandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di Nusantara.{5}

Sunan Giri

Sunan Giri adalah nama salah seorang Wali Songo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di Desa Giri, Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan (nama lama dari daerah Banyuwangi) tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. {5}

Menurut tradisi Sunan Giri merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren di Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah Ba ‘Alawi Hadramaut. {5}

Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang muballigh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan (sekarang beralih nama Banyuwangi) pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit, Maulana Ishaq menikah dengan Dewi Sekardadu menurunkan dua orang putera, yakni pertama Raden Paku alias Sunan Giri dan kedua Dewi Saroh yang kemudian menjadi isteri Sunan Kalijaga. {5}

Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin  kemudian mendirikan sebuah pesantren Giri di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Sansekerta, kata ‘giri’ berarti ‘gunung’ atau ‘bukit’. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri. Zainal Abidin Sultan Ternate (1486 - 1500) adalah salah seorang yang pernah menuntut ilmu di Giri dan menjadi murid Sunan Giri Prabu Satmata. {7}  

Pesantren Giri tidak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Pesantren ini kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Sulawesi dan Maluku. {5}

Terkait peran aktif Sunan Giri dengan pesantrennya, sangat menggelitik sikap dan tindakan Raja Majapahit20, konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan, hingga kemudian Majapahit memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itu pun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan Kesultanan yang disebut Giri Kedaton. Sunan Giri memerintah Kesultanan Giri Kedaton dengan Gelar Prabu Satmoto pada tahun 1487-1506 M.22 Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. {5}

Mamala di Tanah Hitu {Ambon}

Hikayat Tanah Hitu menceritakan kisah Jamilu yang mengantar anak mantunya Pati Putih berguru pada Sunan Giri yang saat itu bersamaan dengan Sultan Zaenal Abidin dari Ternate. Hubungan emosional yang erat antara Mamala di Tanah Hitu dengan para Wali Songo terlihat ketika Tanah Hitu berperang melawan Portugis.

Catatan: Pembahasan selanjutnya pada artikel ini akan dijadikan satu dengan pembahasan pada artikel Misteri Bendera Panji Islam di Mamala.

 

 

 Daftar Pustaka

1.      Ismardi, Zulkifli, Kamiruddin, Afrizal Ahmad, THE INFLUENCE OF HINDUISM TOWARD ISLAM BANI: STUDY OF RELIGIOUS THOUGHT OF MUSLIM CHAMPA, VIET NAM,State Islamic University of Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia 20zulkifli.marjuni@uin-suska.ac.id

2.      .Anonym, THE IMMIGRATION OF MOSLEM DESCENDENTS OF NORTH-AFRICA FROM THE PHILIPPINES TO MAINLAND CHINA

3.      Mukaffa Z, A NEW ACCOUNT ON THE POTRAIT OF IBRAHIM ASMARAKANDI AND HIS SUFISM APPROACH IN ISLAMIZATION OF JAVA,UIN Sunan Ampel, Surabaya – Indonesia | zumrotul_mukafah@yahoo.com

4.      Bruinessen Van Marthin,  Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar,Traces of Kubrawiyya Influence in Early Indonesian Islam,In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150 (1994), no: 2, Leiden, 305-329

5.       Sulistiono Budi,  WALI SONGO DALAM PENTAS SEJARAH NUSANTARA,  Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ,Jakarta.

6.      Slideshare (adab-2013)lesson#-7-relationship-(adab-in following-madzhab)-(5-oct-2013)Available at https://www.slideshare.net/zhulkeflee/slideshare-adab2013lesson7relationshipadabin-followingmadzhab5oct2013

7.      H.J.de Graaf, “South East Asian Islam to The Eighteenth Century”, The Cambridge History of Islam, Editor PM Holt, Ann K.S.Lambton, Berbad Lewis, Cambridge at the University Press, 1970,

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.