Pendahuluan
Keingintahuan tentang cerita
sejarah perjalanan para leluhur di Maluku umumnya dan di Tanah Hitu khususnya
sangat besar. Sebelum era digitalisasi informasi seperti saat ini, informasi tentang hal tersebut sangat sulit
diperoleh. Kondisi saat ini memberikan
berbagai kemudahan untuk menuntaskan rasa keingintahuan tersebut. Untuk
memahami cerita sejarah Tanah Hitu, tidaklah lengkap jika hanya memfokuskan
kepada pembahasan cerita sejarah Tanah Hitu. Penggalian cerita sejarah Tanah
Hitu melibatkan banyaknya simbol-simbol sejarah kesultanan Ternate, Seram dan kaum
penjajah seperti Portugis dan Belanda. Dengan memahami simbol-simbol sejarah tersebut
akan memperkuat pemahaman tentang posisi Tanah Hitu dalam cerita sejarah di
Maluku selama penjajahan.
Situasi Pemerintahan Ternate
Silsilah Para Kimelaha di Ambon, Seram dan Sekitarnya |
Karena Maluku merupakan
jazirah kerajaan, tidak mengherankan bila gaya pemerintahannya adalah monarki
yang dielaborasi dengan unsur-unsur adat dan tradisi. Takhta adalah lambang
supremasi pemerintahan yang diduduki seorang raja sebagai pengambil keputusan
akhir atas semua urusan kerajaan dan pemerintahan. Raja dibantu suatu birokrasi
yang disebut Bobato (semacam
Menteri), yang dikepalai seorang Jogugu
(perdana menteri), yang selalu dijabat tokoh-tokoh kepercayaan raja.
Pimpinan militer dipegang seorang Kapita
Laut (Panglima Laut) yang selalu dijabat putera mahkota atau
salah seorang putera raja lainnya. Wilayah Kerajaan terbagi dalam beberapa Jiko (semacam distrik) yang dipimpin
seorang Sangaji (dari bahasa
Jawa: Sang Aji) yang disebut Jiko Ma Kolano (Kepala Pemerintahan Wilayah) yang
membawahkan sejumlah Soa (komunitas setingkat desa) yangdikepalai seorang Kimalaha.
Di samping seorang Sangaji
yang menjalankan tugas pemerintahan, raja juga mengangkat seorang Utusan
sebagai wakil pribadi raja untuk mengurus kepentingan kerajaan, seperti
mengumpulkan upeti dan tugas-tugas khusus lainnya. Pada daerah-daerah taklukan
yang bukan kerajaan, raja mengangkat seorang Salahakan (Gubernur), sementara daerah-daerah
taklukan yang sudah ada rajanya maka raja tetap memegang kekuasaan dan daerahnya
menjadi vasal.
Situasi Ekonomi
Kekayaan Maluku terutama
diperoleh dari rempah-rempah cengkih. Tanaman rempah-rempah ini mula-mula
tumbuh secara liar di pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Kasiruta. Cengkih
baru dibudidayakan mulai tahun 1450. Kekayaan akan rempah-rempah tersebut telah
menyebabkan para pedagang Cina, Melayu, Jawa, Arab, Persia, dan Gujarat datang
di daerah-daerah ini dengan membawa tekstil, beras, perhiasan dan kebutuhan
hidup lainnya untuk ditukar dengan rempah-rempah.
Para pedagang asing tersebut
meraup keuntungan berlipat ganda dari pada rakyat kerajaan-kerajaan Ternate,
Tidore, dan Bacan penghasil rempah-rempah. Tetapi para sultan, terutama Ternate
dan Tidore yang menguasai sentra-sentra perdagangan rempah-rempah, juga menjadi
kaya raya dan sangat makmur. Bahan makanan utama rakyat Maluku adalah sagu,
beras, dan ikan. Tetapi sagu dan beras tidak dihasilkan oleh
Ternate dan Tidore. Kedua jenis bahan pangan ini didatangkan dari Moro, Bacan,
Sahu, dan wilayah Halmahera lainnya.
Situasi Keagamaan
Sebelum masuknya Islam,
kepercayaan yang dianut raja dan rakyat adalah Animisme. Walaupun dalam sejarah
Indonesia dikatakan bahwa sebelum masuknya Islam, Kerajaan Majapahit yang Hindu
itu telah menguasai seluruh Nusantara, namun di Maluku tidak terdapat bukti
kesejarahan bahwa rakyat dan para rajanya pernah menjadi penganut agama Hindu.
Di kawasan ini tidak pernah ditemukan candi atau prasasti yang mengidentifikasikan
hal itu. Bertolak dari bukti-bukti kesejarahan tersebut, sangat disangsikan apakah
kekuasaan Majapahit yang besar itu pernah sempat menanamkan pengaruhnya di Maluku.
Ekspansi Ternate
Di kawasan Indonesia timur,
Ternate merupakan kerajaan terbesar dan terluas daerah kekuasaannya. Peletak
dasar politik ekspansionis Kerajaan Ternate ini adalah Kolano Ngara Malamo.
Pada masa pemerintahannya, beberapa desa di Jailolo mulai dianeksasinya. Pada
masa awal perkembangan ekspansi Ternate, patut disebutkan bahwa keluarga Fala Raha – yang
terdiri dari klan Tomaito, Tomagola,
Limatahu, dan Marsaoli – adalah pelaksana-pelaksana ekspansi Ternate.
Pada akhir abad ke-15, klan Tomaito mengirimkan
ekspedisi ke kepulauan Sula dan membawa kawasan ini menjadi daerah seberang
laut Ternate yang pertama. Untuk jasa-jasanya, Raja Ternate mengangkat klan
Tomaito sebagai Salahakan (Gubernur) kepulauan Sula dan Sulabesi.
Demikian pula, pada akhir abad
ke-16, keluarga Tomagola memperluas wilayah seberang laut Ternate ke Buru. Klan Tomagola, di bawah pimpinan Kibuba, mulai menduduki
Seram dan sekitarnya, kemudian melangkah ke kepulauan Ambon, sebelum akhir
tahun 1600. Kibuba sendiri ketika itu belum beragama, tetapi akhirnya ia
memeluk Islam dan menikah dengan Baifta Broly, puteri seorang Ternate bernama
Sehe Jumali yang bermukim di Makian. Dari perkawinan ini lahir 3 orang anak: Dudu, Samarau, dan Molicanga.
Dudu melanjutkan kepemimpinan klan Tomagola setelah wafatnya Kibuba.
Setelah Dudu meninggal,
keluarga Tomagola berada di bawah dua sub-klan, masing-masing dipimpin Samarau dan Molicanga. Dari kedua pimpinan sub-klan Tomagola itu,
Samarau yang paling menonjol. Hal ini menyebabkannya diutus Sultan Khairun
sebagai Salahakan di Ambon. Samarau mempunyai dua orang putera: Rubohongi dan Saptiron. Dari kedua putera Samarau
itu, Rubohongi merupakan orang kepercayaan dan pembantu utama Babullah.
Setelah Babullah dinobatkan sebagai Sultan Ternate, ia mengirim Rubohongi ke
Ambon (1570) sebagai Salahakan untuk menggantikan ayahnya, Samarau, yang sudah
tua. Di bawah Rubohongi, Ternate berhasil memantapkan posisinya atas Seram,
Buru dan sekitarnya. Rubohongi juga berlayar ke Tomimi dan mempersembahkan
Teluk Tomimi di Sulawesi Tengah kepada Kesultanan Ternate. (Lihat: Perjuangan Melawan Portugis di Mamala)
Rubohongi mempunyai lima anak:
Jumali, Angsara, Kasigu,
Dayan, dan Basaib. Jumali, putera pertama
Rubohongi, memiliki seorang putera bernama Sabadin,
yang menurunkan Majira. Pada
masa pemerintahan Sultan Hamzah, Majira menjadi Salahakan, dan melakukan pemberontakan
melawan VOC.
Keturunan Rubohongi lainnya
yang menjadi Salahakan adalah Luhu
dan Leilato, masing-masing adalah
putera Dayan dan Basaib. Pada masa kekuasaan merekalah Portugis mulai datang ke
Ambon (1515).Tetapi, di bawah para Salahakan klan Tomagola ini pula, Ternate mendominasi
kepulauan Amboina, termasuk pulau Buru, Ambalau, Manipa, Kelang, Buano, Seram,
Seram Laut, Nusalaut, Honimoa (Saparua), Oma (Haruku) dan Ambon sendiri.
Keluarga Tomagola secara
berkesinambungan menjadi Salahakan dan memerintah negeri-negeri di atas hingga
akhir abad ke-17. Pada akhir abad ini, Sultan Mandar Syah menyerahkan kepulauan
Amboina kepada VOC, berdasarkan perjanjian Ternate-VOC tertanggal 12 Oktober
1676. Sementara keluarga Limatahu dan Marsaoly terus melakukan upaya untuk mengokohkan
dominasi Ternate atas daerah seberang lautnya, yang menyebabkan timbulnya pengaruh
kuat di pusat kekuasaan.
Aktivitas penaklukan Ternate
paling spektakuler terjadi pada masa pemerintahan Sultan Babullah (1570-1583).
Pada masa ini, wilayah kesultanan Ternate membentang dari Mindanao di utara
sampai Bima di selatan, dan dari Makassar di barat sampai Banda di timur.
Babullah adalah Sultan Ternate terbesar dan dikenal sebagai “penguasa 72 pulau”
yang seluruhnya berpenghuni. Di masa pemerintahan Babullah, Ternate tampil
sebagai kerajaan paling kuat dan berpengaruh dalam politik maupun militer di
kawasan timur Indonesia. Bahkan pada masa ini, ketiga kerajaan Maluku lainnya
“tidak berkutik”.
Babullah, demikian rakyat menyapanya,
menurut sebuah sumber, mampu mengerahkan 90.700 tentara bila diperlukan.
Kontributor terbesar pasukan Babullah – di atas 10.000 pasukan –adalah
Veranulla dan Ambon (15.000 tentara), Teluk Tomimi (12000), Batu Cina dan
sekitar Halmahera Utara (10.000), Gorontalo dan Limbotto (11.000), serta Yafera
(10.000). Penyumbang pasukan terkecil adalah Moti dan Hiri, masing-masing 300
tentara.
Keberhasilan Babullah tidak
lepas dari keberanian dan kecakapan sejumlah panglima dan komandan tentaranya,
seperti Kapita Laut Kapalaya dan Salahakan Rubohongi. Kapalaya dalah penakluk
pantai timur Sulawesi, khususnya Buton, dan Rubohongi adalah penakluk Maluku Tengah
dan kawasan Teluk Tomimi.
Enam tahun setelah bertakhta,
Babullah sudah menguasai pulau-pulau di Ambon, Hoamoal di Seram, Buru, Manipa,
Ambalau, Kelang, dan Buano. Empat tahun kemudian, Babullah menguasai negeri-negeri
di sepanjang pantai timur Sulawesi, seperti Banggai, Tobungku, Buton, Tiboro, dan
Pangasani. Setelah itu, giliran Makassar dan Selayar serta berbagai daerah
lainnya di Sulawesi Tengah dan Utara – mulai Gorontalo dan Limbatto, Bolaang
Mangondow, Bual, Tolitoli, hingga Tomini dan Parigi – masuk ke dalam kekuasaan
Babullah.
(Lanjut : Hubungan Cerita Sejarah Tanah Hitu di Ambon dan Ternate (Bagian 2))
(Lanjut : Hubungan Cerita Sejarah Tanah Hitu di Ambon dan Ternate (Bagian 2))