Catatan Rudi Fofid – Ambon
MALUKU ONLINE, 4 September 2014
"Orang berlomba
Aku berlomba
Aku membuat satu pelarian terakhir"
Aku berlomba
Aku membuat satu pelarian terakhir"
Jalan hidup Dominggus Willem Syaranamual (Dewesy) laksana
drama pendek namun padat. Pattimura Muda dari Saparua ini menoreh sejarahnya
yang getir, mengharukan sekaligus manis. Ia berjuang melalui tulisan-tulisan
yang sastrawi. Puisi terakhirnya berjudul Pelarian Terakhir bagai nubuat untuk
sebuah pelarian abadi ke Negeri Mamala. Ia memang pelaku sejarah yang layak
dikenang sepanjang masa.
Dewesy lahir di Itawaka, Saparua, 19 Mei 1926. Ayahnya
Dorotheis Syaranamual dan ibunya Jacoba Supusepa, petani Itawaka nan sederhana,
namun sangat kukuh menanam budi pekerti kepada puteranya. Hasilnya, Dewesy
tumbuh sebagai pemuda yang halus budinya namun kuat dalam pendirian.
Demi studinya, Dewesy rela meninggalkan ayah-bunda, dan
tinggal bersama ibu angkatnya di Ihamahu. Setamat Sekolah Rendah Ihamahu tahun
1938, Dewesy masuk Sekolah Pertanian Ihamahu. Akan tetapi cita-cita menjadi
guru membuatnya pindah ke sekolah guru Volks Onderwyser Saparua. Lulusannya
bisa langsung mengajar di sekolah rendah.
Sekolah guru Volks Onderwyser Saparua pada tahun 1940-1941,
pelajaran hanya berjalan enam bulan karena Jepang datang menggantikan Belanda.
Sekolah ditutup dan baru dibuka kembali tahun 1943. Pada saat itu, Jepang
menguasai Ambon. Tentara sekutu datang menyerang Jepang sehingga Ambon hancur
lebur, penuh teror.
Melihat situasi perang, Mohammad Malawat dan sepupunya Hasan
Malawat dikirim orang tua mereka ke Saparua, sehingga mereka bertemu Dewesy.
Mohammad bahkan sebangku dengan Dewesy. Siswa beragama Islam hanya Malawat
bersaudara, Said Latar, Muhammad Haulussy, dan Arsyad Masaila.
“Siswa Muslim cuma saya dan empat lainnya,” terang Hasan
Malawat, dalam suatu wawancara semasa hidupnya, tiga tahun lalu.
Suasana peletakan batu pertama renovasi makam Dewesy di
Mamala, 29 Agustus 2014 (foto ronal regan)
|
Dari pergaulan di sekolah guru itulah, Hasan mengaku
mengetahui jiwa kepenyairan yang tumbuh mekar pada diri Dewesy dkk. “Mereka semua penyair, tapi Dewesy yang paling menonjol.
Jiwanya bagus, buah pikirannya bagus,” ungkapnya. Menurut kesaksian Hasan, Dewesy dkk senantiasa menulis puisi
propaganda demi kemerdekaan Indonesia. Tidaklah heran, mereka kerap
berurusan dengan Kantor Kempetai di Saparua. Maka demi mengelabui Kempetai,
Dewesy dkk menggunakan nama samaran. “Syaranamual pakai nama samaran Dewesy, Arsyad Masaila
memakai nama Ars, Jop Lisapaly bernama Josy sedangkan Mohammad Malawat memakai
nama Mom. Mereka semua penyair sejak masa sekolah. Tapi yang paling menonjol
adalah Dewesy,” kenang Hasan.
Kiprah kepenyairan Dewesy sudah tumbuh pada usia 16-17
tahun. Dari Saparua, ia mengirim puisinya ke Ambon. Puncak karyanya terekam
pada tahun 1949, dalam usia 23 tahun. Pada masa ini, karya-karyanya dimuat di
media terbitan Jakarta. Sebelumnya ketika menjadi pegawai Kantor Cabang
Kementerian Penerangan Negara Indonesia Timur (NIT) di Ambon tahun 1946,
Syaranamual berusia 20 tahun. Saat inilah ia banyak menulis di surat kabar Suluh
Ambon dan majalah Zaman Baru.
Jika pada masa Jepang, Dewesy dkk sering diinterogasi
Kempetai, maka setelah Indonesia merdeka, tulisan-tulisan Dewesy justru
mengundang amarah para bekas tentara KNIL yang mendukung Republik Maluku
Selatan (RMS). Ceritanya, ketika masih ada RI dan NIT, ada kelompok Eliza
Urbanus Pupella, Ot Pattimaipau, Amin Ely dkk yang berorientasi pada NKRI
melalui surat kabar Masa. Sedangkan Dewesy dkk di surat kabar Suluh Ambon berorientasi
pada NIT. Walau beda orientasi politik, kedua kelompok tetap saling menjalin
relasi dan komunikasi.
.
Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag ditandai dengan penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, kelompok Dewesy dan Pupella malah menjadi musuh RMS, sebab keduanya sama-sama menentang Proklamasi RMS. Militair Inlechting Dien (MID) yakni tentara RMS yang dikenal dengan sebutan baret merah-baret hijau makin bringas. Mereka menguasai Ambon. Wem Reawaru dari kelompok Pupella ditangkap, lantas disiksa secara keji sampai mati. MID juga mengincar Dewesy. Sebab itu Dewesy dikejar sebagai buronan. Ia terus meloloskan diri, tapi kawannya yang memberi tumpangan dan perlindungan, justru menjadi korban. Tahun 1950, Dewesy tinggal bersama keluarga Tuapattinaya di kawasan Benteng. Rumah itu terus diintai tentara MID. Makanya, supaya tak jatuh lagi korban, Dewesy memilih mengungsi ke Kubur Cina di Gunung Nona. Dalam kondisi lelah, lapar kedinginan dan sakit, penyair yang saat itu berusia 24 tahun menulis puisi berjudul Pelarian Terakhir. Dengan mengendap-endap, puisi itu dititipkan kepada seorang wartawan surat kabar Suluh Ambon, melalui jendela kantor redaksi.
.
Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag ditandai dengan penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, kelompok Dewesy dan Pupella malah menjadi musuh RMS, sebab keduanya sama-sama menentang Proklamasi RMS. Militair Inlechting Dien (MID) yakni tentara RMS yang dikenal dengan sebutan baret merah-baret hijau makin bringas. Mereka menguasai Ambon. Wem Reawaru dari kelompok Pupella ditangkap, lantas disiksa secara keji sampai mati. MID juga mengincar Dewesy. Sebab itu Dewesy dikejar sebagai buronan. Ia terus meloloskan diri, tapi kawannya yang memberi tumpangan dan perlindungan, justru menjadi korban. Tahun 1950, Dewesy tinggal bersama keluarga Tuapattinaya di kawasan Benteng. Rumah itu terus diintai tentara MID. Makanya, supaya tak jatuh lagi korban, Dewesy memilih mengungsi ke Kubur Cina di Gunung Nona. Dalam kondisi lelah, lapar kedinginan dan sakit, penyair yang saat itu berusia 24 tahun menulis puisi berjudul Pelarian Terakhir. Dengan mengendap-endap, puisi itu dititipkan kepada seorang wartawan surat kabar Suluh Ambon, melalui jendela kantor redaksi.
Esoknya, surat kabar itu memuat puisi Pelarian Terakhir.
Kali ini, tidak lagi menggunakan nama samaran Dewesy, melainkan terang-terangan
menggunakan nama lengkap Dominggus Willem Syaranamual. Alhasil, hari itu juga,
datanglah tentara MID memporakporanda kantor redaksi Suluh Ambon. Beberapa
jurnalis dipukul sampai bersimbah darah. Suluh Ambon pun dilarang terbit. Melihat situasi genting dan tak ada tempat aman untuk
bernaung, Dewesy teringat sahabat karibnya Mohammad Malawat di Mamala. Maka
setelah lewat tengah malam, dari pantai Benteng, Ia mendayung perahu ke
Rumahtiga. Dari situ, barulah ia berjalan kaki memasuki hutan Rumahtiga dan
sampai di Mamala.
Perjalanan ini membuat kondisi kesehatannya memburuk.
Apalagi, dalam perjalanan, ia hanya minum air kelapa muda. Penyakit malaria
yang dideritanya kumat dan disentri pun menyerang. Sebenarnya, pelariannya ke Mamala ini bukanlah pengalaman
pertama mencapai negeri itu. Mohammad sudah sering mengajak Dewesy ke Mamala.
Dewesy bahkan akrab dengan penduduk Mamala, yang juga bersimpatik
kepadanya. Namun kali ini, Dewesy tidak punya kesempatan bergaul dengan
orang Mamala sebagaimana kedatangannya pada hari-hari yang lain. Sebab, begitu
tiba di Mamala, Dewesy langsung masuk kamar dan terbaring sakit. Malaria berat
dan diare itulah yang membuatnya jadi lemah dan payah. Orang Mamala berjuang
mengobati sakitnya, tapi kondisi Dewesy tidak tertolong. Ia menghembuskan nafas
terakhir di pangkuan Mohammad, pada 22 November 1950, tiga hari setelah tiba di
Mamala.
Warga Muslim Mamala lantas mengurus jenazah Dewesy untuk
dimakamkan. Mereka sempat menemukan naskah tulisan tangan puisi Pelarian
Terakhir, di saku kemeja Dewesy. Pekerjaan memandikan jenazah, membuat keranda,
mengusung ke pemakaman dan menurunkan ke liang lahat, dilakukan oleh warga
Muslim. Di Mamala saat itu, terdapat beberapa guru Kristen yakni
Talakua, Soselissa, Siahaya dan Lainsamputty. Merekalah yang menyiapkan ibadah
pemakaman menurut tata ibadah Gereja Protestan Maluku (GPM). Ibadah pemakaman
dipimpin Guru Siahaya. “Orang Mamala senang dengan Syaranamual. Sebab budi
pekertinya bagus, pembawaannya bagus dan tulisannya juga manis dan tajam,” ujar
Hasan.
Menurut catatan Takaria, Dewesy punya seorang kekasih
bernama Nona Jo. Asmara Dewesy dan Nona Jo, bahkan sudah terjalin sejak masih
sekolah guru di Saparua. Keduanya tetap saling setia walau tidak sampai ke
jenjang pernikahan. Nona Jo dan orang tua Dewesy sempat dating ke Mamala.
Mereka tak bertemu Dewesy, melainkan hanya selembar foto profil Dewesy yang
dibawa pulang. Karena Dewesy mati bujang, Nona Jo pun pindah ke Bandung dan
membujang sampai usia senja.
KARYA
Setelah Dewesy tiada, beberapa usaha telah dilakukan untuk mengabadikannya, selain makamnya di Mamala. Ada beberapa buku pernah diterbitkan untuk mendokumentasikannya. Buku Balada dari Mamala ditulis Teon Teuno, diterbitkan sebagai buku pelengkap pelajaran PGSMTP Negeri Ambon tahun 1988/1989. Teon Teuno adalah nama samaran penulis dan wartawan Jop Lasamahu. Lasamahu pernah menjabat Pemimpin Redaksi harian Suara Maluku dan Ketua PWI Maluku. Buku karangannya pernah menjadi pegangan para pelajar dan mahasiswa di Maluku.
Dosen dan perempuan penyair Marianna Lewier menulis skripsi
strata satu di FKIP Unpatti Ambon. Judulnya, Puisi-Puisi Karya Dominggus Willem
Syaranamual, Suatu Tinjauan Semiotika Sosial (1993). Terakhir, tahun 2008,
muncul Biografi Dominggus Willem Syaranamual yang ditulis Drs D. Takaria.
Pusat Dokumentasi Sastra HB Yasin di Taman Ismail Marzuki
Jakarta, mendokumentasikan sebagian besar karya Syaranamual. Dari sini, barulah
diketahui sang penyair sudah punya akses dengan media-media Jakarta, pada masa
pasca kemerdekaan yang belum lancar sarana transportasi dan komunikasinya.
Karya-karya Dewesy yang sempat terdokumentasikan adalah Sesudah
Aku Hamil (prosa di Majalah Siasat, 1949), naskah drama Ibu Angkat (belum
sempat dipublikasi), dan puisi-puisi Ada Satu Cerita (Siasat, 1949), Kita Hanya
Satu (Mimbar Indonesia, 1949), Musim Cengkih (Siasat, 1949), Pasang-Surut
(Mimbar Indonesia, 1949), Sumpah (Mimbar Indonesia, 1950), Surat dari Laut
(Mimbar Indonesia, 1949) dan Pelarian Terakhir (Suluh Ambon, 1950). Puisi dan
prosa lainnya tersebar di majalah Zaman dan surat kabar Suluh Ambon, namun
tidak terdokumentasikan. Puisi Pelarian Terakhir bukan saja terkenal karena menjadi
karya terakhirnya, tetapi juga menyimpan kisah heroik dan pergulatan batin yang
utuh. Penyair Roy Lemosol sempat membacakannya di atas tanah makam, Jumat
(29/8) lalu, saat upacara peletakan batu pertama pemugaran makam.
PELARIAN TERAKHIR
Baru saja terang membenam hari
Membayang lagi mega merah asap kebakaran
Membawa makluk lari berlepas diri
Pilih ! Mati atau hidup
Membayang lagi mega merah asap kebakaran
Membawa makluk lari berlepas diri
Pilih ! Mati atau hidup
Di sini masih ada orang kuat lari
Berlomba dengan maut
Sedang aku berharap dengan laut
Berlomba dengan maut
Sedang aku berharap dengan laut
Aku turun ke laut
Tapi bukan anak laut
Aku mau tamatkan ini lembaran
Dalam kelam hari
Tapi bukan anak laut
Aku mau tamatkan ini lembaran
Dalam kelam hari
Biar dengan pedoman
Pada hanya sebuah bintang
Yang lagi bercahaya
Pada hanya sebuah bintang
Yang lagi bercahaya
Orang berlomba
Aku berlomba
Aku membuat satu pelarian terakhir
Aku berlomba
Aku membuat satu pelarian terakhir
Ambon, 1950
Bangunan makam yang sudah berusia 40 tahun yang sebagian
besarnya sudah hancur. Foto dibuat tiga tahun lalu, tidak berbeda dengan tahun
2014 (foto rudi fofid)
KOIN UNTUK MAKAM DEWESY
Saat dimakamkan tahun 1950, makam Dewesy terletak di tengah
Negeri Mamala. Tahun 1974, setelah 24 tahun, pemukiman penduduk makin padat
sehingga makam Dewesy makin terjepit. Sebab itu Raja Mamala memindahkan makam
ke halaman persekolahan Muhammadiyah Mamala. Kini setelah 40 tahun, makam yang baru itupun telah lapuk
dan rusak di bawah terik matahari dan guyuran hujan. Lumut dan tumbuhan
paku-pakuan juga membuat bahan semen menjadi keropos. Tiga tahun lalu, ketika
sejumlah penyair, jurnalis, guru dan aktivis rajin ke Mamala, mereka sempat
menengok makam tua yang sudah hancur. Dari situ, muncullah ide untuk pemugaran
makam.
Laporan media tentang kondisi makam sebenarnya sudah
diketahui pemerintah. Namun karena tidak ada upaya pemugaran, maka para penyair
dan aktivis lingkungan tergerak berinisiatif membuat aksi swadaya. Maka pada 28
Agustus lalu, bersamaan dengan peluncuran Antologi Puisi Penyair Maluku berjudul
Pemberontakan dari Timur, penyair dan pendiri Perhimpunan KANAL Maluku
menggagas aksi Koin Untuk Dewesy. Dana awal sekitar Rp 1 juta terkumpul dari
peserta diskusi. Esoknya, Raja Mamala langsung meresmikan pemugaran makam
dengan meletakkan batu pertama di atas makam, diikuti kalangan penyair dan
sastrawan, guru hingga pelajar. Sambil menunggu musim penghujan reda, Tim Kerja Renovasi
Makam yang dipimpin penyair M. Azis Tunny terus menggalang dana sukarela dari
para simpatisan. “Sebab kami tak sekadar memperbaiki makam, melainkan juga
kawasannya supaya menjadi monument persahabatan dan persaudaraan, sekaligus
menjadi asset wisata sejarah, sastra dan budaya di Mamala,” ungkap Tunny.
Seniman dan aktivis perdamaian internasional Pdt Jacky
Manuputty mendukung pemugaran makam di Mamala. Ia bahkan menyebut, makam harus
tetap di Mamala dan tidak perlu dipindahkan, sekalipun ke Taman Makam Pahlawan
Kapahaha. Kalau sampai dipindahkan, menurutnya, itu sama saja dengan mencabut
Dewesy dari akar sejarah. “Di balik makam itu tersimpan bukan cuma kebesaran seorang
Dewesy dalam bersyair, tetapi juga relasinya sebagai seorang pemeluk Kristen
dengan Masyarakat Muslim Mamala. Relasi persaudaraan melintasi batasan agama.
Bahkan sebuah lambang salibpun dibiarkan terukir di makamnya, bersama ornamen
simbolik ke-Maluku-an lainnya. Ada sejumlah kearifan lokal tersimpan di balik
tampakan simbolik itu, yang darinya kita patut belajar kembali saat ini,” papar
Manuputty.
Keharuan pada kenangan dan sejarah yang melekat pada riwayat
Dewesy, telah menjadi inspirasi berbagai kalangan masa kini. Dino Umahuk
mengaku mempunyai seorang guru imajiner dalam bersastra. Guru tersebut tidak
lain adalah Dewesy sendiri. Sementara perempuan penyair asal
Morella Faidah Azus Sialana menyatakan, semasa kecilnya di sekolah, puisi yang
dibacakan dalam lomba-lomba adalah Pelarian Terakhir. Sineas muda Rifky Santiago Husein, si “Provokator Damai”
terinspirasi dengan drama kehidupan dan kematian dewesy. Rifky kini sedang
melakukan riset awal untuk film yang akan digarapnya berjudul Pelarian
Terakhir. Judul puisi Dewesy menjadi judul film Rifky. Makam Dewesy baru akan dipugar setelah musim penghujan
berakhir, pertengahan September ini, setelah dana terkumpul. Film Rifky baru
akan digarap tahun 2015, setelah kegiatan riset dan pra produksi selesai.
Akan tetapi, melihat spirit dan respon kaum muda maupun tokoh senior seperti
Riris Sarumpaet dan Yvonne de Fretes dengan mata basah di atas makam Dewesy,
sudah terasa bahana cetusan Dewesy: Membayang lagi mega merah asap
kebakaran/ Membawa makluk lari berlepas diri/ Pilih ! Mati atau hidup.
(Maluku Online/Editor rudifofid@gmail.com)
Catatan : Kuburan Dewesy yang patut dijaga, menjadikan Mamala sebagai negeri
berkultur Islami yang kental, dengan nilai toleransi yang sudah terbukti.
Bangga sekali dengan almarhum Bapak Hi Hasan yang memperlihatkan keteladan yang
patut ditiru. Perjalanan hidup Dewesy penuh dengan nilai persahabatan, perjuangan,
percintaan dan nasionalisme putra Maluku yang patut diteladani...
Artikelnya bagus!
BalasHapusKisah perjalanan Dewesy (Minggus) sangat mengahrukan .... Mamala merupakan tempat pelarian terakhir. Keterbukaan serta toleransi masyarakat Mamala telah dibuktikan sejak zaman dahulu kala hingga saat ini.
BalasHapusHal ini jmengingatkan dan menjadikan momentum kilas balik bahwa Negeri Mamala yang secara adat merupakan Induk Uli Sailessi yg beranggotakan Negeri Latu, Negeri Loyen (Loyjen), Negeri Polut dengan salah satu soanya berasl dari Negeri Porto, Negeri Hausihol, dan Negeri Liang (Lien)...Untuk menjunjung tinggi nilai2 tradisi leluhur di Maluku yang berlandaskan nilai2 Siwalima.
BalasHapus