Gb.1. Gapura Pintu Masuk Negeri Mamala |
Seperti halnya negeri-negeri
lain, yang ada di pulau Ambon, umumnya mempunyai sejarah negerinya
sendiri-sendiri khususnya di jazirah leihitu, terdapat suatu negeri yang letaknya
di bagian paling timur jazirah leihitu yakni negeri Mamala. Desa Mamala
dibentuk atas lima buah kampung yang pada mulanya terletak di daerah pegunungan Salahutu. Karenanya penduduk desa Mamala terdiri dari gabungan dari kelima
kampung tersebut. Gabungan lima kampung itu mereka namakan Uli Sailesi,
yang terdiri dari; Latu, Polut, Hausihu, Loing, dan Liang. (Lihat :
Latar Belakang Sejarah Negeri Mamala dan Negeri Morela)
Gb.2. Tarian Hu ul (Alifuru) setiap 7 Syawal |
Terjadinya negeri Mamala sekarang ini adalah sebagai akibat politik Belanda, dimana Belanda pada waktu itu telah menguasai seluruh Tanah Hitu setelah jatuhnya benteng pertahanan rakyat, yaitu Benteng Kapahaha di tahun 1646, ke tangan kompeni Belanda yang dipimpin oleh gubernur Gerard Demmer maka untuk memudahkan pengawasan terhadap rakyat Tanah Hitu, semua penduduk yang berdiam di pegunungan diperintahkan oleh Belanda turun kepantai-pantai membuka pemukiman baru. (Lihat : Pengorbanan Halaene Sang Raja Mamala Untuk Tanah Hitu (Ambon))
Gb.3. Lumbato atau Rumah Raja Negeri Mamala |
Negeri Mamala mempunyai 1 Buah
Masjid, Rumah Raja (Lumbato) dan 1 buah baileu serta mmpunyai seorang kepala pemerintahan atau Raja.
Setelah sekian lama mereka hidup bersatu di bawah pmerintahan seorang Raja
(Raja Mamala), dan kemudian dilihat dari pada jumlah penduduk negeri Morella /
Hausihu semakin bertambah banyak, sehingga atas musyawarah tua tua adat, pada
masa pmerintahan Latu Manut, mulai menunjukan salah seorang dari negeri morella
yaitu Sabar Thenu, untuk menangani negeri tersebut. Namun bukan berarti bahwa
negeri morela telah terpisah sama sekali dari negeri mamala, akan tetapi segala
urusan pemerintahan, adat, dan agama masih berpusat d negeri mamala. Dan baru
pada tahun 1812, mulai terjadinya penyerahan kekuasaan dari Latu Manut kepada
Sabar Thenu, dengan gelar Latu Sabar Thenu, untuk memerintah negeri morella. (Lihat: Pemahaman Sejarah Negeri Mamala dan Negeri Morela yang Terlewatkan)
Gb.4. Surat Keputusan Latu Manut (Raja Mamala), tahun 1812 |
A. Peninggalan-peninggalan
Sejarah:
Bukan hanya karena hasil rempah-rempahnya maka Maluku di
kenal dunia, sehingga akhirnya kita semua mengalami penjajahan dari
bangsa-bangsa eropa secara bergantian seperti Portugis, Belanda, dan Inggris.
Namun bukan hanya karena karena hasil rempah-rempahnya yang membuat mereka
tertarik, tetapi juga dengan kekayaan dan keindahan alam sekitarnya baik laut dan
darat.
Gb.5. Bendera-bendera Perang di Mesjid Mamala saat Hari Raya Idul Fitri. |
Bendera-bendera tersebut
berjumlah sembilan buah, kesemuanya sering digunakan warga negeri Mamala saat
berperang melawan penjajah baik Portugis dan Belanda. Keberadaanya saat ini
disimpan di rumah adat negeri Mamala, dan hanya dikeluarkan pada saat hari raya
Idul Fitri dan hari raya Idul Adha di mesjid Mamala. Salah satu bendera
yang ditancapkan disamping mimbar, adalah bendera Suri Latu, bendera ini pernah
berkibar di kedaton Ternate ketika rapat dan audensi para bobato dan
latupaty sekawasan jaziratul Al-Mulk di abad XVI, penanaman sepohon cengkeh yang
bakal menjadi cengkeh tertua (avo) menandai peresmian pertemuan para kepala
suku dan pemimpin maluku kala itu..Cerita cengkeh avo Ternate ini menarik konon,
anakan cengkehnya itu sebenarnya berasal dari Mamala.
(3) Masjid Mamala
Gb.6. Mesjid Al Muhibbin, Negeri Mamala |
Masjid Mamala yang ada sekarang ini adalah hasil pemugaran dari masjid lama. Pembangunan Masjid Mamala ini tidak terlepas dari kaitannya dengan syiar Islam pada abad ke 16. Masjid Mamala yang pertama dibangun tidak diketahui kapan dimulai pembangunannya. Selain fungsi Masjid Mamala sebagai tempat sholat, juga halamannya dipakai untuk pertunjukan tradisi “Pukul Manyapu”. Masjid ini juga dipakai sebagai tempat berlangsungnya akad pernikahan. Namun pada umumnya kegiatan-kegiatan yang banyak dilakukan didalam Masjid Mamala ini ialah kegiatan-kegiatan yang menyangkut acara keagamaan.
4. Baileu Adat Hatusela (Stadion Mini Hatusela)
Beileu (Palei) Adat Hatusela / Stadion Mini Hatusela |
Sekitar abad ke- XVI negeri
Mamala diperintah dan dipimpin oleh tiga orang tokoh yakni:
1. Latu Liu sebagai pimpinan pemerintahan adat Negeri Mamala
2. Patti Tiang Bessy / Patti Tembessi (Tukang Besar yang memimpin pembangunan mesjid)
3. Imam Tuny (Imam Mesjid)
Ketiga orang tersebut kemudian
bermufakat mendirikan masjid. Semua persiapan mulai diadakan berupa pengumpulan
bahan-bahan bangunan khususnya kayu dengan mengerahkan rakyat untuk menebang
kayu di lereng-lereng gunung dan perbukitan disekitar Mamala. Selanjutnya kayu
diangkut atau dipikul bersama-sama ke lokasi masjid. Salah satu diantara kayu
jatuh dari pikulan dan pata]i menjadi dua, kayu yang patah ini panjangnya 20
meter. Waktu itu kebutuhan kayu untuk pembangunan masjid berukuran panjang dan
harus dalam keadaan utuh atau tidak boleh sambung. Hal ini yang membuat ketiga
pemimpin di atas dan masyarakat negeri Mamala mencari solusi yang tepat untuk
menyambungkan kayu, sebab dalam kebutuhan pembanguan Masjid diperlukan balok
kayu yang panjang dan tidak boleh disambung. Berbagai cara dan upaya yang
dilakukan oleh masyarakat negeri Mamala belum juga menunujukkan hasil yang
diharapkan baik dalam bentuk usaha fisik maupun dalam bentuk berdoa kepada
Allah Swt untuk memohon petunjuk-Nya. Keesokan harinya ilham yang diperolah
Imam Tuny segera dilaporkan kepada Latu Liu dan Patti Tiang Besy dan menampakkan
kegembiraannya. Dan ketiga pemimpin tersebut bermufakat untuk mempraktekannya
dan ternyata memberikan hasil yang sangat menggembirakan yakni dengan
utuhnya / tersambung kembali balok kayu yang patah tersebut.
Gb.7. Stadion Mini Hatusela (Penyelenggaraan Acara Pukul Menyapu / Ukuwala Mahiat) pada Hari Raya 7 Syawal |
Berdasarkan hal tersebut, maka ketiga pemimpin mereka berpendapat bahwa kalau terhadap kayu yang patah minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dapat berkhasiat maka kepada manusiapun akan bermanfaat. Musyawarah dilakukan dan musyawarah dicapai, yaitu dengan ditetapkannya tanggal dilakukan percobaan terhadap manusia dengan menggunakan lidi aren. Lidi aren menurut kepercayaan masyarakat merupakan senjata yang bertuah. Cara yang dilakukan adalah dengan membentuk kelompok kemudian selain memukul. Pada luka-luka yang ditimbulkan oleh pukulan lidi aren kemudian dioleskan minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an. Beberapa saat kemudian ternyata luka-luka tersebut mengering dan sembuh.
Dari sinilah atas musyawarah
bersama masyarakat negeri. Mamala maka ditetapkan pada tahun 1545 M.,
digelarkan acara ukuwala mahiate yang pertama kali sebagai percobaan terhadap
manusia dengan menggunakan ukuwala / lidi aren dan dijadikan sebagai senjata
dalam tarian adat ukuwala mahiate.
Gb.8. Saling Balas Pukul Menyapu |
Upacara ritual ukuwala mahiate dilaksanakan setiap tahun tepatnva pada tanggal 7 Syawal di negeri Mamala, setelah mereka melaksanakan puasa Ramadhan dan dilanjutkan dengan puasa sunnah Syawal. Upacara ritual ini dilatarbelakangi oleh adanya pembanguan Masjid di negeri Mamala. Oleh karena itu, keberadaan Masjid inilah yang melahirkan adanya upacara ukuwala mahiate. Dalam pelaksanaan upacara ini terdapat makna-makna simbol yang diuraikan di atas yakni masjid, nyuwelain matehu (Minyak Mamala). dan ukuwala mahiate tidak bisa dipisahkan atau merupakan satu rangkain yang utuh dalam pelaksanaan upacara ritual ini.
Upacara ritual ukuwala mahiate / pukul sapu yang mengandung nilai-nilai budaya yang sangat tinggi
merupakan upacara adat negeri Mamala yang sangat terkenal sehingga mampu
menarik perhatian masyarakat dan para wisatawan baik domestik maupun
mancanegara. Pementasannya tidak hanya ditujukan untuk disaksikan oleh
masyarakat setempat tetapi terbuka bagi semua komunitas tanpa membedakan suku,
agama, ras maupun golongan. Kata ukuwala terambil dan bahasa negeri Mamala yang
artinya sapu lidi sedangkan Mahiate artinya baku pukul. Jadi arti dari ukuwala
mahiate adalah baku pukul manyapu.
"Dalam pelaksanaan upacara ini terdapat makna-makna simbol yang diuraikan di atas yakni Masjid, Nyuwelain matehu (Minyak Mamala). dan Ukuwala mahiate tidak bisa dipisahkan atau merupakan satu rangkain yang utuh dalam pelaksanaan upacara ritual ini."
Luar biasa, tapi perlu penyempurnaan data dan referensinya ....
BalasHapus