Jumat, 31 Juli 2020

Peperangan, Perlawanan, dan Penentangan Di Desa Hunut kuno. (Bagian 2)



Untuk mengenal desa Hunut di abad ke 17, dapat dilihat dalam Generale Lantbeschrijving Of Amboina, karangan pegawai VOC terkenal, ahli tanaman dan ilmuan yang bernama Georgius Everhardus Rumphius (1627 - 1702). Menurut Rumphius, dari segi sejarah, nama Hunut merujuk pada nama sebuah kumpulan lima negeri, di jazirah leitimor, kawasan pesisir Teluk Amboina. Tiga dari lima desa itu sudah punah, antara lain akibat peperangan antar desa di abad ke 16. Di paruh kedua abad ke 17, apa yang masih tersisa dari kelompok desa itu dibagi dua. Penduduk di bagian terbesar termasuk Hunut itu sendiri, menetap di Hitulama, di pantai timur laut, bagian yang lebih kecil menetap di Hukunalo yang juga disebut Rumahtiga, terletak di pesisir utara teluk Amboina. Penduduk Hunut beragama islam, yang lainnya berintegrasi dengan penduduk Hukunalo, dan memeluk agama Kristen.

Gambar posisi  negeri Mamala Lama 


Menurut Antropolog Joost Manusama Hunut merupakan bagian integral dari Hitu, dan ketika kemudian Hitu terbagi menjadi Hitulama dan Hitumesen, maka Hunut menjadi bagian dari Hitumesen. Pada perkara kepemilikan lahan seperti diurai sebelumnya, Orang-orang Hunut tidak berhasil dalam proses hukum mereka, hal ini juga dapat dilihat dalam Memorie van Overgave yaitu memorandum serah tugas dari Balthasar Coyett di thn 1706. Seperti tertulis dalam dokumen ini, maka tidak lama setelah De Haas meninggalkan kawasan tersebut di thn 1691, perkara pengadilan antara penduduk Hunut yang di wakili oleh Timolhalat dan desa-desa lain dengan Halong di barisan depan, telah diputus dengan keputusan yang memenangkan Halong. Bahkan penduduk Halong menerima dokumen kepemilikan lahan yang tercatat di sekretariat VOC. Bertahun tahun kemudian persoalan itu masih dibicarakan secara teratur dalam surat menyurat VOC. Pada bulan Desember 1705, keturunan kedua pihak bersangkutan bertemu lagi di pengadilan. Coyett menyarankan agar permintaan orang-orang Hunut ditolak.

Kawasan lahan yang menjadi sengketa di pengadilan, adalah bekas desa-desa Hunut, Lulung, Irish, dan Sahulau, yang merupakan Federasi kampong-kampong alifuru dengan rajanya bergelar Latu Timolhalat, dari kampong Lulung, kawasan Federasi dari empat kampong itu adalah bagian dari Ulilima, yang ditinggal lari oleh mereka ketika diserang oleh kelompok Federasi alifuru ulisiwa yakni kampong Halong, Hutumuri, Baguala, Mamala, dan Hatiwe. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah catatan Valentin, bahwa jauh sebelum kedatangan bangsa Portugis, Orang-orang ulisiwa Halong, Hutumuri, Baguala, Mamala, dan Hatiwe telah melakukan penyerangan besar-besaran terhadap empat kampong yakni Hunut, Loeloeng, Irish, dan Sahulau. Keempat kampong ini terletak di pesisir Teluk Ambon, dikepalai seorang Raja bergelar Latu Timolhalat atau Raja Timur Barat, dan di kawasan ini terdapat pantai bernama Tuhuima dan pantai Huhu, serta terdapat air sungai yang besar dan jernih, air yg bernama air guru-guru ini di hulunya terdapat air terjun besar. Kapal-kapal sering mengambil air dari sungai yang jernih tersebut. 

Dalam penyerangan ini, orang-orang Hunut, Loeloeng, Irish, dan Sahulau banyak yang dibunuh, rumah-rumah dan semua yang ada dihancurkan berkeping keping. Orang-orang Hunut, Irish, dan Sahulau yang tinggal sedikit melarikan diri ke kampong Hitu, sedangkan orang-orang Loeloeng melarikan diri ke pegunungan, sekarang menjadi wilayah Mamala. Usai penyerangan kawasan itu menjadi sepi, tak bertuan, maka orang-orang Halong, Hutumuri, Baguala, dan Hatiwe menduduki tanah-tanah dikawasan itu, dan tidak memberikan sedikitpun kepada orang Mamala, sehingga orang Mamala marah, kemudian melakukan penyerangan kepada bekas kelompoknya tersebut. Orang Mamala berhasil merebut tanah-tanah Sepanjang air Lapiaso, yang bermuara di pantai Huhu, hingga air guru-guru yang bermuara di pantai Tuhuima. 

Seperti di ceritakan sebelumnya sebagaimana ditulis dalam catatan Valentin, bahwa orang-orang Halong, Hutumuri, Baguala, dan Hatiwe telah menduduki tanah-tanah hasil rampasan perang dari desa Hunut, Loeloeng, Irish, dan Sahulau. Mereka tidak memberikan bagian sedikitpun kepada orang Mamala, yang mengakibatkan orang Mamala marah dan melakukan penyerangan dan berhasil menguasai sebagian wilayah tersebut. Dua peristiwa perang kelompok alifuru ulisiwa dan alifuru Ulilima yang sejak dulu dukenal dengan Perang Alifuru 1 dan Perang Alifuru 2.

Setelah kecewa berat dengan kelompoknya dari ulisiwa, maka orang-orang Mamala beralih ke ulilima, hingga datangnya pendatang baru dari Jailolo dan Jawa, yang kemudian mendirikan kerajaan Tanah Hitu.

Daftar Pustaka:

 Rumphius’s Lantbeschrijving adalah W. Buijze (ed), De Generale Lant-beschrijvinge van het Ambonse Gouvernement ofwel De Ambonsche Lant-beschrijvinge door G.E. Rumphius. Den Haag, 2001.
Gerrit Knaap, Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden: 2004
G. J. Knaap (ed.), Memories van Overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw. ’s-Gravenhage:1987




Kamis, 30 Juli 2020

Peperangan, Perlawanan, dan Penentangan Di Desa Hunut Kuno. (Bagian 1)


Sebuah permohonan ditulis sejumlah penduduk di Ambon kepada pemerintah Hindia Belanda, diterima di Batavia tanggal 14 Juli 1695. Merupakan dokumen pendek tetapi rinciannya menarik tentang perihal kehidupan masyarakat umum di Ambonnya di abad ke 17, ketika masih dikuasai oleh Kompeni ( VOC).


Dengan mengatasnamakan semua penduduk desa Houmit (Hunut), sekitar tiga orang dari rakyat kecil, dengan berlinang air mata, dan segala kerendahan hati, menyampaikan perihal keadaan mereka yang menyedihkan, di telapak kaki para anggota pemerintah agung di Batavia. Seluruh lahan, bahkan seluruh kawasan mereka telah diambil oleh orang-orang dari lima desa lain, sehingga mereka susah mencari nafkah. Para penyerang telah menduduki lahan-lahan mereka, menebang pohon-pohon cengkeh dan kelapa yang tua serta menggantinya dengan tanaman baru, mereka juga memanen sagu dan buah- buahan lainnya. Pada zaman pemerintahan gubernur VOC di Ambon sebelumnya, penduduk desa Hunut telah menyeret para penyerang ke meja hijau, tetapi mereka kalah dan menduga adanya permainan busuk dengan kesaksian palsu, para terdakwa dari lima desa menyatakan bahwa mereka adalah pemilik sah lahan-lahan tersebut yang diperoleh sebagai warisan. Namun mereka yang dari desa Hunut menyatakan tidak tau menau bahwa mereka dari desa Hunut, sebab semenjak VOC mengusir Portugis dari Amboina yaitu di tahun 1605, tak seorang anak perempuan mereka yang beralih menganut agama Kristen, atau menikah resmi dengan orang dari kelompok terdakwa.

Dari pernyataan itu, dimengerti bahwa orang-orang Hunut beragama Islam sementara yang berasal dari lima desa, diantaranya empat desa sudah beragama Kristen. Nampaknya selama masa pendudukan Portugis, dan masa lama sebelum itu, penduduk desa Hunut yang telah bergabung dengan penduduk Hitu tidak kembali ke lahan-lahan  atau bekas desa mereka. Dalam masa pemerintahan Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshorn yang memerintah Amboina sejak 1647 hingga 1665, para penyerang dari lima desa itu telah menduduki dan menggarap lahan-lahan orang Hunut. Selama pemerintahan Gubernur Dirk de Haas dari 1687 hingga 1691, Orang-orang Hunut membawa perkara mereka ke pengadilan, akan tetapi setelah De Haas pindah, perkara itu dikeluarkan dari pengadilan dan berakhir dengan keputusan pertama yang sudah disebutkan diatas, yakni orang Hunut tetap tidak memenangkan perkara tersebut. Dengan demikian maka untuk bertahan hidup mereka bergantung pada kerelaan hati penduduk Hitu untuk memberikan lahan kepada mereka di wilayah Hitu.

Daftar Pustaka:

 Rumphius’s Lantbeschrijving adalah W. Buijze (ed), De Generale Lant-beschrijvinge van het Ambonse Gouvernement ofwel De Ambonsche Lant-beschrijvinge door G.E. Rumphius. Den Haag, 2001.
Gerrit Knaap, Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden: 2004
G. J. Knaap (ed.), Memories van Overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw. ’s-Gravenhage:1987