Senin, 03 Agustus 2015

Latar Belakang Sejarah Negeri Mamala Dan Negeri Morela


Negeri Mamala merupakan salah satu negeri di jazirah Leihitu Pulau Ambon.  Bertolak dari penuturan  tua-tua adat bahwa negeri Mamala dalam bahasa daerah disebut dengan kata “Ama-Latu”  yaitu “Ama’ artinya Negeri , dan “Latu”  artinya  Raja., jadi kata  “Ama-Latu”  artinya Negeri  Raja.

Mamala dalam bahasa daerah disebut dengan kata “Ama-Latu”  yaitu “Ama’ artinya Negeri , dan “Latu”  artinya  Raja., jadi kata  “Ama-Latu”  artinya Negeri  Raja.  

Dikatakan bahwa ketika masyarakat Mamala bertemu dengan orang-orang Portugis, kemudian mereka bertanya kepada masyarakat Mamala  bahwa dimana tempat tinggal mereka atau negerinya, maka masyarakat Mamala menjawab sambil  menunjuk ke arah gunung dengan menyebut kata “Mala-mala”, yang maksudnya  letak  negeri mereka  ke arah gunung yang berwarna kebiru-biruan, yang oleh orang Portugis  di sebut “Mamala”.  (Lihat : Misteri Asal Nama Mamala Untuk Negeri Latu)

Negeri Mamala yang pertama terletak di puncak gunung Salahutu dan disebut “Pausela”  (Ulupokol), kemudian pindah ke gunung “Iyal-Uli” ,  yang letaknya kurang lebih 3 km sebelah timur dari letak Mamala sekarang.  Pada abad ke XVII sebagian penduduk berpindah ke tempat sekarang dan bergabiung dengan negeri Loing dan Polut.

Sebagai orang pertama tiba di tempat tersebut adalah Uka Latu Apel, beliau datang dengan membawa sebuah kendi tempat air minum, dan seekor ayam, nama ayam tersebut bernama Lusi. (Wawancara , Hi. Hasanuddin Malawat: 12 Juni 1993).

Setelah tibanya Uka Latu Apel  di tempat tersebut, kemudian datang lagi suatu kelompok yang terdiri dari : “ Meten, Tuhe, dan Hitiy”.  Ketiga orang ini tidak mengetahui bahwa ada orang yang sudah datang terlebih dulu dari mereka bertiga, sehingga mereka bermufakat untuk mengangkat salah seorang  di antara mereka sebagai pemimpin.  Sementara mereka bermufakat,  tiba-tiba terdengar seekor ayam berkokok yang datangnya dari arah Salahutu. Hal itu menunjukkan bahwa sudah ada seseorang yang lebih dahulu datang di tempat tersebut.

Dengan demikian mereka bertiga  yakni “Meten, Tuhe dan Hitiy”, berusaha  untuk mencari di mana orang itu berada, untuk itu mereka mengikuti  arah suara ayam berkokok. Dalam usaha pencarian tersebut , mereka  berhasil  bertemu dengan beliau  (Uka Latu Apel) di Salahutu, kemudian mereka  berempat mulai bermufakat untuk mengangkat salah seorang di antara mereka  sebagai pemimpin. Dari  hasil mufakat, atas usul dari Uka Latu Apel bahwa apabila bertemu dengan siapa saja yang mencari ikan di pantai, maka orang tersebut  diangkat sebagai pemimpin.  Kemudian mereka turun ke pantai  dengan persetujuan hasil mufakat tersebut, mereka turun  ke pantai sekaligus dengan menurunkan air (sungai) “Selepai” / "way solopay" yang oleh masyarakat Mamala di sebut “Air besar”.  Setelah sampai di pantai ternyata yang ditemukan adalah orang  yang memberikan usul tadi, yakni Uka Latu Apel.  Beliau kemudian dibawa  ke darat oleh tiga orang tersebut  (Meten,  Tuhe, Hitiy).

  "Dari  hasil mufakat, atas usul dari Uka Latu Apel bahwa apabila bertemu dengan siapa saja yang mencari ikan di pantai, maka orang tersebut  diangkat sebagai pemimpin.  Kemudian mereka turun ke pantai  dengan persetujuan hasil mufakat tersebut, mereka turun  ke pantai sekaligus dengan menurunkan air (sungai) “Selepai” / "way solopay" yang oleh masyarakat Mamala di sebut “Air besar”.  Setelah sampai di pantai ternyata yang ditemukan adalah orang  yang memberikan usul tadi, yakni Uka Latu Apel".
Beliau (Uka Latu Apel) langsung diangkat untuk menjadi pemimpin (Raja) mereka, dengan mendudukkan beliau di atas sebuah batu, dan batu tersebut  sampai saat ini dikenal  dengan sebutan “Hatu Hiti Latu”.  Hatu artinya batu, hiti artinya angkat dan Latu artinya Raja. Sehingga bisa diterjemahkan Batu tempat pengangkatan Raja.  Hingga  saat ini tempat tersebut dipakai sebagai  tempat upacara pengangkatan Raja Mamala, yang secara adat diangkat di tempat tersebut. Sehingga tempat ini dikenal dengan sebutan “Hiti Latu Tetui” (Tanjung Pengangkatan Raja). (Wawancara, Tua Adat , Abd. Gawi Malawat : 16 Juni 1993).

Beliau (Uka Latu Apel) langsung diangkat untuk menjadi pemimpin (Raja) mereka, dengan mendudukkan beliau di atas sebuah batu, dan batu tersebut  sampai saat ini dikenal  dengan sebutan “Hatu Hiti Latu”.

Gb 1. Pengangkatan Adat Bapak Raja Ramli Malawat 


Sedangkan ketiga orang tersebut , yakni Meten, Tuhe dan Hitiy,  sebagai  pengawal  pemimpin (Raja), atau hulubalang dari Raja yang mereka angkat, di mana:
Ø  “Meten”  yang namanya “Uka Leolisa” bertugas sebagai penunjuk jalan
Ø  “Tuhe” yang namanya “Kolongsusu”  bertugas sebagai pembersih jalan, apabila  di dalam perjalanan , mereka terhalang oleh kayu-kayu besar maka Tuhe lah yang memotong  kayu tersebut hingga jalan itu bersih.
Ø  “Hitiy” yang namanya “Sabtu” , bertugas sebagai angkat Raja, “Hitiy” artinya angkat,  sehingga setiap upacara pengangkatan Raja Mamala , maka yang berhak untuk mendudukkan atau mengangkat Raja secara adat adalah Hitiy.

Uka Latu Apel  setelah diangkat menjadi pemimpin atau Raja, mereka kemudian kembali ke gunung Salahutu atau disebut Pausela sebagai tempat kediaman mereka, untuk melanjutkan kehidupan mereka di tempat tersebut. Seperti pada sebuah kapata  (Lani)  yang diciptakan leluhur yang berbunyi sebagai berikut:

            o   Sopo Telu Hata – Hata Teluey Hini”
o   Lihut, itite, u’- ule haholo
o   Mo-e salele “Salahutu” Simalopu
o   Tei  Meten husa hatu rimulai molo
o   Tei Yaha husa hatu rimulai molo
o   Tei Poko  husa hatu Sina Uli yau
o   Tei  Poko  husa hatu Sinai Matawa-a
o   Hatu telu pakalala Totohatu
o   Telu pakalesi Manulatu “Pausela”
o   Liani Sasupu yupu  Tei Mala Tasibeha
o   Telu yulu pele salele yulu pokol
o   Nisasopo  lete Nusatapi Posiela
o   Telusy tahale Telu sopo hini
o   Telu Hata  Si’eleha  ‘e Tane Hitu
o   Nala peia Ina hanu  Sini Telu
o   Simi hini Latu, Meten, Tuhe, Hitiy
o   Hatwa Tina Matua Ama Latu

Yang artinya, sebagai berikut:
o   Topan, petir, halilintar bersahutan
o   Kabut menyeliputi  “Salahutu” dan “Simalopu”
o   Datang pertama berjubah hitam , membawa batu saat fajar (Meten)
o   Datang yang kedua , berjubah merah, saat bintang merah sedang naik, dengan membawa batu (Tuhe)
o   Datang yang ketiga , berjubah kuning , saat bintang sedang naik , dengan membawa batunya (Hitiy)
o   Tiga  buah batu membentuk tungku di puncak Simalopu. Mengisyaratkan kedatangan mereka.
o   Ketiganya melambangkan “Manulatu” , perlambang dari Negeri Latu Pausela. (Ketiganya sedang berdiskusi  tiba-tiba terdengar suara ayam / burung merpati milik Latu Apel.
o   Ketiganya  mencari  ke arah datangnya  suara ayam / burung merpati, dan bertemu pemiliknya yang sedang berwirid setelah sholat Subuh.
o   Ketiga bukit tersebut di atas, merupakan pertanda munculnya Tiga tuan tanah,  yang mengelilingi bukit Ula Pokol, yang merupakan perlambang Raja Latu Apel.
o   Ketiganya dijunjung dan dilantik sebagai  Malesi.
o   Ketiganya  mempunyai  kedudukan yang sama sebagai pemangku adat , dan yang ke-empat  memangku tugas pemerintahan.
o   Ke-empat  Upu (Empat Perdana), adalah keaslian Tanah Hitu (Pemerintahan Tanah Hitu).
o   Ketiga Upu berusaha mencari Wanita bakal isteri Rajanya, yang keturunannya akan mewarisi jabatannya.
o   Ketiga pemangku adat tersebut,  Meten, Tuhe dan Hitiy tetap disanjung dan dijunjung.
o   Hatwa Tina, Isteri Raja, Putri laut, keturunannya pemangku adat Amalatu (Mamala).

Kapata-kapata (Lani)  tersebut biasanya dilagukan pada saat dilaksanakan upacara pengangangkatan Raja  secara adat.  Di dalam kapata tersebut secara berulang-ulang menyebutkan Uka Latu Apel  dengan ketiga pengawalnya yakni Meten,  Tuhe,  dan Hitiy. Hal ini membuktikan bahwa merekalah yang pertama datang dan menempati  daerah tersebut, yang pada akhirnya  anak cucu keturunannya  mereka di negeri Mamala.

Iyal Uli sebenarnya nama sebuah gunung yang letaknya kurang lebih 3 km sebelah timur  dari lokasi Negeri Mamala sekarang, dan merupakan negeri yang kedua. Pada tahun  1643-1644 pada masa pemerintahan Belanda, yakni pada masa pemerintahan Gubernur Gerard Demmer, menurunkan  hena-hena atau aman-aman  dari gunung Iyal Uli ke pesisir pantai, tujuannya  adalah untuk mempermudah pengawasan oleh Belanda, untuk kemudian bergabung dengan hena-hena kecil seperti Loing dan Polut. Sedangkan Hena-hena atau aman yang ada di gunung saat itu adalah Latu,  Hausihol dan Liang.

Madina Tjolleng ST. Mengatakan bahwa hena atau aman  adalah bentuk persekutuan yang lebih besar dari Uku. Sebuah hena bisa terdiri dari beberapa Uku yang merupakan kesatuan genealogis, namun dengan adanya perkembangan , maka sudah harus  diperhitungkan unsur-unsur teritorial  uku-uku yang bersangkutan. Adannya pertimbangan ini, sehingga hena tidak dapat dipastikan hanyalah persekutuan genealogis semata, lebih tepat bila dinyatakan sebagai suatu persekutuan genealogis-teritorial, di mana unsur genealogislah yang dominan, ( Madina Tjolleng ST; 1988;32).

Dari ke semua hena-hena tersebut membentuk satu kesatuan kecil yang disebut dengan nama “Uli Sailessy” yang terdiri dari : Latu, Loing, Polut, Hausihul, dan Liang. Sedangkan Pati dan Tohuputa masih bergabung dengan Soa Latu. (Lihat: Hubungan Negeri-Negeri Dalam Uli Sailesy Dengan Negeri Mamala Dalam Filsafat Siwalima).  Pada tahun 1643-1644, Iyal-Uli, Latu (Mamala), dan Teleboang dipindahkan ke pesisir pantai. Iyal Uli adalah nama gunung , di mana selain Mamala, juga dua negeri lainnya yakni Loing dan Polut, sehingga dapat diterima bahwa  dua negeri  tersebut  (Loing dan Polut) yang kemudian berada di bawah Negeri Mamala /Latu. Sedangkan Teleboang adalah dari negeri Hausihul, yang pada waktu itu  sebagian besar masih bertempat di sekitar Kapahaha. Setelah Kapahaha jatuh pada tahun 1646,  Hausihul  ditempatkan berdekatan dengan negeri  Mamala. (Lihat: Pemahaman Sejarah Negeri Mamala dan Negeri Morela Yang Terlewatkan)

Gb.2. Sketsa Peta Negeri Mamala saat tahun 1760 sebelum pemisahan Negeri Morela tahun 1812
 (Sumber: Title: Carte Particuliere de L'Isle D'Amboine. Artist: Bellin, Nicolaus Published: Paris, N. Bellin Date: 1760)

Sedangkan negeri  Liang pindah ke tempat yang mereka tempati sekarang yaitu Negeri Liang  sekarang ini. (Dr.Z.J.Manusama,ditranskip oleh Abd. Gawi Malawat: 1973:69-70)

Gb.3. Lokasi Perjalanan Leluhur Mamala-Morela
Pindahnya Hausihul ke lokasi yang berdekatan dengan negeri Mamala, disebabkan Belanda ingin menguasai rakyat.  Belanda menjalankan politik pecah belah (Devide et Impera), dengan cara  membagi batas-batas wilayah di jazirah Leihutu.  Hal ini berakibat pada kedudukan rakyat dari hena-hena tersebut menjadi lemah  dan tidak dapat mengadakan perlawanan  terhadap penjajah Belanda. Dengan demikian, kedua negeri tersebut merupakan satu negeri, yang terpecah menjadi dua negeri, namun diperintah oleh seorang Raja yakni  Raja Mamala.  Pada tahun  1812 pada masa pemerintahan “Latu Manut”,  terjadi penyerahan kekuasaan dari  Latu Manut  (Raja  Mamala)  kepada  “Sabar Thenu”.  Mulanya beliau ditunjuk untuk menjaga keamanan atau mengawasi negeri tersebut, yang biasa disebut masyarakat  Latu He’hale (Mamala) dan Latu He’liya (Morela). (Lihat: Pengorbanan Halaene Sang Raja Mamala Untuk Tanah Hitu (Ambon)).

Gb.4. Surat Keputusan Latu Manut ( (Raja  Mamala) tahun 1812;   kepada  Sabar Thenu..

Tahun 1812 , atas persetujuan Latu Manut (Raja Mamala), Sabar Thenu diangkat sebagai Raja Morela dengan gelar “Latu Sabar Thenu”, untuk memerintah negeri tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah “Surat Keputusan” yang ditandatangani oleh Wiliam Byan Marthin (Gubernur Inggris di Maluku), yang diberikan oleh pemerintahan Inggris sementara  atas persetujuan Latu Manut. (Saat itu Belanda takluk oleh Inggris di bawah pimpinan  Lord Minto sejak tanggal 11 Agustus 1811 lewat perjanjian Tuntang). Ketika morella pisah dari Mamala, tidak serta merta Sabar Thenu di lantik menjadi raja Morela, tetapi kekuasaan atas daerah itu terus menjadi perwalian Inggris, hingga kembali diambil alih belanda,, barulah tahun 1886, Sabar Thenu dilantik, kemudian berturut-turut, Mandasaha, haji Yasin, haji Ali, Akib, Kadir dan Yunan sampai saat ini.

Hal ini terlihat dengan Peta Tanah Hitu, dengan belum tercatatnya Morela sebagai suatu negeri; Discan oleh Ivan Taniputera tanggal 25 Juli 2011 dari buku DE OPKOMST VAN HET  NEDERLANDISCH GEZAG IN OOST INDIE (1595-1610) Karya J.H. R. Mr.J.K.J. de Jonge, S Gravenhage, 1864. Halaman 556. sebagai berikut:

Gb.5. Sampai tahun 1864, Morela belum tercatat sebagai suatu negeri

 Bukti-Bukti Hubungan Sejarah Antara Kedua Negeri Mamala dan Morela

Dalam bagian ini akan dijelaskan bukti-bukti adanya hubungan sejarah antara masyarakat negeri Mamala dan Morela. Hal ini dapat terlihat dalam adat istiadatyang berlaku di kedua negeri tersebut. Menurut Prof. Bushar Muhammad mengatakan bahwa  “ Adat istiadat adalah Norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia  dalam hubungan yang satu dengan yang lain, baik berupa keseluruhan dari kehidupan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut serta dipertahankan oleh masyarakat dimana padanya diletakkan suruhan atau larangan” (Prof. Bushar Muhammad ; 1986; 18).

Semua hal yang terjadi dalam masyarakat desa sudah merupakan kebiasaan untuk melakukan sesuatu hal yang berkaitan erat dengan adat istiadat yang sudah diolah oleh para leluhur  kita di masa lampau.Dengan demikian bahwa adat istiadat yang berlaku di negeri Mamala dan negeri Morela adalah sama. Hal ini terlihat  dengan jelas seperti: adat perkawinan, adat pengangkatan penghulu mesjid. Selain itu terdapat juga bahasa yang dipergunakan di kedua negeri tersebut sama, serta kesenian hadrat yang merupakan salah satu tradisi yang perlu dilestarikan.

       Selain itu kedua negeri tersebut secara adat mempunyai satu buah Mesjid dan satu buah Baileu, yang terletak di negeri Mamala. Sedangkan mesjid Morela sekarang ini, adalah milik orang Wakang (Rumah Tau Wakang) yang di Morela disebut Pessy, dan di Mamala dikenal dengan soa adatnya Liuhulat.

Gb.6. Mesjid di Morela sekarang, dahulunya adalah Mushala perempuan Mamala (Rumah Tau Wakang)
Untuk upacara pelantikan Raja di kedua negeri tersebut berbeda, dimana untuk Raja Mamala, pelantikan Raja dilaksanakan dengan suatu upacara adat di “Hiti Latu Tetui” (Tanjung pengangkatan raja), dan diangkat secara adat oleh Hitiy sesuai dengan tugasnya, dengan didukung beliau di sebuah batu yang dikenal dengan nama “Hatu Hiti Latu”, dan diikuti oleh Meten dan Tuhe, yang berjalan dari Wae Ume (Mamala)  sampai ke Wai Tua (Morela), kemudian menuju ke baileo.
Gb.7. Perjalanan Upu Latu Ramli Malawat dari Wae Ume menuju Wai Tua,
Sedangkan pelantikan Raja Morela, biasanya beliau dilantik oleh Raja Mamala di baileu. Setelah  pelantikan secara adat  kemudian dilanjutkan dengan upacara pelantikan secara resmi kenegaraan oleh bupati yang dikenal dengan sebutan Kepala desa sesuai  UU n0 5 tahun 1979.

(Sumber: Hubungan Masysrakat Mamala dan Morela di Jazirah Leihitu Pulau Ambon,  Haris Malawat,Spd; 1993)

1 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.