Pendahuluan
Masyarakat Maluku adalah
masyarakat yang memiliki khazanah budaya. Khazanah budaya itu terkonfigurasi
sejak lama dan sering dimaknai sebagai suatu keberlanjutan (continuity) tapi
sekaligus suatu keterputusan (discontinuity). Dalam khazanah budaya itu, persaudaraan
merupakan sebuah nilai berharga yang dijunjung tinggi di samping nilai-nilai budaya
lain seperti nilai kerja sama, tolong menolong, keberanian, kebersamaan dll.
Saniri Ke-empat Negeri Bersaudara Mamala, Kaibobu, Tiouw dan Lateri |
Sebagai sebuah nilai,
persaudaraan merupakan bagian dari kebudayaan yang lahir dari kesadaran manusia
terkait hubungan atau relasi antarindividu atau antarkomunitas. Nilai persaudaraan
tidak dapat diamati secara langsung, juga tidak dapat diraba. Namun, bisa dicermati
dan dirasakan melalui berbagai bentuk simbolisasi dan representasi. Dalam
realitas kehidupan bersama di Maluku, nilai ini mudah ditemukan dalam medium
manifestasinya seperti ikatan fam atau klan, matarumah, soa, negeri atau
kampung, agama, tapi juga dalam pranata adatis seperti ikatan pela dan gandong.
Nilai persaudaraan menjadi kekuatan besar yang mengikat individu-individu
sebagai sebuah masyarakat.
Acara Penyambutan Kedatangan Gandong dari Kaibobu saat Pelantikan Raja Mamala Upu Latu Ramli Malawat (6/06/2015) |
Nilai persaudaraan yang bagi
masyarakat Maluku memiliki daya rekat yang kuat biasanya didasarkan pada ikatan
genealogis-biologis, kesamaan identitas agama tapi juga ikatan teritorial
komunitas. Dalam dirinya nilai ini bersifat ambigu. Pada satu sisi ia bersifat
mengikat atau mempersatukan suatu komunitas tapi pada saat yang bersamaan
melakukan pemisahan dari orang atau komunitas dengan identitas berbeda. Dalam
kenyataan, nilai persaudaraan ini sering mengalami penyempitan makna. Ia sering
dimaknai secara eksklusif, terbatas pada keluarga, etnis, sub-etnis, kelompok
sosial dan agama tertentu tergantung pada konteks dan waktu penggunaannya.
Akibatnya orang membedakan dan memisahkan diri dengan orang lain yang memiliki
identitas berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai persaudaraan merupakan sesuatu
yang lentur, yang berada pada titik labil. Akibat kelenturannya itu maka tidak
mudah nilai persaudaraan ini menjadi patron bersama bagi masyarakat Maluku.
Acara Penyambutan Kedatangan Gandong dari Kaibobu dan Tiouw saat Pelantikan Raja Mamala Upu Latu Ramli Malawat (6/06/2015) |
Sebagai bagian dari kebudayaan
manusia, nilai persaudaraan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis.
Proses pemaknaannya dalam masyarakat Maluku senantiasa berada dalam proses
menjadi. Dengan demikian nilai persaudaraan itu selalu terbuka untuk mendapatkan
pemaknaan yang baru yang lebih kontekstual dan fungsional. Pemaknaan persaudaraan
yang cenderung eksklusif dibatasi pada ikatan genealogis-biologis atau
teritorial tertentu, mulai mengalami pergeseran dan menjadi semakin terbuka
karena mendapat pemaknaan baru. Itulah proses transformasi budaya. Transformasi
itu terjadi seiring dengan makin berkembangnya dinamika masyarakat Maluku.
Dengan kata lain, nilai persaudaraan mengalami transformasi sehingga menjadi
lebih terbuka bersamaan dengan tuntutan hidup bersama (living together) secara
terbuka dan adil dalam masyarakat.
Suasana Kedatangan Gandong Kaibobu di Gapura Negeri Mamala |
Secara sosio-kultural, Ungkapan
Katong Samua Basudara mengandung makna yang sangat dalam bagi orang Maluku.
Ungkapan ini merupakan ungkapan perasaan dan kesadaran tentang sebuah ikatan persaudaraan
atau sebuah ikatan emosional. Layaknya sebuah keluarga yang memiliki perasaan senasib
dan sepenanggungan. Dalam konsep ini sesungguhnya terkandung kesadaran dan pengakuan
tentang apa yang dipahami sebagai “common feeling”. Pengakuan bahwa Katong Samua
Basudara kemudian melahirkan kesadaran dan kesediaan untuk saling berbagi rasa
baik suka maupun duka (solidaritas). Istilah-istilah budaya yang mengandung
kesadaran dan kesediaan berbagai rasa itu misalnya “ale rasa beta rasa”, “sagu
salempeng patah dua, potong di kuku rasa di daging. Dari ungkapan-ungkapan
budaya ini terlihat secara jelas ada hubungan dialektika antara nilai
persaudaraan dengan nilai solidaritas. Orang bersaudara mestinya memiliki rasa solidaritas
dan sebaliknya rasa solidaritas menunjukkan adanya ikatan persaudaraan.
Cerita Sejarah
Hubungan Gandong Antara Negeri Mamala dan Negeri Kaibobo
Sekitar abad ke 17, Putra Raja
Mamala Latuhamis ingin menikah. Dan orang tua-tua keluarga Raja Mamala mencari
perempuan untuk Putra Raja Latuhamis dan mendapatkan seorang Putri di negeri Kaibobu, nama dari Putri Raja kaibobu tersebut
yaitu Nyai Riri. Tapi sebelumnya menjadi masalah karena permintaan mas kaweng
dalam bentuk harta adat yang paleng istemewa dari orang tua Putri Raja kaibobu
berupa meriam-meriam kecil yang terbuat dari tembaga. Pada waktu itu masyarakat
mamala sudah tidak ada lagi yang memiliki harta adat (meriam kecil) ini lagi.
Kejadian ini juga terkait dengan satu kampong yang hilang dari negeri Urimesing
namanya kampong Amanputa (letaknya dilorong sagu dekat Batu Gajah) karena
sering malawan Belanda. Kampong ini melarikan diri dan menetap di Negeri Mamala
dengan secara kebetulan kampong Amanputa ini ada mempunyai harta adat berupa
meriam kecil tembaga, akhirnya orang tua-tua dari Mamala meminta bantuan dari
orang tua-tua Lilisula (Amanputa). Dengan penuh keikhlasan orang tua-tua Lilisula
menyerahkan harta adat tersebut setelah menyerahkan dari kedua pihak angkat “Makao”
(kao –ipar). Dan orang tua-tua dari mamala membawanya ke putri raja Negeri
Kaibobu dan membawa pulang Putri Raja Kaibobu Nyai Riri,
Suasana Penerrimaan Secara Resmi Gandong dari Negeri Tiouw oleh mantan Raja Mamala Upu Latu Ir.H.Abdullah Malawat |
Karena pemberian harta adat
ini Negeri mamala menambahkan satu soa sehingga mereka tidak akan melupakan
asal usul mereka dari mana? Namanya Soa Puta, serta memberikan tanah sekitar 10
hektar.
Suasana Mengharukan antara mantan Raja Mamala dengan Gandongnya dari Negeri Kaibobu |
Diceritakan langsung oleh
Mantan Raja Mamala bapak Ir.H.Abdulah Malawat pada waktu pelantikan Raja Mamala
(6-06-2015), yang disadur oleh Rolly Matahelumual.