Jumat, 01 Januari 2016

Baileo Adat Negeri Mamala (Stadion Mini Hatusela)





Pendahuluan

Banyak yang belum mengetahui di mana sebenarnya baileo adat negeri Mamala. Dalam narasi ini akan membahas tentang apa yang dimaksud dengan batu pamali (Hatu Tihal), baileo adat dan istilah Tiga Tungku Batu (TBT) sebagai simbol-simbol adat negeri di Maluku.

Batu Pamali (Hatu Tihal) dan Baileo Adat

Sebelum pembangunan Stadion Mini Hatusela pada tahun 1981 atas prakarsa Kapolri Awaludin Djamin, masyarakat Mamala menyebutnya sebagai Palei (Baileo) yakni tempat untuk pertemuan masyarakat. Menurut beberapa orang warga yang dituakan menyebutkan bahwa di tempat inilah, dahulu yang menjadi tempat pengungsian warga saat Kapahaha diserang oleh Belanda.

Sumber Valentijn

Penyebutan tempat ini sebagai Palei (Baileo) selain disebabkan oleh fungsinya, juga dikarenakan di tempat ini terdapat batu pamali (Hatu tihal). Saat pembangunan Stadion Mini Hatusela, batu ini berada di belakang podium (pintu masuk stadion). Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku. Selain Baileo, rumah tua, dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati masyarakat adat Maluku. 

Hatu Tihal (Batu pamale) di belakang / pintu masuk Stadion

Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di sekitar Baileo, sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam kehidupan masyarakat.

Baileo / Pale Hatusela (Belakang Stadion Mini Hatusela paska renovasi)

Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa. Di beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. Seiring dengan perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali. Dengan adanya UU No.5 tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa

Formulasi sei hale hatu, hetu lisa pei; sei lesi sou, soulesi ei – siapa bale batu, batu tindis dia; siapa langgar sumpah, sumpah bunuh dia – merupakan formulasi hukum, di mana batu menjadi material legalisasi, yang diparalelkan dengan “hukum”.

Dalam kerangka itu, batu juga menjadi pusat ritus klen dan / atau komunitas negeri. Ini terlihat melalui batu teung yang dimiliki oleh setiap soa dan juga negeri. Batu teung pun menjadi tanda legal yang membatasi lingkungan permukiman antar Soa. Di Mamala misalnya, setiap soa memiliki batu pamali.

Istilah Tiga Batu Tungku

Terdapat istilah yang populer dalam kalangan masyarakat adat di Maluku, yakni istilah Tiga Batu Tungku (TBT). TBT sendiri disebut dalam ragam istilah, seperti TBT, Batu Tungku Tiga, Tiga Tungku, Tungku Tiga. Ragam penyebutan itu pun bersumber dari adanya pusat-pusat sakral tertentu di masing-masing negeri.

Di Mamala lokasi Mesjid, Baileo adat (Stadion Mini Hatusela), Lumbato mengisyaratkan TBT ini.  Tampak dalam kolektifitas kepemimpinan Latu, Kepala adat dan Mauweng. Ketiga elemen ini ada dalam satu ikatan sosial pemerintahan adat. Latu bertanggung jawab atas semua segmen hidup masyarakat, terutama pemerintahan. Dalam urusan tertentu ia dibantu oleh kepala adat, sebagai pelaksana dan pengawas praktek adat masyarakat, dan mauweng untuk penyelenggaraan ritus adat atau agama. Ketiga unsur ini tidak menggambarkan struktur yang terpisah, tetapi perikatan yang utuh satu sama lain. Aksentuasi tugas dan perannya jatuh berat pada pemenuhan tanggung jawab adatis masyarakat. Adat menjadi sandaran pelaksanaan tugas.

Di Suli, istilah yang digunakan adalah Tungku Tiga. Istilah ini bersumber dari adanya susunan batu menyerupai batu tungku di pantai Suli sebagai simbol hubungan Pela Suli-Waai-Kaibobo. Ketiga batu itu adalah representasi dari ketiga negeri dimaksud. Istilah ini kemudian ditransfer untuk menyebut sistem kerjasama antarinstitusi dalam TBT tadi.

Berbeda halnya di Rutung, istilah yang digunakan adalah Batu Tungku Tiga, yang bersumber dari adanya susunan batu kapitan, batu malesi dan batu mauweng di negeri lama mereka. Ketiga batu itu berada di pusat beileo negeri di negeri lama, sebagai representasi kepemimpinan kolektif atas negeri. Istilah ini juga lalu ditransfer untuk menyebut sistem kerjasama TBT tadi.

Di Hatalai, susunan batu di batu marawel, atau biasa disebut batu bakar damar, menjadi sumber penggunaan istilah batu tungku, untuk kerjasama antarinstitusi dalam TBT. Namun di Akoon (Nusa Laut), justu pengistilahan TBT bersumber dari posisi Gereja, Baileu dan SD yang menyerupai susunan batu tungku. Orang-orang Ohoiwait di Kepulauan Kei, justru menggunakan istilah ini dengan bersumber pada adanya susunan batu menyerupai tungku di woma (negeri lama) mereka.

Pada setiap negeri tentu akan ada ragam pengistilahan yang menunjuk pada sumber-sumber khusus yang dijadikan acuan pengistilahan itu. Walau demikian, secara umum setiap istilah itu digunakan sebagai representasi hubungan kerjasama antar institusi Pemerintah Negeri, Mesjid / Majelis Jemaat, dan Pendidikan.

Struktur ini berubah pada saat masuknya penjajah, terutama Belanda. Karena Portugis tidak secara terbuka mengubah tatanan adatis masyarakat di Maluku (Tengah). Perubahan status dan kedudukan latu ke raja, membuat formasi TBT pun berubah secara signifikan.

Referensi:

http://kutikata.blogspot.co.id/2008/01/tiga-batu-tungku.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.