Senin, 15 Agustus 2016

Kekalahan Mengerikan di Tanah Hitu



Pendahuluan

Topik ini yang dipertimbangkan oleh Kapitan Tepil ketika berdiplomasi dengan Belanda. Bagian tulisan ini merupakan kelanjutan dari  “Hubungan Sejarah Tanah Hitu di Ambon dan Ternate” bagian dua, sekaligus menerangkan bagian tulisan dari “Gejolak Perlawanan di Tanah Hitu Tahun 1636-1637” . Hikayat Tanah Hitu-nya Imam Rijali menjadi bagian penting dalam topik ini, yang mengisahkan perubahan kebaikan Portugis yang kemudian menjadi bengis dan mengadakan aturan-aturan sendiri. Serta memperlihatkan kolaborasi para leluhur pejuang Tanah Hitu dengan leluhur pejuang yang berasal dari Banda, Huamual, Ternate,Tidore, Buru, Jawa dan lain-lain dalam melawan Portugis. (Lihat: Mamala-Amalatu, markas VOC pertama di Ambon). Bagian penjelasan dari tulisan ini merupakan kelanjutan dari "Perjuangan Melawan Portugis di Mamala "


Portugis di Tanah Hitu

Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon. Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.

Keuning (1973: 19-20) selanjutnya menjelaskan bahwa sejak tiba di Hitu dalam tahun 1512, orang-orang Portugis di bawah pimpinan d’Abrio dan Serroa disambut dan dijamu dengan ramah tamah oleh orang Hitu (uli lima) yang telah beragama Islam. Jumlah orang Portugis yang sedikit itu tidak dianggap sebagai ancaman, apalagi mereka segera pergi setelah tinggal beberapa lama. Maksud orang-orang Portugis itu hanyalah mencari rempah-rempah (cengkih dan pala), dan zaman itu mereka harus pergi ke Ternate, Tidore dan Banda. Dalam tahun 1525, barulah orang Portugis mendapat izin membangun sebuah rumah di pantai Hitu sebelah Utara, tepatnya di Hassamuling-tanjung Tetulaing (lokasinya berada di antara Mamala-Hitu). Tetapi, keadaan tersebut menjadi buruk ketika orang Portugis melanggar kedaulatan orang Hitu yakni ketika mereka hendak membangun sebuah benteng dan mengadakan peraturan-peraturan sendiri. Orang Hitu menolaknya dan menghendaki orang Portugis meninggalkan wilayah mereka dan tinggal di antara orang-orang uli siwa (cikal bakal benteng Victoria). Sejak itu pula terjadi pengkristenan orang uli siwa di Leitimor oleh Portugis. Orang-orang uli siwa ini meminta dibaptis menjadi Kristen oleh orang Portugis dengan harapan akan mendapat bantuan terhadap penyerbuan orang uli lima tersebut. Keuning mencatat bahwa abad ke 16 bagi Ambon bukanlah zaman yang damai. Adanya orang Portugis pada umumnya merupakan faktor yang mengganggu suasana, terutama di Leitimor. Kehadiran mereka memperuncing pertentangan lama (tradisional) antara uli iwa dan uli lima, dan membagi seluruh negeri dalam dua kelompok kekuatan yang terus menerus saling memerangi.

Cuplikan “Hikayat Tanah Hitu”

Alkissah peri mengatakan johan pahlawan gimelaha Rubohongi. Ia datang akan bendahara di tanah Ambon serta kaum gulawarganya gimelaha Haji dan gimelaha Sakatruana. Lain daripada itu tiada kuceriterakan sehingga ibn bendahara: pertama gimelaha Kakasingku* dan (kedua) gimelaha Jamali dan (ketiga) gimelaha Kulabu dan keempat gimelaha Aja dan kelima gimelaha Basi dan keenam gimelaha Angsari*. Itulah daripada pihak bendahara.

Maka datang kepada kerabat serri sultan daripada bangsya raja: pertama kiyaicili* Cuka, kedua cili Kodrat, ketiga cili Abu Syahid dan keempat cili Kaba, kelima cili Naya, keenam cili Ici dan ketujuh cili Aya, kedualapan baginda cili Ali, tatkala bulum lagi dinaikan kapitan laut, lain daripada itu tiada kusubutkan. Dan daripada pihak hamba raja pertama Kalaudi dan kedua Usman dan ketiga Kabutu Malu dan keempat Sagaluwa*, kelima Sibangua, keenam Ambalau. Lain daripada itu tiada kusubutkan dan sekalian ini termasyhur pendagar. Pun ia utusan, pun ia pergi datang berulang-ulang membawah titah sebagailah, karena pada tatkala itu sangat parang sabil Allah di tanah Ambon. Ada parang di darat, ada parang di laut, ada mennang, ada yang dimennang, ada disarang, ada yang menyarang, sebagailah kedua pihak itu tiada berputusan lagi. Segali perastawa gimelaha Kakasingku* keluar dengan kelengkapannya, maka ia bertemu dengan angkatan Nasrani di tanjung Mamala.

Lalu melawanlah kedua angkatan itu daripada waktu duha sehingga datang kepada bakda lohor. Serta dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi sekali-kali dengan kelengkapannya dan mayitnya perdana Kakasingku* pun sabil Allah tiada kettahuan lagi. Kemudian daripada itu dan kuceriterakan, sekalian keluar dengan kelengkapannya mendattangi sebuah negeri, Latu namanya. Maka datang angkatan kafir laknat bantu kepada negeri itu. Maka kedua pihak berparanglah seperti orang bepasarang beramai-ramaian jualbeli. Hatta datang malam masing-masing pulang kepada tempatnya. Apabila datang esok harinya demikian juga, tiada berputusan berkawal-kawal kedua tentara itu. Hatta datang kepada suatu ketika serta dengan kehendak Allah ta`ala kepada pihak Islam itu pergi barjalan ke sini dan orang kawal itu pun serta dengan alpanya ia tidur. Maka dipandang oleh kafir laknat tempat itu sunyi dan kotanya itu pun tiada manusyia, lalu ia masuk. Laknat itu alah kepada kota Islam itu.

Dan orang sekalian itu pun lari masing-masing membawah dirinya sehingga gimelaha Jamali al-Din, dua bersyaudara gimelaha Angsari* dan Liwa al-Din, hoja* alim mahudum*: ketiganya syahid, karena Jamali al-Din itu pahlawan yang termasyhur, ketiganya pendagar parang. Daripada itulah maka tiada berpaling apa tipu orang banyak serta dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi daripada kesudahan hidup manusyia dalam negeri fanah datang kepada negeri yang baka. Dan Kalaudi pun dengan kelengkapannya masuk, maka ia bertemu kepada kafir laknat itu, maka ia syahid serta kelengkapannya pada ketika itu juga. Maka angkatan itu sekalian kembali masing-masing ke negerinya. Alkissah peri mengatakan parang kiyai Mas. Tatkala perdana Tubanbesi belayar ke tanah Jawa mengadap kepada pangngeran minta tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, maka pangeran menyuruh kepada kiyai Mas serta kelengkapannya. Dan panglimanya yang gaggah dalam angkatan itu Martajiwa namanya dan seorang Panarukan namanya dan seorang pula Pasiruwan* namanya. Hatta ia datang ke tanah Hitu dan orang Hitu pun keluar angkatan serta ia mendatangi negeri kafir itu, lalu masuk ke dalam negeri.

Maka negeri ke dalam kotanya dan orang itu pun mengikut belakangnya sehingga datang ke pintu kotanya. Maka panglimanya yang gaggah itu syahid, maka patah parang Islam itu. Ia undur lalu naik kepada kelengkapannya pulang ke negeri Hitu. Hatta datang musim, maka ia belayar kembali ke tanah Jawa. Itulah kesudahan parang kiyai Mas di tanah Hitu tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Alkissah dan kuceriterakan yang empunya ceritera, sekali perastawa keluar angkatan Islam mendatangi negeri kafir dan angkatan kafir pun keluar. Maka kedua angkatan itu sama bertemu di tengah jalan antaranya Hitu dan Kota Laha. Maka kedua pihak berhadapan seperti orang berhadapan serta dengan hidangan karena sangat maksud Islam ke sana kepada kafir laknat itu. Sebab pada ketika itu baginda cili Cuka ia menjadi kapitan laut, sendirinya memeggang panji-panji serta membaca salawat.

Lalu bertempik kedua pihak itu seperti datang tofan bakilat-kilat dan bunyi senjatanya diupamakan guruh dari atas langit dan asapnya senjata itu menjadi awan antara langit dan bumi. Dan parangnya itu daripada waktu duha sehingga datang kepada waktu asar. Hatta dengan ajal Allah, maka baginda kiyaicili pun syahid. Dan daripada orang luka dan mati itu tiada kuceriterakan, daripada ajal itulah meneguhkan hati manusyia serta memberikan kesudahannya. Ada pun dalam angkatan kafir itu pun demikian juga luka dan mati, lalu undurlah keduanya angkatan itu. Islam pun dukacitta hatinya dan Nasrani pun demikian lagi. Masingmasing pulang kepada tempatnya. Itulah hal parang sabil Allah.

Alkissah dan kuceriterakan johan pahlawan Tahalele ke tanah Bandan*minta tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Maka negeri Bandan* sekalian keluar angkatan ke tanah Hitu. Entah berapa aluannya, tetapi penghulu yang besar dalam angkatan itu pertama kapitan Falat, kedua kapitan Atijauh, ketiga orangkaya Watimena dan raja Rosengaing*. Hatta berapa lamanya datangnya itu dan negeri Hitu pun keluar angkatan serta dia bersama-sama mendatangi kafir laknat itu dan kafir itu pun keluar angkatan. Hatta terbit fajar kepada bakda subuh keluarlah kedua pihak angkatan itu berlawanlah dan bunyi senjata itu tiada dapat dikatakan. Asapnya itu menjadi awan menudung kepada kedua angkatan itu tiada berkenalan. Hatta hilang awan itu, maka dilanggar sebuah kapal, lalu patah parang kafir itu dan angkatan Islam itu kembali serta kemenangannya, makan-minum bersukasukaan.

Kemudian daripada itu pergi alah kepada negeri, Tuhahan* namanya, maka ia kembali ke negeri Hitu. Hatta datang musim, lalu pulang ke tanah Bandan. Kemudian daripada itu datang pula angkatan itu ke tanah Hitu, tetapi tiada masyhur parangnya itu. Sehingga datang musim ia pulang. Itulah kesudahan tanah Bandan* datang ke tanah Hitu tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Alkissah dan kuceriterakan oleh yang empunya ceritera sekali perastawa orang Hitu keluar dengan kelengkapannya. Dan angkatan Ferangi pun keluar sama bertemu di pantai Kota Laha, maka melawanlah kedua angkatan itu. Pada mati dan luka itu tiada dikira-kirakan lagi. Hatta berapa lamanya serta dengan kehendak Allah ta`ala sebuah kelengkapan Islam, hulubalang Pati Lihat namanya, tebakar oleh api obat bedil sendirinya. Maka didapat oleh kafir laknat itu, lalu undurlah kelengkapan Islam itu kembali dengan dukkacittanya. Ada pun pada ketika itu ada juga suruan pangeran. Ia membuat kota di pantai sebelah berhadapan kota Ferangi. Itu pun tiada juga jadi kota, itu bukan dialah oleh Ferangi, ia meninggal sendirinya pulang ke negeri Hitu.

Hatta lama dengan lamanya sebagai juga tiada berputusan parang sabil Allah. Segali perastawa keluar angkatan kafir laknat itu serta orang Tidore dan orang Buru mendatangi di negeri Hitu dan orang Hitu pun harkat menanti di pantai. Hatta datang angkatan itu lalu turun, maka hulubalang Ulu Ahutan ia becakap di hadapan orang sekalian: ‘Jangan dahulu orang keluar, biarlah aku sendiri keluar dahulu. Apabila tiada patah orang itu, tuhan-tuhan sekalian keluar.’ Lalu ia bertempik ke dalam tentara kafir itu serta menettak, maka patah parang laknat itu. Masing-masing lari terjung ke dalam air berenang kepada tempatnya sehingga hulubalang Sulaiman: maka ia tiada paling mukanya, maka ia bertankis-tankisan dengan perisainya serta undur datang kepada air sehingga lututnya, lalu naik kepada kelengkapannya pulang ke Kota Laha. Tellah demikian itu dan kuceriterakan tatkala bendahara gimelaha Rubohongi ia pulang ke rahmat Allah meninggalkan negeri fanah datang kepada negeri yang baka. Maka dihabarkan orang kepada kafir laknat itu, lalu ia keluar angkatan. Kehendak kafir itu menggagahi akan mayit bendahara itu, tetapi tiada dapat lagi, sebab sudah dipindahkan ke Tanah Besar. Lalu ia menyerrang kepada negeri Hitu.

Tatkala itu sekalian hulubalang serta pendagar semuanya tiada, sehingga Jumat pahlawan al-Din ada,tetapi ia dalam uzur. Maka pada ketika itulah perdana Kapitan Hitu memagang senjata, ia masuk parang kepada tentara kafir itu. Hatta seketika juga patah parang kafir laknat itu, lalu naik kepada kelengkapannya pulang ke Kota Laha. Itulah parang sabil di tanah Ambon, sungguh pun disubut tanah Ambon, tetapi tanah Hitu juga parang siang dan malam tiada berputusan. Kadang-kadang Tanah Besar masuk kepada parang. Sebab itulah maka dikatakan tanah Hitu di belakang perisyai dan Tanah Besar di dalam perisyai. Karena tatkala zaman parang itu hulubalang dan pendagar ada semuhanya -- pertama Ulu Ahutan, kedua hulubalang Hasan Pati, ketiga hulubalang Hatib Tunsulu,keempat Pati Baraim, kelima Umar pendagar, keenam Mahir pendagar, ketujuh pendagar Nahoda, kedualapan pendagar Nasiela -- hulubalang yang termasyhur dalam tanah Hitu. Lain daripada itu tiada kusubutkan melainkan Jumat, pahlawan al-Din. Ialah yang termasyhur pendagarnya dan terlalu amat gagahnya daripada sekalian.

Itulah sangat parang sabil Allah di tanah Hitu. Dan kuceriterakan hulubalang kafir laknat itu pertama Don Duarde, kedua kapitan Sanco*, ketiga Paulo Kastanya dan Dan Tamura dan Dirgurumaridisi dan Siku Kisua dan Don Disera* dan Fernando Melo* dan Antoni Laliru. Lain daripada itu tiada kuceriterakan, sehingga inilah dimasyhurkan sangat parang kafir di tanah Ambon. Tatkala pada zaman itu alah menang sama kedua pihak itu. Kuceriterakan menang Islam kepada kafir itu: sekali alah sebuah kapal di tanah Bandan, kedua sebuah di pantai Hitu dan ketiga sebuah serta angkatan Bandan* dan keempat langgar kepada pinsu* dan kelima langgar kepada antonibot*. Lain daripada itu tiada kuceriterakan. Dan menang kafir kepada Islam pun demikian lagi, karena parang sabil di tanah Ambon itu tujuh puluh tahun daripada parang Don Duarde sehingga datang parang Antoni Furtado*. Tatkala belum lagi datang Furtado itu, maka datang sebuah kapal Wolanda. Ia masuk ke Hitu, maka orang Hitu tanya kepadanya:‘Darimana datangmu dan apah nama negerimu?’

Maka ia menyahut: ‘Kami datang dari negeri Hollandes* dan nama raja kami “Paringsi*”.’ Maka kata orang Hitu: ‘Bolehkah kami minta armada tolong kepada kami?’ Maka kata orang itu: ‘Mengapah maka tiada boleh?

Penutup

Kebaikan para leluhur di Tanah Hitu khususnya Mamala dimanfaatkan oleh Portugis. Mengusir Portugis dari Tanah Hitu merupakan perjuangan yang panjang dan mengorbankan banyak korban jiwa dan harta. Berbagai peristiwa di atas menjadi acuan Kapitan Tepil saat berdiplomasi dengan Belanda kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.