Pendahuluan
Peristiwa perlawanan leluhur
Tanah Hitu melawan Portugis yang bersumber dari Hikayat Tanah Hitu- nya Imam
Rijali menjadi menarik, setelah membandingkannya dengan keterangan yang ada
dalam referensi lainnya seperti Sejarah Kepulauan Rempah-Rempahnya M. Adnan
Amal. Kedua referensi ini saling melengkapi dalam tahun kejadian dan
tokoh-tokoh yang terlibat sehingga dapat menegakkan peristiwa apa yang terjadi.
Sekaligus memberi bantahan kepada M. Adnan Amal tentang “Penculikan Sultan
Baabullah yang dilakukan Portugis” tidak dicampuri oleh leluhur Tanah Hitu saat
itu, seperti yang disampaikan dalam tulisannya. Mamala ditekankan dalam tulisan
ini mengingat Mamala adalah tempat pertama kali didatangi oleh Portugis dan
kemudian menjadi basis pertahanan Portugis. Bagian ini sekaligus merupakan
penjelasan perjuangan leluhur Tanah Hitu di Ambon sebelum mengalami kekalahan
(lihat: Kekalahan Mengerikan di Tanah Hitu) yang kemudian menjadi
acuan Kapitan Tepil dalam diplomasinya terhadap Belanda.
Kedatangan
Portugis di Tanah Hitu
Sejak tiba di Hitu dalam tahun
1512, orang-orang Portugis di bawah pimpinan d’Abrio dan Serroa disambut dan
dijamu dengan ramah tamah oleh orang Hitu yang telah beragama Islam. Jumlah
orang Portugis yang sedikit itu tidak dianggap sebagai ancaman, apalagi mereka
segera pergi setelah tinggal beberapa lama. Maksud orang-orang Portugis itu
hanyalah mencari rempah-rempah (cengkih dan pala), dan zaman itu mereka harus
pergi ke Ternate, Tidore dan Banda. Dalam tahun 1525, barulah orang Portugis
mendapat izin membangun sebuah rumah di pantai Hitu sebelah Utara, tepatnya di
Hassamuling-tanjung Tetulaing (lokasinya berada di antara Mamala-Hitu). Tetapi,
keadaan tersebut menjadi buruk ketika orang Portugis melanggar kedaulatan orang
Hitu yakni ketika mereka hendak membangun sebuah benteng dan mengadakan
peraturan-peraturan sendiri. (Lihat: Kekalahan Mengerikan Di Tanah Hitu) Orang Hitu menolaknya
dan menghendaki orang Portugis meninggalkan wilayah mereka dan tinggal di
antara orang-orang uli siwa (cikal bakal benteng Victoria). Sejak itu pula
terjadi pengkristenan orang uli siwa di Leitimor oleh Portugis. Orang-orang uli
siwa ini meminta dibaptis menjadi Kristen oleh orang Portugis dengan harapan
akan mendapat bantuan terhadap penyerbuan orang uli lima tersebut. Keuning
mencatat bahwa abad ke 16 bagi Ambon bukanlah zaman yang damai. Adanya orang
Portugis pada umumnya merupakan faktor yang mengganggu suasana, terutama di
Leitimor. Kehadiran mereka memperuncing pertentangan lama (tradisional) antara
uli siwa dan uli lima, dan membagi seluruh negeri dalam dua kelompok kekuatan
yang terus menerus saling memerangi.
Salah seorang misionaris
terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian
melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah
melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan
penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570.
Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis
harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.
Keberadaan
Portugis di Mamala
Don Duarde datang dari
Portugis dengan kelengkapannya, maka ia naik ke darat, dengan berbagai
bunyi-bunyian. Maka didirikanlah panji-panji perang dan tentara Islam pun
demikian. Panglima dan pendekar serta dengan harkatnya. Maka kedua pihak saling
berperang. Pada saat itu Khatib ibnu Maulana dan Tahalele ibnu Abubakar Nasiddik keduanya
syahid. Kemudian Totohatu ibnu Zamanjadi mengamuk dan menyerang orang Portugis.
Pendekar perang Umar mengamuk dan merampas panji-panji Portugis.
Disamping kemarahannya kepada
Portugis, pahlawan Tubanbesi maju dan merengsek kedalam medan pertempuran
sambil membathin dalam dirinya, “Sangat beruntunglah aku pada kesempatan kali
ini, karena pintu surga sudah terbuka”. Saat itu atas kehendak Allah Swt,
kulitnya menjadi kebal terhadap besi. Tentara Portugis bercerai berai hingga
akhirnya mundur dan melarikan diri.
Beberapa waktu kemudian,
terbertik kabar di telinga Empat Perdana tentang berita kedatangan Sultan
Ternate Baabullah yang biasa disebut Sultan Bab, ke Ambon (tahun 1583). Setelah
memastikan kebenaran berita tersebut, maka Empat Perdana bermufakat untuk
berdamai dengan Portugis dan melakukan upaya diplomasi bertemu dengan Sultan
Baabullah. Kerajaan Tanah Hitu merupakan wilayah yang independen, tidak
dibawahi oleh Kesultanatan Ternate. Kedatangan Baabullah ke Ambon (Kota Laha)
sendiri ternyata adalah hasil upaya Portugis untuk membuat kesepakatan damai
Portugis dan Ternate. Namun dibalik rencana tersebut Portugis memprovokasi adu
domba antara Ternate dan Hitu sehingga terkesan bahwa orang Hitu membantu
menculik Sultan Ternate Baabullah. Karena rencana busuk Portugis inilah
akhirnya Portugis mau berdamai dengan Empat Perdana di Tanah Hitu.
Empat Perdana Tanah Hitu
mengutus empat puluh orang gagah yang membawa empat puluh mata keris yang
dimasukkan ke dalam gendaga dan di atas keris itu adalah kain muslim sehelai
yang ditaburi sirih pinang, bunga dan buah-buahan. Setelah melihatnya, Sultan
berkata. “Sampaikan salamku kepada Empat Perdana. Adapun daging darahku tidak
demikian. Tanda kasih dan tulus serta kehendaknya itu telah sampai kepada kami,
maka kami pun menerima dengan sempurnanya. Kalian saudaraku dari dunia datang
ke akhirat.” Setelah penyampaian tersebut disampaikan kepada Empat Perdana,
keempatnya sebenarnya hendak melakukan kunjungan ulang kepada Sultan di kapal,
namun Portugis telah berlayar membawa Sultan.(Diketahui kemudian adalah upaya
penculikan Sultan Baabullah oleh Portugis).
Maka terjadilah lagi perang
antara Tanah Hitu serta Tanah Ambon sekalian berperang melawan Portugis
kembali. Don Duarte datang dan membuat
poskonya di pantai Hitu, maka terjadilah perang yang amat dasyat, siang dan malam.
Orang Tanah Hitu terdesak dan mundur serta bertahan di Ulu Kolol (Ulu Pokol?)
perbukitan di Mamala dan bertahanlah orang Tanah Hitu di situ.
Akhirnya pertahanan di Ulu
Kolol (Ulu Pokol?) pun kalah. Maka takluklah orang Tanah Hitu kepada Portugis.
Sehingga ke-Empat Perdana dan sebagian masyarakat Tanah Hitu pindah ke tanah
besar (Seram) tepatnya di Luciela. Sekalipun demikian peperangan selalu terjadi
berulang di Tanah Hitu. Saat itu Kimelaha Laulata ada di Tanah Ambon, dan
kembali ke negeri Luhu. Kemudian setelah beberapa waktu kemudian Hukom Abubakar
menghadap Sultan Ternate, untuk membuat perjanjian. Untuk keterangan lebih
lanjut tentang hal ini belum berhasil didapatkan dari referensi lainnya.
Sistem kerajaan Tanah Hitu saat itu adalah dipimpin oleh seorang raja dan hukom, serta empat perdana dengan tujuh punggawa (tujuh punggawa yang dimaksud adalah pimpinan dari masing-masing uli) serta membawahi tiga puluh gelaran (tiga puluh gelaran yang dimaksud adalah tiga puluh negeri yang terbentang dari Negeri Lima sampai Tial sekarang). Kedudukan antara raja dan hukom sampai saat ini sulit ditemukan referensi lainnya yang menerangkan keduanya. Apalagi pada ulasan berbagai referensi terlihat posisi hukom yang lebih dominan, pada masa dijabat oleh Abubakar.
Masyarakat Tanah Hitu yang mendengar berita kedatangan Hukom Abubakar dari
Ternate, segera menyuruh gelaran (pimpinan negeri) Tuheasal dan Tuhelusun
menemui Hukom dan keempat perdana. Keduanya menyatakan loyalitasnya serta
mempertanyakan keberadaan dan perhatian
Hukom Abubakar kepada mereka serta meminta Hukom untuk kembali ke Tanah
Hitu. Hukom Abubakar menyampaikan bahwa perhatian beliau kepada mereka sangat
besar dan meminta mereka untuk mengenyahkan para penjajah, jikalau mereka loyal
kepadanya.
Keduanya menyampaikan kepada
negerinya dan mereka pun membunuh kafir di dalam negeri itu. Hasilnya mereka
sampaikan kepada Hukom Abubakar dan keempat perdana, ketika pulang ke Tanah
Hitu, dan mendiami bukit Hatunuku. Pada masa itu negeri Hitu sekalian memberi
upeti ikan kepada keempat perdana. Hal ini diperintahkan oleh Hukom Abubakar
dan keempat perdana, dan semua negeri pun kembali kepada Hukom Abubakar dan
keempat perdana. Sekelumit info mengenai Hatunuku (Hatoenoeko); Pada tahun
1600, yakni dua tahun sebelum VOC didirikan, Belanda membangun benteng Verre di
sini untuk menentang Portugis, yang kemudian disebut benteng Kota Warwijk, nama
dari seorang pelaut Belanda yang pertama kali menginjakkan kaki di Ambon.
Negeri Hitu dan negeri
Nusaniwe bermusyawarah untuk bermufakat dan membuat perjanjian, Pati Lopulalan
dengan Perdana Tanahitumesen, Totohatu dengan Lisakota, Latuhalat dengan
Perdana Nusatapi, Pati Tuban dengan Pati Naelai. Hasil musyawarah menyatakan
jika ada kesulitan atau kebaikan di keduanya, adalah milik bersama. Sejak saat
itu tidak ada perbedaan antara negeri Nusaniwe dan negeri Hitu. Nama gelaran
negeri Henalale dinamai Hehahitu dan gelaran negeri Latua dinamai Hehatomu.
(Keduanya berada di Uli Nau Binau). Negeri Ureng dan Asilulu sekalipun termasuk
dalam kategori uli siwa, tetapi dalam pihak uli lima (dalam martabat negeri
Hitu). Perjanjian itu mencakup negeri Alang, Liliboi, Larike, Wakasihu, Asilulu
dan Ureng. Nusaniwe merupakan suatu negeri asli di pesisir selatan Ambon, dan
salah satu kerajaan pertama di Ambon. Kebangkitan Islam di sana dibendung sejak
masa Portugis maupun masa-masa awal kolonialisme Belanda. Hal tersebut juga
dilakukan di negeri-negeri lainnya seperti Alang dan Hutumuri.
Mendengar penculikan Sultan
Baabullah oleh Portugis, Kimelaha Rubohongi yang merupakan orang dekat
sekaligus pembantu utama Baabullah datang ke Ambon beserta keluarganya Kimelaha
Haji dan Kimelaha Sakatruna, Kimelaha Kasigu, Kimelaha Jumali, Kimelaha Kulabu,
Kimelaha Aja, Kimelaha Basi dan Kimelaha Angsara. Sementara dari pihak Sultan
Ternate yang datang adalah Kaicil Cuka, Kaicil Kodrat, Kaicil Abu Syahid,
Kaicil Kaba, Kaicil Naya, Kaicil Ici, Kaicil Aya, Kaicil Ali. Sementara dari
pihak anggota Kesultanan Ternate yakni raja pertama Kalaudi, Usman, Kabutu
Malu, Sagalua, Sibangua, dan Ambalau. Kisah selanjutnya bersumber dari Hikayat
Tanah Hitunya Imam Rijali. (Lihat: Kekalahan Mengerikan di Tanah Hitu)
Pembahasan
Pemerintahan Kerajaan Tanah
Hitu dipimpin oleh seorang Raja atau Hukom dengan Empat Perdana yang membawahi
tigapuluh negeri (gelaran) dengan tujuh punggawa (Pimpinan Uli). Kedudukan Raja
atau Hukom sulit untuk dibedakan, karena keterbatasan referensi. Dari kisah
yang ternarasikan di atas memperlihatkan peran Hukom Abubakar Nassidik yang
begitu besar laiknya seorang raja.
Pergolakan awal leluhur Tanah
Hitu melawan Portugis yang dipimpin oleh Hukom Abubakar Nassidik dan Empat
Perdana serta ketujuh Punggawanya (lihat: Kekalahan Mengerikan di Tanah Hitu); menggunakan sistem
gerilya ditandai dengan mundur disaat terdesak ke Mamala, Ulu Kolol (Ulu
Pokol?) akhirnya ke Luciela (daratan Huamual di sebelah Luhu sekarang). Hukom
Abubakar Nassidik kembali ke Tanah Hitu untuk mengkonsolidasikan kekuatan
dengan membuat basis pertahanan di bukit Hatunuku.
Pertemuan antara Sultan
Baabullah dengan empatpuluh orang utusan Empat Perdana dimanfaatkan Portugis untuk
membuat opini bahwa penculikan terhadap Sultan Baabullah ini juga dibantu oleh
orang Hitu. Kunjungan balasan Hukom Abubakar Nassidik ke Ternate, sepertinya
menjadi pencerahan bagi pihak kesultanan Ternate dengan mengirimkan Kimelaha
Rubohongi dan keluarganya serta para pangeran (Kaicil) Ternate serta pasukannya
untuk menyerang Portugis yang sudah membuat basis pertahanan di Mamala.
Rubohongi merupakan orang
kepercayaan dan pembantu utama Babullah. Setelah Babullah dinobatkan sebagai
Sultan Ternate, ia mengirim Rubohongi ke Ambon (1570) sebagai Salahakan untuk
menggantikan ayahnya, Samarau, yang sudah tua. Di bawah Rubohongi, Ternate
berhasil memantapkan posisinya atas Seram, Buru dan sekitarnya. Rubohongi juga
berlayar ke Tomimi dan mempersembahkan Teluk Tomimi di Sulawesi Tengah kepada
Kesultanan Ternate. Rubohongi mempunyai lima anak: Jumali, Angsara, Kasigu,
Dayan, dan Basaib. Jumali, putera pertama Rubohongi, memiliki seorang putera
bernama Sabadin, yang menurunkan Majira. Pada masa pemerintahan Sultan Hamzah,
Majira menjadi Salahakan, dan melakukan pemberontakan melawan VOC. (Lihat: Hubungan Cerita Sejarah Tanah Hitu di Ambon dan Ternate Bagian
Satu).
Perjalanan sejarah kolonialisme di Maluku, dapat digambarkan dengan video yang berjudul "This is the spice island history according to Indonesia coloniser history", yang menjelaskan kepentingan bangsa penjajah akan rempah-rempah dimulai dari Banda, Mamala (Ambon) dan Ternate sebagai berikut:
Perjalanan sejarah kolonialisme di Maluku, dapat digambarkan dengan video yang berjudul "This is the spice island history according to Indonesia coloniser history", yang menjelaskan kepentingan bangsa penjajah akan rempah-rempah dimulai dari Banda, Mamala (Ambon) dan Ternate sebagai berikut:
Referensi
Imam Rijali, Hikayat Tanah
Hitu, source www.anu. edu. au
Amal Adnan M, Kepulauan
Rempah-Rempah, available at
www.batukarinfo.com/system/files/Sejarah%20Kepulauan%20Rempah-Rempah.pdf
Nusaniwe, available at
http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Noessanive.403p
Hatoenoeko, available at
http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Hatoenoeko.435p
Valentijn F,
Oud en Nieuw Oost-Indiƫn:
vervattende een naaukeurige en uitvoerige, available at
https://books.google.co.id/books?id=1XtEAQAAMAAJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.