Pendahuluan
Kalau melihat bagian satu
lebih menitik beratkan pada ringkasan cerita sejarah Ternate, maka pada bagian
dua ini menceritakan sejarah Tanah Hitu, dalam menghadapi Portugis dan VOC.
Dalam rangka membuat sistematika cerita sejarah Tanah Hitu dengan menggabungkannya
dengan referensi lain. Jika penulisan cerita sejarah
dengan topik yang sama pada bagian-1, dimaksudkan untuk memberikan informasi
tentang kesultanan Ternate yang mendalam, sehingga dapat lebih memahami tentang
cerita sejarah Tanah Hitu yang lebih luas sebagai bagian dari pengetahuan
sejarah para generasi muda di Tanah Hitu khususnya dan Maluku pada umumnya.
Maka pada bagian dua menguraikan cerita sejarah Tanah Hitu, mulai dari terbentuknya suatu
peradaban di Tanah Hitu khususnya secara ringkas.
Kondisi Sosial Politik di Pulau Ambon Sebelum Islam
Penduduk Indonesia terdiri dari
beraneka ragam suku bangsa, masing-masing mempunyai organisasi pemerintahan dan
struktur sosial politik yang berbeda-beda. Penduduk pulau Ambon dahulu hidup
berkelompok-kelompok, membentuk masyarakat-masyarakat kecil yang terdiri dari
beberapa keluarga. Mereka menetap di pegunungan-pegunungan dan negeri-negeri
kecil. Masyarakat ini kelak oleh Belanda dipaksa pindah ke daerah-daerah pantai
sampai saat ini.(1)
Sebelum Kerajaan Islam berdiri di
Pulau Ambon maka yang ada adalah kelompok masyarakat-masyarakat kecil yang
sederhana terdiri dari beberapa keluarga saja yang menduduki suatu tempat
tertentu. Kelompok kecil ini dikepalai oleh seorang “Upu” atau “Latu”
(pemimpin). Dia diakui kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi. Oleh karena
kekuatan yang unggul, baik dalam perang maupun dalam masa damai, karena
wibawanya dalam memelihara stabilitas keamanan. Dia dibantu dalam urusan
pertahanan dan keamanan oleh seseorang yang disebut “Malesi” (Panglima perang)
dan dalam urusan keagamaan (keamanan rohani) oleh seorang yang disebut
“Mau-Weng” (Imam / dukun) yang mengurus segala hal yang berhubungan dengan
masalah kerohanian. (2)
Lama kelamaan oleh karena
perkembangan dari dalam serta peperangan antar kelompok-kelompok pendatang baru
dengan penduduk yang sudah ada, maka proses pertumbuhan dan perubahan terjadi,
di mana masyarakat-masyarakat kecil itu bertambah besar atau bergabung satu
dengan yang lain hingga terbentuk satuan-satuan yang lebih besar yang disebut
“Aman”. Salah seorang di antara para Upu muncul sebagai yang terkuat dan
terpandang dan dialah yang menjadi “Latu” (yang berkuasa). Upu-upu lain diberi atau memperoleh jabatan sebagai “Soa”.
Soa adalah bagian dari masyarakat negeri (hena) yang lebih rendah itu yang
terdiri dari beberapa “Rumatau” (mata) rumah. Yaitu golongan-golongan
perkerabatan / hubungan darah yang mengikuti garis keturunan kebapaan
(patrlinial). Masing-masing soa diwakili dalam berbagai fungsional sebagai
Malesi, Mau-Weng dan pejabat-pejabat lainnya. (3)
Inilah susunan kemasyarakatan pokok yang terdapat sampai dewasa ini di Pulau Ambon. Sedang susunan politiknya
telah menyesuaikan diri dengan kondisi sekarang. Apabila diperhatikan kelas-kelas sosial yang
ada dalam masyarakat Pulau Ambon sebelum kedatangan pengaruh Islam yang sudah
dijelaskan di atas tadi, maka jelaslah ada status resmi dari kedudukan mereka.
Oleh sebab itu mobilitas sosial waktu
ditentukan oleh saluran kekuasaan. Salah
satu contoh adalah jabatan ‘Soa”, sebagai penguasa merupakan jabatan turun
temurun yang tidak diduduki oleh anggota lain dari kelompok itu, kecuali
dirinya menduduki status sebagaimana status sosial orang tuanya.
Meskipun kekuatan Majapahit
meliputi Maluku dan tentunya Pulau Ambon juga, tetapi pengaruh ajaran Hindu
tidak kuat di sana. Hal itu terlihat tidak adanya peninggalan Hindu sehingga
yang timbul dalam masyarakat adalah ciri masyarakat lokal. Hal itulah yang akan menjadi sebab kenapa
Islam di Pulau Ambon tumbuh dan berkembang dengan kuat, sekaligus mempercepat
proses Islamisasi dalam masyarakat Pulau Ambon waktu itu. Kemudian pada masa
tahun 1450 sampai 1675 timbul beberapa kejadian yang membawa pengaruh besar
dari luar.
Pengaruh Islam
Pengaruh penting yang pertama
adalah Islam yang datang ke Maluku Tengah sebagian besar dari Maluku Utara.
Mulai kurang lebih tahun 1480 M. Kekuasaan-kekuasaan Kesultanan Ternate dan
Tidore meluas ke Selatan dengan membawa agama Islam ke negeri-negeri di pesisir
Utara pulau-pulau di Maluku Tengah. Proses pengislaman itu berlangsung sampai
pertengahan abad ke 17, walaupun melambat setelah kedatangan Portugis dan
Belanda yang menyebarkan agama Kristen. Dengan demikian di dalam bidang
perkerabatan di Seram dan Ambon serta Lease. Sebelum kedatangan pengaruh dari
luar, sistem perkerabatan disusun berdasarkan keibuan (Matrilineal). Perubahan
ini mungkin sekali adalah akibat dari pengaruh-pengaruh luar, khususnya Agama
Islam yang kemudian diperkuat oleh Kristen dan kebudayaan Eropah yang semuanya
menganut secara tegas dalam sistem perkerabatan. (4)
Tentu saja pengertian
kepercayaan dari agama suku ke agama Islam telah membawa perubahan-perubahan
lain pula. Terutama dalam lembaga keagamaan, tetapi juga di dalam lembaga lain
seperti ekonomi rakyat, nilai-nilai sosial dan sebagainya.
Empat Perdana Tanah Hitu
Imam Ridjali di dalam Hikayat
Tanah Hitu menceritakan tentang datangnya empat kaum yang menjadi cikal bakal
penduduk Hitu. Merekalah yang menjadi pendiri kerukunan yang amat kuat yang
kemudian dikenal dengan nama “Empat Perdana”. Keempat kaum tersebut datang dari
tempat yang berbeda. Yang pertama datang
dari pantai tenggara pulau Seram. Kaum ini disebut Saupele atau Zaman Jadi.
Kelompok kedua menurut Ridjali datang dari Tuban yang menurut Rumphius tiba
pada tahun 1460 dan menetap di pantai dekat sungai Waipaliti. Kaum ketiga
disebut Latim (Lating), datang dari Jailolo (Halmahera) dipimpin oleh Jamilu
pada tahun 1465. Menurut Rumphius mereka juga menetap dekat Waipaliti.
Gb Skema Lokasi negeri Latem yang berdekatan dengan Waipaliti |
Kaum keempat bernama Olong
datang dari Gorong (pulau Seram bahagian Timur). Mereka dipimpin oleh Mata Lian
yang terkenal dengan gelar Patih Putih. Seperti yang telah dikemukakan Patih
Putih inilah yang berkunjung ke Jawa sekitar tahun 1500, setelah tinggal
beberapa bulan kembali ke Tanah Hitu dan dikenal dengan nama Pati Tuban. Dialah
yang bertemu dengan penguasa Ternate yang juga sedang belajar agama di Jawa,
sehingga hubungan dengan kesultanan Ternate menjadi lebih erat. Tanah Hitu
kemudian berhasrat menjadi suatu pusat kekuasaan politik dan agama yang diperintah
oleh lembaga-lembaga Kesultanan seperti di Ternate. Maka disusunlah pemerintah
Hitu yang dikenal Pemerintahan Empat Perdana. Pemerintahan Empat Perdana tersebut
dijalankan secara periodik oleh empat orang yang merupakan pimpinan dari empat
kaum utama dari masyarakat Hitu. (Sumber: Sejarah Masuknya Islam di Maluku
Penulis Dr. Usman Thalib M.Hum) (6)
Pengaruh Portugis dan Belanda
Bangsa Eropa pertama yang
menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada
Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau,
mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan
dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di
pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli,
begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon. Namun hubungan dagang
rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem
monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang misionaris
terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian
melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah
melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan
penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570.
Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis
harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.(7)
Keuning (1973: 19-20)
selanjutnya menjelaskan bahwa sejak tiba di Hitu dalam tahun 1512, orang-orang
Portugis di bawah pimpinan d’Abrio dan Serroa disambut dan dijamu dengan ramah
tamah oleh orang Hitu (uli lima) yang telah beragama Islam. Jumlah orang
Portugis yang sedikit itu tidak dianggap sebagai ancaman, apalagi mereka segera
pergi setelah tinggal beberapa lama. Maksud orang-orang Portugis itu hanyalah
mencari rempah-rempah (cengkih dan pala), dan zaman itu mereka harus pergi ke
Ternate, Tidore dan Banda. Dalam tahun 1525, barulah orang Portugis mendapat
izin membangun sebuah rumah di pantai Hitu sebelah Utara, tepatnya di Hassamuling-tanjung Tetulaing (lokasinya berada di antara Mamala-Hitu). Tetapi, keadaan
tersebut menjadi buruk ketika orang Portugis melanggar kedaulatan orang Hitu
yakni ketika mereka hendak membangun sebuah benteng dan mengadakan
peraturan-peraturan sendiri. (Lihat: Kekalahan Mengerikan Di Tanah Hitu) Orang Hitu menolaknya dan menghendaki orang
Portugis meninggalkan wilayah mereka dan tinggal di antara orang-orang uli siwa (cikal bakal benteng Victoria). Sejak itu pula
terjadi pengkristenan orang uli siwa di Leitimor oleh Portugis. Orang-orang uli
siwa ini meminta dibaptis menjadi Kristen oleh orang Portugis dengan harapan
akan mendapat bantuan terhadap penyerbuan orang uli lima tersebut. Keuning
mencatat bahwa abad ke 16 bagi Ambon bukanlah zaman yang damai. Adanya orang
Portugis pada umumnya merupakan faktor yang mengganggu suasana, terutama di Leitimor.
Kehadiran mereka memperuncing pertentangan lama (tradisional) antara uli siwa
dan uli lima, dan membagi seluruh negeri dalam dua kelompok kekuatan yang terus
menerus saling memerangi.
Belanda mendirikan pos di
Mamala , di pantai utara pulau Ambon , pada awal 1601. Kota ini membuat
tembikar , dan bersama-sama dengan Hitu lama adalah salah satu pusat
perdagangan yang paling aktif di wilayah Hitu di semenanjung Ambon bagian utara.(8)
Belanda,
ketika menyerang dan merebut benteng Portugis tersebut, dibantu oleh negeri-negeri
dari uli lima dari jazirah Hitu yang beragama Islam, sedangkan dari Leitimor (uli
siwa) hanya penduduk Nusaniwe dan Urimeseng yang memberi bantuan.
Keuning (1973: 21) menjelaskan
bahwa kekuasaan Portugis di Ambon kemudian diambil alih oleh Belanda di bawah
pimpinan Steven van der Haghen, yang berhasil merebut benteng Victoria pada
tgl. 23 Februari 1605. Van der Haghen yang telah menjadi gubernur Belanda di
Ambon, ternyata sanggup mengatasi keadaan krisis terus. Van der Haghen berhasil
mengusahakan sehingga penduduk kampung-kampung di sekitar benteng, yang telah
mengungsi ke daerah-daerah pegunungan, kembali ke tempat tinggalnya yang dahulu. Van der Haghen berjanji untuk
melindungi mereka. Beberapa hari kemudian, janji yang sama diberikannya kepada
sejumlah kepala suku dari pulau-pulau Ulias (di sekitar pulau Ambon) dan dalam
waktu singkat berhasil menjamin keamanan Ambon dan sekitarnya.
Keuning (1973: 23)
menjelaskan, setelah van der Haghen mengambil alih benteng Portugis, pater
Mosonio (pekabar Injil Portugis) menemui van der Haghen untuk membicarakan
nasib kaum Kristen (ulisiwa). Selain membicarakan soal-soal harta dan milik,
mereka minta kebebasan dalam menjalankan ibadah. Dalam hari-hari kemudian, datanglah
Diego Barbudo, seorang Portugis yang sudah lama menetap di situ, dan bersama dengan
beberapa kepala kampung (desa) penting di Ambon, bertemu dengan van der Haghen.
Mereka berjanji akan setia dan takluk kepada Staten van Holland dan minta perlindungan.
Karena takut akan gangguan-gangguan dari pihak islam (ulilima), Pedro Masonio
telah meminta kepada van der Haghen agar diadakan perdamaian antara kedua pihak, Kristen (ulisiwa) dan
Islam (ulilima).
Setelah Diego Barbudo datang
membawa 22 kepala kampung (raja, orang kaya) dari negeri-negeri dari Leitimor,
ia kemudian membawa sejumlah pemimpin lainnya dari pulau-pulau di sekitar
Ambon, yakni Saparua, Haruku dan Nusalaut, untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada
Belanda. Sikap yang sama diajukan oleh para pemimpin dari Hitu, dengan pimpinan
kapitan Hitu, dan uli lima lainnya (Leirissa, 2005: 24, 25). Berkumpulnya para pemimpin
negeri-negeri dari uli siwa dan uli lima di pulau Ambon, dan dari pulau-pulau di
sekitar Ambon, menjadi momentum bagi van der Haghen untuk mempersatukan para pemimpin
tersebut, menciptakan perdamaian, sekaligus membawa keuntungan politik dan ekonomi
baginya. Van der Haghen, dengan demikian berhasil menaklukan dan menguasai monopoli
perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Van der Haghen, dalam bulan
Februari 1605 berhasil mengadakan persetujuan dengan kapitan (panglima perang)
dan kepala-kepala suku lainnya, dengan syarat-syarat terpenting, sebagai
berikut (Keuning, 1973: 24):
1. Kami, semua kepala-kepala,
bersumpah untuk membantu Gubernur terhadap semua musuh yang mungkin mempunyai
rencana untuk menyerang beliau atau benteng ini, baik dari laut, maupun dari
darat.
2. Kami bersumpah, bahwa kami
tidak akan menjual cengkih kepada siapapun, melainkan kepada orang-orang
Belanda, kecuali dengan pengetahuan terlebih dahulu dari Gubernur.
3. Setiap orang akan hidup
menurut agama masing-masing, sesuai dengan apa yang dianggapnya adalah kehendak
Tuhan atau akan membawa keselamatan bagi mereka; akan tetapi tiada orang yang
diperbolehkan menganiaya atau mengganggu orang lain.
4. Apabila Gubernur memanggil
kami untuk melakukan suatu pekerjaan, maka orang Uli siwa wajib memberi bantuan
kepada orang Uli lima, dan demikianpun orang Uli lima kepada orang Uli siwa.
5. Berdasar
perjanjian-perjanjian tersebut, Gubernur, atas nama “de Heeren Staten Generaal
der vereenighde provintien ” dan Yang Mulia Pangeran (van Oranye), berjanji untuk
menolong dan mendampingi kapitan Hitu dan semua kepala-kepala dan rakyat dari
daerah-daerahnya itu, seperti negara sendiri terhadap semua musuh-musuhnya.
Referensi
1
Hamadi B.Husen, M.Noor
Tawainella, Monografi Sejarah Departemen Agama Daerah Maluku, Departemen Agama
RI Jakarta. 1982, halaman 6-7
Pramita Abdurahman, R.Z.Leirissa,
C.P.F.Luhulima, Bunga Rampai Sejarah Maluku I, Lembaga Penelitian Sejarah
Maluku, Jakarta,1973, halaman 119.
Ibid, halaman 119
Ibid, halaman 120-121
Ibid, halaman 122-124
Usman
Thalib, Sejarah Masuknya Islam di Maluku, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional, Provinsi Maluku dan Maluku Utara 2011
http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/portugis.html
http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Mamala.440p#.Vk3v2HvnSvs.facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.