Pendahuluan
Mamala
sebagai suatu negeri terbentuk jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Islam Tanah
Hitu di Ambon. Mamala adalah ulisiwa
bersama dengan Halong, Hatiwe, Hutumuri dan Baguala. Mamala termasuk dalam uli Saylesi dengan
pimpinan atau raja yang bergelar Latu Polonunu. Peralihan dari ulisiwanya Mamala menjadi
ullima setelah kedatangan Mihirsihul dari Kesultanan tertua Jailolo yang
merupakan ayah dari Jamilu {Klan Nusatapi di Tanah Hitu} {Gb 1}, Kiyai Pati atau Ulima
Sitaniya dan Sallat. Keberadaan Mamala sebagai negeri akhirnya tenggelam
bersama dengan terbentuknya Kerajaan Islam Tanah Hitu, yang keberadaannya
muncul bersamaan dengan perlawanan imperialisme Portugis. Latu Polonunu pertama
Mamala sewaktu sudah menjadi Ulilima adalah Mihirsihul. Peninggalannya yang
masih ada di Mamala saat ini adalah Bendera Harimau Champa dan Bendera Latu Liu. Halaene yang
merupakan cicit dari Jamilu menjadi
pimpinan uli Saylesi sekaligus menjadi Hukom di Tanah Hitu. Penyebutan ulisiwa
dan ulilima merupakan budaya asli Ambon, bukan adopsi dari Tidore {Ulisiwa} dan
Ternate {Ulilima}, seperti yang dijelaskan oleh Ziwar Effendi.{1,2,3,4}
Pemaparan ini sekaligus memaparkan bahwa Klan Nusatapi adalah leluhur Mamala
sekaligus raja Uli Saylesi yang bergelar Latu Polonunu. Dalam uraian yang panjang
ini juga menjelaskan landaad tahun 1637 tentang dua raja yang dimaksud adalah
raja negeri Mamala dan raja negeri Hitu {bukan dua raja dalam Kerajaan Tanah
Hitu}, sekaligus menjelaskan Kakiali yang kemudian menggantikan Halene namun
tidak tertulis dalam Landaag tahun 1637 dan kenapa Samusamu kemudian menjadi raja
setelah meninggalnya Kakiali.
Gb 1. Silsilan Klan Nusatapi / Silsilah Jamilu {Latu Polonunu} |
Era
Kedatangan Belanda di Maluku
Di
Maluku terdapat dua pulau terbesar yakni Buru dan Seram selain Ambon yang jauh
lebih kecil, sekitar lima puluh kilometer panjangnya. Ambon memiliki teluk yang
menjorok dalam pulau ini dan membagi menjadi
bagian utara dan bagian selatan,serta hanya dihubungkan oleh tanah genting yang
sempit. Bahkan sebelum munculnya Ternate dan Tidore, teluk ini adalah tempat
yang popular pelabuhan perdagangan. Ibukota pada waktu itu di daerah pinggiran
air besar Mamala {Way Solopay}, bagian utara Ambon. Sebagai hasil dari
perdagangan, selain orang Jawa, orang Melayu juga banyak tinggal di sana dan
banyak bahasa Melayu dituturkan di pelabuhan. Islam ditemukan pertama kali di
antara para imigran ini dan kemudian di antara yang lainnya penduduk Tanah Hitu.
Populasi selatan teluk Ambon mempertahankannya kepercayaan tradisional.
Sementara Tanah Hitu sendiri tidak mengejar penaklukan untuk meluaskan
wilayahnya, perlu waktu yang cukup lama untuk mempertahankan kemerdekaannya
dari Ternate dan Tidore {Gb.2} Sebelumnya posisi Kerajaan Islam Tanah Hitu berada
dalam posisi sejajar dengan Ternate sekembalinya Pati Tuban {Pati Putih} yang
merupakan anak mantu Jamilu, sekaligus Perdana ke empat dan Sultan Zainal
Abidin {Sultan Ternate} pulang berguru dari Sunan Giri untuk sertifikasi
pembentukan Kerajaan Islam. Pada akhir abad keenam belas, mereka menjadi milik
Ternate.{5}
Gb.2 Ternate, Hitu dan VOC |
Ambon
bagian Selatan adalah yang paling penting pada akhir abad keenam belas karena
menjadi basis Portugis, setelah mengalami pengusiran dari masyarakat Tanah Hitu
sewaktu mereka mau mendirikan banteng di pesisir barat Mamala yakni Pikapoli
atau Hasamuling {Gb.3}. Yakni tempat pertama kali Portugis disambut oleh Jamilu. Pada
bulan Maret 1599, untuk pertama kali dikunjungi oleh kapal Belanda, milik
armada Belanda Jacob van Neck. Sub-komandan mereka adalah Jacob van Heemskerk,
keduanya hibernasi di Nova Zembla tahun sebelumnya. Masyarakat Tanah Hitu, berharap bantuan
Belanda untuk membantu melawan Portugis, tetapi Belanda datang hanya untuk
berdagang. Setahun kemudian skuadron Belanda lain tiba, di bawah Steven van der
Hagen yang bersedia memberikan bantuan militer. Aliansi formal antara Belanda
dan Tanah Hitu kemudian dibentuk pada tahun 1600, tetapi Van der Hagen gagal
menaklukkan benteng Portugis yang kuat.{5}
Gb.3 Pikapoli atau Hasamuling {Dikutip dari ref no 14} |
Portugis
kemudian memutuskan untuk mengambil tindakan drastis untuk mengakhiri Belanda
memasuki di kepulauan Indonesia. Sampai pada tahun 1601 hanya tersisa tiga puluh armada kapal perang dari Malaka. Tujuan
pertama Portugis adalah pelabuhan Banten, tetapi akhirnya mereka mengangkat
blokade ini setelah mereka diserang oleh lima skuadron kapal Belanda, yang
menenggelamkan beberapa kapal Portugis. Selepas kemenangan di pantai Bantam ini,
prestise Belanda di Jawa mencapai puncaknya. Portugis segera pindah ke Ambon,
mereka menuju Tanah Hitu untuk
memberikan hukuman karena telah beraliansi dengan Belanda. Kemudian mereka
mencoba menaklukkan Ternate, tetapi ternyata mereka juga tidak berhasil. Armada
Portugis babak belur dan kembali ke Malaka. {5}
Karena
ekspedisi yang gagal ini, posisi Portugis di Maluku sangat lemah baik secara militer maupun
politik. Pada akhir 1604, para pemimpin Tanah Hitu membuat permintaan bantuan mendesak kepada Van der Hagen yang sedang bersama
dengan armada dari Belanda yang telah tiba di Bantam, sekarang di bawah bendera
VOC. Van der Hagen kemudian berlayar ke Ambon untuk upaya baru menaklukkan
benteng Portugis. VOC mendirikan pos pertama di Mamala. Kali ini Portugis segera menyerah. Belanda mengambil Victoria. Tak lama kemudian
mereka juga menguasai benteng Portugis di Tidore. Ini berarti akhir dari Pemerintahan Portugis
di Maluku. {5,6,7}
Ambon
sebenarnya menjadi koloni pertama Belanda pada Februari 1605. VOC menganggap
Ambon Selatan {Leitimor} diambil alih dari Portugal, sebagai wilayahnya sendiri
di bawah "hak penaklukan". Bahkan Kapitan Hitu membuat perjanjian
baru setelah kapitulasi Portugis dengan VOC, di mana ia menjanjikan setia
selamanya kepada Belanda dan Perusahaan. Dalam perjanjian yang sama, mereka menyatakan
tidak akan memasok cengkeh kepada orang lain selain Belanda. Sementara 1600
perjanjian itu masih disimpulkan berdasarkan kesetaraan, Hitu dianggap sebagai "Eternal
Covenant" pada tahun 1605, tetapi sebenarnya adalah pengikut Belanda.{5}
Semua
ini membuat VOC berpusat Ambon.
Sedangkan tempat lainnya merupakan cabang VOC, seperti Banten, Jakarta dan
Ternate, dan semua tunduk pada otoritas lokal; yang ada di Ambon.{5}
Era
Kedatangan Belanda Menurut Hikayat Tanah Hitu {Dari Disertasi Manusama} {8}
Pada
saat itu, ada kekalahan dan kemenangan di kedua sisi. Saya menyebutkan
kemenangan Muslim atas orang-orang kafir: pertama kemenangan atas kapal di
Bandan, kedua atas yang lain di pantai Hitu dan ketiga bersama dengan armada
Bandan atas yang lain dan keempat akhir dari sekoci bersenjata dan kelima
pengeringan layar persegi. Aku tidak memberitahumu lebih banyak. Dan
orang-orang kafir juga meraih kemenangan atas umat Islam, sejak pertempuran
suci di Ambon berlangsung tujuh puluh tahun dari pertempuran Don Duarte hingga pertempuran melawan Furtado. Ketika
Furtado belum tiba, sebuah kapal Belanda di bawah pimpinan van Warwijck voer op
3 Maart 1599 tiba di Hitu. Ia memasuki teluk Hitu dan orang-orang Tanah Hitu
bertanya kepada mereka, "Dari mana Anda berasal dan apa nama negara
Anda?" Dan mereka menjawab: "Kami datang dari Belanda dan gelar raja kami adalah Pangeran".
Orang-orang Tanah Hitu berkata, "Bolehkah kami meminta armada Anda untuk
membantu kami?" Mereka berkata: "Mengapa itu tidak boleh. Itu
mungkin, tetapi biarkan Pangeran dan raja-raja besar di Belanda tahu itu,
sehingga kita dapat mendengar dari mereka perintah apakah itu diizinkan atau
tidak." Keempat perdana berkata, "Jika demikian, maka sampaikan pesan
ini dari kami terlebih dahulu. Apa yang akan menjadi keinginan Pangeran dan
para bangsawan, haruskah kita pergi ke sana atau dikirim ke sini?" Dan
dengan hadiah sebagai bukti Ambon, mereka berlayar kembali ke Belanda untuk
menyampaikan pesan kepada para penguasa besar Belanda. Ketika Monsun Barat
tiba, Kapten Admiral datang.
Steven
van der Hagen tiba di Ambon pada tanggal 2 Mei 1600. Mereka bertemu empat
perdanas dan menyimpulkan kesepakatan tentang pembayaran dan memutuskan apa
yang harus dilakukan: Suatu tindakan yang tidak konsisten dengan adat akan
ditinggalkan oleh kedua belah pihak. Sebagai hadiah disepakati: Jika benteng
itu ditaklukkan, orang Hitu membayar empat ratus Bahar kepada Belanda. Benteng
dan senjata serta orang kulit berwarna milik orang Tanah Hitu dan kulit putih
milik Belanda. Jika sebuah kapal ditangkap, empat puluh Bahar harus dibayar.
Kapal dan senjata serta kulit putih adalah milik Belanda, orang kulit berwarna
untuk Tanah Hitu. Kemudian dia pergi ke Kota Laha dan menjelajahi benteng
Portugis. Dan mereka berlayar kembali ke
Belanda dan menyerahkan semua janji kepada Pangeran Oranye dan para penguasa besar
di negeri Maurice. Enam orang yang disebut orang penting, ini adalah pedagang
besar dan kaya, terkenal di Belanda, adalah pemilik kapal dagang yang berlayar
ke negara-negara Leeward. Dan saya katakan, seperti yang telah dilaporkan
kepada saya, bahwa setelah kapal berlayar, kapten Portugis berkata kepada empat
perdana, "Ayo, mari kita berdamai dan memulihkan ketertiban di tanah
Ambon." Tetapi keempat perdanas menolak, karena mereka ingat perjanjian
dengan Laksamana Steven van der Hagen. Karena mereka tidak ingin melanggar
perjanjian itu, kedua belah pihak bertarung tanpa henti sampai kedatangan
Furtado.
Kisah
kedatangan Furtado. Ketika Furtado datang dengan armadanya Ambon 9 Februari
1602, ia menyerang negeri Hitu. Dan negeri Hitu dipindahkan ke Gunung Binau dan
dia memanjatnya dan bertempur di sana. Setelah beberapa waktu dia menaklukkan
gunung itu pada tanggal 7 April 1602 dan semua negeri tunduk kepadanya.
Perdana Tubanbesi dan orang kaya Patiwani dibawa pergi oleh orang-orang kafir
yang terkutuk itu, sementara empat perdana melarikan diri ke tanah Besar
{Huamual}. Orang-orang kafir menyerang Negro Luhu, Lasidi dan Kambelo. Kemudian
mereka menyerang negeri Iha dan orang-orang Iha
keluar dan melawan mereka. Setelah waktu yang singkat, perintah
orang-orang kafir dipatahkan karena mereka dilempari batu oleh negeri itu, yang
mengenai kepala Furtado di kepala, dan kemudian mereka mundur dan kembali ke
Kota Laha. Itu adalah akhir pertarungan Antoni Furtado di Ambon. Dan saya
menceritakan tentang pengalihan dari empat perdanas ke Tanah besar {Huamual}.
Perdana Tanihitumesen menetap di Anin dan perdana Pati Tuban menetap di
Waiputih dan perdana Nusatapi menetap di Gamusungi, yaitu negeri Luhu. Dan
Kapitan Hitu naik perahu untuk mencari bantuan sejauh Seram. Dan dia bertemu
dua kapal Belanda dari armada di bawah
Wolphert Hermanszoon dan dia mengajukan pertanyaan: "Di mana penjaga
armada?" Dan jawabannya adalah, "Penjaga armada ada di Bandan."
Kemudian Kapitan Hitu berlayar ke Bandan dan bertemu dengan kapten Belanda dan
keduanya mengadakan diskusi dan musyawarah. Empat orang dibawa ke kapal oleh
penjaga armada yakni Hatumenabessy, Hatuwaila ibn Syatu-ela, Lessy dan Waran
setelah itu mereka pergi, dan Kapitan Hitu-pun kembali ke Ambon.
Ketika
Monsun Barat tiba, sebuah kapal lain datang ke Ambon dan menemui empat perdanas.
Dan keempat perdanas memerintahkan Mihirjiguna, putra Kapitan Hitu, dan
pahlawan Sibori, putra Tubanbesi, untuk pergi dengan kapal bersama mereka
berdua untuk memenuhi armada. Dan ketika mereka tiba di Jawa, setelah mereka
akhirnya tiba di tanah Banten, mereka terus menunggu. Setelah beberapa waktu,
armada muncul dan Mihirjiguna dan pahlawan Sibori bertanya, mengatakan,
"Dari mana datangnya armada ini dan kepada siapa milik armada ini?"
Dan mereka menjawab: "Armada ini adalah armada Belanda, berasal dari tanah
Maurits dan armada ini milik Pangeran Oranye dan komandan armada ini adalah
laksamana Matelief dan Steven van der
Hagen. Dan Mihirjiguna berkata, "Kemana kamu pergi?" Dan mereka
menjawab, "Kami mencari musuh kami, yang disebut Portugis." Kemudian
Mihirjiguna dan pahlawan Sibori berkata, "Pergilah bersama kami ke Ambon,
karena musuh itu ada di Ambon." Dan mereka, pada gilirannya, menjawab
kata-kata Mihirjiguna: "Jika itu berguna, kita akan pergi bersama ke
Ambon." Kemudian Mihirjiguna menggambar perjanjian itu dan menunjukkannya
kepada Laksamana Matelief dan Steven van
der Hagen. Isinya berbunyi: "Jika
benteng itu ditaklukkan, kami memberikan empat ratus cengkeh bahar. Benteng dan
senjata milik orang Tanah Hitu dan dari pendudukan orang kulit berwarna kembali
ke orang kulit berwarna dan orang kulit putih ke orang kulit putih. kapal
ditaklukkan, diberikan empat puluh bahar.Kapal dan senjata serta orang kulit putih dan kapal mereka,
adalah milik Belanda.
Setelah
ini, ketika hari yang baik telah tiba, mereka berlayar dengan Mihirjiguna dan
pahlawan Sibori ke Ambon dan memasuki benteng benteng Portugis. Setelah
kedatangan mereka, kapten Portugis meminta mereka bertanya pada dengan
mengatakan, "Dari mana datangnya armada ini?" Mereka menjawab:
"Armada ini dari Belanda". Dan mereka berkata kepada kapten Portugis,
"Tinggalkan negara ini." Dan kapten Portugis berkata, "Mengapa
Anda berbicara demikian. Mengapa kita
harus meninggalkan tanah ini milik kita?" Dan sang laksamana berkata:
"Bukan kamu milik negara ini, karena yang lain adalah pemilik negara ini.
Mereka telah memberikannya kepada kita dan mereka ada di samping kita."
Kemudian Mihirjiguna dan pahlawan Sibori dibawa keluar dan kapten Portugis
terdiam dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Keesokan paginya kunci-kunci itu
diserahkan dan diserahkan kepada para laksamana dan Portugis meninggalkan benteng
dan menetap di luarnya. Dan mereka diberi haluan, dan Anda berlayar kembali ke
tanah mereka. Lalu kata adminraals Cornelis Matelief dan Steven van der Hagen ke Kapitan Hitu dan
empat perdanas: "Apa yang harus kita lakukan dengan benteng ini?" Dan
Kapitan Hitu dan orang kayas berkata, "Yang terbaik adalah jika kita
menghancurkan benteng itu dan membuangnya ke laut." Laksamana dan Steven
van der Hagen berkata: "Memang benar, apa yang Anda katakan, tetapi kami
telah mengambil benteng itu karena kami akan mencuri seorang pria dari
istrinya. Lalu ketika pria itu datang untuk menemukan istrinya, di mana tempat
untuk mengambilnya? jawab? Tempat itu tidak lain adalah benteng, dan dari sana
kita akan melawannya. " Kapitan Hitu dan empat perdanas berkata:
"Jika seperti yang dikatakan para laksamana, kami mengizinkan Belanda
menduduki benteng itu, tetapi melaksanakan apa yang harus dilakukan oleh
benteng dengan orang-orang kulit berwarna. Belanda hanya memiliki perintah dan
di sana naik". Laksamana Matelief dan Steven van der Hagen berkata: "Kami
setuju, jika demikian dikatakan." Kemudian Frederik Houtman diangkat menjadi gubernur
benteng Ambon. Laksamana Matelief dan
Steven van der Hagen pulang dengan armada mereka untuk melapor kepada Pangeran
dan para bangsawan di Belanda.
Ketika
Monsun Barat tiba, armada itu kembali ke Hitu dan (kemudian) menuju Kota Laha .
Baginda Cili Ali dan kimelaha Aja dan hamba raja Ambalau datang untuk bertanya
kepada para laksamana, dengan mengatakan, "Ambon sudah terbebas dari
bahaya. Mari kita pergi ke Maluku untuk membantu Ternate." Dan Laksamana
Matelief dan Steven van der Hagen berbicara dan kedua Laksamana itu menjawab:
"Jika memiliki kelebihan, kami ingin pergi ke Maluku". Baginda Cili
Ali dan kimelaha Aja berkata, "Mengapa berbicara tentang manfaat lagi,
sekarang Kapitan Hitu mengatakan bahwa upahnya untuk kita semua." Laksamana
itu berkata, "Mengapa apa yang sudah berlalu harus diulangi lagi?"
Kiyaicili dan Kimelaha berkata, "Jika Anda berbicara demikian, beri tahu
kami apa yang diinginkan laksamana, agar kami dapat mendengarnya."
Admirals Matelief dan Steven van der Hagenmengatakan: "Beri kami hasil
dari tiga negeri dan kami akan pergi ke Ternate". Kiyaicili Ali dan
kimelaha dan hamba raja berkata, "Apa tiga negeris itu?" Para
laksamana berkata: "Kami bertanya pada Luhu, Lasidi dan Kambelo, ketiga negeris
di negeri itu". Kimelaha dan Kiyaicili menolak, dan para laksamana
bersikeras. Kimelaha dan Kiyaicili berkata, "Mari kita pulang dulu, besok
kita akan bicara lagi",dan mereka kembali ke rumah. Kapitan Hitu dan empat
perdanas Hitu dipanggil dan Baginda Cili Ali berkata kepada kimelaha dan semua
orang kaya: "Apa yang akan kita lakukan, ketika negeri Ternate sedang
dalam kesulitan". Mereka menjawab: "Keinginan mereka adalah hasil
dari tiga negeris. Jika kita memberi bahwa kita melakukan kesalahan, kita tidak
memberikannya, maka kita juga bertindak salah. Apa yang bisa kita lakukan
sekarang?" Kapitan Hitu berkata: "Ternate telah dihancurkan, dan di
samping itu semua harta benda telah dirampok oleh orang-orang kafir itu. Semoga
dengan kehendak Tuhan yang paling tinggi dan dengan restu dari agama nabi
Allah, Tuhan memberkatinya dan memberikan keselamatan kepadanya, negeri Ternate
dan kerajaan dipulihkan. Dari mana harus datangnya kompensasi kepada penghuni
istana pangeran? Karena seluruh populasi - dan Tuhan yang tahu yang terbaik - dalam
kesulitan, hasilnya hanya bisa datang dari Ambon. Ketika tiba saatnya bagi
subyek untuk kembali dan Ternate untuk dikembalikan ke kejayaannya, hasilnya
akan cukup mengalir ke Ternate di masa depan. " Dan dia berkata,
"Jika armada itu ingin membantu Ternate - Insya Allah - pembayaran akan
ditanggung oleh Hitu." Setelah itu, Kimelaha dan Kiyaicili berbicara
dengan Admirals Comelis Matelief dan Steven van der Hagen dan semua kapten
armada.
Kapitan
Hitu berbicara dan semua kapten setuju dengan kata-katanya dan Kapitan Hitu
berbicara kepada orang banyak dan para laksamana berkata: "Izinkan putra
Kapitan Hitu ikut dengan kami sehingga kami bisa membawanya ke Pangeran dan
para penguasa di Belanda. ". Putra Kapitan Hitu, Wansa Halaene, diberi izin untuk menemani para
laksamana ke Maluku. dan akhirnya mereka tiba di Ternate. Sebuah benteng
dibangun, di negeri Melayu. Seluruh penduduk kembali ke Ternate, dan Yang Mulia
Sultan Mudafar, putra Sultan Said Aldin, bayang-bayang Tuhan di dunia, diangkat
menjadi raja, dan gubernur serta tentaranya ditempatkan di darat untuk menjaga
benteng. Kemudian armada berlayar dan membawa Wansa Halaene, putra Kapitan
Hitu, dan putra raja Nusaniwe dan putra orang kaya Lakatua dan putra orang kaya
Hehuat ke Belanda, Halaene; Laurens, putra Don Marcus, Hukom Hatiwe; Martinho, putra Antoni Hehuwat, kepala
Tawiri; Sibori, saudara Femando dari Nusaniwe; yang terakhir meninggal di
Channel pada 1608. Saya katakan bahwa pada masa Gubernur Houtman, seorang
laksamana bernama Simon Hoen datang dengan armadanya. Dia membagikan banyak
hadiah dan mengucapkan kata-kata yang menyanjung sehingga semua orang Ambon
akan memenuhi keinginannya. Lalu datanglah seorang laksamana lain, Pieter Both,
yang membawa Wansa Halaene kembali ke tahu. Dia juga murah hati, dan kemudian
Gubernur Houtman pergi, karena tinggal Gubernur Houtman adalah enam tahun 1605 –
1611 . Jasper Jansz diangkat menjadi gubernur, yang hanya bertahan selama tiga
tahun 1611 - 1615
Pada saat itu, jenderal, Gerard Reynst,
datang. Dia datang dari Batavia, pergi ke Maluku, dari Maluku dia datang ke
Ambon, lalu ke Bandan, dari Bandan dia kembali ke Ambon. Pada saat itu, negro
Luhu dan Kambelo menerima Inggris, yang menetap di Kambelo. Gubernur Jasper
Jansz mengirim armadanya ke pantai Kambelo untuk membiarkan Inggris pergi,
tetapi mereka tidak mau. Kedua belah pihak dengan keras kepala menempel pada
posisi mereka, dan kedua belah pihak menembak dan menembak. Setelah beberapa
waktu, jenderal Gerard Reynst datang dan perdana Kapitan Hitu mengirim
seseorang ke kimelaha Syabidin, karena kimelaha itu adalah penguasa tanah
Ambon; karena itu ia diperintahkan untuk melakukannya menanyakan. Kimelaha
Syabidin berkata: "Mengapa saya harus bertanya lagi, sekarang saya sudah
mengusirnya dari negeri Luhu. Bahwa mereka sekarang di negeri Kambelo adalah di
luar pengetahuan saya. Biarkan jendral melakukan apa yang diinginkannya tetapi
jenderal harus adil, karena tempat di mana Inggris tinggal adalah wilayah
pangeran Ternate dan negeri Kambelo tunduk pada pangeran Ternate. Kemudian
Jenderal Reynst dan Gubernur Jasper Jansz memerintahkan agar mereka mengangkat
senjata untuk menyerang Kambelo.
Dan
perdana Kapitan Hitu berkata kepada jenderal dan gubernur: "Bersabarlah
agar kami dapat mengirim seseorang ke orang kaya di Kambelo. Jika mereka
mendengarkan kami - Puji Tuhan - kami ingin berhubungan baik dengan mereka.
sayangnya kita tidak bisa berbuat apa - apa ". Dan sang jenderal dan
gubernur setuju dengan kata-kata Kapitan Hitu itu, dan sebuah pesan nasehat dan
tulus dikirim ke orang kaya di negeri Kambelo. Dan mereka mengikutinya, dan
kemudian mereka pindah ke pantai Eran, dan Belanda memasuki negeri itu, dan
Inggris pergi, naik ke kapal mereka, dan berlayar kembali ke tanah mereka. Dan
sang jenderal dan gubernur kembali ke Kota Laha. Dan Arend Blok dipromosikan menjadi
gubernur 1615-1618 sebagai penerus
Jasper Jansz dan ia kembali ke Batavia dan gubernur Arend Blok menetap di
benteng Ambon. Pada waktu itu timbul keresahan, sehingga terjadi perkelahian
melawan negeri Kristen, yang menjadi sasaran Belanda, bernama Hutumuri.
Setelah
beberapa waktu mereka didamaikan oleh Kapitan Hitu dan tidak ada lagi gangguan.
Ketika setelah beberapa waktu tahun yang ditunjuk untuk tujuan itu Arend Blok
kembali dan Herman van Speult diangkat sebagai penggantinya .
Peran
dan Akhir Perjalanan Halaene Sang Raja Mamala
Pada
1606 Matelief de Jonge, pemimpin armada yang mencoba menaklukkan Malaka dari
Portugis, membawa serta tiga putra Maluku tengah kepala-kepala "untuk
mengangkat mereka menjadi pangeran." Salah satunya adalah Halaene, sang putra
Kapitan Hitu, yang ketika itu berusia dua puluh tahun melakukan perjalanan jauh
ke Belanda dan kembali ke Ambon pada 1611. Belanda berharap akan politik
kekuasaan Halaene akan mengikuti Belanda ketika dia menjadi Hukom di Tanah Hitu. {Gb.4} VOC
telah memastikan kesetiaan ayahnya dengan memberinya sebagai lisensi perdagangan perkebunan dan cengkeh
terbaik Ambon. Politik yang luas dari jaringan keluarga Kapitan telah membantu
perusahaan melawan Portugis, tetapi pada 1630-an mereka telah menjadi ancaman potensial bagi kepentingan VOC
sendiri. Halaene menjadi musuh VOC ketika ia menolak kesepakatan perdagangan
yang telah disetujui oleh ayahnya. {9}
Gb.4 Halaene IRaja Mamala} dengan Gelar Latu Polonunu |
Sewaktu
kedatangan Jans Pieterschoen di Kota Laha, didengar oleh Kapitan Tepil. Kapitan Tepil segera memikirkan upaya apa
yang diberikan buat masyarakat Banda, setelah mengetahui tujuan Jan Pietershoen
yang hendak menuju Banda. Kapitan Tepil yang berhutang budi terhadap bantuan
masyarakat Banda sewaktu perang melawan Portugis, segera memikirkan hal ini.
Dalam pertimbangan beliau saat itu yakni jika
tak mampu menolong dengan persenjataan apalagi dengan makanan, maka
sebaiknya dengan nasehat {perkataan}. Kapitan Tepil bersama enam orang lainnya
segera bergabung dengan angkatan tersebut, Kemudian Halaene ibn Kapitan
Tepil bersama tiga puluh anak-anak orang
kaya lainnya mengikuti dengan kapal Inggris di belakangnya. Ketika angkatan
sudah masuk di pantai Lonthor dan berlabuh di pelabuhan Kumber. Kapitan Tepil berkata
kepada jenderal untuk menunggu sampai beliau menanyakan kepada orang-orang kaya
Tanah Banda untuk mau berdamai atau tidak.
Jenderal menyambut perkataan Kapitan Tepil dengan menyebutkan bahwa
mereka bukan meminta untuk berdamai, tetapi untuk berperang. Sekalipun demikian
jenderal akhirnya mengikuti kemauan Kapitan Tepil. Maka Kapitan Tepil segera
naik dan pergi menuju negeri Salamon dan bertemu dengan orang-orang kaya Tanah
Banda semuanya.{10}
Kapitan
Tepil membuka percakapan dengan menyebutkan bahwa beliau bukan utusan jenderal.
Kedatangannya bersama-sama jenderal, karena mengingat hubungan baik antara Tanah
Hitu dan Tanah Banda sejak dulu. Selanjutnya
dia berkata, yang hanya bisa dia lakukan hanya dengan memberikan masukan
dan nasehat, karena tidak bisa dengan memberikan makanan dan senjata. Sambil mengatakan tidak ada daya, tetapi hal ini
merupakan pekerjaan yang benar, tidak dapat kita cegah perbuatan itu, tetapi
ikhtiar dulu kepada budi akal kita supaya jangan sampai menyesal kemudian,
demikian Kapitan Tepil menjelaskan. Sambil menegaskan kelengkapan empat pada
orang-orang Kaya Banda yakni kelenegkapan negeri, kelengkapan senjata,
kelengkapan manusia dan kelengkapan makanan.
Jika sudah lengkap hadapi;ah, tetapi jika belum maka berdamailah dulu.
Para orang Kaya menolak dan terjadilah perang antara keduanya, hingga banyak
penduduk Banda yang mengungsi ke Seram dan Gorom, sebagian lagi dievakuasi oleh
bantuan dari Makassar. Sekembalinya Kapitan Tepil dari Banda. Mihirjiguna
menghadap kepada ayahnya Kapitan Tepil ke Batavia, untuk bernegoisasi dengan
Belanda tentang nasib masyarakat Banda.Mihirjiguna meninggal dalam perjalanan
pulang karena sakit. {10}
Sejak
meninggalnya Mihirjiguna, Halaene kemudian diangkat menjadi Hukom di Tanah
Hitu. Halaene orang yang tegas,
pembawaanya seperti raja ada padanya, pembawaannya seperti bendahara {perdana}
ada padanya, dan pembawaannya seperti hulubalangpun ada padanya. Kemana-mana
dia selalu membawa senjata. Halaene dikenal sebagai orang yang sangat dermawan.
Halaene di sebut sebagai “Capitein Caus”, dikarenakan sebagai seorang Hukom,
dia berperan sebagai Kapitan Hitu, terutama sewaktu ayahnya sedang ke Batavia. Upayanya
memasukkan negeri negeri ulisiwa masuk ke dalam kekuasaan Tanah Hitu. Perilaku
Halaene yang tanpa kehadiran ayahnya Tepil yang dianggap berlebihan oleh
Samusamu yang merasa lebih tua dan merasa tidak anggap keberadaanya. {1,3,10}
Terlahir
dalam keluarga yang sangat berpengaruh, terbina dalam sebuah keniscayaan yang
membentuk pribadinya menjadi pemuda pemberani, tangguh, bijak, dan cerdas dalam
banyak hal. Dialah Unus Halaene putera kedua Kapitan Tepil, cucu dari Hukum
Abubakar, dan cicit dari perdana Jamilu atau kapitan Hitu pertama pada kerajaan
Tanah Hitu. Kendatipun tumbuh dan besar dalam keluarga bangsawan, namun
sifatnya tetap merakyat, tidak sombong dan sangat bermurah hati kepada
masyarakat kurang mampu. Kedermawanan dan kebaikannya bukan saja dikenal di
Tanah Hitu, akan tetapi terkenal pula di seantero Tanah Ambon. Disisi lain
dalam dirinya mengalir darah Ksatria, menjadikan Unus Halaene seorang yang
tegas dan keras dalam menyikapi permasalahan-permasalahan besar, tidak suka
mentolelir kesalahan-kesalahan fatal. Hal ini ditunjukkannya ketika ayahnya,
Kapitan Tepil melakukan kunjungan ke Batavia. Selama kapitan Tepil di Batavia,
tidak ada perang maupun fitnah yg terjadi di Tanah Ambon dan sekitarnya,
Orang-orang Belanda pun tidak berani berbuat semena-mena terhadap rakyat,
gubernur Belanda paling segan dengan sosok yang satu ini, sehingga Belanda membuat
siasat jahatnya, dan meracuni Halaene. Karena beliau diracuni Belanda maka wafat
lah beliau sekitar tahun 1631, mendahului ayahnya. Sepeninggal Halaene maka
adiknya yang bernama Kakiali dinobatkan menjadi Hukom Tanah Hitu{Gb.5}. Sebelum
kemudian menjadi Kapitan Hitu. Jabatan Kapitan Hitu dan Hukom merupakan jabatan
tertinggi di Tanah Hitu, jabatan ini secara turun temurun, dengan gelar adatnya
Latu Polanunu, Raja Mamala, sebagian orang menganggapnya sebagai Raja Tanah
Hitu, yang berkedudukan di wilayah Mamala sekarang. {1,3,10}
Gb 5. Kakiali Menggantikan Halaene |
Seperti
orang-orang Ternate, orang orang tanah Hitu {Hituese} menyambut hangat orang Belanda karena
sentimen anti-Portugis . Selama pemerintahan kapitan Hitu Tepil, 1602-1633,
hubungan Belanda-Hitu cukup baik, alasannya antara lain karena Tepil sendiri
menyadari bahwa kekuatan militer Eropa
adalah fenomena yang bisa berakibat fatal bagi setiap orang negara adat yang
menentangnya. Dia pernah mengalami ini sendiri tahun 1602, ketika orang Hitu
menderita kekalahan yang mengerikan di tangan pasukan ekspedisi Portugis di
bawah komando Andrea Furtado de Mendonya. Belanda, melihat Tepil sebagai orang
berpengaruh yang kerjasamanya sangat diperlukan untuk stabilitas dari wilayah
tersebut. Meskipun demikian ada beberapa situasi yang bisa dengan mudah memicu
terjadinya konflik terbuka antara Hitu dan VOC, seperti harga cengkeh,
membebaskan akses kepada pedagang asing
dari Asia, dan kontrol atas sejumlah negeri di bagian barat pulau Ambon,
seperti Larike, Wakasihu, Tapi, Uring, dan Asilulu. Secara menyeluruh hubungan
umumnya tetap baik (Tiele 1886: 211-212, 223; Knaap 1987b: 8, 18). Sekitar
tahun 1630, bagaimanapun, Kebijakan Tepil dipertanyakan oleh banyak orang Hitu,
khususnya oleh desa-desa di bagian
Timur, yang berkumpul di Kapahaha
dengan Samusamu yang merupakan anggota elit Hitu lainnya (Rumphius 1910: 69;
Knaap 1987b: 82-87). {11}
Karena
kepentingan strategis dan ekonomisnya, Belanda mempertahankan dan memerhatikan
Hitu,dan menggunakan setiap kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak pengaruh
dalam urusan internal tanah Hitu . Kejadian-kejadian ini kapan saja terjadi
khususnya bila seorang anggota elit yang berkuasa meninggal dunia maka seorang
penerus harus dinominasikan (Knaap 1987b: 84-85). Kesempatan seperti itu muncul
dengan sendirinya pada kematian Tepil pada bulan April 1633. Menurut Rumphius,
almarhum lebih memilih adiknya, Latu Lisalaik, sebagai penggantinya, pendapat yang tampaknya sejalan
dengan bagian tertentu dalam Hikayat Tanah Hitu. Namun, untuk menghindari
konsentrasi kekuatan lebih lanjut di tangan satu orang, Belanda berhasil
membagi fungsi Tepil menjadi tiga pesaing utama untuk suksesi: Latu
Lisalaik menjadi kepala desa Hila saja, sementara saudara lelaki lainnya,
Barus, menjadi kepala klan Nusatapi, yang otomatis membuatnya menjadi salah
satu dari klan Nusatapi empat perdana yang secara tradisional memerintah
negara. Akhirnya, Tepil putra tertua yang masih hidup, Kakiali, menjadi kapitan
Hitu. Posisi dari kapitan Hitu adalah kepemimpinan yang paling bergengsi dan
berpengaruh di tanah Hitu (Rumphius
1910: 96; Manusama 1977: 59, 60, 126,128). {11}
Kakiali
segera berangkat dengan rencana anti-Belanda, bekerja sama dengan kimelaha dan
menyematkan harapannya pada koalisi kekuatan dengan kesultanan Makassar yang
kemudian berkembang pesat. Untuk menghentikan
perkembangan,ini pada bulan Mei 1634 Gubernur Anthonie van den Heuvel
melakukan penangkapan mengejutkan dua belas pemimpin Hitu terkemuka, termasuk
Kakiali. Kakiali dituduh mencoba bergabung dalam koalisi anti-Belanda. Dalam
beberapa hari, semua pemimpin yang ditangkap,dibebaskan kecuali Kakiali dan
Tamalesi, kepala desa Wakal. Kakiali dan Tamalesi dipenjara. Pada 1636 (tidak
menjelang akhir 1635 sebagai Rumphius secara keliru menyatakan) bahwa mereka
diangkut ke Batavia. Dalam Sementara itu, karena kebencian pada intervensi
Belanda, hamper seluruh tanah Hitu telah bangkit untuk melawan Belanda
(Rumphius 1910: 104-105, 114-116, 124; VOC 1116: 188v- 189r). {11}
Apa
yang terjadi di tanah Hitu pada saat perkembangan dramatis di wilayah VOC sendiri? Kakiali dan Tamalesi
masih menjadi tawanan. Lawan utama Kakiali yakni Kayoan yang merupakan perdana
Tanahitumesen yang baru saja dinominasikan sebagai Kapitan Hitu sementara, pergi ke Batavia dan beberapa pemimpin lain untuk mencoba
membebaskan Kakiali. Kayoan melakukannya karena dia menyadari bahwa pembebasan
Kakiali adalah satu-satunya cara memulihkan persatuan dan kedamaian di tanah
Hitu. Sewaktu Kayoan kembali ke Ambon pada awal 1636, ia tampaknya ingin
sekali dinominasikan sebagai kapitan
Hitu, saat itu oleh Gubernur Jenderal sendiri. Fakta mengejutkan lainnya adalah
pencalonan Latu Lisalaik, yang sudah memegang gelar kehormatan orangkaya
Bulang, untuk menjadi perdana Nusatapi yang sudah diduduki Barus, saudaranya
sendiri. Latu Lisalaik sama sekali tidak
senang dengan penunjukan barunya; dia secara terbuka menolak untuk menerima
Itu. Dalam percakapan dengan otoritas lokal VOC di akhir April dia menyatakan
bahwa Gubernur Jenderal tidak memiliki hak untuk mencalonkan staf pemerintahan di tanah Hitu, sama seperti dia
sendiri tidak memiliki hak untuk mempromosikan Gubernur Belanda Ambon menjadi
raja. Populasi penduduk tanah Hitu tetap tinggal di benteng pedalaman mereka
dan tidak ingin ada hubungannya dengan Belanda,terkecuali pengikut terdekat
Tanahitumesen dan Latu Lisalaik. Menjelang akhir tahun 1636, Latu Lisalaik
memimpin delegasi kedua dari tanah Hitu ke Batavia untuk mengurus pembebasan
Kakiali (Colenbrander 1899a: 232; Knaap 1987b: l40, 141, 149-151). {11}
Pada
25 April 1637, Van Diemen tiba di Hila dengan Hitu. Di Hitu, VOC lawan telah
membentengi diri mereka sendiri di dua tempat, Wawani dan Kapahaha. Yang paling
anti-Belanda adalah orang-orang Wawani, yang terdiri uli Nau-Binau, Leala, dan
Hatunuku, dan sebagian Sawani. Di Kapahaha berkonsentrasi pada uli Saylesi,
yang lebih menguntungkan menuju rekonsiliasi dengan Belanda dibandingkan dengan
Wawani. Sejak awal krisis, Wawani menuntut pembebasan Kakiali dan Tamalesi
sebagai prasyarat untuk negosiasi lebih lanjut. Akhirnya, Belanda memutuskan
untuk menggunakan umpan ini. Alhasil, Kakiali,
kembali dengan Van Diemen dan sekali lagi menawarkannya kerjasama untuk
menenangkan Hitu, diangkut dengan Tamalesi dari Victoria ke Hila sehari sebelum
Van Diemen tinggal di sana (Enkhuizcn 399: 65, 67, 82, 176, 180, 183, 184).
Melalui Latu Lisalaik, para pemimpin Wawani mengirim kabar bahwa mereka siap
untuk bertemu dengan Van Diemen. Kakiali dan Tamalesi dibebaskan pada 26 April.
Mereka pergi segera ke Wawani, di mana semua kepala desa berkumpul untuk
mempersiapkan delegasi ke Gubernur Jenderal. Tamalesi juga membantu dalam
melibatkan Kapahaha dalam proses perdamaian. Akhirnya, pada 3 Mei, delegasi
dari Wawani dipimpin oleh Barus, akting perdana Nusatapi, hadir untuk Van
Diemen di Hila. Pada kesempatan itu diputuskan bahwa orang Hitu juga akan
berpartisipasi dalam landdag di Castle Victoria itu dijadwalkan untuk bulan
itu. Keesokan harinya, Van Diemen berangkat dari Hila, membawa serta Kakiali,
yang pembebasannya harus menunggu landdag (Enkhuizen 399: 186--189, 194-199). {11}
Sementara
itu, tidak ada kemajuan dalam hubungan di antara Hitu dan Belanda. Para pemimpin utama tidak
menunjukkan keinginan untuk berkunjung Gubernur Jenderal di Victoria. Karena
itu, pada 20 Mei, Van Diemen memutuskan untuk memberikan Kakiali kebebasan
penuh. Kakiali mendapat sambutan hangat oleh pengikutnya di kembalinya yang
pasti ke Wawani, dan para pemimpin di sana membuat resolusi terakhir untuk
menghadiri landdag (Rumphius 1910: 149; Enkhuizen 399: 210.212, 213). Pada 31
Mei, Kakiali dengan delegasi 100 orang
menghadiri landdag, tidak hanya dari
Hitu sendiri tetapi juga dari Uring, Asilulu, Wakasihu, Tapi, Alang, dan
Lilibooy. Kedua pihak dengan cepat sepakat untuk memulihkan perdamaian dan
memperbarui perjanjian yang lama. Belanda dijanjikan monopoli cengkeh, yang
berarti bahwa Hitu harus menahan diri untuk tidak menerima pedagang asing ke
pantainya. Di kembali Van Diemen mengizinkan Hitu mengembalikan pemerintahan
tradisionalnya. Kakiali menjadi kapitan Hitu {Gb.6}. Kayoan, perdana
Tanahitumesen, kehilangan posisi kapitan Hitu dan diberi judul kehormatan
orangkaya tua sebagai gantinya. Barus secara resmi dipulihkan sebagai Perdana
Nusatapi di tempat Latu Lisalaik yang tua dan sakit, yang tidak pernah
menginginkan posisi ini. Soulisa adalah perdana Totohatu dan Beraim-ela perdana
Patih Tuban. Hitu juga menyatakan mereka
adalah teman dan bukan subyek dari Sultan Tcrnate dan bahwa mereka tidak
memiliki klaim apa pun ke desa Uring, Asilulu, Larike, Wakasihu, Tapi, Alang,
dan Lilibooy. Pada bulan Juni saya, baik Hitu dan sekutu mereka dari desa
terakhir bersumpah setia kepada Belanda. Akhirnya, Gubernur VOC yang baru,
Johan Ottens, mengambil sumpah dia akan
melindungi dan mengenali Hituese sebagai teman dan sekutu sejati Republik Belanda
(Karlsruhe 480: 179v-186r; Enkhuizen 399: 2 16).{11}
Silsilah
Raja Mamala sejak Uli Lima
Yang
tercatat pernah menjadi Raja Mamala, sebagai berikut:
- Mihirsihul
- Jamilu
- Abu Bakar {Healatu}
- Kapitan Tepil
- Halaene
- Kakiali
- Haniayi
- Samusamu
- Sibori
- Bangay
- Kakipati
- Mombo Malawat {1727}
Catatan:
Keberadaan Samusamu yang merupakan ayah dari Tulukabesy, kemudian
menjadi raja Mamala, dipastikan karena
campur tangan Belanda yang berupaya merusak tatanan adat masyarakat Tanah Hitu.
Keberadaan dan peran Latu Polonunu dalam
lani kapata {Gb.7} Di
dalam kapata
atau
nyanyian adat (lannea) masyarakat Hitu
seperti yang dituturkan langsung kepada peneliti oleh penulis buku “Lani Nusa,
Lani Lisa” sebagai berikut:{12}
Gb.7. Peran penting Latu Polonunu di Tanah Hitu {Dikutip dari ref no.12} |
Upu hatta rulu-u, hai uli halawang-e
Upu latua polanunu, hai uli
kassalessy
Rele Hitu-o, sairele Hitu-o
Sai rele Hitu tumbah nisa nurua sei pare
Upu monia lolo helu, uli nau hena helu
Upu wakai surinaya, hai uli solemata
Upu titai wa’a Hitu, hala tita nusa
Hitu
Hala tita nusa hitu, ile uli kassalessy
Lani tersebut kurang lebih terjemahannya
sebagai berikut:
Empat tuan turun {datang} dari Uli Halawang
Tuan Latu Polonunu dari Uli Saylesi
Mengitari Tanah Hitu, mendayung sekitar
Tanah Hitu
Mendayung sekitar Tanah Hitu, terpancar
Seberkas cahaya terang benderang
Tuan Mony baru menuju Uli Nau Hena Helu
Tuan Wakang sudah masuk dari Uli Solemata
Tuan yang perintah di Tanah Hitu, dialah
Uli Saylesi
Latu Polonunu yang memerintah di Tanah Hitu
yang dimaksud adalah Jamilu, Kapitan Hitu pertama sekaligus raja Mamala kedua.
Fakta sejarah ini kemudian membuat sejarawan Ambon Maryam Lestaluhu, membuat
kesimpulan yang rancu, menyimpulkan bahwa Mamala, Hitu dan Hila termasuk dalam
Uli Halawang. {Gb.8}
Gb 8. Maryam Lestaluhu {Sejarawan Ambon} keliru membuat kesimpulan {ref no 13} |
Daftar
Pustaka
1.
Rhumpiuus, DE GENERALE LANT-BESCHRIJVINGE VAN HET AMBONSE GOUVERNEMENT of De
Ambonsche Lantbeschrijvinge
2.
WM Abdul Hadi, Dari Hitu Ke Barus,Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional,2008 hal:12
3.
Valentijns F,Oud en Niew Oost-Indien, hal 106
4.
Eric Hiariej,dkk, Identitas Lokal dan Nasional dalam Konteks Modernitas
Global,2017
5.
Burgers Herman,DE GAROEDA EN DE OOIEVAAR,Indonesiƫ van kolonie tot nationale
staat
,KITLV
Uitgeverij Leiden 2011, hal 13-38
6.
Mamala, available at http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Mamala.440p
7.
Indonesia. List of Dutch Colonial Forts and possesions available at
https://www.colonialvoyage.com/indonesia-list-dutch-colonial-forts-possessions/
8.
Hikayat Tanah Hitu, Available at:
http://gw.peter.bakker.name/haghen/Hikayat.htm
9.
Ricci Ronit, Exile in Colonial Asia, Kings, Convicts, Commemoration, University
of Hawai Press, Honolulu,2016R
11. Knaab GJ, Crisis and Failure War and Revolt in The Ambon Islands,
1636-1637, Royal Institute of Linguistic and Anthropology, Leiden, Cakalele Vol.3.
1992
12. Abdurahman, Sejarah Sosial Kerajaan Hitu Ambon, Puslitbang Lektur
dan Khasanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RI, 2012
13. Assagaf H, Posisi Islam dalam Sejarah Pemerintahan Negeri Adat di
Pulau Ambon, Dialektika, Vol 9 no 2, Januari Desember 2015
14.Pattikayhatu, JA, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan
Kolonialisme di Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional, 1983/1984