Siwa lima Sebagai Kearifan Lokal Orang Ambon
|
Mantan Ketua Majelis Adat Latupati Maluku Ir. Abdullah Malawat (Mantan Raja Negeri Mamala) |
Mantan Ketua Majelis Adat Latupati Maluku Ir. Abdullah
Malawat “Gandong Bukan Saja Ade deng Kaka, Tapi Bisa Terjadi Akibat Hubungan
Darah”
Siwa
lima adalah persekutuan
adat dan persekutuan kelompok. Secara harfiah Siwa lima terbentuk oleh dua
kata, yaitu Siwa dan Lima. Siwa berarti sembilan (9), lima berarti (5). Kedua
terminologi ini menunjukkan pemisahan atau pembagian masyarakat atas dua kelompok
sosial yang berbeda, yakni kelompok sembilan dan kelompok lima. Indikator dari beberapa
aspek pembeda budaya dalam siwa dan lima dapat dilihat melalui arsitektur, upacara
daur hidup, penanda pada tubuh dan pakaian. Ikatan kesatuan dan pertalian
antara kedua kelompok ini juga berbeda dalam hal bahasa, sistem kepercayaan,
tentang proses terjadinya pemisahan yang masih menimbulkan banyak perdebatan,
penafsiran dan klaim. Namun demikian, siwa dan lima tidak berbeda dalam melihat
mitologi asal-usul mereka, yakni sama-sama berasal dari Seram.
Dalam kosmologi orang Ambon,
kedua angka 9 dan 5 ini penting dan memiliki makna mendalam. Angka lima
memperlihatkan sebuah gagasan tunggal yang bermakna totalitas dan sembilan
menunjukkan sebuah gagasan jamak atau ganda yang juga bermakna totalitas.
Sebagai misal adalah seorang manusia memiliki dua tangan, dua kaki dan satu kepala,
total berjumlah lima, namun memiliki gagasan tunggal sebagai tubuh manusia. Di lain
pihak, dua orang (laki-laki dan perempuan) yang memiliki empat tangan dan empat
kaki serta memiliki satu kepala memperlihatkan sebuah gagasan tunggal dalam
perspektif jamak yaitu memperlihatkan perbedaan dalam hal gerakan tangan dan
kaki, namun memiliki satu kepala sebagai representasi kebersamaan, kesepakatan,
seia-sekata dalam kehidupan harmoni dari dua orang yang menjadi satu. Dengan
demikian, total yang dapat dihitung dari jumlah keseluruhan diatas adalah
2+2+1=5=1 dan 4+4+1=9=1 Sehingga dari esensi dari
kejamakan lima dan sembilan
diatas adalah satu (satu) (Ajawaila, 2009: 3). Berangkat dari analogi tubuh ini
orang Ambon percaya bahwa meski tubuh (tangan dan kaki) mereka berbeda (baca:
Islam-Kristen) namun mempunyai kepala yang sama atau tunggal (baca: nenek
moyang agama Nunusaku, di Seram).
Pertanyaannya kemudian adalah
mengapa angka 9 dan 5 yang dipilih, mengapa bukan satu, atau tiga, atau tujuh,
atau angka lainnya? Logika yang digunakan adalah menggunakan lingkungan yang
paling dekat dan menjadi pelaku serta bagian dalam pengalaman kehidupan
sehari-hari, tidak lain dan tidak bukan adalah tubuh manusia. Logika yang
dibangun kemudian seperti yang telah saya gambarkan diatas, dimana jumlah total
lima dapat berarti kepala, tangan dan kaki atau jumlah jari pada satu lengan.
Sedangkan logika total dari angka sembilan bisa kepala, dua pasang tangan dan
dua pasang kaki atau jari dari kedua lengan dimana ibu jari berhimpitan menjadi
satu. Selain tubuh, lingkungan alam terdekat menjadi bagian dari ajaran filosofisnya,
seperti gunung, laut, dan biota di dalamnya (Huliselan, 2009: 2-5).
Dalam tataran praktis dan
ritual, angka 9 dan 5 menjadi penting, dalam upacara adat, hal yang mengacu
pada 9 mempunyai peranan penting, misalnya pada upacara perkawinan dimana pengantin
harus berjalan mengelilingi rumah 9 kali atau mengucapkan mantera 9 kali.
Demikian pula bagi mereka yang melanggar adat diharuskan membayar harta lengkap
sebagai denda perang dalam bentuk 9 buah bendera, 9 buah mangkuk (kom ) dan
pinggan-pinggan besar, 90 buah piring-piring tua, 500 piring kecil dan 5 buah
gong. Sedangkan bagi masyarakat pata lima, bagi mereka yang melanggar adat
dikenakan denda masing-masing 5 buah kom, 50 buah piring tua, 500 piring kecil
dan 5 buah gong (Ajawaila, 2009: 9-10). Angka-angka ini dijaga dengan penuh
kepatuhan mengingat dianggap mengadung nilai-nilai yang sakral. Tari
tradisional Gaba-Gaba juga merupakan salah satu tarian yang mengesankan unsur
Siwa lima. Tari ini dilakukan oleh satu penari dengan empat penari
memegan galah dan sembilan
penari Cakalele. Iringannya adalah Tifa (Instrumental tradisional). Tari ini
menggambarkan sikap pertahanan dari serangan musuh.
Di Jazirah Hitu terdapat pula
siwa dan lima. Secara historis, dua persekutuan adat ini menentang pendudukan Belanda.
Namun demikian, pada saat ini semangat siwa lima sudah tidak digunakan lagi
dalam upacara-upacara adat (Rumphius, 1983). Bahkan sebuah catatan sejarah
Rijali melaporkan bahwa siwa-lima ini menjadi ritus peribadatan paling kuno
orangorang Hitu (Sifar ar Rijal, Hikayat Tanah Hitu). Sedangkan disebut dengan
negeri lima di Hitu, sebenarnya mengacu pada batas antara siwa dan lima. Namun
demikian, masyarakat Hitu sekarang lebih mengenal istilah negeri lima,
dibanding siwa lima. Modernitas yang diwakili oleh datangnya agama Islam
menyebabkan masyarakat menggerus tradisi lama siwa lima ini dan lebih
menempatkan siwa identik dengan agama Kristen dan lima identik dengan agama
Islam. Kedatangan Islam dan Kristen yang kemudian menyebabkan orang-orang Hitu
lebih memilih untuk meneruskan tradisi ulilima saja dibanding ulisiwa.
Sedangkan dalam bentuk
material modern, semangat siwa lima tampak pada bentuk rumah Baileo yang
terletak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII)9 dengan mengusung semangat
siwa lima yang melambangkan representasi persatuan atau persekutuan antara dua klen
besar di Maluku yaitu Pata Siwa dan Pata lima (di Seram). Dalam rumah adat
Baileo10 terdapat tiang
bailen di depan dan belakang berjumlah 9 sedangkan sisi kiri dan dan kanan berjumlah
5. Pemerintah Orde Baru menganggap otentik bangunan tradisional ini karena mengusung
ide persatuan di seluruh daerah Maluku. Dengan tiang-tiangnya yang berjumlah 9
dan 5 diharapkan rumah tradisional ini mampu menjadi pelindung yang kokoh dan berfungsi
sebagai tempat bermusyawarah dan pertemuan rakyat dengan dewan rakyat seperti saniri
negeri, dewan adat dan para tetua adat. Sedangkan di Ambon sendiri, untuk menegaskan
kosmologi lokal nan arif ini, dibangun museum, warta lokal, perkantoran,
hingga simbol pemerintahan
provinsi yang meminjam nama ”siwa lima”.
|
Museum lokal Siwa lima,
berdiri di tahun 1973 di Air Salobar, menegaskan identitas kearifan lokal
masyarakat Maluku
|
Sedangkan orientasi siwa-lima
dalam rumah adat Baileo juga ditentukan pada posisi batu pamali (batu keramat)
yang diletakkan. Jika posisi batu pamali terletak antara baileo dengan pantai,
maka itu pata lima, sedangkan jika batu pamali terletak diantara baileo dengan
gunung, maka masyarakatnya berpegangan pada Pata Siwa. Dengan demikian kosmologi
orang Ambon adalah gunung (identik dengan Pata Siwa dan Kristen) dan pantai (identik
dengan pata lima dan Islam), ini berbeda dengan kosmologi masyarakat Jawa yang mengacu
pada arah utara dan selatan atau kosmologi mayarakat Bali yang mengacu pada kaja-kelod
(gunung-laut) sekaligus depan-belakang. Meski acuan demikian, acuan gununglaut ini
tidak bisa benar-benar menjadi jaminan mutlak dalam melihat kosmologi orang Ambon,
mengingat telah banyak perubahan dalam kosmologi siwa lima itu sendiri. Mengingat
pula, Ambon dan kepulauan Lease adalah wilayah yang paling banyak mendapatkan
campur tangan koloni Belanda dalam mengubah kosmologi siwa lima tersebut.
Siwa lima merupakan konsep
masyarakat Maluku yang berfalsafah adalah menghadapi perbedaan dan keragaman
kebudayaan masyarakatnya. Konsep ini banyak dijumpai tidak hanya di Seram
dengan Pata Siwa dan Pata lima nya dan Uli Siwa serta Uli Lima, namun juga di
wilayah Maluku Tenggara dengan konsepnya Lorsiw- Lorlim bagi masyarakat Kei dan
Ursiw-Urlima11 bagi masyarakat Aru. Siwa lima di daerah Maluku Tenggara
mencakup Maluku Tenggara Barat, berbagai Pulau di Aru, dan wilayah Maluku Barat
Daya. Siwa lima di Maluku Tenggara ini mempunyai semangat yang sama dengan di Maluku
Tengah dan Ambon, yakni dua orang bersaudara layaknya kakak adik yang mempunyai
karakter berbeda, namun tetap satu darah dan satu semangat (Huliselan, 2009: 2).
Secara praktis falsafah ini
kemudian menjadi semacam persekutuan adat dan politik. Pandangan siwa lima
berangkat dari pandangan bahwa dalam kebudayaan yang bersifat monodualistik dan
penuh dengan perbedaan, keadilan, kerjasama, dan pemerataan harus diterapkan
sesuai dengan adat, demi mencapai keharmonisan. Jika menegasikan satu identitas,
maka eksistensi kebudayaan atau adat yang lain sesungguhnya tidak ada. Karena itu
masing-masing individu dalam adat, musti mengenal dan saling bekerja sama satu dengan
yang lainnya. Di tingkatan struktural, siwa lima ini menghasilkan sebuah ikatan
emosional antar warga yang disebut dengan pela-gandong12. Pranata
sosial pela-gandong ini merupakan puncak produk pemikiran dari Pata Siwa-pata
lima. Berbeda dengan siwa lima, sebagian besar dari sistem pela-gandong dibuat
ketika pendudukan Belanda, khususnya ketika Seram dan Ambon mengalami kekacauan
luar biasa akibat sistem politik perdagangan monopoli Hongi-Tochten (ekspedisi
Kapal Hongi) terhadap harga cengkeh13.
Berangkat dari kearifan dan
kejeniusan masyarakat lokal inilah, kemudian siwa lima dijadikan sebagai modal
sosial dan juga modal politik bagi masyarakat dan pemerintahan dalam membangun
kembali pola-pola kehidupan masyararakat yang baru saja mengalami konflik berkepanjangan.
Redifinisi terhadap siwa lima paca kerusuhan Ambon bertujuan untuk meggerakkan
kebersamaan masyarakat, membangun rasa saling percaya serta mencapai keuntungan
secara bersama. Semangat siwalima digunakan dan diredefinisikan kembali karena
dianggap mempunyai muatan yang bersifat fungsionalis dalam memenuhi kebutuhan
suprastruktur masyarakatnya. Meningkatnya konflik, menyebabkan orang-orang Pata
Siwa merefleksikan posisi mereka untuk berdamai dengan pata lima dan kemudian menciptakan
pranata sosial pela-gandong dengan mengacu pada satu nenek moyang sebagai asal-usul
mereka yakni agama Nunusaku di Pulau Seram. Di sisi lain, pemerintah Maluku
juga memperkenalkan pranata
sosial tradisional lainnya seperti maren, masohi, swen, sasi, hawear yang
meskipun tidak ”setenar” konsep pela-gandong namun semuannya merupakan modal
kearifan masyarakat yang tak kalah signifikan untuk menjadi modal sosial dalam menjalin
keharmonisan antar manusia dan lingkungan. Munculnya semua pranata sosial ini lebih
merupakan strategi untuk menjaga keharmonisan setelah menghadapi konflik yang berkepanjangan,
sebagai misal, hubungan antar pela daerah A dengan daerah B, berasal dari adanya
memori terhadap bantuan perang yang pernah diberikan daerah A terhadap B.
Pada perkembangan selanjutnya,
dibalik falsafah siwa lima, sesungguhnya terdapat dua atau bahkan lebih
kelompok yang hidup dalam keadaan bertentangan satu sama lainnya, sebagai misal
antara masyarakat Islam-Kristen, dua agama ini mempunyai pandangan mikrokosmos
berbeda, namun disatukan dalam sebuah nilai-nilai bersama (common values) atau
kebudayaan yang terbagikan (shared culture) sebagai mediasi dari dua
pertentangan tersebut. Mediasi ini merupakan proses keseimbangan dalam mencari
keharmonisan hidup, stabilitas dan inklusivitas terhadap orang lain (the
others). Karena itu siwa lima mempunyai prinsip monodualistik, yakni terdapat
makna kesatuan didalam dua perbedaan yang ada,antara Pata Siwa dan pata lima.
Meskipun sembilan, totalitasnya satu, meskipun lima totalitasnya pun tetap
satu. Jadi tidak bisa dianggap 9 dengan totalitas sembilan, dan 5 dengan
totalitas lima.
Berangkat dari kearifan dan
kejeniusan masyarakat lokal inilah, kemudian Siwa lima dijadikan sebagai modal
sosial dan juga modal politik bagi masyarakat dan pemerintahan dalam membangun
kembali pola-pola kehidupan masyararakat yang baru saja mengalami konflik
berkepanjangan. Redifinisi terhadap siwa lima paca kerusuhan Ambon bertujuan untuk
meggerakkan kebersamaan masyarakat, membangun rasa saling percaya serta mencapai
keuntungan secara bersama. Semangat siwalima digunakan dan diredefinisikan kembali
karena dianggap mempunyai muatan yang bersifat fungsionalis dalam memenuhi kebutuhan
suprastruktur masyarakatnya.
Membangkitkan Ulang dan Mendefinisikan Kembali Siwa lima
Siwa lima mengalami perubahan
penafsiran sejak paska konflik. Sebelum masuknya modernisasi dan polarisasi
antara agama Islam dan Kristen, masyarakat pendatang dan masyarakat Asli,
pandangan kosmologis siwa lima hanya dilihat pada tataran keharusan memenuhi
angka-angka sakral 5 dan 9 di wilayah ritual dan transisi, seperti pernikahan, kematian
dan upacara pembayaran denda. Paska konflik agama, satu dekade lalu, siwa lima mulai
mengalami redifinisi perluasan makna dan tujuan, yakni mempertahankan harmoni antar
masyarakat-masyarakat yang baru saja melakukan konflik, menghargai para
pendatang, dan bekerjasama dalam ruang-ruang multikultural, yang sebelumnya
belum pernah dibangun dalam konsep siwa lima ”lama”. Bahkan konsep harmonisasi
siwa lima juga dianggap sesuai jika dihubungkan dengan semangat UUD 1945,
sebuah ide pascakolonial yang mengaspirasikan semua kepentingan bersama dari
latar belakang masyarakat yang berbeda. Layaknya penemuan terhadap pancasila
sebagai lambang negara, Ambon pascakolonial menemukan lambang siwa lima dengan
memunculkan unsur-unsur yang identik dengan nilai kearifan lokal ini, yakni
perisai, daun sagu, daun kelapa, mutiara, pala, cengkeh, tombak, gunung, laut
dan perahu. Lambang-lambang yang disatukan dalam totalitas perisai ini identik
dengan lingkungan kehidupan masyarakat dan dianggap punya peran penting bagi kehidupan
masyarakat Maluku.
Beberapa ide menarik juga
hendak memasukkan kearifan lokal ini dalam kurikulum pendidikan dasar bermuatan
lokal dengan tujuan mengungkap potensi siwa lima sedini mungkin pada anak
didik. Kearifan lokal ini juga hendak diintegrasikan dengan pendidikan agama,
dengan mencari persamaan pada semangat etika kerjasama dan kebaikannya14
. Membangkitkan muatan lokal kearifan siwa lima menjadi sangat penting,
mengingat selama ini beberapa pakar pendidikan di Maluku selalu mengeluh bahwa
sejarah nasional untuk tingkat dasar selalu menyampikan narasi tentang sejarah
raja-raja Jawa, Ken Arok, kerajaan Majapahit hingga raja-raja Mataram, tapi
bukan kearifan lokal dan sejarah lokal masyarakat Maluku itu sendiri.
Redefinisi terhadap siwa lima menimbulkan dua pandangan dalam hal pencetusnya,
yakni pelaku budaya pada masa prakolonial dan kedua adalah pemerintah daerah
yang kini gencar-gencarnya membangkitkan kembali tradisi tersebut. Berangkat
dari semangat siwa lima tradisional/lama, siwa lima ”model baru” yang
dicanangkan oleh pemerintah dianggap lebih multikultural mengingat orang Ambon
pascakolonial kini berhadapan meningkatnya pesatnya para migran, kepentingan
negara dan segregasi agama yang semakin menajam.
|
Lambang pemerintahan Maluku
yang mengambil semangat dari siwa lima
|
Meski demikian, redefinisi
konsep siwa lima ini seringkali dicurigai sebagai ”proyek” semata dari
pemerintah, dibanding muncul dari inspirasi rakyat di tingkat bawah.”Kearifan lokal
model baru” ini dianggap tidak pro rakyat, dan cenderung hanya menjadi
propaganda pemerintah provinsi semata. Semangat siwa lima baru juga dianggap
tidak begitu melibatkan tetua adat seperti upulatu, baparaja dan tetua lainnya
yang tinggal di baileo di daerah-daerah. Contoh paling terbaru adalah sebuah
penghargaan yang diberikan oleh presiden SBY, dengan gelar "Upu Latu Rat
Maran Siwa lima" (Raja Besar Maluku) oleh Majelis Latupati Maluku.
|
SBY dianugerahi gelar adat
"Upu Latu Rat Maran Siwa Lima" (Raja Besar Maluku). Mengenakan ikat
pinggang kain berwarna merah, hitam, kuning, biru dan tongkat emas,
menyimbolkan kesiapan pemimpin besar melaksanakaan tugas. Dan kain bahu
berwarna merah simbol masyarakat Maluku.
Sebuah penghargaan yang
kontroversial
|
Masyarakat menganggap bahwa penghargaan sakral ini hanyalah sebuah agenda ”cari
muka” dari para petinggi birokrasi lokal terhadap presiden, mengingat selama ini
presiden SBY tidak dianggap benar-benar ikut andil dalam menyelesaikan konflik
di Ambon, melainkan atas inisiatif masyarakat sendirilah konflik tersebut
selesai. Masyarakat di tingkat bawah juga menganggap bahwa majelis adat
latupati Maluku yang dipimpin oleh A Malawat (Bapa Raja Negeri Mamala) telah
dibujuk oleh para petinggi di kantor gubernur
Maluku untuk menguatkan pemberian gelar tersebut kepada pemimpin
tertinggi di Indonesia ini.
Pemberian penghargaan kepada
presiden SBY semakin menunjukkan bahwa kearifan lokal ini baru diterima sebagai
konsensus politik yang sifatnya masih birokratis dan elitis, dan belum menjadi
konsensus dan komitmen secara sosio-kultural yang diterapkan dengan penuh
kesadaran oleh masyarakat di tingkatan akar rumput. Siwa lima masih menjadi sebatas
lambang provinsi, tertera sebagai nama museum, tugu, rumah adat, dan
penghargaan bagi tamu agung, tapi belum menjadi kearifan yang mengisi lembaran
hidup baru bagi masyarakat Ambon pascakonflik. Implementasi siwa lima di
tataran akar rumput sangat penting, karena ide-idenya selain untuk menemukan
kembali identitas dan tradisi masyarakat Ambon, juga mampu menawarkan semacam
inklusivitas atau sikap terbuka, toleran dan akomodatif terhadap
pandangan-pandangan yang berbeda dan beragam. Implementasi ini sangat urgen
mengingat realitas urban Ambon berubah dengan cepat dan kompleks khususnya
sejak terjadinya modernisasi, berjubelnya kaum migran dan konflik agama.
Simpulan
Redefinisi siwa lima sangatlah
mendesak, mengingat pendukung kebudayaan di Pulau Ambon sangatlah beragam,
terdiri beragam sub etnis dan pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif
sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada kurang lebih 130-an.
Bahasa-bahasa ini diklasifikasikan dalam ranah Austronesian (Soselisa, 1:
2003). Disamping itu, munculnya modernitas semakin memperkuat munculnya
polarisasi antara agama Islam dan Kristen yang dipeluk oleh mayoritas
masing-masing sub etnis. World view terhadap siwa lima merupakan mediasi
terhadap semua keragaman tersebut. Menghidupkan kembali siwa lima adalah sebuah
proses pencarian identitas diri, mencari tahu siapa diri orang Ambon sesungguhnya,
sehingga dapat dijadikan sebagai modal sosial untuk menjali persatuan dan
kebersamaan.
Siwa lima dianggap sebagai
budaya asli orang Maluku, mengingat jauh sebelum orang Maluku mengenal
Pancasila dan Indonesia, mereka telah mengenal istilah siwa lima. Kearifan
lokal ini menjadi semacam pandangan filosofis dasar untuk membangun organisasi dan
struktur sosial yang akan dibangun dalam masyarakat. Bahkan jauh sebelum masa kolonial,
pemikiran lokal ini dimanfaatkan sebagai pranata sosial yang menjamin adanya kestabilan
pemerintahan.
Permasalahannya sekarang,
hampir semua generasi muda tidak mengenal dengan baik apa itu siwa lima.
Beberapa pemuda yang saya wawancarai juga menganggap bahwa konsep siwa lima
cenderung hanya menjadi pandangan filosofis semata, tanpa tahu bagaimana harus menjabarkan
dan mengimplementasikan ditingkatan praktis. Bukan hanya di kalangan anak muda,
dari beberapa obrolan dengan para tetua di Ambon, hampir semua menyesali kerusuhan
yang pernah terjadi, dan mereka kini merasa mengkhianati para leluhurnya yang telah
bersusah payah menciptakan siwa lima dan pela-gandong. Satu dekade setelah
konflik, salah seorang warga senior Ambon, sebut saja, Luhuselani menyesali:
Katong ini su beberapa tahun
laeng seng liat laeng, sagu salempeng seng pata dua, ale rasa beta rasa, katong
manyanyi saja, tapi katong seng baku sontoh. Sekarang beta su bisa liat laeng,
disini beta pung sodara-sodara, disana beta pung sodara-sodara jua.
[Kita ini sudah beberapa tahun
tidak saling melihat dengan orang lain, sagu satu lempeng tidak lagi terbagi
dua, saya rasa kamu rasa, kita menyanyi saja, tapi kita tidak saling
bersentuhan. Sekarang saya sudah bisa melihat orang lain, disini saya punya
saudara, disana saya juga punya saudara-saudara.]
Luhuselani berujar dengan mata
berkaca-kaca. Tampaknya saat ini ia benar-benar merasakan makna sapa bale batu,
batu bale dia, siapa membalik batu, batu akan membalikkan dia. Siapa melupakan
adat dan tradisi, adat dan tradisi itulah yang kelak akan membalikkan dia. Ini
telah terbukti dengan perang berdarah-darah antar saudara siwa lima sepanjang tahun
1999-2003 di seluruh penjuru Maluku. Dapat dikatakan, bahwa mereka adalah orang-orang
yang telah membalik batu, melupakan tradisi serta kearifan nenek moyang.
Keterangan:
9
Taman mini Indonesia ini mengusung otentisitas dan simplifikasi dari berbagai
budaya pilihan seluruh Nusantara yang dianggap paling terkemuka dan mewakili
masing-masing wilayah etnis di Indonesia. Pada masa Orde Baru, pemerintah
melihat bahwa swa Lima adalah representasi yang cukup bagus dalam mewakili budaya
Indonesia.
10
Kata Baileo berarti “balai bersama” yakni sebuah rumah yang sekaligus berfungsi
sebagai ruang yang mempertemukan organisasi masyarakat dan masyarakat adat
lokal untuk membahas berbagai permasalahan yang mereka hadapi dan mengupayakan
berbagai pemecahannya.
11
Ursiw mengacu pada angka sembilan, dengan unsur kerbau, hiu martil, daratan
langit dan gunung. Sedangkan urlima mengacu pada paus, lautan, bumi dan pantai.
Sedangkan shared culture dari dua hal yang berbeda ini adalah larwul ngabal,
yakni hukum adat Kei yang didalamnya terdapat pasal antara lain: Uudentauk na
atvunad (Kepala kita berada di atas leher); Lelad ain fo mahiling (Leher kita
dihormati); Uil nitenwil rumud (Kulit bumi menutupi badan kita); Lar nakmot na
rumud (Darah terkurung dalam badan kita);
Rek fo kilmutan (Perkawinan harus terjadi di tempat yang suci dan
keramat); Morjain fo mahiling (Tempat wanita dihormati); Hira I ni fo I ni, it
do fo it did (Milik seseorang adalah miliknya, milik kami adalah punya kami).
Periksa selanjutnya: J.P Rahail, Larwul ngabal hukum adat Kei : bertahan
menghadapi arus perubahan, Yayasan Sejati, Jakarta 1993; P.M Laksono, Ken Sa
Faak: Benih-benih perdamaian dari Kepulauan Kei, Insist Press, 2004.
12
Pela-Gandong adalah sistem hubungan sosial yang mengikat dengan masyarakat di
luar kampungnya sendiri. Pela merupakan suatu relasi perjanjian dengan satu
atau lebih negeri lain yang sering berada di pulau lain dan kadang juga
menganut agama lain. Satu kampung terkadang memiliki dua hingga tiga pela.
Sehingga sistem pela-gandong ini menciptakan masyarakat jaringan di Maluku
Tengah. Sedangkan jenis pela terbagi dalam tiga hal, yaknji (1) pela karas; (2)
pela gandong atau bungso;dan (3) pela tempat sirih. Pela keras muncul karena terjadi
peperangan hingga menumpahkan darah. Pela gandong dimunculkan berdasarkan
ikatan turunan, ikatan mata rumah (kekerabatan) dalam satu kampung dengan lebih
dari satu mata rumah. Sehingga menimbulkan kepercayaan bahwa mata rumah
membentuk jaringan sosial yang menganggap dirinya dari satu
nenek moyang. Sedangkan pela
tempat sirih diadakan ketika usai terjadi konflik kecil dan bertujuan untuk memulihkan
keamanan serta memperlancar hubungan perdagangan. Sistem hubungan sosial ini
telah dibahas dengan serius oleh Dieter Bartels dalam disertasinya ”Guarding
the Invisible Mountain: Intervillage Alliances, Religious Syncretism and Ethnic
Identity Among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas (1997)“, dan beberapa
karya tulisnya seperti “Alliances Without Marriage: Exogamy, Economic Exchange,
and Symbolic Unity Among Ambonese Christian and Moslems” (1980) dan “Hubungan
Pela di Maluku Tengah dan di Netherland” (1977).
13 Periksa sejarah
Hongi Tochten dalam monopoli perdagangan cengkeh ini di Charles Ralph Boxer,
The Ducth Seaborne Empire 1600-1800, Hutchinson&Co, 1977: 99-100; R.A.
Donkin, Between East and West: The Moluccas and the Traffic in Spices up to the
Arrival of Europeans. Philadelphia: American Philosophical Society, 2003.
14
Ide ini mulai dicanangkan oleh salah satu SMA Muhammadiyah Ambon yang juga
mempunyai 7 guru kristen didalamnya.
Sumber: Abdul Kadir, Hatib.
Siapa Bale Batu, Batu Bale Dia: Politik Revivalisme Tradisi Siwa Lima. Jurnal
Lakon Vol. 1 No.1 Mei 2012.