Tulisan ini membahas tentang
definisi siwa lima dan proses kemunculannya kembali karena dianggap mempunyai
nilai pasifikasi serta rasa persatuan dalam menjaga perdamaian di Ambon
pascakonflik. Menemukan redefinisi seperti apa konsep siwa lima yang sesuai dengan
masyarakat Ambon yang semakin beragam. Membangkitkan kembali sentimen adat dan
tradisi lama bukan hanya untuk membantikan identitas yang resisten (Castells,
1997: 2), namun juga untuk memobilisasi massa berdasarkan kesamaan memori kolektif terhadap masa lalu, etnisitas,
lokalitas, ketuhanan, kebangsaan, dan kesamaan bahasa (Hobsbawm, 1993: 2;
Henley dan Davidson, 2007: 13). Revivalisme adat atau yanmenjadi sangat penting
karena ia dianggap budaya yang paling ”asli” dan ”tunggal” sebelum datangnya
kluster-kluster agama-agama modern, kapitalisme modern dan solidaritas negara
bangsa (Henley dan Davidson, 2007: 17, 31). Kearifan siwa lima diharapkan mampu
menjadi penengah diantara munculnya polarisasi masyarakat Ambon dalam bentuk
segregasi antar umat Islam dan Kristen, segmentasi antar entis serta polarisasi
antara kaum pendatang dan masyarakat asli. Banyak analis melihat bahwa siwa
lima semakin terlupakan seiring dengan modernisasi yang terjadi pada masyarakat
Ambon. Kearifan lokal ini dianggap ”ketinggalan jaman” dan tidak mempunyai ide yang sesuai dengan semangat modernisme.
Karena itu, saya akan menelusuri trajektori orang
Ambon yang mengalami modernisasi semenjak abad 18, sehingga akan ditemukan
logika mengapa kemudian siwa lima menjadi kearifan lokal yang terlupakan.
Munculnya Modernitas Orang Ambon6, Polarisasi Islam-Kristen
dan Tercerabutnya Tradisi
Modernitas orang Ambon mulai
terbangun semenjak kekuatan kolonial membangun pulau ini berdasarkan
rasionalitas klas penguasa, dengan menciptakan kluster-kluster berdasarkan ras,
etnisitas dan agama. Layaknya wilayah lainnya di nusantara, dibawah
pemerintahan resmi Belanda, penduduk di Pulau Ambon secara vertikal dibagi ke
dalam tiga kelompok, yang mengacu kepada ras, yakni masyarakat Eropa
(Vrijbugerij), orang-orang Cina dan kaum sipil urban (Burgerij). Kategori
pertama adalah orang Portugis yang masih menetap meski Belanda telah menguasai
seluruh pulau Ambon. Mereka juga disebut sebagai Casado. Sedangkan masyarakat ketiga disebut pula sebagai kaum Mardijker. Hingga detik ini keturunan
mereka masih menempati sebuah wilayah yang disebut Mardika. Kaum pribumi mempunyai posisi istimewa meskipun otoritas
menciptakan keputusan sangat terbatas.
Diciptakannya pola
kepemimpinan dalam masing-masing kelompok non-Eropa merupakan strategi adaptasi
pemerintah untuk menggabungkan sistem politik koloni dengan bentuk pemerintahan
adat atau masing-masing etnis. Layaknya kota kolonial lainnya, internal Ambon
disegregasi dan diklasifikasi berdasarkan kekuatan ekonomi dan politik
masyarakat dan bukan berdasarkan rasionalitas persekutuan siwa lima.
Pulau Ambon mengalami
modernitas ketika terjadi peralihan dari kota kerajaan ke kota kolonial.
Munculnya kota kolonial, otomatis merubah wajah sistem sosial masyarakat nya,
dari yang berpegangan pada pekerjaan agraris ke arah perdagangan (Bartels, 287:
1979). Pada pertengahan abad 17, Ambon juga disebut sebagai wilayahnya orang
migran, karena penduduk asli Ambon hanyalah sebesar 5%, sedangkan sisanya
sebesar 95% adalah pendatang. Dengan kata lain, pada tahun 1694 penduduk Ambon
hanya sebesar 274 jiwa dari 4.487 jiwa dari keseluruhan warga di kepulauan
Ambon. Pertumbuhan kaum urban muncul pula secara pesat. Ambon menunjukkan wajah
kosmopolitannya. Munculnya kaum migran ini otomatis mengaburkan dualisme konsep
siwa lima yang dipandang hanya bermuatan oposisi biner, gunung-laut;
hitam-putih. Pesatnya pendatang tentu semakin mengabaikan kosmologi ini.
Hingga di Abad 19, agama
Kristen berkembang pesat. Gereja-gereja terbangun dan tumbuh dengan
terorganisir secara kuat (Cooley, 143-4: 1961; Abdul Kadir, 35-51: 2009). Masuknya
urban Ambon ke agama Kristen, merupakan peralihan dari Katolik yang dianggap
kejam dan tukang menjarah. Juga mereka tidak memilih Islam dikarenakan identik dengan
tukang penginvasi dari utara yakni kerajaan Ternate dan Tidore7.
Meskipun pada akhirnya masih meninggalkan pertanyaan bahwa aliansi ke dalam
agama Kristen cenderung bersifat politis dibanding refleksi relijiius yang
mendalam. Konstruksi kekuasaan mengacu kepada kegiatan-kegiatan agama Kristen
seperti komuni suci yang mentransfer kekuasaan dan kekuatan Belanda terhadap
penganut Kristen di Ambon (Bartels, 1979: 287; 2003: 12). Umat yang beralih
memeluk agama Kristen, tidak hanya akan mendapatkan tingkatprevilese yang lebih dibanding
orang Cina maupun migran Jawa, Makassar dan Buton, melainkan juga mereka akan
aman dari serangan kelompok etnis lainnya yang tidak memeluk agama Kristen.
Menjadi Kristen selama masa koloni adalah menjadi orang modern, berpendidikan,
berperadaban dan akan mempunyai status lebih berkuasa di tingkat struktural
pemerintahan lokal.
Transfer kekuasaan “White
Power” koloni terasa tatkala Belanda memperkenalkan sistem pembapitsan dan
sakramen terhadap tubuh orang-orang Ambon. Jika sebelumnya pada masa head
hunting kekuatan dan kesucian tubuh berparamater pada sejauh mana tenggorokan
pernah dibasahi oleh darah lawan, maka makna tubuh suci modern dan kekuatannya
beralih ke sepotong roti suci dan secawan anggur yang dipercaya sebagai manifestasi
Tubuh dan darah Kristus (Bartels, 287: 1979). Selanjutnya Knaap mengestimasikan
bahwa sepeninggal Portugis pada tahun 1605 ada sekitar 16 ribu orang Ambon yang
dibaptis di Lei Timor dan di kepulauan Lease8 (Knaap, 1987: 83 via
Chauvel 1990: 18). Ritual baptisme melalui pemandian suci merupakan purifikasi
tubuh yang sekaligus membatasi manusia lama menjadi manusia baru. Menjadi siap
modern adalah beragama Kristen dan terpisah dengan masyarakat pagan sebelumnya.
Terjadi ruang pemisahan tubuh antara kelompok bersih dan suci (Kristen, Ambon
dan orang kota) dan kelompok kotor (Islam, pesisir, masyarakat pedalaman
seperti di Alifuru). Pengalaman relijius tidak pernah mandi suci memisahkan
urban Kristen dengan mereka yang belum pernah melakukannya, dan distereotipekan
sebagai manusia yang tidak tercuci (unwashed people) yang tidak bersih. Hingga
tahun 1935, para pemimpin gereja reformis yang dikomandoi oleh GPM (Gereja
Protestan Maluku) melakukan serangkaian tindakan purifikasi secara ofensif
terhadap para penganut adat hingga ke desa-desa. Di titik inilah kemudian kolonialisasi dan
agama menjadi aktor penentu dalam memodernkan pilihan-pilihan untuk menentukan
kemana hendak diarahkan tubuh ketika menghadapi perubahan. Modernisasi agama
mengubah konsep kosmologi siwa lima yang pada awalnya adalah persekutuan adat
an sich, mengerucut pada polarisasi antara siwa yang identik dengan Kristen dan
lima yang identik dengan Islam. Belanda mempunyai logika modernisme dengan
menciptakan elit-elit lokal baru dibanding harus merawat adat istiadat
masyarakat jajahan.
Tepatnya tahun 1882,
disebutkan bahwa dari jumlah jiwa di kepulauan Ambon (Haruku, Saparua, dan
Nusalaut) jumlah kaum muslim mencapai 28,3% atau berjumlah 16.693 manusia dari
total 58.893 jiwa. (Hulsboch 129: 2004). Di marjinalkannya komunitas Islam
sepanjang masa koloni, membuat agama ini lebih statis dalam mempertahankan
nilai tradisional Ambon. Belanda tidak memperkenalkan kepada komunitas Islam,
sistim pendidikan yang berlanjut pada sistim pekerjaan modern. Sehingga kaum
muslim nyaris tidak mengenal alokasi dana untuk belanja pakaian dan juga tidak
tertarik dengan gaya hidup modern (Chauvel 35-8: 1990; Hulsboch, 106: 2004). Sedangkan
modernitas orang-orang Islam di kota ini masuk secara belakangan dibanding
orang-orang Kristen. Pada tahun 1933 gerakan-gerakan purifikasi yang menyerang
takhyul dalam adat mulai marak, salah satunya adalah dengan didirikannya sebuah
masjid besar di tengah kota yang kini lebih dikenal dengan Masji Al-Fatah.
Konflik antara penerimaan Islam progresif dengan tetap mempertahankan
nilai-nilai tradisional cenderung terjadi dengan hebat dan berdarah-darah di
wilayah luar Ambon, seperti pada orang-orang Haruku dan Pelauw, sebuah wilayah
yang berada di ujung timur Pulau Ambon. Gerakan purifikasi yang digiring oleh
Islam juga dilakukan terhadap masyarakat urban Ambon. Masuknya dua agama besar
di Ambon (Kristen dan Islam) membuat warga urban mengalami peralihan
kebimbangan antara tetap mempertahankan tradisi leluhur atau mulai memasuki
agama modern. Gerakan purifikasi, baik pada masyarakat Islam maupun Kristen mau
tak mau mengancam keberadaan kosmologi siwa lima yang dianggapnya penuh takhyul
adat, bid’ah, kolot dan tak suci. Tak lama kemudian, modernitas mulai mengikis keperacayaan
terhadap satu-satunya tradisi agama Nunusaku dan tunggalnya adat serta nenek
moyang orang Ambon.
Periode pascakolonial di tahun
1950an, masyarakat Ambon telah mengalami semacam “kebingungan” identitas,
sebagaimana yang digambarkan oleh disertasi Cooley di Yale University mencatat
bahwa:This period has
been a time in which the youth have come increasingly to the fore.Educational
opportunities have grown tremendously. Moluccan Christians have beenconfronted by more
self-conscious and aggressive Moluccan Muslims. Indirect governmentthrough the
Village Councils by a colonial government has been replaced by directgovernment by
Indonesians, themselves determined to build a new nation. This set ofcircumstance here
referred to broadly as "rapid social change"…The adat system has
furtherbroken up. Only
particular parts of it remain. More important still, respect for and relianceon adat has
suffered grievously, particularly amongst the younger generation.(Cooley,155:1961).
Pasca revolusi, secara garis
besar orang Ambon terbagi dalam dua karakteristik, yakni kaum modernis dan tradisionalis. Golongan pertama adalah
mereka yang tinggal di kota, berpendidikan, dan mempunyai orientasi
nasionalisme serta mempunyai ikatan terhadap imaji negara bangsa secara kental.
Sedangkan golongan kedua adalah mereka yang masih menempati desa dan terikat
kuat dengan nilai-nilai adat seperti misal tetap berpegangan pada kearifan siwa
lima. Meskipun demikian, kesamaan dari keduanya adalah tetap bergelayut dengan
dunia tradisional bagi mereka yang modern, dan berhasrat mengetahui peradaban
di luar yang modern bagi mereka yang tradisionalis. Pada titik inilah kemudian orang-orang
Ambon Modern sebenarnya mulai meninggalkan tradisi siwa lima dengan berpegangan
pada model “kearifan filosofis” baru yang ditawarkan oleh agama dan Negara bangsa
baru, seperti Pancasila.
Orang Kristen adalah komunitas
yang paling merasa terganggu dengan datangnya ide nasionalisme tentang
Keindonesiaan. Baginya, dominasi kulit putih adalah lebih baik dibanding
dominasi Indonesia, sebuah negara yang baru dikenal. Dekolonisasi menyebabkan perubahan
komposisi pemerintahan. Tidak ada lagi keistimewaan status yang diasosiasikan dengan
Belanda. Pada saat yang sama muncul gelombang migran yang disebut sebagi “Islam
Pendatang” atau ”orang dagang”. Rata-rata dari mereka menempati lahan kosong
yang tersedia di sepanjang bantaran sungai dan pesisir pantai kota (Mearns, 25:
1999; Benda Beckmann, 2007: 15-25). Jumlah orang muslim kemudian semakin
membludak hingga mencapai puncak di pertangahan tahun 1990-an.
Transformasi mulai berjalan
karena yang berhak mendapatkan pendidikan, previlese, dan gaya bukan hanya anak
muda Kristen, namun juga anak-anak muda Islam yang tinggal di Ambon. Kaum
migran ini rata-rata berasal dari Buton, Makassar, Bugis, Jawa dan sisa-sisa dari
kepulauan Maluku yang terpencar. Hingga menjelang tahun 1995 gelombang migran muslim
membengkak nyaris menyamai jumlah kaum urban Kristen. Ketika itu populasi kota ini
mencapai 311,000, 52.9 jiwa. Jumlah Kristen sebanyak 41,7 persen, katholik 5,2
persen . Layaknya komposisi sebelumnya, komunitas Islam menempati wilayah
pesisir pantai, dengan membentuk komunitas-komunitas pedagang di pasar. Para
migran muslim rata-rata bekerja sebagai pedagang, sedangkan kebanyakan Kristen
mewarisi tradisi yang telah terbangun selama masa kolonial, yakni bekerja
dijasa birokrasi. Meski demikian hingga tahun 1999, setidaknya terdapat 74
persen muslim yang menempati elit pemerintahan (Basorie, 62-3: 2005; ICG Asia
Report, 2: 2000). Ketakutan terhadap sebentuk hegemoni yang akan lahir dari
satu sisi golongan misalnya, menjadi klausul yang cukup menjadi alasan untuk
kembali memunculkan ide tentang siwa lima. Namun, semangat ini menjadi tantangan
pesatnya perkembangan Islam garis keras pasca konflik memandang negatif kearifan
lokal asli masyarakat Ambon ini, karena dianggap tidak sesuai dengan
nilai-nilai Islam yang murni selayaknya di Timur Tengah.
(Bersambung....)
Keterangan:
6
Kata Ambon disini sebenarnya agak rancu, mengingat ia tidak hanya mengacu pada
kota Ambon, namun juga mengacu pada Pulau Ambon dan sekitarnya (Pulau Buru,
Pulau Banda), serta orang-orang di kepulauan Maluku Tenggara yang mendefinisikan
sebagai “orang Ambon“ tatkala mereka berada di luar Maluku. Kata ini sengaja
saya pilih karena mempunyai makna yang fleksibel secara identitas dan
geografis, dibanding saya harus menggunakan kata “Maluku Tengah“, “Seram“ atau
“Maluku Tenggara“
7
Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa bahwa Pata Siwa dan pata lima
bukanlah kearifan lokal yang berasal dari Seram, melainkan berasal dari
Kesultanan Tidore dan Ternate. Pata Siwa mempunyai pertaliannya dengan Ternate
dan Pata lima dengan Tidore. Alasan munculnya pembagian Pata Siwa dan pata lima
adalah adalah untuk memecah belah orang Seram agar lebih mudah ditaklukan.
Berbagai catatan sejarah memperlihatkan bahwa orang Ternate dan Tidore terus
bersaing paling tidak sejak tahun 1450.
8 Orang-orang
di Kepulauan Lease meliputi orang Ambon, Saparua Nusalaut, Haruku, dan Molana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.