Negeri Mamala merupakan salah
satu negeri di jazirah Leihitu Pulau Ambon. Bertolak dari penuturan
tua-tua adat bahwa negeri Mamala dalam bahasa daerah disebut dengan kata
“Ama-Latu” yaitu “Ama’ artinya Negeri , dan “Latu” artinya
Raja., jadi kata “Ama-Latu” artinya Negeri Raja.
Dikatakan bahwa ketika
masyarakat Mamala bertemu dengan orang-orang Portugis, kemudian mereka bertanya
kepada masyarakat Mamala bahwa dimana tempat tinggal mereka atau
negerinya, maka masyarakat Mamala menjawab sambil menunjuk ke arah gunung
dengan menyebut kata “Mala-mala”, yang maksudnya letak negeri
mereka ke arah gunung yang berwarna kebiru-biruan, yang oleh orang
Portugis di sebut “Mamala”.
Negeri Mamala yang pertama
terletak di puncak gunung Salahutu dan disebut “Pausela” (Ulupokol),
kemudian pindah ke gunung “Iyal-Uli” , yang letaknya kurang lebih 3 km sebelah
timur dari letak Mamala sekarang. Pada abad ke XVII sebagian penduduk
berpindah ke tempat sekarang dan bergabiung dengan negeri Loing dan Polut.
Sebagai orang pertama tiba di
tempat tersebut adalah Uka Latu Apel, beliau datang dengan membawa sebuah kendi
tempat air minum, dan seekor ayam, nama ayam tersebut bernama Lusi. (Wawancara
, Hi. Hasanuddin Malawat: 12 Juni 1993).
Setelah tibanya Uka Latu
Apel di tempat tersebut, kemudian datang lagi suatu kelompok yang terdiri
dari : “ Meten, Tuhe, dan Hitiy”. Ketiga orang ini tidak mengetahui bahwa
ada orang yang sudah datang terlebih dulu dari mereka bertiga, sehingga mereka
bermufakat untuk mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai
pemimpin. Sementara mereka bermufakat, tiba-tiba terdengar seekor
ayam berkokok yang datangnya dari arah Salahutu. Hal itu menunjukkan bahwa
sudah ada seseorang yang lebih dahulu datang di tempat tersebut.
Dengan demikian mereka bertiga
yakni “Meten, Tuhe dan Hitiy”, berusaha untuk mencari di mana orang
itu berada, untuk itu mereka mengikuti arah suara ayam berkokok. Dalam
usaha pencarian tersebut , mereka berhasil bertemu dengan
beliau (Uka Latu Apel) di Salahutu, kemudian mereka berempat mulai
bermufakat untuk mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai
pemimpin. Dari hasil mufakat, atas usul dari Uka Latu Apel bahwa apabila
bertemu dengan siapa saja yang mencari ikan di pantai, maka orang
tersebut diangkat sebagai pemimpin. Kemudian mereka turun ke
pantai dengan persetujuan hasil mufakat tersebut, mereka turun ke
pantai sekaligus dengan menurunkan air (sungai) “Selepai” yang oleh
masyarakat Mamala di sebut “Air besar”. Setelah sampai di pantai ternyata
yang ditemukan adalah orang yang memberikan usul tadi, yakni Uka Latu
Apel. Beliau kemudian dibawa ke darat oleh tiga orang
tersebut (Meten, Tuhe, Hitiy).
Beliau (Uka Latu Apel)
langsung diangkat untuk menjadi pemimpin (Raja) mereka, dengan mendudukkan
beliau di atas sebuah batu, dan batu tersebut sampai saat ini
dikenal dengan sebutan “Hatu Hiti Latu”. Hatu artinya batu, hiti
artinya angkat dan Latu artinya Raja. Sehingga bisa diterjemahkan Batu tempat
pengangkatan Raja. Hingga saat ini tempat tersebut dipakai
sebagai tempat upacara pengangkatan Raja Mamala, yang secara adat
diangkat di tempat tersebut. Sehingga tempat ini dikenal dengan sebutan “Hiti
Latu Tetui” (Tanjung Pengangkatan Raja). (Wawancara, Tua Adat , Abd. Gawi
Malawat : 16 Juni 1993). Uka Latu Apel adalah sebutan untuk Syeikh Jumadil Qubro.
Sedangkan ketiga orang
tersebut , yakni Meten, Tuhe dan Hitiy, sebagai pengawal
pemimpin (Raja), atau hulubalang dari Raja yang mereka angkat, di mana:
o “Meten”
yang namanya “Uka Leolisa” bertugas sebagai penunjuk jalan
o “Tuhe”
yang namanya “Kolongsusu” bertugas sebagai pembersih jalan, apabila
di dalam perjalanan , mereka terhalang oleh kayu-kayu besar maka Tuhe lah yang
memotong kayu tersebut hingga jalan itu bersih.
o “Hitiy”
yang namanya “Sabtu” , bertugas sebagai angkat Raja, “Hitiy” artinya
angkat, sehingga setiap upacara pengangkatan Raja Mamala , maka yang
berhak untuk mendudukkan atau mengangkat Raja secara adat adalah Hitiy.
Uka Latu Apel setelah
diangkat menjadi pemimpin atau Raja, mereka kemudian kembali ke gunung Salahutu
atau disebut Pausela sebagai tempat kediaman mereka, untuk melanjutkan
kehidupan mereka di tempat tersebut. Seperti pada sebuah kapata
(Lani) yang diciptakan leluhur yang berbunyi sebagai berikut
o Sopo
Telu Hata – Hata Teluey Hini”
o Lihut, itite,
u’- ule haholo
o Mo-e salele
“Salahutu” Simalopu
o Tei Meten
husa hatu rimulai molo
o Tei Yaha husa
hatu rimulai molo
o Tei Poko
husa hatu Sina Uli yau
o Tei
Poko husa hatu Sinai Matawa-a
o Hatu telu
pakalala Totohatu
o Telu pakalesi
Manulatu “Pausela”
o Liani Sasupu
yupu Tei Mala Tasibeha
o Telu yulu pele
salele yulu pokol
o Nisasopo
lete Nusatapi Posiela
o Telusy tahale
Telu sopo hini
o Telu Hata
Si’eleha ‘e Tane Hitu
o Nala peia Ina
hanu Sini Telu
o Simi hini Latu,
Meten, Tuhe, Hitiy
o Hatwa Tina Matua
Ama Latu
Yang artinya, sebagai berikut:
o Topan, petir,
halilintar bersahutan
o Kabut
menyeliputi “Salahutu” dan “Simalopu”
o Datang pertama
berjubah hitam , membawa batu saat fajar (Meten)
o Datang yang
kedua , berjubah merah, saat bintang merah sedang naik, dengan membawa batu
(Tuhe)
o Datang yang
ketiga , berjubah kuning , saat bintang sedang naik , dengan membawa batunya
(Hitiy)
o Tiga buah
batu membentuk tungku di puncak Simalopu. Mengisyaratkan kedatangan mereka.
o Ketiganya
melambangkan “Manulatu” , perlambang dari Negeri Latu Pausela. (Ketiganya
sedang berdiskusi tiba-tiba terdengar suara ayam / burung merpati milik
Latu Apel.
o Ketiganya
mencari ke arah datangnya suara ayam / burung merpati, dan bertemu
pemiliknya yang sedang berwirid setelah sholat Subuh.
o Ketiga bukit
tersebut di atas, merupakan pertanda munculnya Tiga tuan tanah, yang
mengelilingi bukit Ula Pokol, yang merupakan perlambang Raja Latu Apel.
o Ketiganya
dijunjung dan dilantik sebagai Malesi.
o Ketiganya
mempunyai kedudukan yang sama sebagai pemangku adat , dan yang
ke-empat memangku tugas pemerintahan.
o Ke-empat
Upu (Empat Perdana), adalah keaslian Tanah Hitu (Pemerintahan Tanah Hitu).
o Ketiga Upu
berusaha mencari Wanita bakal isteri Rajanya, yang keturunannya akan mewarisi
jabatannya.
o Ketiga pemangku
adat tersebut, Meten, Tuhe dan Hitiy tetap disanjung dan dijunjung.
o Hatwa Tina,
Isteri Raja, Putri laut, keturunannya pemangku adat Amalatu (Mamala).
Kapata-kapata (Lani)
tersebut biasanya dilagukan pada saat dilaksanakan upacara pengangangkatan
Raja secara adat. Di dalam kapata tersebut secara berulang-ulang
menyebutkan Uka Latu Apel dengan ketiga pengawalnya yakni Meten,
Tuhe, dan Hitiy. Hal ini membuktikan bahwa merekalah yang pertama datang
dan menempati daerah tersebut, yang pada akhirnya anak cucu
keturunannya mereka di negeri Mamala.
Iyal Uli sebenarnya nama sebuah gunung yang letaknya kurang
lebih 3 km sebelah timur dari lokasi Negeri Mamala sekarang, dan
merupakan negeri yang kedua. Pada tahun 1643-1644 pada masa pemerintahan
Belanda, yakni pada masa pemerintahan Gubernur Gerard Demmer, menurunkan
hena-hena atau aman-aman dari gunung Iyal Uli ke pesisir pantai,
tujuannya adalah untuk mempermudah pengawasan oleh Belanda, untuk
kemudian bergabung dengan hena-hena kecil seperti Loing dan Polut. Sedangkan
Hena-hena atau aman yang ada di gunung saat itu adalah Latu, Hausihol dan
Liang.
Madina Tjolleng ST. Mengatakan
bahwa hena atau aman adalah bentuk persekutuan yang lebih besar dari Uku.
Sebuah hena bisa terdiri dari beberapa Uku yang merupakan kesatuan genealogis,
namun dengan adanya perkembangan , maka sudah harus diperhitungkan
unsur-unsur teritorial uku-uku yang bersangkutan. Adannya pertimbangan
ini, sehingga hena tidak dapat dipastikan hanyalah persekutuan genealogis
semata, lebih tepat bila dinyatakan sebagai suatu persekutuan
genealogis-teritorial, di mana unsur genealogislah yang dominan, ( Madina
Tjolleng ST; 1988;32).
Soa Latu meliputi marga-marga
Malawat, Pelau, Samaniri dan Mony
Soa Pati meliputi marga-marga Lating, Selay dan
Hatuala
Soa Tuhuputa meliputi marga-marga
Lilisula, Latukau dan Kiang
Soa Loing meliputi marga-marga
Lulung (Lessy), Selakoko, Sasole, Tulapessy dan Thenu
Soa Polut meliputi marga-marga
Tomu, Pulhehe, Ollong dan Wakang
Kelima Soa ini yang membentuk
negeri adat yang disebut Pausela Amalatu / Mamala Amalatu