Jumat, 30 Oktober 2015

Sejarah Terbentuknya Negeri Mamala Amalatu (Pausela Amalatu)




Negeri Mamala merupakan salah satu negeri di jazirah Leihitu Pulau Ambon.  Bertolak dari penuturan  tua-tua adat bahwa negeri Mamala dalam bahasa daerah disebut dengan kata “Ama-Latu”  yaitu “Ama’ artinya Negeri , dan “Latu”  artinya  Raja., jadi kata  “Ama-Latu”  artinya Negeri  Raja.

Negeri Mamala-Amalatu

Dikatakan bahwa ketika masyarakat Mamala bertemu dengan orang-orang Portugis, kemudian mereka bertanya kepada masyarakat Mamala  bahwa dimana tempat tinggal mereka atau negerinya, maka masyarakat Mamala menjawab sambil  menunjuk ke arah gunung dengan menyebut kata “Mala-mala”, yang maksudnya  letak  negeri mereka  ke arah gunung yang berwarna kebiru-biruan, yang oleh orang Portugis  di sebut “Mamala”.

Negeri Mamala yang pertama terletak di puncak gunung Salahutu dan disebut “Pausela”  (Ulupokol), kemudian pindah ke gunung “Iyal-Uli” ,  yang letaknya kurang lebih 3 km sebelah timur dari letak Mamala sekarang.  Pada abad ke XVII sebagian penduduk berpindah ke tempat sekarang dan bergabiung dengan negeri Loing dan Polut.

Sebagai orang pertama tiba di tempat tersebut adalah Uka Latu Apel, beliau datang dengan membawa sebuah kendi tempat air minum, dan seekor ayam, nama ayam tersebut bernama Lusi. (Wawancara , Hi. Hasanuddin Malawat: 12 Juni 1993).

Setelah tibanya Uka Latu Apel  di tempat tersebut, kemudian datang lagi suatu kelompok yang terdiri dari : “ Meten, Tuhe, dan Hitiy”.  Ketiga orang ini tidak mengetahui bahwa ada orang yang sudah datang terlebih dulu dari mereka bertiga, sehingga mereka bermufakat untuk mengangkat salah seorang  di antara mereka sebagai pemimpin.  Sementara mereka bermufakat,  tiba-tiba terdengar seekor ayam berkokok yang datangnya dari arah Salahutu. Hal itu menunjukkan bahwa sudah ada seseorang yang lebih dahulu datang di tempat tersebut.

Dengan demikian mereka bertiga  yakni “Meten, Tuhe dan Hitiy”, berusaha  untuk mencari di mana orang itu berada, untuk itu mereka mengikuti  arah suara ayam berkokok. Dalam usaha pencarian tersebut , mereka  berhasil  bertemu dengan beliau  (Uka Latu Apel) di Salahutu, kemudian mereka  berempat mulai bermufakat untuk mengangkat salah seorang di antara mereka  sebagai pemimpin. Dari  hasil mufakat, atas usul dari Uka Latu Apel bahwa apabila bertemu dengan siapa saja yang mencari ikan di pantai, maka orang tersebut  diangkat sebagai pemimpin.  Kemudian mereka turun ke pantai  dengan persetujuan hasil mufakat tersebut, mereka turun  ke pantai sekaligus dengan menurunkan air (sungai) “Selepai”  yang oleh masyarakat Mamala di sebut “Air besar”.  Setelah sampai di pantai ternyata yang ditemukan adalah orang  yang memberikan usul tadi, yakni Uka Latu Apel.  Beliau kemudian dibawa  ke darat oleh tiga orang tersebut  (Meten,  Tuhe, Hitiy).

Beliau (Uka Latu Apel) langsung diangkat untuk menjadi pemimpin (Raja) mereka, dengan mendudukkan beliau di atas sebuah batu, dan batu tersebut  sampai saat ini dikenal  dengan sebutan “Hatu Hiti Latu”.  Hatu artinya batu, hiti artinya angkat dan Latu artinya Raja. Sehingga bisa diterjemahkan Batu tempat pengangkatan Raja.  Hingga  saat ini tempat tersebut dipakai sebagai  tempat upacara pengangkatan Raja Mamala, yang secara adat diangkat di tempat tersebut. Sehingga tempat ini dikenal dengan sebutan “Hiti Latu Tetui” (Tanjung Pengangkatan Raja). (Wawancara, Tua Adat , Abd. Gawi Malawat : 16 Juni 1993). Uka Latu Apel adalah sebutan untuk Syeikh Jumadil Qubro.

Sedangkan ketiga orang tersebut , yakni Meten, Tuhe dan Hitiy,  sebagai  pengawal  pemimpin (Raja), atau hulubalang dari Raja yang mereka angkat, di mana:
o   “Meten”  yang namanya “Uka Leolisa” bertugas sebagai penunjuk jalan
o   “Tuhe” yang namanya “Kolongsusu”  bertugas sebagai pembersih jalan, apabila  di dalam perjalanan , mereka terhalang oleh kayu-kayu besar maka Tuhe lah yang memotong  kayu tersebut hingga jalan itu bersih.
o   “Hitiy” yang namanya “Sabtu” , bertugas sebagai angkat Raja, “Hitiy” artinya angkat,  sehingga setiap upacara pengangkatan Raja Mamala , maka yang berhak untuk mendudukkan atau mengangkat Raja secara adat adalah Hitiy.

Uka Latu Apel  setelah diangkat menjadi pemimpin atau Raja, mereka kemudian kembali ke gunung Salahutu atau disebut Pausela sebagai tempat kediaman mereka, untuk melanjutkan kehidupan mereka di tempat tersebut. Seperti pada sebuah kapata  (Lani)  yang diciptakan leluhur yang berbunyi sebagai berikut
  
o  Sopo Telu Hata – Hata Teluey Hini”
o   Lihut, itite, u’- ule haholo
o   Mo-e salele “Salahutu” Simalopu
o   Tei  Meten husa hatu rimulai molo
o   Tei Yaha husa hatu rimulai molo
o   Tei Poko  husa hatu Sina Uli yau
o   Tei  Poko  husa hatu Sinai Matawa-a
o   Hatu telu pakalala Totohatu
o   Telu pakalesi Manulatu “Pausela”
o   Liani Sasupu yupu  Tei Mala Tasibeha
o   Telu yulu pele salele yulu pokol
o   Nisasopo  lete Nusatapi Posiela
o   Telusy tahale Telu sopo hini
o   Telu Hata  Si’eleha  ‘e Tane Hitu
o   Nala peia Ina hanu  Sini Telu
o   Simi hini Latu, Meten, Tuhe, Hitiy
o   Hatwa Tina Matua Ama Latu

Yang artinya, sebagai berikut:
o   Topan, petir, halilintar bersahutan
o   Kabut menyeliputi  “Salahutu” dan “Simalopu”
o   Datang pertama berjubah hitam , membawa batu saat fajar (Meten)
o   Datang yang kedua , berjubah merah, saat bintang merah sedang naik, dengan membawa batu (Tuhe)
o   Datang yang ketiga , berjubah kuning , saat bintang sedang naik , dengan membawa batunya (Hitiy)
o   Tiga  buah batu membentuk tungku di puncak Simalopu. Mengisyaratkan kedatangan mereka.
o   Ketiganya melambangkan “Manulatu” , perlambang dari Negeri Latu Pausela. (Ketiganya sedang berdiskusi  tiba-tiba terdengar suara ayam / burung merpati milik Latu Apel.
o   Ketiganya  mencari  ke arah datangnya  suara ayam / burung merpati, dan bertemu pemiliknya yang sedang berwirid setelah sholat Subuh.
o   Ketiga bukit tersebut di atas, merupakan pertanda munculnya Tiga tuan tanah,  yang mengelilingi bukit Ula Pokol, yang merupakan perlambang Raja Latu Apel.
o   Ketiganya dijunjung dan dilantik sebagai  Malesi.
o   Ketiganya  mempunyai  kedudukan yang sama sebagai pemangku adat , dan yang ke-empat  memangku tugas pemerintahan.
o   Ke-empat  Upu (Empat Perdana), adalah keaslian Tanah Hitu (Pemerintahan Tanah Hitu).
o   Ketiga Upu berusaha mencari Wanita bakal isteri Rajanya, yang keturunannya akan mewarisi jabatannya.
o   Ketiga pemangku adat tersebut,  Meten, Tuhe dan Hitiy tetap disanjung dan dijunjung.
o   Hatwa Tina, Isteri Raja, Putri laut, keturunannya pemangku adat Amalatu (Mamala).

Kapata-kapata (Lani)  tersebut biasanya dilagukan pada saat dilaksanakan upacara pengangangkatan Raja  secara adat.  Di dalam kapata tersebut secara berulang-ulang menyebutkan Uka Latu Apel  dengan ketiga pengawalnya yakni Meten,  Tuhe,  dan Hitiy. Hal ini membuktikan bahwa merekalah yang pertama datang dan menempati  daerah tersebut, yang pada akhirnya  anak cucu keturunannya  mereka di negeri Mamala.

Iyal Uli sebenarnya nama sebuah gunung yang letaknya kurang lebih 3 km sebelah timur  dari lokasi Negeri Mamala sekarang, dan merupakan negeri yang kedua. Pada tahun  1643-1644 pada masa pemerintahan Belanda, yakni pada masa pemerintahan Gubernur Gerard Demmer, menurunkan  hena-hena atau aman-aman  dari gunung Iyal Uli ke pesisir pantai, tujuannya  adalah untuk mempermudah pengawasan oleh Belanda, untuk kemudian bergabung dengan hena-hena kecil seperti Loing dan Polut. Sedangkan Hena-hena atau aman yang ada di gunung saat itu adalah Latu,  Hausihol dan Liang.

Madina Tjolleng ST. Mengatakan bahwa hena atau aman  adalah bentuk persekutuan yang lebih besar dari Uku. Sebuah hena bisa terdiri dari beberapa Uku yang merupakan kesatuan genealogis, namun dengan adanya perkembangan , maka sudah harus  diperhitungkan unsur-unsur teritorial  uku-uku yang bersangkutan. Adannya pertimbangan ini, sehingga hena tidak dapat dipastikan hanyalah persekutuan genealogis semata, lebih tepat bila dinyatakan sebagai suatu persekutuan genealogis-teritorial, di mana unsur genealogislah yang dominan, ( Madina Tjolleng ST; 1988;32).

Soa Latu meliputi marga-marga Malawat,  Pelau, Samaniri dan Mony
Soa  Pati meliputi marga-marga Lating, Selay dan Hatuala
Soa Tuhuputa meliputi marga-marga Lilisula, Latukau dan Kiang
Soa Loing meliputi marga-marga Lulung (Lessy), Selakoko, Sasole, Tulapessy dan Thenu
Soa Polut meliputi marga-marga Tomu, Pulhehe, Ollong dan Wakang

Kelima Soa ini yang membentuk negeri adat yang disebut  Pausela Amalatu / Mamala Amalatu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.