Maluku Dalam Perdagangan Internasional
Ketika untuk pertama kali para
saudagar Arab dengan perahu-perahu layar tiba di kepulauan yang menjadi gudang
rempah-rempah seperti: cengkih, pala, lada, minyak kayu putih, madu, mutiara
dan sebagainya yang amat terkenal di pasaran dunia itu, mereka bersorak kegirangan sambl berseru
“Mulluk” jamak dari “Mulk atau Milk”
yang artinya benda-benda yang dimiliki penduduk, atau bisa diartikan “kerajaan”
(rempah-rempah). (1) Tentu saja di sini
lebih tepat diartikan “Muluuk” sebagai tempat yang paling istimewa yang telah
dapat mereka temukan; yakni “kerajaan rempah-rempah”.
Apabila kita meneliti sejarah di
daerah yang dinamakan Maluku, maka nampak bahwa istilah Maluku ini senantiasa
berbeda-beda artinya di dalam perkembangannya. Pada mulanya istilah ini hanya
dipergunakan untuk menyebutkan kerajaan-kerajaan yang terdapat di daerah Maluku
Utara saja, yang muncul dari “boldan-boldan” (kerajaan) sebagai suatu bentuk
pemerintahan yang dikuasai oleh “kolano”
(Raja). Boldan ini merupakan bentuk awal dari kerajaan di Maluku.
Kerajaan-kerajaan yang dimaksudkan Maloko Boldan Ternate, Maloko Boldan Tidore,
Maloko Boldan Bacan dan Maloko Boldan Jailolo. (2) Jelas tampak di sini bahwa boldan-boldan
tersebut menggunakan istilah Maluku, jadi terbatas hanya di wilayah ke empat
kerajaan di Maluku Utara sekarang.
Kemudian istilah Maluku tersebut dipergunakan untuk menamakan semua
gugusan pulau-pulau yang terbentang antara Sulawesi dan Irian Jaya oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad kesembilan belas.(3). Dan tentu istilah Maluku yang terakhir
terbatas pada pulau-pulau sesuai dengan batas ketataprajaan yang ditentukan
pemerintah Indonesia, hingga saat ini.
Peranan dan Posisi Maluku dalam Perdagangan
Jika Sumatera terkenal dengan
nama pulau “Perca” dan kayu cendana telah menyemarakkan daerah Nusa Tenggara
Timur, yang terkenal dengan nama Nusa Cendana, maka Maluku muncul di panggung
sejarah sebagai Kepulauan Rempah-Rempah. Karena rempah-rempah dari Maluku
inilah, Indonesia diharumkan namanya di dunia Internasional. Rempah-rempah
inilah yang menarik perhatian Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Karena
rempah-rempahlah, Maluku menjadi pusat perhatian dan tujuan pelayaran
Internasional.
Sejak kapan sebenarnya sebutan
kepulauan Maluku diketahui dalam percaturan sejarah pelayaran perdagangan dan
politik sukar dipastikan. Berita-berita asing yang dapat diketahui yakni dalam Hikayat Dinasti Tang (618-906) yang
menyebut “Ma-Liku” suatu daerah yang dipergunakan menentukan arah letak Holing
(Kaling) yang ada di sebelah baratnya. (5)
Jika uraian ini dibenarkan, maka Maluku sudah dikenal oleh
pedagang-pedagang dari Cina pada sekitar abad VII. Hal ini didukung dengan fakta bahwa pada saat Sriwijaya berkembang
perdagangannya dan berhubungan dengan India, Cina dan bangsa-bangsa lainnya,
rempah-rempah sudah merupakan hasil bumi Indonesia yang terkenal diperdagangan.
Sebenarnya baru pada akhir abad
XIV, Hikayat Dinasti Ming (1364-1643)
dengan jelas menceritakan Maluku di Laut Tenggara yang mempunyai tanah yang
subur. Dikatakan daerah ini mempunyai tanah yang subur. Daerah ini disebut
mempunyai “Gunung Dupa” (Incense-Mountain). W.P. Groeneveldt berpendapat bahwa
yang disebut “Incense-Mountain” adalah bukit-bukit di mana tumbuh cengkih.
Menurutnya, hanya di daerah inilah banyak dihasilkan cengkih sehingga banyak
pedagang dari Cina yang datang ke sana.(8)
Maluku amat penting dalam
perdagangan Internasional saat itu, sehingga menjadi rebutan antara negara-negara
kolonial seperti antara Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.
Ambon Dalam Jalur Perdagangan Maluku
Kedudukan Pulau Ambon dalam
perdagangan dapat dilihat dari faktor yang mempengaruhinya yakni dalam segi
geografis. Sekitar tahun 1250 Masehi, Ternate di Maluku Utara sudah tumbuh
sebagai pusat perdagangan di Maluku, sekaligus penting artinya dalam
perdagangan Internasional. Ternate bisa dicapai melalui Sulawesi Utara, Kalimantan
Utara atau melalui Kepulauan Sulu terus ke Malaka. Dapat juga melewati jalur
Selatan; karena jalur ini dipergunakan
oleh pedagang-pedagang dari Jawa dan Sumatera, maka jalur Selatan mempunyai
arti penting bagi Pulau Ambon karena letak strategisnya.
Seperti diketahui bahwa
perdagangan terpenting di sini adalah rempah-rempah. Cengkih yang didatangkan
dari Maluku Utara dan pala dari Maluku Tengah, Banda dan Pulau Ambon. (9) Arus
pelayaran yang makin ramai, terutama melewati jalur Selatan menyebabkan Pulau
Ambon mempunyai kedudukan yang penting. Pelayaran yang begitu panjang melewati
lautan yang luas, memerlukan perbekalan yang cukup, terutama air bersih. Letak
Pulau Ambon menarik para pelayar-pelayar itu, karena merupakan pulau terpenting
yang pertama kali ditemui, setelah lama mengarungi lautan. Sehingga pulau Ambon
menjadi persinggahan pertama bagi kapal-kapal dagang untuk melanjutkan
perjalanan ke Maluku Utara, yang masih cukup jauh.
Demikian juga dalam perjalanan
kembali melewati jalur Selatan, pulau Ambon tetap memegang peranan penting
dalam pelayaran. Perjalanan panjang di wilayah Kepulauan Maluku Utara dan
Tengah, selanjutnya kembali masuk jalur pelayaran Selatan, mereka berhenti dulu
di Pulau Ambon untuk melengkapi bekal perjalanan selanjutnya. Sehingga dengan
demikian, Pulau Ambon merupakan tempat
persinggahan kapal dari dan ke pusat perdagangan Maluku Utara, lewat jalur
Selatan.
Arti ekonomis juga dimiliki oleh
Pulau Ambon. Jika Ternate di Maluku Utara sebagai pusat perdagangan dalam
bidang cengkih, maka orang bisa mengambil pala yang juga merupakan barang
dagangan penting di dunia, dari Pulau Ambon. Pala terbanyak dari Banda dan
Seram di sebelah Selatan dekat dengan pulau Ambon.
Sampai Portugis datang di Maluku
Tengah, tidak pernah terdengar adanya aktifitas politik di Pulau Banda. Kondisi
politik dikatakan: “Mempunyai reputasi terburuk di daerah ini....Mereka tidak
memeliki Raja maupun tuan......Mereka bertengkar di antara sesama mereka
sendiri”.(10) Mungkin sekali Pulau Ambon
yang lebih maju dalam bidang pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Upu
(Raja), menjadi tempat penimbunan pala dari Banda untuk dijual keluar.
"Mungkin sekali Pulau Ambon yang lebih maju dalam bidang pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Upu (Raja), menjadi tempat penimbunan pala dari Banda untuk dijual keluar."
Dalam buku Sejarah Nasional Jilid
III dijelaskan oleh Satono Kartodirjo bahwa: Orang-orang Banda pernah
mengadakan perjalanan jauh-jauh untuk berdagang, jadi mereka tidak menunggu
saja kedatangan pedagang dari luar yang membawa dagangannya dan mengambil
rempah-rempah dan hasil-hasil lain dari luar daerah ini.
Hal ini mungkin yang menyebabkan
bahwa Banda tidak pernah menjadi penting dalam percaturan politik
setidak-tidaknya di Maluku sebelum Portugis datang. Sedangkan pala sudah
dikenal oleh orang-orang Eropah sebelum kedatangan Portugis; sehingga Pulau
Ambon dalam jalur perdagangan di Maluku yang mempunyai fungsi penting sebagai
tempat persinggahan dan juga tempat penimbunan hasil-hasil pala.
Hubungan Kerajaan Pantai Utara Pulau Jawa dengan Maluku
Sebelum kedatangan orang-orang
Barat, Maluku / Ternate telah lama dikunjungi pedagang-pedagang Jawa dan
Melayu. Mereka membawa cengkih dan pala dari Maluku dan Banda ke Jawa. Dari sini
rempah-rempah itu dibawa ke Malaka. Dari Malaka diangkut ke kota-kota pelabuhan
di India. Kemudian rempah-rempah itu sampai ke Eropah melalui Aden dan Hormoz.
(12)
Dengan perantaraan pedagang-pedagang
Jawa dan Melayu itu, cengkih kemudian terkenal di Eropah. Sultan Ternate dan
Sultan Tidore sadar bahwa negerinya akan makmur, kalau perdagangannya semakin dikembangkan.
Oleh karena itu pelabuhan-pelabuhan Maliku terbuka untuk segala bangsa. Siapa
saja boleh datang membeli rempah-rempah. Begitu pula barang-barang dari luar
negeri tidak dibatasi, sehingga perdagangan di Maluku semakin ramai. (13)
Kemudian Maluku menjadi makmur
selama yang datang berdagang ke sana, bangsa Indonesia sendiri dan
bangsa-bangsa Asia yang lain, seperti Tiongkok, India, Arab dan lain-lain.
Apabila kita melihat hubungan pantai Utara Pulau Jawa tidak terlepas dari
hubungan Islam dengan jalur perdagangan.
Antonio Galpao dalam karyanya
bahwa salah satu jalan dagang yang penting dalam abad ke 16 adalah jalan
melalui Sulawesi Utara, ke Kalimantan Utara ataupun melalui kerajaan Sulu ke
Malaka. Selain itu dari Sulawesi Utara dapat pula membelok ke Selat Makassar
sampai ke Pulau Jawa, atau terus ke Selat Bali. Jalan dagang lain yang lebih
terkenal sekarang adalah yang melalui Selatan. Melalui jalan dagang ini daerah
Maluku Tengah mendapat pengaruh kebudayaan dari pusat-pusat agama Islam di Jawa
(Gresik, Demak dan Lain-lain). Istilah-istilah Geografis yang masih terdapat di
beberapa tempat di Maluku Tengah juga menunjukkan hal itu, seperti Tuban,
Maspait dan lain-lain. Malah menurut Imam Rijali di Jazirah Hitu di pulau Ambon
berasal dari Pulau Jawa.
Jalur Pelayaran Menuju Ambon ( Maluku) |
Jauh sebelum Portugis tiba di
Maluku, kerajaan-kerajaan yang muncul di Indonesia sekitar abad ke-7 juga telah
mengetahui akan nilai ekonomis dari cengkih. Banyak pedagang dari Jawa yang
pergi ke Maluku dan Banda untuk membelinya. Pusat perdagangan cengkih itu di
Pulau Jawa adalah pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur seperti Gresik, Sedayu
kemudian juga Surabaya. Dari pelabuhan-pelabuhan ini barang dagangan itu
diangkut ke pelbagai penjuru dunia. Pedagang-pedagang di Jawa ini pun tidak
bersedia memberitahukan daerah produksi rempah-rempah itu agar tidak mendapat
saingan dari pedagang-pedagang lainnya. Dalam kitab sejarah kerajaan Majapahit,
daerah Maluku yang masih diperintah oleh Kolano-kolano tersebut, juga
disebutkan sebagai daerah-daerah yang sangat penting bagi kerajaan itu. Selain
itu dalam kitab sejarah itu ada juga disebut Wndah (yaitu Banda sekarang) dan
Ambwan (yaitu Ambon sekarang). (14)
Jadi kemungkinan besar
daerah-daerah itu telah mempunyai hubungan politik tertentu dengan kerajaan
Majapahit.
Sejak masuknya Islam ke daerah
itu dan sejak hilangnya kekuasaan Majapahit di Jawa, muncullah
kerajaan-kerajaan Ternate, Bacan, Jailolo dan Tidore di Maluku. Dengan
demikian, maka terjadilah hubungan pantai utara pulau Jawa dengan Maluku.
Referensi
K.H. Saifudin Zuhri, Sejarah
Kebangkitan Islam dan Perkembangan di Indonesia, PT Al Ma’arif Bandung, cetakan III, 1070, halaman
367
Paramita R.Abdurrachman;
R.Z.Leirissa; C.P.P.Luhulima, Bunga Rampai Sejarah Maluku I, Jakarta, halaman
1-10
R.Moh.Ali, Peranan Bangsa
Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, Bharatara, Jakarta 1963, Hal 106
Paramita.R.Abdurrahman,R.Z.Leirissa,
C.P.F.Luhulima, Op.Cit, hal 5
Panitia Sejarah Maluku I,
Hasil-hasil dan Materi Seminar Maluku I, Ambon 1972, hal 200
Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia, Jilid III, Edisi ke-2, Balai Pustaka, Jakarta 1977 halaman
51
Willard A.Hanna, Kepulauan Banda,
Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1983, halaman 4
E.K.M.Masinambaw, Halmahera dan
Raja Empat, Baratara,Jakarta,1980,halaman 266
Moh.Kasim Oejeng S.Gana, Zaman
Dahulu Sekarang dan Yang akan datang, Ganaco, Bandung hal.12
Richard Z.Leirissa,
Op.Cit,halaman3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.