Senin, 14 September 2020

Bendera Latu Liu, Benderanya Sang Raja Champa di Vietnam Yang Bermigrasi Ke Jailolo Hingga Ke Mamala di Tanah Hitu {Ambon}

Pendahuluan

Pemaparan tentang hal ini merupakan bagian dari tulisan-tulisan   “Bendera bergambar Harimau Champa atau Cheetah/ Citah” dan  “Pengaruh Wali SongoTerhadap Champa di Vietnam dan Mamala di Tanah Hitu {Ambon}”. Ketiganya merupakan penjelasan dari tulisan “Misteri Sembilan Panji Islam Mamala”.  Historiografi runtuhnya kerajaan Champa di Vietnam tahun 1471 dan historiografi pemilihan raja Jailolo antara Jamilu {didukung oleh Ternate} dan Ketarabumi akhir abad ke-15, juga menjadi kunci penyingkapan keberadaan bendera Latu Liu di Mamala, dengan memastikan bahwa Mihirsihul-lah yang membawa bendera tersebut, yang oleh masyarakat Mamala disebut sebagai bendera Latu Liu. Pada topik kali ini memuat pembahasan tentang komposisi  simbol serta membahas definisi dan fungsi dari simbol secara umum, terkhusus yang ada pada bendera Latu Liu yang menggambarkan identitas  dari  Mihirsihul  yang sebenarnya merupakan raja Champa. Raja Champa yang sebelum Islam bernama “Che Bong Nga” atau “Paman Bunga” setelah di-Islamkan oleh  Syeikh Ibrahim As-Samarkandy {Ibrahim Zain al-Akbar}, berganti nama menjadi Zainal Abidin. Hal ini menjadi kunci penyingkapan identitas “Mihirsihul” sang “Latu Liu” yang membawa bendera ini ke Mamala, yang sebelumnya sempat menetap di Jailolo.

Gambaran Umum Bendera Latu Liu





Gambar 2. Bendera Latu Liu

Bendera ini ukurannya lebarmya kurang lebih 80 cm dan memanjang kurang lebih satu setengah meter dengan ikatan pada bagian yang lebar. Bendera ini memiliki tulisan dengan aksara Champa pada bagian atas.  Pada bendera ini terdapat empat simbol yakni gambaran seperti bunga  yang dasar bunganya bertuliskan kalimat dua kalimat Syahadat, gambaran pedang yang bertuliskan dua kalimat syahadat, gambaran dua bintang yang masing-masing bertuliskan kaligrafi Allah dan Muhammad. Serta bagian paling bawah seperti kumpulan bulan sabit yang menyerupai motif  simbol “Samanid” {Asmarkand/ Sunni}.



Definisi dan Fungsi Simbol

Simbol secara terminologi adalah sesuatu yang sudah dianggap atas dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah (mewakili) atau mengingatkan kembali dengan memiliki atau mengintegralkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran. {2}

Simbol merupakan sesuatu elemen komunikasi yang dimaksudkan untuk sekedar mewakili objek, kelompok atau ide, tindakan secara rasional. Implikasinya berarti baik yang batiniah (perasaan, pikiran, atau ide) maupun yang lahiriah (benda dan tindakan) dapat diwakili dengan simbol.  {3} {4}

Menurut Alfred North Whitehead dalam bukunya “Symbolism” yang dikutip Dilliston, dijelaskan bahwa pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah ”simbol” dan perangkat komponen yang kemudian membentuk ”makna” simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut ”referensi”. Simbol sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya  dapat dimengerti, nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan. Simbol sedikit banyak menghubungkan dua entitas. Setiap simbol mempunyai sifat mengacu kepada apa yang tertinggi dan ideal. Simbol yang efektif adalah simbol yang memberi penerang, daya kekuatannya bersifat emotif dan merangsang orang untuk bertindak.  {5}

Dalam bahasa Yunani “ symballeim” yang berarti benda yang dikaitkan dengan suatu ide. Kata simbol atau symboion (Yunani) juga berarti memberi kesan. Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminata disebutkan bahwa, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, dan sebagainya, yang menyatakan suatu hal, atau mengandung suatu maksud tertentu.  {6} {7} {8}

Manusia sebagai mahluk yang mengenal simbol, menggunakan simbol untuk mengungkapkan siapa dirinya. Karena manusia dalam menjalani hidupnya tidak mungkin sendirian melainkan secara berkelompok atau disebut dengan masyarakat, karena antara yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Manusia sebagai anggota masyarakat dalam melakukan interaksinya seringkali menggunakan simbol dalam memahami interaksinya. {9}

Menurut Mangunwijaya, dalam pandangan kepercayaan masyarakat mitologis, bentuk-bentuk arsitektural hadir sebagai sarana mitis penghadiran, selaku simbol kosmologis perwujudan bentuk dasar orientasi diri, menyangkut keadaan manusia. Orientasi diri adalah naluri kodrati untuk mencegah manusia hanyut tanpa kepastian. {10}

Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransendensi dari segi waktu, tempat dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbol-simbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup dimasa lampau atau akan datang. Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri berdasarkan pandangan orang lain. {10}

Simbol Bergambar Bunga Dengan Dasar Bunga Bertuliskan Kalimat Syahadat

Gambar 3. Perbandingan Gambat bunga Teratai pada Bendera Latu Liu


Setelah tulisan dengan aksara Champa, terdapat simbol bunga dengan kelopak bunga yang besar sebanyak empat buah, dengan dasar bunga yang lebar bertuliskan kalimat Syahadat. Melihat motif simbol bunga dan tulisan dengan aksara Champa di atasnya, diperkirakan bunga yang dimaksud adalah bunga Kamboja, tetapi dasar bunga Kamboja tidak lebar seperti pada gambar simbol bunga di bendera. Setelah disusuri bunga dengan ciri kelopak bunga dan dasar bunga yang besar ditemukan pada bunga Lily. Namun bunga Lily pun tidak tepat dikarenakan memiliki lima kelopak. Sedangkan bunga Matahari tidak sesuai dikarenakan hanya mempunyai dasar bunga yang besar, namun tidak dengan kelopaknya yang tidak memanjang. Bunga Lotus atau Teratai adalah bunga yang terdapat pada bendera, selain dasar bunga yang besar dan empat kelopak yang besar serta memanjang, juga gambaran kelopak bunga muda di sekitarnya.

Sekilas Bunga Lotus {Teratai}

Bunga Teratai sangat dihormati dalam budaya Hindu. Mereka menggunakannya sebagai simbol kedamaian, kebahagiaan, dan niat baik. Mereka sering menyebut bunga yang murni dan indah ini sebagai “The King of Flowers” ​​karena dipercaya dapat menghilangkan energi yang tidak diinginkan atau hal-hal tidak menyenangkan lainnya. {11}

Gambar 4. Simbol yang memperlihatkan kelopak bunga Teratai


Teratai sudah hadir sejak zaman mesir kuno. Mereka juga menggunakan teratai sebagai penghias taman dalam kolam. Pemeluk agama Hindu menganggap teratai sebagai lambang kesucian. Dalam bahasa sansekerta, teratai disebut sebagai bunga padma. Sementara itu, dalam bahasa Inggris teratai disebut dengan nama “water lily”.{{12}

Sekilas Tentang Logo Samanid

Gambar 5. Simbol Samanid


Selama abad ketiga dan keempat setelah Islam yaitu era Samanids, peran dan simbol pohon memiliki tetap dalam semua aspek seni pada periode tersebut. Di Persia begitu banyak pohon seperti anggur,  dan pohon willow dianggap suci dan di antara mereka cemara adalah simbol kehidupan selama masa itu dan peran semacam pohon itu  telah digunakan secara simbolis dalam semua seni dan sastra sejak saat itu hingga saat ini. [13}

Samanids (819–999) Samaniyan) adalah sebuah dinasti Persia di Asia Tengah dan  Khurasan, dinamai menurut pendirinya Saman Khuda yang masuk Islam Sunni meskipun berasal dari bangsawan teokratis Zoroastrian. Samanid adalah salah satu dinasti Iran asli pertama di Iran Raya dan Asia Tengah setelah penaklukan Arab dan runtuhnya kekaisaran Persia Sassanid. Menghidupkan kembali budaya Persia, Samanids menyebarkan  budaya Islamo-Persia dan agama Islam jauh ke jantung Asia Tengah. Bahasa Persia menggantikan bahasa Arab sebagai bahasa pemerintahan. Dinasti tersebut mendukung Islam Sunni. Ini menekan Syiah Ismailiyah, yang kemudian menjadi agama negara di bawah Dinasti Safawi. {14}

Catatan: Untuk penafsiran tentang simbol bulatan pada bendera dapat dibaca pada “BenderaBergambar Harimau Champa atau “Cheetah / Citah”

Sekilas Tentang Champa

Sebelum tahun 1471, Champa merupakan konfederasi dari 4 atau 5 kepangeranan, yang dinamakan menyerupai nama wilayah-wilayah kuno di India: Panduranga - Kota Panduranga saat ini disebut Phan Rang, yang terdapat di provinsi Ninh Thuận sekarang ini di Vietnam. Panduranga adalah daerah Champa terakhir yang ditaklukkan oleh bangsa Vietnam. {15}

Didorong oleh keberhasilan internalnya, dikenal dalam sejarah Vietnam sebagai "Pawai ke Selatan" merupakan tanggapan atas kebutuhan yang meningkat untuk menemukan lahan pertanian tambahan bagi para petani yang hidup. di Sungai Delta Merah yang ramai. Lahan yang paling banyak tersedia ada di sepanjang pantai ke selatan, wilayah yang pada waktu itu dikendalikan oleh negara perdagangan Indian yang dikenal sebagai Champa. Selama beberapa ratus tahun sebelumnya, persaingan dengan Charnpa menyebabkan kondisi perang yang  kritis antara kedua negara. Vietnam secara bertahap mendorong ke selatan ke daerah-daerah yang dikendalikan oleh Champa. Para petani yang haus tanah membangun pemukiman di bawah kekuasaan kekaisaran Vietnam.  {16}

Champa yang menggambarkan  sejarah dan agama serta koleksi prasasti Champa. Di tahun 1931, E. D. K. Bosch dalam dua Catatan Arkéologis menekankan adanya hubungan yang tepat antara Champa dan Jawa dan motif seni. Pada tahun 1931 dan kemudian pada tahun 1933, P. Mus menerbitkan dua artikel tentang agama Champa, pada tahun 1932 H. Baudesson menerbitkan buku  etnologi dan pada tahun 1933 dan 1934 NguyØn VÃn Tå menerbitkan tiga catatan tentang "perbendaharaan" Champa. {17}

Kerajaan Islam Champa punah tahun 1471 setelah Vijaya dikuasai. Mungkinkah, setelah runtuhnya Champa pada tahun 1471, sebagian perdagangan Muslim di pundaknya antara Brunei dan Champa telah beristirahat, berangkat ke Brunei dengan demikian memperkuatKomunitas Muslim di tempat itu?  {17} {18}

Citra diri Cham ini diautentikasi dalam kumpulan cerita abad kesembilan beredar di Baghdad, disusun dalam Kitab al-Aghani oleh Persia sarjana Abu al-Faraj (897–967), yang menggambarkan pemujaan Buddha di Dong Duong ca. 875: ‘‘ Orang India memiliki, di kota Champa, kuil yang berbeda dari atas, . . . candi ini kuno dan. . . semua Buddha ditemukan di sana masuk ke dalam percakapan dengan umat beriman dan membalas semua permintaan yang dibuat mereka '(Ferrand: 1913, 123; Hardy: 2009, 109)  {19}

Pemerintah Cham memiliki alasan kuat untuk menyatakan diri mereka sebagai penerus Funan di dunia internasional. Orang Melayu-Austrone-sian ini, secara etnis, bahasa, dan budaya terkait dengan maritim wilayah di selatan dan timur mereka, berkembang menjadi serangkaian peradaban India dari abad kedua hingga keenam belas M. Referensi Cina paling awal di negara bagian Cham tanggal 190–193 M. Kemudian dan kemudian, dalam catatan Cina muncul sebagai negara bagian Linyi, tetapi epigrafi kemudian negara sendiri menjadi dikenal sebagai Champa, setelah Champa di wilayah timur laut India yang menjadi tempat perdagangan dan kontak dengan budaya Chams, untuk alasan itulah orang-orang itu dikenal sebagai Chams (Vickery: 1998, 48–51, 64–69; Orang: 2009, 128–29).  {19}

Tapi bukan hanya Champa yang akan mengalami  perubahan di abad berikutnya. Abad kesebelas dan kedua belas membawa perubahan politik dan ekonomi yang signifikan ke sejumlah negara di Asia Tenggara, khususnya di daratan. Seiring dengan perubahan ini datang pula pertumbuhan budaya Buddha. Padahal elit Cham umumnya tetap  berkomitmen untuk Hindu, ada perlindungan sebelumnya dari agama Buddha di Dong Duong itu adalah dasar dari komunitas biara Buddha Mahayana yang kuat di Champa abad kesebelas dan kedua belas (Maxwell: 2007; Schweyer: 2007;), sebagai Monarki Buddha akan berkembang di  Vietnam dan Khmer di saat yang sama ini (Hall: 2010c).   {19}

Gambar 6. Champa di India dan Vietnam


Singkatnya, peradaban India membuat penaklukan menyeluruh tanah ini dan India baru didirikan di tempat yang jauh dari wilayahnya. Pendudukan oleh India bahkan mencoba untuk menyelesaikan transformasi dengan mengimpor nama tempat terkenal mereka dari tanah airnya  menjadi nama pada tempat baru mereka, dan dengan demikian bisa menemukan kota-kota baru dan negara-negara bernama Ayodhya, Kausambi, Sriksetra, Dvaravati, Mathura, Champa, Kalinga, Kamboja dan Gandhara bermunculan hingga ratusan mil jauhnya dari nama mereka. {20}

Kedatangan Islam di Champa dibuktikan dengan kehadiran dua  prasasti ditemukan di Phanrng (Panduranga). Prasasti tersebut berasal dari tahun 1039 M, dan yang lainnya bertanggal 1035-1039 M, yang membuktikan bahwa umat Islam telah datang dan menetap di Champa sejak pertengahan abad ke-10. Dari dua Kufi prasasti yang disebutkan di atas, keduanya ditulis oleh dan berasal dari Syiah penulisnya adalah seorang Parsi (Islam Farsi), salah satunya ditulis oleh Abu Kamil, yang diduga memiliki tujuan yang sama dengan orang Persia dan Irak yang datang ke Champa untuk berdagang. Islam di wilayah Panduranga menyebut dirinya paham Cham Bani dalam bahasa arab “bani” yang berarti anak atau keturunan, sebagian besarnya mampu untuk memahami bahasa Arab dan memiliki salinan Al-Qur'an. {21}

Berdasarkan penjelasan di atas, disebutkan bahwa Cam Bani menganut Syiah tidak benar. Padahal prasasti di atas menunjukkan bahwa tokoh Islam yang datang ke Champa berasal dari Baghdad atau Iran. Karena kedua wilayah ini adalah dikendalikan oleh Bani Abbas (penguasa Sunni). Keberangkatan Raja Champa ke Makkah yang hingga kini masih beragama Sunni pun bisa membantah tesis di atas. Di Selain itu, tidak ada tradisi Syiah di komunitas Champa, seperti; Peringatan Hari berkabung pada 10 Muharam atas wafatnya Husain di Karbala dan hari perayaan Ghadir Kum.  {21}

Pada abad ke-14 hingga 15 M, Champa dikenal sebagai kerajaan besar dan merupakan konfederasi dari lima provinsi; masing-masing dipimpin oleh satu pangeran. Provinsi tersebut adalah Indrapura, Amarawati, Vijaya, Kauthara, dan Panduranga. Kemuliaan kerajaan itu terjadi pada era Che Bong Nga 1360-1390 M. Ibrahim Asmarakndi berhasil memasukkannya ke dalam agama Islam dan namanya diubah menjadi Sultan Zainal Abidin. Sebutan “Che Bong Nga” mempunyai arti “Paman Bunga”. Bangsa Daevit dan Kmer menyebutnya “The Red King”.  Sebutan Paman Bunga mempunyai literasi pada bendera “Latu Liu” yakni berupa simbol bunga Teratai.  Daerah ini merupakan kota terkenal yang banyak dikunjungi oleh para pedagang di dunia pada abad 15 M pertama, termasuk India dan timur tengah.24 Champa secara singkat digambarkan oleh Dinasti Ming dari Cina. Terbukti dari kunjungan Cheng Ho dan pasukannya sebanyak tiga kali.   {22} {23}

Sekilas Tentang Jailolo

Dalam urutan berdirinya kerajaan-kerajaan Maluku, Jailolo dipandang sebagai kerajaan tertua. Walaupun diakui sebagai kerajaan tertua oleh kerajaan-kerajaan Maluku lainnya, tidak dapat dipastikan kapan kerajaan ini didirikan. Yang dapat dicatat hanyalah peristiwa kesejarahan bahwa pada masa awal ada seorang raja perempuannya yang kawin dengan Raja Loloda, sebuah kerajaan di bagian utara pulau Halmahera - mungkin merupakan kerajaan yang lebih tua dari Jailolo. Menurut cerita rakyat di daerah ini, perkawinan antara Ratu Jailolo dengan Raja Loloda merupakan perkawinan politik untuk memberikan akses kepada Jailolo menguasai seluruh Halmahera. Politik Jailolo berhasil, sebab sebelum tahun 1250, teritorial Kerajaan Jailolo telah meliputi hampir seluruh Halmahera, termasuk Loloda. Sumber Nagarakartagama mengungkapkan bahwa ketika Jailolo terbentuk sebagai Kerajaan, wilayahnya belum mencakup Halmahera Utara bagian barat, karena di sana terdapat Kerajaan Loloda. Di samping itu, di bagian utara Halmahera juga terdapat Kerajaan Moro. {24}

Bagian barat Kerajaan Jailolo adalah Batu Cina, yang letaknya berhadapan dengan Kepulauan Maluku – yakni pulau-pulau Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Jailolo semula adalah nama sebuah desa, dan kerajaan yang berdiri di desa itu kemudian diberi nama yang sama. Menurut sumber Nagarakartagama, yang disusun oleh Mpu Prapanca, kemungkinan kolano pertama Jailolo adalah seorang perempuan yang berkuasa secara tiran dan memerintah dengan tangan besi.{25} {26}

Setelah Ratu Jailolo yang tiran itu wafat, Loloda terlihat mampu melepaskan diri dari kekuasaan Jailolo. Karena memerintah dengan tangan besi, terjadi perlawanan dan pembangkangan terhadap Kolano Jailolo, yang diikuti dengan eksodus para pembangkang politik ke pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera: Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Di pulau-pulau inilah para pemberontak Jailolo mendirikan kerajaan-kerajaan – salah satu di antaranya yang terbesar dan terkuat adalah Ternate – yang, pada gilirannya, merongrong dan bahkan mengakhiri eksistensi Kerajaan Jailolo.  {24}

Batucina dalam pengucapan orang-orang Portugis menjadi Bat (a) Chin (a) yang dalam teks-teks lama ditulis sebagai Batchian. Menurut Lapian, adalah sebuah salah ucap dari kata Bacan, kekuatan tertua di Maluku yang punya pengaruh jauh hingga Seram dan pulau-pulau di Sulawesi Utara. Oleh karena itu menurut Lapian, kerajaan tertua di Maluku Utara adalah Bacan, yang berkedudukan di Jailolo.  {24}

Sekali waktu, Kerajaan Jailolo pernah berada di bawah kekuasaan seorang asing bernama Syarif, yang diduga datang dari Makkah. Ia adalah adik Sultan Mindanao (Mangindanao) dan Sultan Borneo. Tetapi, dalam sumber-sumber sejarah tidak dijelaskan kapan Syarif dari Makkah itu berkuasa.  {27}

Ancaman Ternate terhadap Jailolo dimulai pada 1284, ketika Siale – Kolano Ternate ketiga – menyerang beberapa desa Kerajaan Jailolo dan mendudukinya. Pada 1304, Kolano Ternate lainnya, Ngara Malamo, menyerang Jailolo dan menduduki untuk waktu yang lama beberapa desa di Batu Cina, di bagian selatan Jailolo. Sekalipun dalam Pertemuan Moti (1322) – yang melahirkan Persekutuan Moti (Motir Verbond) – Jailolo diakui sebagai kerajaan peringkat pertama dari tiga kerajaan lain (Ternate,Tidore, Bacan) dalam hal senioritasnya, tetapi hal ini tidak mengakhiri ambisi Ternate untuk mencaplok Jailolo. Pada 1343, Kolano Ternate, Tulu Malamo, tidak lagi mengakui keputusan Motir Verbond, dan menyerang serta menduduki Jailolo. Raja Jailolo ketika itu tidak dapat berbuat sesuatupun, walaupun tindakan Tulu Malamo menuai reaksi keras dari Kolano Tidore dan Bacan. {24}

Sekalipun serbuan Tulu Malamo atas Jailolo telah menuai reaksi keras dari kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku, pada 1359 Kolano Ternate, Gapi Malamo, kembali menyatakan tantangannya terhadap Jailolo. Kali ini agresi yang dilancarkan Ternate tidak berhasil. Bala tentara Jailolo dapat menghalau tentara Ternate keluar dari wilayahnya. Kegagalan inilah yang barangkali menyebabkan dilangsungkannya perkawinan politik antara putera sulung Kolano Ternate pengganti Gapi Malamo, yakni Kolano Gapi Baguna, dengan puteri Kolano Jailolo, Kaicil Kawalu, pada 1372. Tetapi, perkawinan politik ini tampaknya tidak berhasil mengimplementasikan ambisi politik Ternate untuk mendominasi Jailolo.  {24}

Antara waktu perkawinan politik tersebut hingga berkuasanya Katarabumi di Jailolo, masih terlihat serangkaian upaya agresi Ternate terhadap Jailolo. Pada 1380, Kumala Putu, Kolano Ternate ke-17, berupaya menyerbu dan menduduki Jailolo. Demikian pula, Kolano Marhum menyerbu Jailolo pada 1465. Kolano Ternate ini relatif berhasil menanamkan pengaruhnya. Sebab, ketika terjadi perang suksesi di kalangan keturunan bangsawan Jailolo, Jamilu, salah satu bangsawan Jailolo kepercayaan Ternate, memenangkannya. Tetapi, Jamilu tidak menduduki takhta Jailolo, karena diangkat oleh Marhum sebagai Raja Muda di Ambon. {24}

Pembahasan

Bagian paling atas dari bendera Latu Liu mengandung tulisan beraksara Champa. Hal ini membuktikan kaitan antara asal dan usia bendera. Sebagai benda arkeologi, keberadaan bendera ini sudah mengisyaratkan untaian literasi sejarah yang  panjang dan sulit untuk dibantah. Penyebutan Latu Liu sebagai nama raja Mamala, berkaitan dengan tingkat kharisma yang tinggi dari tokoh leluhur Mamala yang membawa bendera ini. Sebutan Latu Liu merupakan bahasa tanah, yang berarti “Raja Di Raja” atau “Raja dari semua raja”. Referensi penting untuk menguraikan awal jalinan narasi yang dapat dipertanggung-jawabkan, dalam konteks ini adalah buku Hikayat Tanah Hitu [S.Rijali], yang menyebut latar belakang kedatangan Jamilu ke Tanah Hitu, diawali dari upaya menghindari pertumpahan darah sesama bangsawan untuk pengangkatan raja di Jailolo yang sudah lama kosong. Jamilu yang didukung oleh Ternate [Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah], memilih untuk menghindari pertumpahan darah dan memutuskan untuk hijrah bersama semua keluarganya ke luar Jailolo. Dalam perjalan menuju Tanah Hitu dua adiknya, masing masing menetap di Lisabata yakni Ulima Sitaniya [Pati Rumaray] dan Sallat di Waiputih.

Dalam Hikayat Tanah Hitu [HTH], Jamilu disebut sebagai anak raja dari Jawa. Sementara dari sumber yang sama menceritakan, bahwa Jamilu menemui ayahnya Mihirsihul  yang berumur 90 tahun di Tanah Hitu. Dalam sumber ini tidak disebutkan mana yang lebih dahulu singgah di Tanah Hitu. Kalau melihat kerangka HTH, keberadaan Jamilu disebut sebagai Perdana ketiga karena dia orang ketiga di Tanah Hitu. Dalam konteks ini, kata perdana diterjemahkan sebagai “orang yang mula-mula datang”.  Jadi kalau mengikuti HTH maka Mihirsihul diartikan datang menyusul Jamilu. Dalam hal ini, seolah-olah Mihirsihul paling sayang pada Jamilu, sehingga harus datang menyusul Jamilu.  Cerita Jamilu menemui  Mihirsihul terdapat pada bagian awal HTH. Hal ini menyanggah keterangan kalau Jamilu datang lebih dahulu.

Kalau dianggap Mihirsihul datang lebih dahulu, sebenarnya mendukung uraian HTH yang menempatkannya pada bagian awal cerita. Tetapi hal ini akan mematahkan penyebutan perdana sebagai “orang yang pertama kali datang”.  Sekaligus menjelaskan begitu besar motivasi dan upaya Jamilu sehingga harus menemui orang tuanya yang lebih dahulu berada di Tanah Hitu.

Dari untaian narasi di atas, dari segi historigrafinya mendukung bahwa  yang membawa bendera “Latu Liu” adalah Mihirsihul yang merupakan raja Champa. Sekalipun pada referensi di atas dikatakan bahwa beliau meninggal pada tahun 1390. Hal ini memang merupakan masalah dalam penulisan sejarah seperti  pada beberapa sumber sejarah yang menyatakan meninggalnya Sultan Zaenal Abidin {Ternate} sewaktu berguru di Sunan Giri, padahal pada masa kepemimpinannya Ternate dan Tanah Hitu berada dalam posisi yang setara. Keterangan yang mendukung dugaan kesalahan dalam historigrafi penulisan sejarah dari referensi di atas, yakni penyebutan hijrahnya Syeikh Ibrahim Zainal Akbar {Ibrahim As Samarkand} pada tahun 1440 setelah bermukim di Champa selama 20 tahun.{ Pengaruh "WaliSongo"  terhadap  Champa di Vietnam  dan Mamala di Tanah Hitu {Ambon}}. Dari keterangan ini, sudah membantah tahun masuk Islam dan terbunuhnya “Che Bong Nga”. Bagaimanapun keberadaan bendera Latu Liu merupakan pembantah tentang hal itu. Sebagai bagian dari arkeologis sejarah, keberadaannya mengandung kebenaran yang valid.

Bagian paling bawah dari bendera memperlihatkan simbol Samanid yang memperlihatkan bukti tokoh yang mengislamkan raja Champa yakni Syeikh Ibrahim Zainal Akbar {putra Syeikh Jamaluddin Al Akbar atau yang dikenal dengan Syeikh Jumadil Qubro} yang berasal dari Samarkand bagian dari dinasti Samanid.

Adanya sebutan Batoechina sebagai awal penyebutan Bacan {Jailolo} oleh Portugis memperkuat bukti jalur sutra adalah jalur yang ditempuh oleh Mihirsihul ke Jailolo, sebelum akhirnya ke Mamala di Tanah Hitu {Ambon}. Dari segi historiografi tahun kedatangan Mihirsihul di Mamala sekitar tahun 1470 M.  Latar belakang apa yang menyebabkan Mihirsihul ke Mamala, masih menjadi misteri, tetapi hal ini diperkirakan berkaitan dengan ikatan emosional antara Mihirsihul dengan Syeikh Jumadil Qubro {Uka Latu Apel} yang telah lebih dahulu tiba di Mamala sebelum menetap dan meninggal di Wajo {Sulawesi Selatan}. Sejarah Terbentuknya Negeri Mamala Amalatu (Pausela Amalatu)

Keberadaan aksara Champa pada bagian atas bendera, yang dikaitkan dengan kultur para raja Champa untuk menulis aksara Champa, mendukung pembuktian bendera Latu Liu adalah benderanya raja Champa. Simbol bunga teratai dengan dasar bunga {putik} bertuliskan kalimat Syahadat, merupakan bukti pengaruh agama Budha dan Hindu dalam bendera tersebut.  Bunga Teratai yang juga disebut sebagai “King of Flowers” belum bisa dipastikan berkaitan dengan sebutan raja Champa sebagai “The Red King” oleh bangsa Kmer dan Daevit, karena pada warna bendera dari simbol bunga tersebut sudah hilang.

Bunga teratai telah lama merupakan simbol kesucian bahkan sebelum era Sang Buddha, dan menjadi populer dalam karya seni dan literatur Buddhis. Akarnya tumbuh dalam air berlumpur, tetapi bunganya yang mekar di atas lumpur sangatlah indah dan bersih.

Dalam karya seni Buddhis, bunga teratai yang mekar penuh melambangkan pencerahan. Teratai putih diartikan kemurnian pikiran dan ketenangan dari sifat manusia, serta kesempurnaan spiritual.  Teratai merah melambangkan kasih tanpa pamrih, gairah, kasih sayang, dan kebaikan. Bunga Teratai yang sepenuhnya mekar melambangkan kebesaran dan kemurahan hati. Teratai merah muda diartikan sebagai tempat tertinggi dan suci, serta sangat dihormati. Ini juga merupakan alasan, bahwa semua dewa menurut kepercayaan Hindu duduk di atas lotus merah muda. Selain itu, Teratai merah muda melambangkan keadaan pikiran seseorang, yang merupakan tahap dimana telah mencapai pencerahan tertinggi.

Pada jaman mesir, bunga Teratai merupakan bunga yang sangat penting. Berdasarkan kerajaan Mesir, Mereka mempercayai bahwa bunga Teratai adalah simbol dari matahari. Karena sifat dari bunga Teratai pada saat malam menutupi dirinya dan saat fajar bunga Teratai kembali membuka dirinya.

Simbol dasar bunga {putik} Teratai yang bertuliskan kalimat Syahadat pada bendera  mempunyai pesan seperti yang digambarkan dalam “Petikan surat Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, sebagai berikut: {28}

Gambar 8. Tulisan Syahadar pada Bendera


Sahabat-sahabatku yang dikasihi. Hati kamu adalah seumpama cermin yang berkilat. Kamu mesti membersihkannya daripada debu dan kekotoran yang menutupinya. Cermin hati kamu itu telah ditakdirkan untuk memancarkan cahaya rahasia-rahasia Ilahi.

Bila cahaya dari “Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi…” mula menyinari ruang hati kamu, lampu hati kamu akan menyala. Lampu hati itu “berada di dalam kaca, kaca itu sifatnya seumpama bintang berkilau-kilauan terang benderang…” Kemudian kepada hati itu anak panah penemuan-penemuan suci akan hinggap. Anak panah kilat akan mengeluarkan daripada awan petir maksud “bukan dari timur atau barat, dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkati…” dan memancarkan cahaya ke atas pokok penemuan, sangat tulen, sangat bersinar sehingga ia “memancarkan cahaya walaupun tidak disentuh oleh api”. Kemudian lampu makrifat (hikmah kebijaksanaan) akan menyala sendiri. Mana mungkin ia tidak menyala sedangkan cahaya rahasia Allah menyinarinya?

Sekiranya cahaya rahasia Ilahi bersinar ke atasnya, langit malam kepada rahasia-rahasia akan menjadi terang oleh ribuan bintang-bintang “…dan berpandukan bintang-bintang (kamu) temui jalan (kamu)…”. Bukanlah bintang yang memandu kita tetapi cahaya Ilahi. Lantaran Allah “…menghiaskan langit rendah dengan keindahan bintang-bintang”. Sekiranya lampu rahasia-rahasia Ilahi dinyalakan di dalam diri batin kamu yang lain akan datang secara sekaligus atau berangsur-angsur. Sebahagiannya kamu telah ketahui sebahagian yang lain akan kami beritahu di sini. Baca, dengar, coba fahamkan. Langit ketidaksadaran (kelalaian) yang gelap akan dinyalakan oleh kehadiran Ilahi dan kedamaian serta keindahan bulan purnama yang akan naik dari ufuk langit memancarkan “cahaya di atas cahaya” berterusan meninggi di langit, melepasi peringkat yang ditentukan sebagaimana yang Allah telah tentukan bagi kerajaan-Nya, sehingga ia bersinar penuh kemuliaan di tengah-tengah langit, menghambat kegelapan kelalaian. “(Aku bersumpah) demi malam apabila ia senyap sepi…dengan cuaca pagi yang cemerlang…” malam ketidaksadaran kamu akan melihat terangnya hari siang. Kemudian kamu akan menghirup air wangi kenangan dan “bertaubat di awal pagi” terhadap ketidaksedaran (kelalaian) dan menyesali umur kamu yang dihabiskan di dalam lena. Kamu akan mendengar nyanyian burung bulbul di pagi hari dan kamu akan mendengarnya berkata:

Mereka tidur sedikit sahaja di malam hari dan pada awal pagi mereka memohon keampunan Allah. Allah bimbingkan kepada cahaya-Nya sesiapa yang Dia kehendaki.

Kemudian kamu akan melihat di ufuk langit peraturan Ilahi akan matahari ilmu batin mula terbit. Ia adalah matahari kamu sendiri, Lantaran kamu adalah “yang Allah beri petunjuk” dan kamu “berada pada jalan yang benar” dan bukan “mereka yang Dia tinggalkan di dalam kesesatan”. Dan kamu akan memahami rahasia: Tidak diizinkan matahari mengejar bulan dan tidak pula malam mendahului siang. Tiap sesuatu berjalan pada landasan (masing-masing).

Akhirnya ikatan akan terurai selaras dengan “perumpamaan yang Allah adakan untuk insan dan Allah mengetahui tiap sesuatu”, dan tabir-tabir akan terangkat dan kulit akan pecah, mendedahkan yang seni di bawah pada yang kasar. Kebenaran akan membuka tutupan mukanya.

Semua ini akan bermula bila cermin hati kamu dipersucikan. Cahaya rahasia-rahasia Ilahi akan memancar. Padanya jika kamu berhajat dan bermohon kepada-Nya, daripada-Nya, dengan-Nya.

Kesimpulan

Bendera Latu Liu sebagai bagian dari bukti arkeologi sejarah, disertai dengan historigrafi keruntuhan kerajaan Champa di Vietnam dan prosesi pemilihan raja Jailolo dalam paparan ini memperlihatkan realita sejarah yang meyakinkan.

Saran:

Diperlukan penelitian dan kajian lanjutan mengenai hal ini, terutama dalam hal penerjemahan literasi bertuliskan aksara Champa pada bendera Latu Liu

 

Daftar Pustaka

1.Anonym,Aksara Champ, https://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Cham

2.H.A Rivay Sirregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Jakarta: Grafindo Persada, 1979), h. 13

3.Kurt Moritz Artur Goldammer, Religious symbolism and iconography,Available at https://www.britannica.com/topic/religious-symbolism

4.13Ni Kadek Intan Rahayu, Makna Simbolik Umat Hindu Dalam Persembahyangan Bulan Purnama Di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli, (Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 5 No. 1, 2020), h. 147

5.F. W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol. Terj. A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 15-28

6.Hartoko, dick & B. Rahmanto, Kamus Istilah Sastra ( Yogyakarta: Kanisisus, 1998), h. 133.

7.Sujono Soekamto, Sosioligi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 187

8. W.J.S Poerwadarwinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h. 556

9.Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010), h. 92

10.Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta : Prestasi Pusaka, 2007), h. 110

11.Anonym, Lotus Flower Meaning Availabel at https://lotusmeaning.com/lotus-flower-meaning/

12.Redaksi AgroMedia, 2007, Ensiklopedia Tanaman Hias, (Jakarta: AgroMedia Pustaka), p. 130

13.Saba Alebrahim Dehkordi, A Study on the Significance of Cypress, Plantain and Vine in Persian Culture, Art and Literature ,Academic member of Persian literature group of Payame Noor University, Iran,Mediterranean Journal of Social Sciences  MCSER Publishing, Rome-Italy ,Vol 6 No 6 S6 December 2015

14.Anonym, Samanid dynasty, Available at https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Samanid_dynasty

15. Anonym,Kerajaan Champa,https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Champa

16. Starr, Jerold M., Ed.The Lessons of the Vietnam War,ISBN-0-945919-15-8

17.Pierre-Bernard Lafont, Research on Champa and its Evolution Proceedings of the Seminar on 18.Roderich Ptak.The Northern Trade Route to the Spice Islands : South China Sea Sulu Zone - North Moluccas (14th to early 16th century),In: Archipel, volume 43, 1992. pp. 27-56; doi : https://doi.org/10.3406/arch.1992.2804

19.Hall Kenneth R, A History of Early Southeast Asia, Maritime Trade and Societal Development, 100–1500, ROWMAN & LITTLE FIELD PUBLISHERS, I N C

20.Majumdar RC, Ancient Indian Colonies in The Far East Vol I Champa, Dacca University, published by The Punjab Sanskrit Book Depot

21.Ismardi, Zulkifli, Kamiruddin, Afrizal Ahmad, THE INFLUENCE OF HINDUISM TOWARD ISLAM BANI: STUDY OF RELIGIOUS THOUGHT OF MUSLIM CHAMPA, VIET NAM,State Islamic University of Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia 20zulkifli.marjuni@uin-suska.ac.id

22.Mukaffa Z, A NEW ACCOUNT ON THE POTRAIT OF IBRAHIM ASMARAKANDI AND HIS SUFISM APPROACH IN ISLAMIZATION OF JAVA,UIN Sunan Ampel, Surabaya – Indonesia | zumrotul_mukafah@yahoo.com Abstract: This paper tried to show,DOI: 10.15642/JIIS.2017.11.1.175-200

23.Bruinessen Van Marthin,  Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar,Traces of Kubrawiyya Influence in Early Indonesian Islam,In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150 (1994), no: 2, Leiden, 305-329

24.  Amal Adnan, Kepulauan Rempah-rempah

25. Valentijn, Francoise, Oud en Nieuw Oost Indie, vol.1b, Dordrecht-Amsterdam, 1724, p.93

26.Paramita R. Abdurrahman: Molucan Responses to the First Intrusions of the West, Amsterdam: North Holland Pub.Co.1978, p.163.

27. Thomas Forrest, A Voyage to New Guinea and the Moluccas, Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1969, p. 31

28. Anonym, Petikan surat Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, Sirrul Asror

 

 

 

 




 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.