Pendahuluan
Konflik berkepanjangan antara
masyarakat negeri Mamala dan negeri Morela semakin sulit terlihat untuk
diselesaikan. Perdamaian antara masyarakat kedua negeri sulit dipertahankan
sejak pertama kali timbulnya pertikaian antara masyarakat kedua negeri sejak
tahun 2006. Kondisi ini menimbulkan banyak kerugian di antara kedua negeri,
baik dalam bentuk materil maupun jiwa. Jika ditelusuri penyebab dari konflik pada masyarakat kedua negeri ini sebagian
besar menyatakan adalah akibat kenakalan remaja/ pelajar dan pengaruh miras.
Namun jika ditelusuri melalui pemberitaan media sosial dan media cetak nampak sekali jika tingkat ketegangan masyarakat kedua negeri
meningkat pada saat menjelang Perayaan Tujuh Syawal. Hal ini menimbulkan
pertanyaan apakah penyebab pertikaian kedua negeri ini disebabkan oleh
penafsiran sejarah dan adat istiadat yang berbeda dengan adanya bukti
peningkatan ekskalasi ketegangan psikologis antara kedua negeri yang jika
dikonfirmasikan kepada masyarakat kedua negeri selalu menghindar dan selalu
menyalahkan remaja kedua negeri yang nakal dan akibat miras. Dengan pertimbangan
ini maka diperlukan upaya pengkajian pustaka untuk memastikan adanya hubungan
antara kenakalan remaja/ pelajar yang selalu menjadi kambing hitam penyebab
konflik berkepanjangan antara kedua negeri itu mempunyai hubungan yang erat
dengan masalah sejarah dan adat istiadat kedua negeri yang sebenarnya sama, namun
menjadi berbeda tanpa sebab yang masih perlu ditelaah lebih lanjut apa
penyebabnya.
Sketsa hubungan antara Kenakalan Remaja dengan Perbedaan Pemahaman Sejarah, Adat dan Budaya Secara Sepihak |
Pengertian
Konflik
Secara etimologi, konflik (conflict)
berasal dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Menurut
Antonius, dkk (2002: 175) konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang
berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat
terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi. Hal ini
sejalan dengan pendapat Morton Deutsch, seorang pionir pendidikan resolusi
konflik (Bunyamin Maftuh, 2005: 47) yang menyatakan bahwa dalam konflik,
interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan
daripada oleh persamaan. Sedangkan menurut Scannell (2010: 2) konflik adalah
suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau
nilai dalam sekelompok individu.
Hunt and Metcalf (1996: 97)
membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intrapersonal conflict (konflik
intrapersonal) dan interpersonal conflict (konflik interpersonal). Konflik
intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu sendiri, misalnya
ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai budaya
masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik
intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan
baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene)
individu yang bersangkutan. Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang
terjadi antar individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial,
seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara.
Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam
sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup
conflict).
Faktor – Faktor
Penyebab Konflik pada Remaja
Terdapat beberapa teori yang
dapat digunakan untuk memahami sumber konflik di kalangan pelajar, diantaranya
a) social learning theory, b) social identity theory, dan c) reputation
enhancement theory. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2006: 23), dalam kehidupan
manusia ada dua jenis belajar yaitu belajar secara fisik dan belajar psikis. Belajar
sosial termasuk dalam belajar psikis dimana seseorang mempelajari perannya dan peran orang lain. Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya
sesuai dengan peran sosial yang telah dipelajari itu. Cara yang sangat penting
dalam belajar sosial adalah tingkah laku tiruan (imitation).
Menurut Dollard et.al (1939:
35), terdapat tiga mekanisme tiruan, yaitu: 1) Tingkah laku sama (same behavior),
yakni apabila dua orang mempunyai respon yang sama terhadap stimulus atau isyarat
yang sama; 2) Tingkah laku tergantung (matched dependent behavior), yakni salah
satu pihak akan menyesuaikan tingkah lakunya (match) dan akan tergantung (dependent)
kepada pihak lain yang dianggap lebih pintar, lebih tua, atau lebih mampu; 3)
Tingkah laku salinan (Copying) yakni si peniru bertingkah laku atas dasar
tingkah laku modelnya.
Sedangkan Bandura dan Walters
(Sugihartono, 2007: 101) mengemukakan bahwa tingkah laku tiruan merupakan suatu
bentuk asosiasi suatu rangsang dengan rangsang lain. Si peniru akan melakukan
tingkah laku yang sama dengan tingkah laku model.
Sesuai dengan social learning
theory ini, seseorang seringkali terdorong untuk mencontoh perilaku orang lain.
Pencontohan perilaku (modelling) ini berlaku untuk perilaku yang baik maupun
yang tidak baik. Seorang remaja yang melihat suatu tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh orang dewasa dapat mencontoh tindakan tersebut untuk kemudian mempraktekkannya
dalam bentuk tindakan kekerasan baik terhadap teman sebaya maupun lingkungan
sekitarnya. Contoh lain dari pandangan social learning theory ini adalah
tentang kemungkinan adanya pengaruh dari media massa, seperti televisi.
Tayangan kekerasan yang terdapat pada tayangan televisi atau film dapat
berpengaruh negatif terhadap remaja.
Hogg & Abrams (Bunyamin
Maftuh, 2005: 83) yang mengembangkan social identity theory menggambarkan
perilaku individu di dalam dan antar kelompok dapat dijelaskan berdasar
keanggotaan mereka dalam kelompok sosial tertentu dan proses identifikasi di
dalam kelompoknya. Hogg & Abrams mengklaim bahwa identitas kelompok sosial
mempengaruhi identitas diri dan konsep diri individu. Berdasarkan teori ini
dapat kita ketahui bahwa pelajar yang terlibat konflik antarkelompok seperti
tawuran dikarenakan mereka ingin mengidentifikasi diri mereka dan kelompok
mereka, mereka bertujuan untuk melindungi nama baik dirinya dan nama baik
kelompoknya
Teori peningkatan reputasi (reputation
enhancement theory) yang dikembangkan oleh Emler dan Reicher (Bunyamin Maftuh,
2005: 84) menjelaskan perilaku individu dalam hubungan dengan individu lain
dalam satu kelompok, dimana tiap individu berusaha untuk mempunyai reputasi yang
baik di hadapan teman-teman kelompoknya. Jadi menurut teori ini, keterlibatan
pelajar dalam setiap aksi konflik merupakan salah satu upaya mereka untuk
berusaha mendapatkan reputasi baik di mata teman-teman satu kelompoknya.
Dari berbagai macam teori
tersebut di atas, dapat kita ketahui bahwa sumber atau penyebab konflik pada
pelajar sangat bervariasi. Satu macam konflik mungkin saja berawal dari sumber yang berbeda, sehingga metode penanganan yang diberikan juga berbeda.
Individu & Identitas Sosial
Manusia sebagai pribadi tidak
dirumuskan sebagai suatu kesatuan individu saja tanpa sekaligus
menghubungkannya dengan lingkungan sekitarnya. Kita tidak dapat membugkusnya ke
dalam satu kesatuan individu saja, yang tidak pernah bersinggungan dengan
lingkungan. Ketika kita membicarakan identitas di situ juga kita membicarakan
kelompok. Buat Verkuyten, gagasan tentang identitas adalah hubungan antara
individu dengan lingkungannya (Verkuyten, 2005). Adanya identitas dapat lebih
memudahkan manusia menggambar keberadaan sesuatu sehinga dapat memberikan
kemudahan manusia untuk bertindak.
Suatu kepribadian akan menjadi
kepribadian apabila keseluruhan sistem psikofisiknya temasuk bakat kecakapan
dan ciri-ciri kegiatannya menyatakan sebagai kekhasan dirinya dalam penyesuaian
dirinya dengan lingkungannya. Kepribadian individu, keahlian individu,
ciri-ciri akan dirinya baru akan ketahuan kepribadiannya ketika sudah melakukan
interaksi dengan lingkungannya. Individu memerlukan hubungan dengan lingkungan
yang menggiatkannya, merangsang perkembangannya, atau memberikan sesuatu yang
ia perlukan. Tanpa hubungan, individu bukanlah individu lagi (Gerungan, 2004).
Karena Manusia tidak hidup
sendiri tetapi hidup bersama dalam masyarakat dan lingkungannya, makanya
Identitas terbentuk. Ini karena manusia butuh pengenalan diri. Identitas juga
hadir biar manusia dapat saling mengenal sesama dan dapat membedakan sesama.
Tajfel mendefinisikan Identitas sosial sebagai pengetahuan individu dimanadia
merasa sebagai bagian anggota kelompok yang memiliki kesamaan emosi serta nilai
(Tajfel, 1979).[10] Identitas sosial juga merupakan
konsep diri seseorang sebagai anggota kelompok (Abrams & Hogg, 1990).
Identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas pekerja, agama, umur,
gender, suku, keturunan, dll. Biasanya, pendekatan dalam identitas sosialerat
kaitannya dengan hubungan interrelasionship, serta kehidupan alamiah masyarakat
dan society(Hogg & Abrams, 1988). Kemudian, pendekatan identitas sosial
juga mengamati bagaimana kategori sosial yangada dalam masyarakat ternyata
tidak terbentuk secara sejajar, tapi juga menimbulkan status sosial dan
kekuasaan.
Identitas sosial sebagai teori
tidaklah berangkat dari kekosongan lalu terbentuk begitu saja menjadi teori
yang mengisi bidang psikologi sosial. Teori identitas sosial adalah evolusi
teori yang keluar dari teori kategosisasi sosial. Teori kategorisasi sosial
sendiri diperkenalkan oleh Tajfel tahun 1972. Teori identitas sosial adalah
teori yang dikembangkangkan setelah Tajfel melihat kategorirasi yang dilakukan
individu melekatkan juga nilai-nilai di dalamnya pada kelompoknya dalam menilai
kelompok lain.
Pembahasan
Konflik mengandung spektrum
pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik
antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan
konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan
wilayah ataupun ikatan primordial. Konflik horisontal yang dimaksudkan adalah
konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkanoleh berbagai faktor seperti
ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial.
Konflik masal tidak akan
terjadi secara serta merta, melainkan selalu diawali dengan adanya potensi yang
mengendap di dalam masyarakat, yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi
ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konflik fisik akibat adanya
faktor pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang
perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun
juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang dapat menjadi
potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.
Pemicu konflik adalah
peristiwa, kejadian atau tindakan yang dapat menyulut sumber potensi konflik yang nyata. Tanpa adanya sumber potensi konflik, pada umumnya peristiwa yang
terjadi di suatu lokasi mudah diselesaikan dengan capat dan tanpa menimbulkan
dampak yang luas. Sebaliknya di lokasi yang memang sudah ada endapan potensi
konflik, peristiwa kecil dapat dengan cepat meluas dan melibatkan konflik masl
yang sangat sulit diatasi. Dengan demikian pemicu konflik pada dasrnya dapat
berupa peristiwa gangguan keamanan yang biasa atau bahkan sangat sederhana,
namun akibat dari adanya kaitan dengan potensi yang mengendap tersebut, maka
peristiwa kecil justru sering dimanfaatkan oleh provokator untuk menyulut
konflik yang besar.
Terdapat beberapa teori yang
dapat digunakan untuk memahami sumber konflik di kalangan pelajar, diantaranya
a) social learning theory, b) social identity theory, dan c) reputation
enhancement theory. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2006: 23), dalam kehidupan
manusia ada dua jenis belajar yaitu belajar secara fisik dan belajar psikis. Belajar
sosial termasuk dalam belajar psikis dimana seseorang mempelajari perannya dan
peran orang lain. Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya
sesuai dengan peran sosial yang telah dipelajari itu. Cara yang sangat penting dalam belajar sosial adalah tingkah laku tiruan (imitation).
Menurut Dollard et.al (1939:
35), terdapat tiga mekanisme tiruan, yaitu: 1) Tingkah laku sama (same behavior),
yakni apabila dua orang mempunyai respon yang sama terhadap stimulus atau isyarat
yang sama; 2) Tingkah laku tergantung (matched dependent behavior), yakni salah
satu pihak akan menyesuaikan tingkah lakunya (match) dan akan tergantung (dependent)
kepada pihak lain yang dianggap lebih pintar, lebih tua, atau lebih mampu; 3)
Tingkah laku salinan (Copying) yakni si peniru bertingkah laku atas dasar
tingkah laku modelnya.
Sedangkan Bandura dan Walters
(Sugihartono, 2007: 101) mengemukakan bahwa tingkah laku tiruan merupakan suatu
bentuk asosiasi suatu rangsang dengan rangsang lain. Si peniru akan melakukan
tingkah laku yang sama dengan tingkah laku model.
Sesuai dengan sketsa potensi
konflik antara masyarakat negeri Mamala dan negeri Morela, maka dapat dipastikan
anak remaja yang merupakan penyebab dari konflik berkepanjangan ini, terbentuk oleh adanya potensi konflik terpendam selama puluhan tahun, yang kemudian memanas menjadi koflik fisik
sesuai dengan formulasi dari Hogg & Abrams (Bunyamin Maftuh, 2005: 83) yang
mengembangkan Social Identity Theory menggambarkan
perilaku individu di dalam dan antar kelompok dapat dijelaskan berdasar
keanggotaan mereka dalam kelompok sosial tertentu dan proses identifikasi di
dalam kelompoknya. Hogg & Abrams mengklaim bahwa identitas kelompok sosial
mempengaruhi identitas diri dan konsep diri individu. Berdasarkan teori ini
dapat kita ketahui bahwa pelajar yang terlibat konflik antarkelompok seperti
tawuran dikarenakan mereka ingin mengidentifikasi diri mereka dan kelompok
mereka, mereka bertujuan untuk melindungi nama baik dirinya dan nama baik
kelompoknya.
Lalu ketiga adalah definisi
ontologis. Label dari kategori sosial itu kuat bukan hanya berasal dari tingkah
lakunya, tetapi juga berasal daricara anggota dari suatu kategori (bisa
kelompok, etnik, dll) itu melihat. Komponen ketiga ini, definisi ontologi,
mencoba mengungkapkan orang lewat nilai alamiah orang tersebut
dikategorisasikan. Komponen ini pun berangkat dari pernyataan yang sangat
mendasar bahwa memang itulah dia, dan dia tidak bisa menyangkal karena
identitas ini memang menceritakan sesuatu tentang dirinya, tentang seperti apa
dirinya. Hal tersebut memang menceritakan seseorang seperti apa (Verkuyten,
2005: 44-47).
Identitas sosial berusaha
untuk medefinisikan dan mengenal pemilahan dan penetapan. Setidaknya ada tiga
komponen dasar bagi manusia untuk memilah dan menetap dari suatu identitas
(Wenholt, dalam Verkueyten, 2005); pertama,komponen struktur sosial. dalam
kehidupan sosial selalu ada klasifikasi sosial orang ke dalam suatu kategori
atau kelompok. Telah sama-sama dijelaskan bahwa kategosrisasi sosial adalah
dasar berpijak bagi seseorang dalam proses identitas dan hubungan antar
kelompok. orang bisa saja diklasifikasikan ke dalam kategori jenis kelamin,
umur, etnik, ras, budaya, dll. Yang kedua adalah komponen budaya, atau tingkah
laku dan konsekuensi normatif yang diterima. Komponen budaya adalah kategori
seseorang dalam prakteknya yang sudah berlangsung terus menerus. Kategorisasi
sosial belumlah bisa memperkenalkan seseorang kepada identitas sosial. komponen
kedua ini dibutuhkan untuk melihat bagaimana seseorang itu bertindak, apakah
memang tindakan yang dilakukan sesuai juga dengan norma kelompoknya. Dan tentu
saja tingkah laku dapat mereferensikan seseorang dari kelompok mana dia berasal.
Simpulan
Dengan meningkatnya ketegangan
dan memanasnya hubungan antara masyarakat kedua negeri menjelang acara pukul
sapu saat menjelang hari raya tujuh Syawal membuktikan jika sumber konflik
antara kedua negeri ini berkaitan erat dengan masalah perbedaan menafsirkan
sejarah dan adat istiadat masyarakat kedua negeri. Pembentukan opini sejarah secara sepihak tanpa
disertai dengan referensi yang valid berperan erat dalam menyuburkan tumbuhnya potensi
konflik dari masa ke masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.