Pendahuluan
Konflik berkepanjangan antara
masyarakat negeri Mamala dan negeri Morela semakin sulit terlihat untuk
diselesaikan. Perdamaian antara masyarakat kedua negeri sulit dipertahankan
sejak pertama kali timbulnya pertikaian antara masyarakat kedua negeri sejak tahun
2006. Kondisi ini menimbulkan banyak kerugian di antara kedua negeri, baik
dalam bentuk materil maupun jiwa. Jika ditelusuri melalui pemberitaan media
sosial
dan media cetak nampak sekali
jika
tingkat ketegangan masyarakat kedua
negeri meningkat pada saat menjelang
Perayaan Tujuh Syawal. Penyebab konflik berkepanjangan
antara kedua negeri itu mempunyai
hubungan yang erat dengan masalah sejarah dan adat istiadat
kedua negeri yang sebenarnya sama, namun menjadi berbeda tanpa sebab yang masih
perlu ditelaah lebih lanjut apa penyebabnya.
Persoalan yang ditimbulkan
akibatnya semakin banyak, dan semakin sulit untuk telusuri dan ditegakkan
keadilannya. Maka dalam narasi ini
dicoba untuk membahas bagaimana
penanganan konflik antara kedua negeri agar masalah yang ada tidak
berlanjut kerumitannya. Menyamakan
persepsi tentang adat dan sejarah kedua negeri ditinjau dari referensi ilmiah
yang mengedepankan metodologi ilmu sejarah, dan menghadirkan beberapa ahli
sejarah Maluku dalam rangka mendudukkan persoalan sesuai adat istiadat yang
berlaku dalam tataran budaya Siwalima. Menghadirkan ahli Tata Pemerintahan untuk
membahas urgensi dari sebuah produk peraturan daerah tentang Pemerintahaan
Daerah terkait dengan eksistensi negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat
di Maluku, pentingnya catatan khusus ini, agar solusi pemecahan yang diambil
benar-benar bersifat rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berbicara mengenai konflik
antar kelompok, maka erat kaitannya dengan kepentingan. Konflik terjadi antar
dua kelompok disebabkan oleh perbedaan pendapat, kepentingan atau tujuan antara
dua atau lebih pihak yang mempunyai obyek yang sama (Acara Pukul Sapu dan
Sejarah kedua Negeri). Konflik juga bisa terjadi karena adanya ketidaksesuaian
antara harapan dengan realita. Ketika suatu kelompok mempunyai harapan atau
keinginan, dan ketika harapan itu terbentur oleh situasi nyata yang berlawanan,
maka bisa menimbulkan konflik di dalam dan di luar kelompok. Namun dalam
memahami konflik antar kelompok tidak sesederhana itu, banyak faktor yang menyebabkan
mengapa timbul konflik antar kelompok tergantung konteksnya seperti apa. Masalah
perekonomian, psikologis (kecemburuan, prasangka), hukum, ekonomi, serta perbedaan
identitas kelompok (etnik, agama) menjadi masalah utama yang menyebabkan konflik
terutama di negeri ini. Konflik intergroup juga bisa
terjadi karena masalah politik, agama, etnik, sejarah dan ekonomi (Costarelli,
2006). Contohnya konflik yang terjadi antara orang mamala dan morela.
Definisi
Definisi konflik sangat
kompleks dan beragam tergantung bagimana tempat dan persepsi terhadap konflik
tersebut. menurut Rubin, dkk (dalam Isenhart & Spangel, 2000) konflik diartikan
sebagai persepsi terhadap kepentingan berbeda. Menurut Swanström dan Weissmann
(2005) konflik adalah perbedaan persepsi terhadap suatu isu oleh dua kelompok
pada waktu yang sama. Wallensteen (dalam Swanström & Weissmann (2005) mendefinisikan
konflik secara umum, ia mengatakan bahwa konflik adalah situasi yang dimana ada
dua atau lebih kelompok yang menginginkan sumber yang langka pada waktu yang
sama. Sumber langka tidak hanya berorentasi secara ekonomi saja, tetapi
sejarah, lingkungan dan keamanan.
Dalam memahami konsep konflik,
kita harus mengetahui tiga hal bagian dari konflik, yaitu persepsi, perasaan,
dan konflik tindakan. Konflik persepsi berkaitan dengan pemahaman terhadap
sesuatu yang dinginkan kepentingan, nilai yang berseberangan dengan orang lain atau
kelompok lain. konflik sebagai perasaan berkaitan dengan reaksi emosi terhadap
sesuatu, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka. Sedangkan konflik
sebagai action merupakan ekspresi
dari perasaan dan persepsi. Konflik sebagai action
biasanya berhubungan dengan power, bisa berbentuk kekerasan, dan destruktif.
Lalu bagaimana konflik antar kelompok?
Konflik antar kelompok terjadi
ketika ada dan kepentingan sama atau berbeda dengan tujuan berbeda dari
masing-masing kelompok. menururt teori realistis konflik (realistic conflict
theory) bahwa dalam hubungan antar kelompok terdapat dua tujuan berbeda terhadap
sesuatu yang sama. Hal ini menyebabkan setiap kelompok ingin meraih keuntungan
sebesar-besarnya dengan mengorbankan kelompok lain. selain itu konflik antar kelompok
juga dapat dijelaskan dengan teori identitas sosial. Teori ini melihat bahwa hubungan
antar kelompok harus dilihat dari perspektif kelompok bukan individu. Setiap individu
dalam masyarakat dikelompokkan berdasarkan katagori yang berbeda-beda, misal jenis
kelamin, suku, agama, dan pekerjaan. Maka terbentuk identitas individu, yang
nantinya dapat membentuk identitas kelompok. setiap kelompok merasa lebih
unggul dari kelompok lain. kelompok menjadi pusat segalanya atau etnosentris
dan cenderung besifat in-group, melihat kelompok lain sebagai musuh. Hal-hal
sepeti ini yang berpotensi timbulnya konflik intergroup.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa konflik intergroup merupakan ketidaksesuaian atau perselisihan yang
terjadi antar kelompok, yang diakibatkan oleh kepentingan sama atau beda dan
tujuan berbeda terhadap sesuatu isu dan terjadi pada waktu relatif sama.
Tipe konflik intergroup
Tajfel and Turner (dalam
Hewstone & Cairns, 2006) membedakan tipe konflik intergroup menjadi dua
tipe, yaitu :
a. Objective Vs Subjective Conflict
Konflik objektif merupakan
konflik yang memiliki sasaran atau tujuan yang jelas. Misalkan kekuasaan,
kekayaan dan wilayah. Factor penyebab Konflik objektif biasanya bukan berasal dari
factor psikologis, tetapi lebih mengarah pada faktor sosial, ekonomi, politik,
dan struktur sejarah. Sedangkan konflik subjektif lebih kearah faktor
psikologis (prasangka, stereotype). Walaupun berbeda, konflik objektif dan
subjektif dapat saling berhubungan dan konflik subjektif dapat bertahan lebih
lama.
b. Explicit Vs Implicit Conflict
Konflik eksplisit (terbuka)
adalalah konflik legitimasi dan institusional berdasarakan peraturan atau norma
(kompetisi antar group atau kompetisi world
cup dalam sepakbola). Menurut Tajfel and Turner perilaku terhadap out-group dalam konflik ini dibagi
menjadi dua, yaitu : Instrumental
behavior (perilaku sebagai alat) mengacu pada tindakan yang diarahkan pada
in-group untuk memenangkan kompetisi (perilaku seperti itu) dapat diterangkan
dalam kaitan dengan alasan untuk memenangkan) dan Noninstrumental behavior ialah perilaku yang berkaitan dengan aspek
psikologis. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seseorang bersikap, dan
berperilaku terhadap kelompok lain. Misalkan, Perilaku diskriminasi dan sikap prasangka
terhadap out group.
Konflik implicit (tersembunyi)
adalah konflik yang mengacu pada perbedaan yang ada di dalam kelompok
diakibatkan ketiadaan institusi yang jelas. Pembedaan di dalam kelompok sengaja
dihembuskan oleh anggota kelompok tersendiri atau dari luar. Padahal sebenarnya
tidak ada sesuatu hal berbeda secara mendasar. Misalkan kasus masyarakat Mamala
dan Morela. Masyarakat Mamala dan Morela memiliki banyak keasamaan, mulai dari
bahasa, agama, budaya dan sejarah melalui pertukaran identitas dengan
perkawinan antar negeri tesebut. Tetapi karena egoisme pengakuan acara Pukul
Sapu dan egoisme pengaburan sejarah serta adat istiadat keduanya dalam Uli
Sailesi yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, maka terjadilah
konflik antara kedua kelompok masyarakat tersebut.
Penyebab konflik antar kelompok (intergroup)
Ada beberapa penyebab konflik
antar kelompok, yaitu :
Kepentingan sama.
Bila dua kelompok mempunyai
kepentingan sama terhadap sesuatu, maka timbul persaingan untuk mendapatkannya.
Ketika persaingan terjadi, maka ada upaya upaya dari setiap kelompok untuk
mendapatkan yang diinginkan, sehingga terkadang kelompok menggunakan
tindakan-tindakan yang merugikan kelompok lain. Akibatnya timbul konflik antar
kelompok (Bornstein, 2003). Misalkan: pada saat menjelang hari raya 7 Syawal.
Kedua kelompok tersebut memeiliki tujuan sama, yaitu ingin mempopulerkan acara
pukul sapu di negerinya. Dan pada akhirnya dapat menimbulkan konflik antar
kelompok bila tidak ditangani secara baik.
Streotype, prasangka dan diskriminiasi (Sear, dkk, 1994)
Menururt Sears, dkk, (1983)
Streotype, prasangka dan diskriminasi merupakan tiga komponen dalam antagonisme
kelompok. Pertama, streotype—yang
merupakan komponen kognitif. Streotype adalah keyakinan tentang sifat-sifat
pribadi yang dimiliki orang dalam kelompok. Biasanya streotype berdasarkan
katagori sosial. Kedua, prasangka—yang
merupakan komponen afektif. Prasangka merupakan salah satu sikap yang cenderung
negatif. Prasangka adalah sikap negatif terhadap kelompok tertentu atau
seseorang karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu (Baron & Bryne,
1997). Dasar munculnya prasangka adalah kekeliruan dan generalisasi yang tidak
fleksibel (Allport, 1974). Menurut Baron dan Bryne, (1997) bila prasangka
diartikan sebagai siikap, maka dalam memahami prasangka ada dua aspek, yaitu skema
kognitif. Skema ini berfungsi sebagai framework kognitif; bagaimana
mengorganisasi, mengintrepetasi, dan me-recall informasi (e.g.Fisk &
Tayler, 1995). dan evaluasi negatif. Seseorang yang berprasangka, terhadap
anggota kelompok lain, maka cenderung mengevaluasi secara negatif. Ketiga, diskriminasi—yang
merupakan komponen konatif. Diskriminasi adalah perlakuan berbeda dari pihak
lain berdasarkan oleh keanggotaannya kelompoknya. Ketika seseorang mengalami
perlakukan diskriminasi karena keanggotaanya sebagai aggota kelompok tertentu,
maka, akan timbul konflik kecil pada diri orang tersebut. Bila ini terus
berlanjut dan berlangsung lama, maka bisa terjadi konflik. Ketiga kriteria ini
juga terlihat pada konflik antar kedua negeri Mamala dan Morela saat ini.
Identitas sosial atau katagori berbeda.
Setiap kelompok mempunyai
identitas sosial berbeda. Indentitas suatu kelompok berkaitan dengan dengan
atribut yang dimiliki. Seperti ciri-ciri, nilai yang dianut, tujuan, dan norma.
Identifikasi social sangat berguna untuk proses katagori dan perbandingan sosial
(Hogg & Grieve, 1999). Seseorang cenderung menilai homogen kelompoknya dan
cenderung menilai kelompok lain berbeda. Hal ini sudah menjadi kenyataan dalam
masyarakat Morela yang menganggap diri mereka sebagai garda terdepan dalam
perjuangan melawan penjajah di Kapahaha dan berusaha mempopulerkannya melalui
acara Pukul Sapu yang nyata sekali baru terlihat dalam satu dekade terakhir. Perbedaan
identitas dapat memicu timbulnya konflik antar kelompok, bila tidak ditangani
secara cepat dan tepat.
Ketidakadilan (injustice)
ketidakadilan sering kali
menimbulkan konflik. Kita bisa melihat banyak konflik-konflik yang terjadi
diakibatkan ketidakadilan. Menururt teori keadilan (equity theory), konflik terjadi
karena adanya ketidakadilan dalam distribusi yang membuat orang atau kelompok
menjadi distress dan frustasi. Akibatnya kelompok menggunakan cara menurut
pandangan mereka benar, tetapi bagi kelompok lain hal tersebut dapat menimbulkan
konflik. Namun perlu dipahami bahwa sebenarnya keadilan keadilan bersifat
relatif atau subjektif bagi setiap orang atau kelompok.persepsi keadilan bagi setiap
kelompok berbeda-beda. Orang atau kelompok lebih cenderung menilai sesuatu itu
adil ketika hasil yang diperoleh lebih menguntungkan bagi kelompoknya sendiri.
Kondisi ini terlihat saat menjelang hari raya Tujuh Syawal dalam hal usaha
mempromosikan acara Pukul Sapu.
Perilaku agresif
Perilaku agresif yang
dilakukan suatu kelompok terhadap kelompok lain dapat menimbulkan konflik antar
kelompok. Ketika suatu kelompok menyerang kelompok lain, maka kelompok yang
diserang akan membalas. Hal ini akan bisa berlanjut kepada konflik yang
berkepanjangan. Seperti kondisi antara kedua negeri Mamala dan Morela saat ini.
Dari uraian diatas diketahui
banyak faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya konflik intergroup, mulai dari
kepentingan, sumberdaya, atau masalah psikologis. Namun yang tak kalah
pentingnya adalah situasi di mana konflik itu terjadi. Situasi yang tidak
menyenangkan (aversif situation) dapat meningkatkan kecenderungan timbulnya
konflik intergroup (Forsyth, 1983).
Dinamika konflik
intergroup
Interaksi antar kelompok
merupakan suatu hal yang penting bagi setiap kelompok. Dengan berinteraksi,
setiap kelompok akan memperoleh banyak manfaat. Kelompok akan mempunyai
jaringan relasi serta kelompok bisa belajar dari kelompok lain. Namun tak jarang
interaksi dapat menimbulkan konflik antar kelompok. konflik intergroup terjadi
ketika dua atau lebih kelompok memperebutkan sesuatu yang sama dan terjadi pada
waktu yang sama. Biasanya hal yang diperebutkan suatu hal yang penting atau
sumber yang langka. Kondisi ini akan menimbulkan persaingan antar kelompok
untuk meraih apa yang dinginkan. Persaingan antar kelompok dapat berpotensi
menimbulkan konflik (Sherif, dkk dalam Forsyth, 1983). Menurut Campbell dan
Sherif (dalam Echebarria & Guide,2003) Persaingan antar kelompok dapat
membuat relasi antarkelompok semakin buruk dan sikap memilih in-group dan
diskriminisai out-group. Setiap kelompok menganggap lebih baik dari kelompok lain.
timbul suatu sikap bahwa kelompoknya-lah yang paling benar. Menganggap kelompok
lain salah dan sebagai musuh. Timbul sikap etnosentris, yaitu pandangan yang menganggap
kelompok diri sendiri adalah pusat segalanya.
Selain itu, persaingan antar
kelompok membuat timbulnya permusuhan (hostility) antar kelompok tersebut.
Menurut Sear, dkk. (1994) setiap kelompok merasa tidak senang bila kelompok
yang menjadi lawannya memperoleh target yang ingin diraih setiap kelompok. Akibatnya
timbul reaksi ketidaksenangan, yang pada akhirnya menimbulkan rasa iri, permusuhan
dan persaan marah. Menurut DeSteno, dkk., (2004).rasa marah sangat berkaitan
dengan kompetisi dan konflik. Rasa marah dapat menimbulkan bias dan kecenderungan
untuk menimbulkan prasangka terhadap kelompok lain. Prasangka juga bisa lahir
dari streotype yang terbentuk dari suatu kelompok. ketika kondisi ini terjadi,
maka setiap kelompok akan cenderung menutup diri dari pihak luar dan cenderung
mengurangi komunikasi dengan pihak lawan (Blake & Mounten, dalam Johson
&Johson, 2000).
Ketika setiap kelompok berada
pada situasi, yang dimana kepentingan kelompok yang menjadi dominan, maka
setiap kelompok berasaha melakukan yang ‘terbaik’ bagi kelompok. setiap
kelompok berusaha untuk meraih segala tujuan, dan kalau perlu dengan cara mengorbankan
kelompok lain. Bila ini terjadi, maka akan terjadi konflik terbuka antar kelompok.
konflik terbuka akan dapat menimbulkan korban jiwa. Kondisi ini merupakan puncak
dari konflik. Ketika timbul korban jiwa, biasanya setiap kelompok mulai
menyadari bahwa konflik yang terjadi perlu segera untuk diakhiri. Namun untuk
mengakhiri konflik tidaklah mudah, perlu kerjasama dari kedua kelompok yang
berkonflik. Ada niatan baik untuk mewujudkan tujuan bersama. Kalau tidak, maka
konflik akan terus berlanjut, walau tidak separah sebelumnya. Kondisi seperti
ini nampak sekali pada kondisi masyarakat kedua negeri Mamala dan Morela.
Konflik terbuka lebih mudah
diatasi dari konflik yang bersifat psikologis. Menurut Tajfel and Turner (dalam
Hewstone & Cairns, 2006) konflik yang bersifat psikologis lebih mampu bertahan
lebih lama. Karena konflik psikologis melekat pada individu masing-masing kelompok,
dan perlu waktu untuk mengatasinya. Misalkan, konflik secara terbuka (fisik)
telah selesai, namun setiap kelompok masih berkembang hal –hal yang bersifat
psikologis, seperti, prasangka, streotype, atau persaan marah. Kondisi inilah
yang nantinya bisa memudahkan untuk munculnya konflik antar kelompok. untuk
mengatasi hal seperti perlu dilakukan usaha bersama dari kedua kelompok yang
berkonflik, yang nanti dijelaskan setelah ini.
Mengurangi konflik Intergroup
Ada beberapa cara yang harus
dilakukan untuk mengurangi konflik, yaitu:
a). Komunikasi
Hal yang pertama dilakukan
adalah melakukan kontak dengan kelompok yang menjadi lawan konflik. Hal ini
bertujuan untuk membuka komuniksi antar kelompok—yang selama konflik tidak
berjalan dengan baik. Pendekatan Komunikasi merupakan elemen penting dalam
memahami konflik dan menemukan resolusi konflik (Elliz &Maoz, 2003).
Komunikasi merupakan salah satu saran yang efektif untuk mengurangi konflik
intergroup. Dengan komunikasi dapat mengurangi bias-bias yang terjadi dalam
konflik.Selain itu, komunikasi dapat mengurangi prasangka-prasangka yang
terjadi selama konflik (Allport, dalam Costarelli, 2006).
b). Berunding
Setelah terjalin komunikasi
antar kelompok, yang harus dilakukan adalah mengadakan perundingan untuk
membuat suatu kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengurangi konflik. Menurut
Bila kedua kelompok tidak bisa menemui kesepakatan karena setiap kelompok masih
berpegang pada ego kelompoknya masing-masing, maka perlu orang ketiga sebagai
mediator. Diharapkan dengan adanya pihak ketiga, jalannya perundingan lebih
bisa fokus dan terkontrol pada permasalahan.
Ada beberapa sifat yang harus
dikembangkan setiap kelompok ketika dalam perundingan. Pertama, Keterbukaan, setiap kelompok harus terbuka terhadap
informasi, keinginan keinginan dan permasalahan yang ada. Dengan sikap saling
terbuka akan membuat setiap kelompok akan mengetahui, memahami apa yang
sebenarnya yang terjadi pada setiap kelompok. Keterbukaan juga bermanfaat untuk
mengklarifikasi isu-isu selama terjadi konflik. Kedua, Saling menghargai, setiap kelompok harus saling
menghargai pendapat atau keinginan pada setiap kelompok. Dengan sikap ini dapat
menjaga dan membuat suasana kondusif selama proses perundingan. Sikap saling
menghargai membuat setiap kelompok merasa nyaman dan bebas dalam menyampaikan
ide-ide dan keinginan yang dimiliki. Bila kedua sifat diatas dikembangkan dalam
perundingan, maka tidak mustahil kesepakat bersama akan lebih cepat diperoleh.
c). Menerima dan menjalani keputusan yang disepakati
Setelah kesepakatan telah
ditetapkan secara bersama, yang harus dilakukan setiap kelompok adalah menerima
kesepakatan tersebut dengan lapang dada. Selanjut setiap kelompok melaksanakan
ketetapan yang telah disepakati bersama.
d). Evaluasi
Evaluasi sangat diperlukan
untuk menilai apakah kesepakatan yang telah disepakati dijalan dengan baik oleh
setiap kelompok. Bila tidak berjalan dengan baik, maka proses evaluasi harus dilakukan
oleh setiap kelompok. Evaluasi juga bermanfaat untuk mengidentifikasi hambatan-hambtan
atau permasalahan yang terjadi setelah perundingan. Dengan adanya evaluasi
setiap kelompok akan mengetahui apa-apa yang sebaiknya harus dilakukan ke depan.
Daftar Pustaka
Baron, R.A & Bryne. 1997. Social Psychology. (8 th
edition). Boston:Ally & Bacon.
Bornstein, G. 2003.Intergroup Conflict: Individual,
Group, and Collective Interests.
Personality and Social Psychology Review.2003, Vol. 7,
No. 2, 129–145
Cho, B & Connelley,D.L. (2006) The Effect Of Conflict
And Power Differentials On Social
Identity And Intergroup Discrimination.
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=320286
Isenhart, MW. & Spangel,M. 2000. Colaborative Aproach
to Resolving Conflict.London:Sage
Publication.
Costarelli, S. 2006. Heldref Publications The Distinct
Roles of Subordinate andSuperordinate
Group Power, Conflict, and Categorization on Intergroup
Prejudice in a
Multiethnic Italian Territory The Journal of Social Psychology,
2006, 146(1), 5–13
DeSteno,D, Dasgupta, N., Monica Y. Bartlett, M.Y and
Cajdric,A. 2004.Prejudice From Thin
Air The Effect of Emotion on Automatic Intergroup
Attitudes. Psychological
Science. Volume 15—Number 5
Echebarria, A & Guede, E. E. F. 2003. Extending the
Theory of Realistic Conflict to
Competition in Institutional Setting: Intergroup Status
and Outcome. The Journal of
Social Psychology. 143(6),763-782
Ellis, D.G & Maoz,I.2003 A Communication And Cultural
Codes Approach To Ethnonational
Conflict.The International Journal Of Conflict
Management, Vol 14, No. 3/4, Pp.
255-272
Forsyth,D. R.1983. An Introduction to Group dynamics.
California:Brooks/cole publishing
company
Hewstone. M And Cairns, E. 2006. Social Psychology And
Intergroup Conflict.
From:http://www.ripon.edu/academics/psychology/FYS175/syllabus/Hewston.htm
Hogg & Grieve. 1999. Social identity theory and the
crisis convidence in social psychology:A
comentari and some research on uncertain reduction. Asial
journal of social
psychology (1999) 2:79-93
Johnson, D.W. & Johnson, F.P. (2000). Joining
Together:Group Theory and Group Skill.
Seventh edition. Boston:Ally & Bacon.
Miles Hewstone, M. & Cairns. E. Social Psychology And
Intergroup Conflict retrieved. 22
April 2006 http://www.ripon.edu/academics/psychology/
Reid, A.2004.Social Identity-Specific Collectivism
(SISCOL) and Group Behavior. Self and
Identity, 3: 310–320, 2004
Rempel, Martin W., Fisher, & Ronald J.1997.Perceived
Threat, Cohesion, And Group
Problem Solving In Intergroup Conflict. International
Journal of Conflict
Management (1997), Vol. 8, Issue 3.
Sears, D.G., Freedman,J.L & Peplau, L.A. 1994. Psychology
Sosial. Jilid 2. Alih
Bahasa:Michael Adriyanto. Jakarta :Erlangga
Swanström, N.L.P &. Weissmann, M. S. 2005.Conflict,
Conflict Prevention andConflict
Management and beyond: a conceptual exploration. ©
Central Asia-Caucasus
Institute and Silk Road Studies Program, 2005
(http://www.silkroadstudies.org/new/docs/ConceptPapers/2005)
Wheelan, 1994. Group Procces A Development Perspective.
Boston :Allyn & Bacon.