Pendahuluan
Mengapa harus menghidupkan masyarakat adat atau lembaga adat di negeri Mamala dan Morela? Sebagai bagian dari upaya penyelesaian konflik kronis kedua negeri. Bukankah kedua negeri tersebut adalah dua negeri yang secara adninistratif berbeda. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, menetapkan Desa atau yang disebut dengan nama lain, merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berada di Kabupaten/Kota. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini mengacu pada Pasal 18B UUD 1945 (setelah diamandemen) yang bertumpu pada landasan pemikiran tentang pengaturan mengenai desa yaitu keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat.
Akibat peraturan tersebut
mengakibatkan biasnya kedudukan pranata adat antara kedua negeri yang
sebenarnya mempunyai latar belakang historis sejarah yang sama yaitu Uli Sailesi. Hal ini mengakibatkan hilangnya fungsi pranata adat kedua negeri yang
seharusnya menyatu namun karena peraturan tesebut mengakibat biasnya pranata
adat yang dimaksud, dalam hubungan dengan adat Maluku yang sebenarnya. Dengan
akibat hilangnya kendali segala permasalahan antara kedua negeri berdasarkan
hukum adat, dikarenakan tidak berfungsinya pranata adat yang harusnya menyatu
sesuai dengan historis kedua negeri tersebut.
Adat Istiadat
Beberapa penulis mengemukakan
bahwa adat adalah semua pemikiran yang teguh (strong ideas), tentang benar dan
salah yang menuntut tindakan dan melarang yang lain. Adat adalah kepercayaan
terhadap kebenaran dan kesalahan dari tindakan‑tindakan kelompok masyarakat
(Mintargo : 2000). Adat juga diartikan sebagai sebuah sistem nilai budaya.
Sistem nilai budaya ini merupakan pedoman yang memberikan arah dan orientasi
terhadap hidup dari suatu kelompok masyarakat dan mengatur perilaku anggota
kelompok masyarakat tersebut (Kuntjaraningrat: 2002). Sering adat juga
diartikan sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut sejak dahulu kala
sebagai suatu kebiasaan perilaku sehingga ia merupakan wujud nilai-nilai
budaya, norma hukum dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan
menjadi suatu sistem yang dijadikan acuan bagi tata kehidupan sebuah komunitas
(Kawi 2003). Dengan demikian adat terdiri dari berbagai norma dan aturan yang
dipatuhi oleh sebuah kelompok komunitas atau masyarakat. Masyarakat adat atau
komunitas adat adalah kelompok masyarakat pendukung adat-istiadat yang berlaku
di dalam suatu kelompok masyarakat itu. Penulis lainnya mengatakan bahwa masyarakat
adat adalah sebuah unit sosial dimana setiap individu menerima otoritas unit
sosial tersebut serta tunduk kepada aturan-aturan yang berlaku. Karena
aturan-aturan tersebut terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yaitu praktek-praktek
hidup yang dilakukan berulang-ulang maka masyarakat lebih akrab dengannya.
Masing-masing suku bangsa atau sub suku bangsa memiliki
sistem nilai budaya yang berbeda satu dengan lainnya. Untuk mengatur tatanan
masyarakat adat, pada masing-masing masyarakat terdapat lembaga-lembaga dan
pranata-pranata yang mengatur dan mengendalikan perilaku anggota masyarakat atau komunitas adat. Kedua hal ini (lembaga dan pranata) acapkali tumpang
tindih pengertiannya. Lembaga atau institusi kadang-kadang diartikan pula
sebagai pranata. Lembaga dalam tulisan ini diartikan sebagai sebuah organisasi
yang mengatur berbagai kebutuhan masyarakat. Dalam masyarakat adat misalnya
terdapat lembaga atau dewan adat yang terdiri dari para tetua atau ahli adat
yang berfungsi untuk menjelaskan berbagai hal tentang adat dan memutuskan atau
menyelesaikan sengketa adat. Hal ini penting karena banyak sekali norma dan
aturan adat yang tidak lagi diketahui oleh anggota masyarakat. Selain itu,
terdapat pula peradilan adat yang berfunggi memutuskan berbagai perkara mengenai
pelanggaran adat. Pranata adat yang disebut pula sebagai "lembaga"
adat atau institusi adat diartikan sebagai sistem antar-hubungan, norma-norma,
aturan-aturan, dan peranan-peranan dari para pelaku yang menyajikan seperangkat
pedoman-pedoman, wadah-wadah untuk bertindak sesuai corak pranata adat tersebut
dan sesuai kebutuhan yang dipenuhi oleh masyarakat yang bersangkutan. Di dalam
paranata sosial (adat) tersebut terdapat nilai-nilai budaya yang berfungsi
memberikan arahan yang baik atau tidak baik, yang beradab atau tidak beradab
dan sebagainya (Suparlan : 1997). Olen karena itu fungsinya merupakan mekanisme
kontrol bagi tindakan anggota masyarakat. Pada masyarakat adat di Maluku
terdapat berbagai lembaga dan pranata yang mengatur berbagai kebutuhan masyarakat
adat antara lain:
· Pranata adat yang mengatur hubungan kekerabatan
· Pranata adat yang mengatur hubungan kejasama dan tolong menolong
· Pranata adat yang mengatur pemeliharaan lingkungan
· Pranata adat yang mengatur kepemilikan tanah
· Pranata adat yang mengatur pemerintahan
· Dan lain-lain.
Masyarakat Adat Maluku
· Pranata adat yang mengatur hubungan kekerabatan
· Pranata adat yang mengatur hubungan kejasama dan tolong menolong
· Pranata adat yang mengatur pemeliharaan lingkungan
· Pranata adat yang mengatur kepemilikan tanah
· Pranata adat yang mengatur pemerintahan
· Dan lain-lain.
Masyarakat Adat Maluku
Dari perspektif (ilmu) hukum
adat,ada “cita kesempurnaan masyarakat adat” yang perlu dipahami, termasuk juga
masyarakat adat Maluku, yakni (a) kebersihan rohani; (b) kesopanan dalam
perbuatan; dan (c) kebersamaan yang ramah. Ketiga cita kesempurnaan ini
berproses melalui “intelek dan nalar”. Kenapa, karena adat istiadat senantiasa
bersandar pada : (a) pengenalan akan kandungan alam pikiran dan kehidupan rohani
masyarakat; (b) merupakan sumber pesan dan amanat antar generasi; (c) sebagai pengontrol
atas kehidupan social; (d) media pengokohan nilai-nilai intelektual dan
teknologi masa lampau serta; (d) sarana pendidikan dan hiburan.
Yang dimaksud dengan intelek di
sini adalah sisi kritis, kreatif dan kompelatif dari pikiran manusia yang
dikembangkan dengan menggunakan nalar, yakni kemampuan untuk mempelajari,
menilai, mempertanyakan, mengimajinasi, menteorikan, mengubah fakta menjadi permasalahan.
Kebiasaan berpikir masyarakat adat Maluku yang mengandalkan intelek dan nalar senantiasa
didasarkan pada sifat konvergensif dan bukan devergensif. Artinya, cara
pandangan terhadap sesuatu (objek) selalu berpasangan, seperti darat, laut,
perempuan, laki-laki, atas-bawah dan sebagainya. Dengan cara pandang seperti
ini, perilaku adat yang terpelihara dan dipertahankan sejak dahulu tetap
bertahan hingga kini, diantaranya yang masih kuat, seperti sistem pemerintahan
negeri, susunan masyarakat, sistem kekerabatan, sistem perkawinan, sistem pembagian harta, hukum tanah, sistem
dati, sistem sasi, sistem waris, sistem wasiat dan sebagainya.
Perilaku adat ini kemudian
mengalami proses legislasi ke dalam aturan hukum adat yang meliputi
administrasi pemerintahan, pelayan kepada masyarakat, adanya kewenangan pada kepemimpinan
,proses pencalonan, pemilihan ,pelantikan serta pemberhentian pejabat adat, pembangunan
wilayah petuanan, penataan kelembagaan adat, peraturan-peraturan tata kelakuan,
keuangan, kerjasama, pungutan-pungutan, pengawasan, lingkungan alam, social dan
budaya, pewarisan, peradilan, hutang-piutang, perkawinan, pertanahan,perangkat
pemerintahan dan sebagainya.
Eksistensi
Masyarakat / Komunitas Adat
Dalam perjalanan sejarah Negara kita, terdapat banyak sekali kebijakan pemerintah yang mengurangi peran lembaga dan pranata adat sebagai pengendali kehidupan masyarakat. Para pendukung masyarakat adat percaya bahwa produk leluhur yang selama ini digunakan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan menjaga serta memelihara ketentraman anggotanya. Dalam sejarah perjalanan masyarakat adat, kebijakan-kebijakan negara yang sangat memukul kehidupan masyarakat adat adalah penyeragaman sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia, termasuk di negeri Mamala dan negeri Morela yang mempunyai sejarah adat istiadat yang sama (Uli Sailesi). Penyeragaman ini dengan sendirinya telah mengaburkan identitas komunitas/masyarakat adat. Struktur pemerintahan desa yang diintroduksi melalui penyeragaman sesuai dengan undang-undang tidak lagi memperlihatkan sebuah wajah pemerintahan adat yang oleh masyarakat adat dianggap paling tepat untuk menata masyarakat adat. Pada beberapa daerah tertentu posisi masyarakat adat dapat diwakili oleh sekelompok tokoh masyarakat yang berfungsi sebagai dewan adat, akan tetapi perannya tidak signifikan dibandingkan dengan pemerintahan adat yang memiliki berbagai unsur pemerintahan yang dapat melayani kebutuhan masyarakat.
Akibatnya negeri Morela dan negeri
Mamala tidak mempunyai dewan adat yang satu, seperti seharusnya. Ini
menimbulkan pertanyaan apakah hal ini dapat dilakukan? Apa pengertian adat
istiadat ? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi penting, karena untuk menyatukan
kesepahaman. Jika kita mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52
Tahun 2007, Pasal 1 angka 5 memberikan batasan sebagai berikut: Adat istiadat
adalah serangkaian tingkah laku yang terlembaga dan mentradisi dalam masyarakat
yang berfungsi mewujudkan nilai sosial budaya ke dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan teks norma hukum
dalam PERMENDAGRI nomor 52 tahun 2007 pada pasal 1 angka 5 di atas, maka ada
tiga kata kunci, yakni (1) terlembaga, (2) mentradisi (3) berfungsi mewujudkan
nilai sosial budaya ke dalam kehidupan sehari- hari. Ketiga kata kunci
tersebut berkaitan dengan nilai sosial budaya dan adanya pranata.
.
PERMENDAGRI Nomor 52 Tahun 2007
memberikan batasan tentang kedua konsep yaitu nilai sosial dan pranata, yaitu Nilai
Sosial Budaya adalah konsepsi idealis tentang baik buruk dan benar alah
mengenai hakikat hidup manusia dalam lingkup hubungan manusia dengan pencipta,
sesama manusia, alam, dimensi ruang dan waktu dan dalam memaknai hasil karya
mereka. Pranata adalah aturan-aturan yang dibakukan oleh masyarakat atau suatu
lembaga sehingga mengikat bagi masyarakat dan anggotanya. (Pasal 1 angka 6 dan
7)
Nilai Sosial Budaya dan
Pranata itulah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan, berkaitan dengan ini
PERMENDAGRI Nomor 52 Tahun 2007 memberikan batasan terhadap apa yang dimaksud
dengan pelestarian dan pengembangan, yakni Pelestarian adalah upaya untuk
menjaga dan memelihara adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat yang
bersangkutan, terutama nilai-nilai etika, moral, dan adab yang merupakan inti
dari adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, dan lembaga adat agar
keberadaannya tetap terjaga dan berlanjut. Sedangkan Pengembangan adalah upaya
yang terencana, terpadu, dan terarah agar adat istiadat dan nilai sosial
budaya masyarakat dapat berkembng mengikuti perubahan sosial, budaya dan
ekonomi yang sedang berlangsung.
Menata kembali sejumlah pranata yang sudah rusak, paling tidak pranata yang sudah lemah tidak semudah membalik telapak Tangan, karena sangat terkait dengan kelembagaan adat yaitu pemerintah adat atau pemerintah negeri. Kita tentu tidak bisa bicara tentang pela tanpa bicara tentang keterlibatan pemerintah negeri. Berbagai pranata tentu terkait pula dengan ritual yang melandasi implementasi fungsi pranata tersebut yang melibatkan masyarakat adat. Hal yang paling sulit bagi kita juga adalah bagaimana meyakinkan generasi muda tentang pranata lokal tradisional yang terlanjur dikatakan kuno dan tidak membawa harapan bagi masa depan, dan kita juga tidak mudah meyakinkan generasi muda bahwa apabila tidak diimplementasikan pranata adat akan pupus identitas kesukubangsaan, sebagai arang Ambon, orang Kei, orang Buru, orang Tanimbar, orang Selatan Daya dalam ruang lingkup identitas sebagai orang Indonesia.
Kalau dikaji secara mendalam berbagai paranata lokal kita tidak kalah bersaing dengan paranata yang ada di darerah lain juga pranata yang dianggap sebagai pranata nasional. Apa bedanya kewang apabila dibandingkan dengan jagawana yang berfungsi untuk menjaga hutan lindung. Fungsi jagawana yang digaji oleh pemerintah hanya terfokus pada hutan lindung akan tetapi kewang jauh lebih besar peranannya, bukan saja menjaga dan melindungi hutan, akan tetapi juga laut, sungai, darat-pesisir.
Dalam hubungan itulah maka perlu dikategorikan berbagai lembaga dan pranata adat yang mendukung keberadaan suatu masyarakat adat yaitu pranata yang dapat menggambarkan identitas komunitas, pranata yang mendukung kesejahteraan masyarakat, pranata yang dapat mengembangkan hubungan-hubungan sosial dan mengembangkan perdamaian dan pranata-pranata-lainnya.
Oleh karena itu maka diperlukan reposisi dan penafsiran kembali pranata adat. Reposisi dilakukan melalui kemauan baik pemerintah melalui peraturan daerah yang dibuat secara besama-sama. Penafsiran kembali dimaksudkan agar pranata adat tersebut dapat menembusi tantangan jaman sehingga tidak dianggap sebagai pranata yang sudah usang produk masa lampau.
Kepustakaan
Effendi Ziwar
1987. Hukum Adat Ambon Lease, PT. Pradya Paramita, Jakarta
Kawi Djantera
2003. Interpretasi dan reposisi terhadap adat dan tradisi, Pra Kongres Kebudayaan Denpasar Bali
Kuntjaraningrat
2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cita Jakarta
Mona Imran
1997. Globalisasi dan Perubahan Budaya, Widya Karya Nasional Antroplogi dan Pembangunan
Mitargo. Bambang
2000. Tinjauan manusia dan nilai budaya, Penerbit Universitas Trisakti Kawi Djantera
2003. Interpretasi dan reposisi terhadap adat dan tradisi, Pra Kongres Kebudayaan Denpasar Bali
Suparlan P.
1997. Paradigma Naturalistik dalam Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif dan Penggunaannya, Antropologi Indonesi
J.W. Ajawaila , Dimensi Tata Kelembagaan Dan Pranata Adat;
(Universitas Pattimura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.