Senin, 23 November 2015

Mamala-Amalatu, Markas VOC Pertama di Ambon




Pendahuluan

Kerajaan Tanah Hitu memiliki hubungan erat dengan barbagai kerajaan Islam di Pulau Jawa seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan Banten, Sunan Giri di Jawa Timur dan Kesultanan Gowa di Makassar seperti dikisahkan oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu, begitu pula hubungan antara sesama kerajaan Islam di Maluku (Al Jazirah Al Muluk; semenanjung raja-raja) seperti Kerajaan Huamual (Seram Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kerajaan Makian.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan kenapa sampai negeri Latu dan Mamala dalam bagian awal buku Hikayat Tanah Hitu-nya Imam Rijali, disebut sebagai pos dari penjajah yang menimbulkan kesan bahwa orang Mamala pada saat itu  membantu penjajah.


Kutipan Hikayat Tanah Hitu

“.........Itulah daripada pihak bendahara. Maka datang kepada kerabat serri sultan daripada bangsya raja:pertama kiyaicili* Cuka, kedua cili Kodrat, ketiga cili Abu Syahid dan keempat cili Kaba, kelima cili Naya, keenam cili Ici dan ketujuh cili Aya, kedualapan baginda cili Ali, tatkala bulum lagi dinaikan kapitan laut, lain daripada itu tiada kusubutkan. Dan daripada pihak hamba raja pertama Kalaudi dan kedua Usman dan ketiga Kabutu Malu dan keempat Sagaluwa*, kelima Sibangua, keenam Ambalau. Lain daripada itu tiada kusubutkan dan sekalian ini termasyhur pendagar. Pun ia utusan, pun ia pergi datang berulang-ulang membawah titah sebagailah, karena pada tatkala itu sangat parang sabil Allah di tanah Ambon. Ada parang di darat, ada parang di laut, ada mennang, ada yang dimennang, ada disarang, ada yang menyarang, sebagailah kedua pihak itu tiada berputusan lagi. Segali perastawa gimelaha Kakasingku* keluar dengan kelengkapannya, maka ia bertemu dengan angkatan Nasrani di tanjung Mamala. Lalu melawanlah kedua angkatan itu daripada waktu duha sehingga datang kepada bakda lohor. Serta dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi sekali-kali dengan kelengkapannya dan mayitnya perdana Kakasingku* pun sabil Allah tiada kettahuan lagi. Kemudian daripada itu dan kuceriterakan, sekalian keluar dengan kelengkapannya mendattangi sebuah negeri, Latu namanya. Maka datang angkatan kafir laknat bantu kepada negeri itu. Maka kedua pihak berparanglah seperti orang bepasarang beramai-ramaian jualbeli. Hatta datang malam masing-masing pulang kepada tempatnya. Apabila datang esok harinya demikian juga, tiada berputusan berkawal-kawal kedua tentara itu. Hatta datang kepada suatu ketika serta dengan kehendak Allah ta`ala kepada pihak Islam itu pergi barjalan ke sini dan orang kawal itu pun serta dengan alpanya ia tidur. Maka dipandang oleh kafir laknat tempat itu sunyi dan kotanya itu pun tiada manusyia, lalu ia masuk. Laknat itu alah kepada kota Islam itu........”

Pembahasan




Belanda tiba di Tanah Hitu pada tahun 1599 dan kemudian mendirikan kongsi dagang bernama VOC pada tahun 1601. VOC mendirikan pos di Mamala, di pantai utara pulau Ambon, pada awal 1601. Kota ini membuat tembikar, dan bersama-sama dengan Hitulama adalah salah satu pusat perdagangan yang paling aktif di wilayah Hitu di semenanjung utara Ambon. Mamala bukanlah sebuah bandar, tetapi memainkan peran cukup penting, perhatian bangsa Portugis maupun Belanda terhadap negeri ini  karena pemimpinnya kala itu memilik pengaruh yang begitu besar, dalam dokumen lain Kesultanan Ternate Bayan Sirullah pernah mengirim utusan menemui pengusaha (orangtua / kepala suku) negeri ini. Di akhir abad ke-15 yang menandai babak baru, dengan nama baru dari Latu menjadi  mala mala (Mamala) sekarang. (Lihat: Misteri Asal Nama Mamala untuk Negeri Latu). Untuk yang satu ini memang ada beberapa perbedaan, tetapi tak masalah, tinggal bagaimana menyatukannya. Di awal kedatangan Portugis pun Mamala sebagai tempat pertama Loji (tempat beli hasil rempah) catatan Francois Valentijn. (Lihat: Kekalahan Mengerikan di Tanah Hitu)

Saat itu untuk urusan perdagangan terdapat seorang tokoh dengan gelar Kapitan Hitu.  Menurut Richard  Z. Leirissa, jabatan ini adalah ciptaan Portugis untuk melancarkan hubungan perdagangannya dengan kerajaan Tanah hitu, Kapitan Tanah Hitu pertama adalah Perdana Nusatapi (Jamilu)(Lihat: Hubungan Cerita Sejarah Tanah Hitu di Ambon dengan Ternate, bagian dua), sedangkan Kapitan Tanah Hitu yang terakhir yang dijumpai oleh orang-orang Belanda pada tahun 1601 adalah Tepil putra Abubakar Nasediki (Healatu)  yang  memegang  jabatan  tersebut  sampai  tahun 1633, .sejak itulah terjadi perlawanan antara Belanda dengan Kerjaan Tanah Hitu, karena mendirikan monopoli dagang tersebut. Setelah itu terjadi pemberontakan rakyat Tanah Hitu melawan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Tanahitu I / Perang Wawani (1634-1643) dan Perang Tanahitu II / Perang Kapahaha (1643/1646) yang menyebabkan dibubarkannya pemerintahan Empat Perdana (Upu Hata) oleh Gerard Demmer. 

Kakiali adalah putera Kapitan Hitu Tepil yang ketiga setelah Raja Negeri Mamala yang bernama Halaene (putera kedua Kapitan Hitu Tepil). Kapitan Kakiali bergelar “Kapitan Hitu” dan berketurunan dari Perdana Jamilu (Nusapati) adalah seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Kakiali terkenal sebagai pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 – 1643 melawan penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli perdagangan dan “hongi tochten” pada zaman VOC sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu). Karena itu rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Kakiali.

Simpulan

Saat mempelajari sejarah anda akan menemukan beberapa versi, dan saat anda menggabungkan versi itu, anda akan menemukan sejarah yang sebenarnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.