By Hayat Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam
Malang Jl. MT. Haryono, 193 Malang
Hunafa: Jurnal Studia Islam, Vol. 10, No. 2, Desember 2013: 268-292
Pendahuluan
Konflik sebagai suatu teori
dalam ilmu pengetahuan, membentuk sebuah paradigma baru kehidupan masyarakat
yang mencerminkan adanya sebuah pertentangan atau perbedaan dengan berbagai
persepsi dan pemahaman terhadap suatu tujuan yang diharapkan. Masyarakat
sebagai lembaga sosial tidak terlepas dari benturan-benturan kepentingan yang
menimbulkan pelbagai kesalahpahaman dalam berinteraksi, konflik selalu
mengiringi kehidupan masyarakat secara universal. Bentuk konflik menjadi sebuah
pendewasan untuk berpikir kritis dan peka terhadap keadaan dengan konsep
pemikiran yang lebih fleksibel dan akuntabel. Keberadaan konflik ditimbulkan
oleh berbagai aliansi yang ada didalamnya, sehingga tidak hanya kepada tataran
psikologi dan fisik, akan tetapi konflik juga merambah kepada tatanan kehidupan
masyarakat yang sulit terkendali, bahkan konflik agama menjadi pemicu dari
gesekan itu sendiri, dengan budaya dendam terhadap konflik menjadi suatu
kebiasaan dalam masyarakat modern saat ini.
Konsep Penanganan Konflik |
Penanganan konflik dalam
status sosial masyarakat membutuhkan suatu pola yang berbeda dan berimbang
sesuai dengan budaya lokal masyarakat yang ada. Hukum islam memberikan sebuah
persepsi dalam konflik, dalam hal ini adalah sebuah perbedaan yang memang
menjadi katagori normal dalam kajian hukum islam. Perbedaan dalam bermasyarakat
menjadi indah jika dilakukan secara islami dengan tidak mengedapankan sebuah
egoisme masyarakat. Alquran dan Hadis memberikan pedoman hukum secara islami
sebagai sebuah isyarat dalam penanganan konflik kemasyarakatan. Hukum islam
memberikan pandangan yang bijak dalam mengendalikan kehidupan masyarakat hingga
saat ini sampai pada akhir zaman kelak. Setiap permasalahan dalam kehidupan
tentunya ada faktor-faktor yang mempengaruhi sebagai kolaborasi kehidupan
manusia yang saling berhubungan satu sama lain dengan berbagai kepentingan dan
tujuannya, sehingga konflik didalam kehidupan masyarakat menjadi suatu bagian
yang melekat. Ketentuan itu merupakan sebuah takdir dalam persfektif hukum
islam untuk mengajarkan manusia bagaimana menyelesaikannya dengan pendewasaan
secara islami sesuai dengan konsep yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis sebagai
pedoman utama untuk menapaki jalan kehidupan yang lebih baik pada hari
akhirat kelak.
Pembahasan
Paradigma Konflik dalalm Teori Ilmu Sosial
Konflik merupakan sebuah dogma
masyarakat terhadap struktural fungsional yang semakin luas dengan pelbagai
perbedaan secara substantif dari perubahan dan perkembagan masyarakat1.
Keberadaan konflik memberikan ruang kepada seluruh lapisan masyarakat untuk
sadar dan mengerti makna dari bermasyarakat, terutama dalam konsep masyarakat
modern saat ini, situasi konflik bisa saja terjadi dimana saja, tanpa mengenal
ruang dan waktu sesuai dengan keberadaan perbedaan itu sendiri, baik terhadap
individu dengan individu, atau individu dengan kelompok atau kelompok dengan
kelompok. Kelahirannya ditimbulkan oleh suatu paradigma yang melekat dalam
masyarakat bahwa eksistensi individu atau kelompok mempunyai peran lahirnya
konflik, terutama dalam mempertahankan keberadaan kelompok tertentu untuk
menguasai dan menjadikan kelompok lain untuk dikuasai.
Pandangan dalam menyikapi
konflik yang berkaitan dengan perbedaan indentitas menurut sudut pandang
kelompok ahli2, yaitu: Pertama
, pandangan primordialis .
Perbedaan-perbedaan genetika seperti suku, ras, dan agama menjadi sumber utama
dari sebuah gesekan-gesekan antar kelompok genetik yang mempunyai tujuan-tujuan
yang diharapkan dengan kepentingan-kepentingan yang ada didalamnya, sehingga
pada akhirnya terjadi sebuah benturan-benturan yang tidak dapat dihindarkan
dengan keinginan untuk tetap eksis dalam diri kelompok itu sendiri.
Persfektifnya adalah ketika suatu kelompok merasa dirugikan oleh kelompok lain,
maka hal itu menjadi penentu terjadinya sebuah konflik, beberap kasus yang
terjadi diberbagai daerah yang sampai hari ini masih menjadi pergulatan antar
kelompok yang berkonflik. Konflik memang tidak melihat secara realistis, bahwa
setiap sesuatu yang bertentangan dengan keberadan lingkungannya yang sudah
menjadi nilai-nilai kehidupan.
"pandangan primordialis . Perbedaan-perbedaan genetika seperti suku, ras, dan agama menjadi sumber utama dari sebuah gesekan-gesekan antar kelompok genetik yang mempunyai tujuan-tujuan yang diharapkan dengan kepentingan-kepentingan yang ada didalamnya, sehingga pada akhirnya terjadi sebuah benturan-benturan yang tidak dapat dihindarkan dengan keinginan untuk tetap eksis dalam diri kelompok itu sendiri. Persfektifnya adalah ketika suatu kelompok merasa dirugikan oleh kelompok lain, maka hal itu menjadi penentu terjadinya sebuah konflik"
Kedua, pandangan kaum
instrumentalis. Suku, agama dan identitas lainnya merupakan sebuah media untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, secara material maupun non-material, sehingga
segala bentuk keinginan dan tujuan baik individu atau kelompok dalam hal ini
merupakan sebuah keharusan untuk menjadikan diskursus yang terus dikembangkan
dan ditingkatkan sebagai pemenuhan terhadap capaian yang diharapkan. Oleh
karena itu, ketika kelompok dengan tujuan yang diinginkan, maka gesekan dari
setiap keinginan kelompok itu menjadi sebuah kewajiban yang harus terus
dilakukan. Persinggungannya adalah jika beberapa kelompok dengan tujuan yang berbeda sesuai dengan capaiannya, maka konflik tidak dapat terhindarkan
jika capaian itu tidak sesuai dengan harapan, dan menyalahkan kelompok lain
sebagai penghambat dari tujuan kelompoknya.
Ketiga, kaum konstruktivis,
yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, etnisitas bagi kelompok ini dapat diolah
hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Kelompok ini berpandangan
bahwa semua kelompok etnis dalalm suatu masyarakat adalah sebagai konektivitas
untuk mencapai tujuan secara bersama dengan konsep jaringan yang dibangun
dengan system kerjasama yang saling menguntungkan satu sama lain, serta saling
membutuhkan dalam berbagai kegiatan. Sehingga capaian tujuan dari suatu
kelompok akan membantu tujuan dari kelompok yang lainnya.
Narwoko, mengungkapkan bahwa
konflik antara individu menjadi bagian terpenting dalam ketentraman sosial
kemasyarakatan yang rentan terjadi dipelbagai kalangan masyarakat, terutama
dalam strata sosialnya, antar kelas atas dan kelas bawah. Hal itu dipicu oleh
paradigma yang ada, sehingga perbandingan terhadap status sosial tidak
terhindarkan yakni generalized cultural berupa
otoritas dan pengetahuan kelas atas yang lebih tinggi dan particularized
cultural . Sedangkan konflik peran timbul apabila seseorang harus
memilih peranan dari dua atau lebih status yang dimilikinya. Konflik peranan
timbul, ketika seseorang merasa tertekan dengan peran yang dimiliknya, dengan
persepsi bahwa peran yang disandangnya tidak sesuai dengan status yang
dimilikinya, sehingga dalam perjalan peran itu menjadi bagian dari konflik yang
menyertainya sebagai konskuensi hirarki dari paradigma yang ada. Akibatnya, ia
tidak melaksanakan peranannya dengan ideal. Konflik dalam satu peran, yaitu
suatu konflik yang terjadi karena seorang individu dalam waktu yang sama harus
melakukan peranan yang berbeda3
Rahayuningiyas dan Sudrajat4
dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa Collins melalui pendekatan konflik
terhadap stratifikasi dapat diturunkan menjadi tiga prinsip. Pertama, bahwa
orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri. Prinsip ini
menunjukkan bahwa kehidupan manusia dalam menentukan arah hidupnya ditentukan
oleh subyektifitas tujuan hidup yang dibangun melalui perilaku dan tingkah lau
serta kebiasaan-kebiasaan yang memberikan eksistensi untuk melegitimasi bahwa
kehidupannya dibentuk oleh dirinya sendiri, sehingga penguasaan terhadap
kepemilikan yang dimilikinya menjadi keharusan untuk dipertahankan dengan
segala macam konflik yang menghantui disekitarnya, artinya bahwa, stratifikasi
sosial dalam prinsip ini membangun sebuah pola internalisasi sosial
kemasyarakatan yang berkaitan langsung dengan individualisme diri manusia itu
sendiri, orang lain tidak mempunyai hak untuk mengganggunya dengan cara apapun.
Kekuasaan misalnya yang melekat terhadap pembangunan individu ini, cenderung
tidak mengindahkan konsep interaksi hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Ketika ada ketidaknyamanan dengan kepemilikan dirinya, baik yang diakibatkan
oleh diri sendiri atau oleh orang lain, maka konflik individu tidak dapat
dihindari, sehingga penyelesaiannya perlu diselesaikan secara individu untuk
memastikan positif dan negatifnya suatu konflik.
Kedua, orang lain mempunyai
kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang
individu. Dalam kaidah sosisologi, antara masyarakat individu dan masyarakat
lainnya mempunyai hubungan desentralisasi dalam ruang masyarakat sebagai
konsepsi masyarakat. Masyarakat merupakan sekelompok orang yang berada dalam
suatu wilayah untuk menjaga, mengamankan dan membantu antara masyarakat
yang membutuhkan dengan interaksi dan budaya serta nilai-nilai didalam norma masyarakat yang berlaku. Kehidupan masyarakat mempunyai tujuan hidup
kemasyarakatan yang saling berpengaruh dan mengontrol antara masyarakat yang
satu dengan yang lainnya sebagai upaya perbaikan dan perubahan yang
sedang dan akan dialami untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang lebih
baik. Kontrol terhadap masyarakat yang lain berpotensi adanya konflik
dari persfektif stratifikasi sosial, dengan paradigma yang dibangun terhadap
urusan orang lain yang mengakibatkan kepada hal yang negatif ketika seseorang membicarakan orang lain, dengan latar belakang fitnah
yang biasa berkembang di masyarakat terhadap pembicaraan yang
dilakukan membuat orang lain tidak nyaman, karena fakor yang
mempengaruhinya. Hal ini berdampak adanya konflik diantara individu yang mengontrol kehidupan orang lain dalam persfektif apapun dan dengan cara apapun.
Ketiga, orang lain sering
mencoba mengontrol orang yang menentang mereka, akibatnya adalah kemungkinan
terjadinya konflik individu. Kebiasaan-kebiasaan sebagai kodrat manusia
yang mempunyai nilai buruk dan baik dalam kehidupannya menjadi sebuah
pertentangan dalam penilaian terhadap orang yang melakukan pertentangan
terhadap kekuasaan yang dibangun oleh individu. Membicarakan dan mengkritisi
penguasa dalam konsep pemahaman untuk memperbaiki sistemnya, menjadikan sebagai
indikator konflik antara idividu. Hal itu akan kembali kepada niat dan tatacara
bagaimana individu mengelola pola ketidaksepahaman dalam penerapan
interaksinya, sehingga jika konspirasi yang dibangun adalah untuk
mematahkan dan melemahkan individu yang lain, maka konflik akan berada
ditengah-tengahnya sebagai konskuensi dalam pertentantangannya.
Strategi
Penyelesain Konflik; Sebuah Konsepsi Sebagai Solusi
Lederach secara konstruktif
sosial konflik diasumsikan sebagai berikut5 :
(1) konflik sosial dipahami
sebagai hal yang alamiah. Keberadaan konflik ditimbulkan oleh lingkungan alam
disekitarnya, dengan berbagai situasi dan keadaan yang muncul dipengaruhi oleh
sekelilingnya; (2) konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan
secara sosial. Perubahan sosial tidak dapat dihindari dengan kondisi zaman yang
menuntutnya, secara konstruktif sosial menjadi sebuah pertentangan terhadap budaya yang ada, sehingga budaya baru yang masuk dalam sebuah konstruksi budaya lama bisa menjadi indikator munculnya sebuah
konflik; (3) konflik muncul melalui proses interaktif yang berlandaskan kepada
penciptaan dan pencarian tujuan. Tujuan sebagai capaian dari setiap individu
atau kelompok menjadi sesuatu yang harus
dicapai. Hambatan dalam capaian tujuan sebagai pertentangan dalam diri
individu atau kelompok yang berpengaruh terhadap adanya konflik, baik terhadap
individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan
kelompok; (4) proses interaktif disempurnakan melalui persepsi manusia. Setiap
manusia mempunyai pemaknaan tersendiri dari berbagai interaksi yang dibangun
didalamnya, perbedaan persepsi dengan yang terjadi terhadap persepsi orang lain
merupakan bagian dari timbulnya sebuah konflik; (5) pemaknaan muncul dalam diri
manusia sebagai masyarakat sosial dengan berbagai tujuan hidupnya dalam
kelompok masyarakatnya; (6) kebudayaan yang berakar dari pengetahuan untuk
merasakan, menafsirkan, mengekspresikan, dan merespons realitas sosial. Sebagai suatu budaya lokal yang terus membutuhkan perubahan dalam kehidupan manusia dari
berbagai pengetahuan yang dimilikinya dalam memahami secara universal
terhadap situasi dan ekspresi yang berkelanjutan; (7) pemahaman hubungan konflik sosial dan budaya terhadap ilmu pengetahuan
secara umum.
John Burton dalam Muqayyiddin7
, mengatakan bahwa konflik bukanlah watak manusia, akan tetapi sebagai
sebuah karakter yang melekat dalam diri manusia sebagai kodrat yang harus
dipahami secara universal dan menyeluruh. Konflik diterjemahkan sebagai ketidak
terpenuhinya kebutuhan manusia dalam struktur sosial ekonomi sebagai kebutuhan
dasar yang melahirkan keberadaan konflik dalam kehidupan sosial masyarakat.
John Burton, menambahkan bahwa kebutuhan dasar manusia itu dibagi kedalam dua
prinsip. Pertama, Ontological need. Kebutuhan
rasa aman yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Secara
hirarki manusia menginginkan sebuah kehidupan yang tentram, bahagia, selamat
dalam menjalankan proses kehidupan serta aman dalam menjalankan segala
aktifitasnya. Kebutuhan aman sebagai dasar kebutuhan manusia mempunyai
implikasi yang sangat kuat terhadap psikologi manusia dalam bersosialisasi dan
bermasyarakat, dengan rasa aman yang dimilikinya menjadi titik tolak dari
sebuah kehidupan yang nyaman dan sentosa. Ketika rasa aman individu atau
kelompok terganggu oleh orang lain atau kelompok lain, maka konflik tidak dapat
dihindarkan dengan variasi teknis yang ada didalamnya, karena
ketidakamanan menimbulkan sebuah impact ketidaknyamanan dalam
kelompok atau individu tersebut.
Kedua, subjective psicological need. Kebutuhan pengakuan akan eksistensi
hidup manusia. Kebutuhan ini tergantung kepada setiap individu atau kelompok
dalam merefleksikan dirinya sebagai manusia yang utuh dengan kemampuan dan
kelebihan yang dimilikinya, implikasinya kepada sebuah eksistensi
sebagai keharusan yang dipertahankan dan
dieksplorasi untuk penguatan dirinya dengan pengakuan yang diberikannya.
Eksitensinya bermuara dari rasa dan jiwa yang berada didalamnya untuk diterima
dengan berbagai konsepsi yang melekat, sehingga mempertahankan sebuah eksistensi dalam kehidupan sosial masyarakat
menjadi suatu kebutuhan yang harus dikembangkan. Setiap manusia lebih
suka membicarakan keberadaan dan kelebihan didalam dirinya untuk selalu
diungkap dan dipublikasi. Sebagai bahan dasar dalam sebuah kehidupan,
eksistensi menjadi sebuah indicator adanya konflik, baik dalam diri individu
atau kelompok yang mempunyai pengaruh didalamnya. Ketika eksistensi itu merasa
tidak teraplikasikan dalam prosesnya, tentunya konflik melekat dalam
ketidakberadaan sebuah kelompok atau individu yang eksis, ketidaksepahaman
terhadap keberadaannya menimbulkan efek negative yagn merugikan satu sama lain
karena pengakuan yang tidak dikuatkan oleh prinsip penerimaan terhadap
keberadaannya.
Den G. Pruit dan Jeffry Z.
Rubbin8 , mengungkapkan bahwa strategi terhadap adanya konflik dari
pihak-pihak yang berkonflik. Pertama, contending (bertanding).
Sebagai bentuk penyelesaian konflik yang dialami oleh pihak yang
berkonflik, langkah contending menjadi bagian yang dapat menyelesaikan
keberadaan konflik. Confending adalah penyelesaian konflik dengan cara bertanding
atau bertengkar untuk memperebutkan apa yang menjadi konflik, artinya bahwa,
perbedaan yang terjadi dalam pihak-pihak yang berkonflik mempunyai peluang
menang atau kalah, hal ini merupakan sebuah konsep yang realistis terjadi di
berbagai aspek kehidupan masyarkaat sosial. Ketika pertengkaran sudah usai,
maka sudah bisa dipastikan konflik dengan
sendiri terselesaikan, hanya saja, dalam konsep penyelesaian konflik dengan
cara confending ini akan menimbulkan sebuah konflik-konflik baru yang
mengikutinya, dengan kata lain, aspek dendam dan balas dendam dalam strategi
ini menjadi konflik semakin besar.
Kedua, yielding (mengalah). Perbedaan dalam sosial
kemasyarakat menjadi semakin khas dalam kehidupan, semakin tinggi nilai
konsumtif masyarakat, keberadaan konflik semakin tinggi pula. mengalah
merupakan bagian solusi dari strategi pihak-pihak yang berkonflik. Hal ini
merupakan bagian yang mengisyaratkan, bahwa mengalah bukan berarti kalah.
Artinya, setiap perbuatan mengalah adalah untuk menghindari konskuensi dari
perbedaan yang terus diperdebatkan dalam suatu persoalan. mengalah sebagai
solusi alternatif dari konflik yang ada, sekalipun kualitas dalam
penyelesaiannya kurang berkualitas, karena keselarasan dari mengalah tidak
bertumpu kepada kesepahaman, namun hanya berprinsip kepada keinginan untuk
tidak memperpanjang dan memperlebar ruang lingkup dampak yang akan terjadi.
Mengalah tidak hanya bermakna sempit, dengan tidak membiarkan lawan konflik
melakukan semena-mena, akan tetapi memberikan ruang yang lebih besar kepada
pihak lain untuk mendapatkan tujuannya.
Ketiga, problem solving (pemecahan
masalah). Setiap jalan pasti ada ujungnya, setiap keinginan pasti ada
tujuannya, setiap tujuan pasti ada arahnya, dan setiap arah pasti ada
petunjuknya, dan setiap masalah pasti ada pemecahan atau solusinya. Kaidah
problem solving memberikan gambaran terhadap berbagai persoalan
yang dihadapi adalah bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
manusia yang saling membutuhkan dengan tujuan masing-masing sesuai dengan
harapan dan keinginannya. Konsep konflik memberikan pembelajaran bagi seluruh
manusia untuk bersikap adil, bijaksana, dewasa, dan bertatakrama, termasuk
dalam hal konflik yang dialami, hendaknya dilakukan penyelesaian secara
bijaksana. Dalam hal ini, strategi penyelesaian dengan problem solving memberikan
ruang untuk berkomunikasi antara pihak yang berkonflik dengan mencari sumber
masalah yang dihadapi secara bersama, tentu hal ini dibutuhkan pihak ketiga
dalam perundingannya. Kemudian, dicarikan alternatif pemecahan dengan berbagai
pertimbangan dengan penjelasan terhadap problematika yang dihadapi dengan
melihat aspek kelemahan dan kekuatan dalam pemecahannya serta aspek saling
menerima dari solusi yang ditawarkan. Komunikasi menjadi bagian terpenting
dalam penyelesaian konflik dengan problem solving ini,
baiknya komunikasi yang dilakukan oleh pihak ketiga akan berdampak positif
terhadap penyelesaiannya, sehingga dapat diterima oleh semua pihak dengan
penyelesaian secara kualitas dan proporsionalitas.
"Komunikasi menjadi bagian terpenting dalam penyelesaian konflik dengan problem solving ini, baiknya komunikasi yang dilakukan oleh pihak ketiga akan berdampak positif terhadap penyelesaiannya, sehingga dapat diterima oleh semua pihak dengan penyelesaian secara kualitas dan proporsionalitas"
Keempat, with drawing (menarik diri). Konflik terjadi karena
ketidaksepahaman antar individu atau kelompok yang berakibat terjadinya bentrok
psikis atau fisik dengan berbagai pola. Menarik diri merupakan bagian dari
solusi pemecahan konflik yang ada dengan menghindari keberadaan konflik dari
situasi yang ada, artinya meninggalkan keberadaan konflik yang terjadi agar
tidak terjadi sebuah konflik yang lebih besar. Prinsip ini dilakukan untuk memberikan
pelajaran dengan tidak menghiraukan keberadaan sebuah konflik terhadap individu
yang mengakibatkan keberadaan konflik tersebut, sehingga dengan tidak
dihiraukannya indikator konflik dengan pergi dari keberadaannya, dengan
sendirinya individu yang membuat konflik akan sadar dengan sendirinya, bahwa
individu yang dikonflikan tidak mengindahkannya.
Kelima, incation (diam). Tidak melakukan sesuatu apapun dalam keadaan
konflik mungkin lebih baik untuk menghindari sumber-sumber konflik yang lebih
fatal. problem
solving bagian terpenting dari strategi penyelesaian konflik didalam
ranah diam dalam konflik. Diam bagian yang biasa dilakukan oleh individu atau
kelompok dalam penyelesaian suatu konflik yang ada, dengan diam, maka ada
faktor lain yang mempengaruhi suatu konflik untuk diselesaikan, ketika individu
yang sedang berkonflik diam, maka disitu muncul sebuah strategi problem
solving dengan memberikan pandangan secara konkrit tentang
problematika yang dihadapi untuk diselesaikan secara bersama dengan pikiran
yang jernih dan komunikasi yang baik, sehingga ada pencapaian yang diharapkan
berasama dan konsistensi dari sebuah keinginan untuk tidak menimbulkan sebuah
neraca konflik dikemudian hari.
Pemahaman konflik dengan
menggunakan kerangka teori konflik fungsional dan teori perilaku dapat menjadi
dasar dalam memberi kerangka penyelesaian konflik. Mengikuti pandangan Burton
(1990) dalam Kolopaking, dkk9 . Bahwa penyelesaian konflik dapat
dilakukan dalam 3 (tiga) bentuk berbeda. Pertama, melalui manajemen untuk
menemukan alternatif jalan keluar sebuah perselisihan (by alternative dispute
resolution) agar dapat menampung atau
membatasi konflik. Manajemen konflik perlu dilakukan dalam pembatasan konflik
yang lebih luas, artinya bahwa keberadaan konflik dalam masyarakat perlu
dimanajemen dengan baik, sehingga tidak melebar kepada konflik yang lainnya.
mencari alternatif solusi terhadap keberadaan konflik menjadi bagian
pemecahannya, sehingga alternatif itu menjadi sebuah kesadaran yang harus
dilakukan bersama-sama antara pihak yang berkonflik dengan consensus memandang
secara positif. Manajemen konflik dilakukan untuk memberikan ruang penyelesaian
secara konsepsi dan prinsip dasar konflik yang ada, sehingga tatanan yang sudah
ada menjadi bagian terpenting dalam pengelolaan konflik itu sendiri. Jika
konflik dimanajemen dengan baik dengan tatanan masyarakat yang ada dan
kesadaran bersama dengan berbagai konskuensi yang akan dialami, maka konflik
akan reda dengan melakukan sebuah introspeksi diri dari pihak-pihak terkait.
Oleh Karena itu perlu diadakan sebuah interaksi secara sadar
tentang sesuatu yang menjadi sumber konflik dengan pola yang realistis dan
rasional.
Kedua , adalah
penyelesaian konflik (settlement) dengan menggunakan proses yang bersandar pada
wewenang dan hukum yang dapat dipaksakan oleh kelompok elit. Pertikaian
dalam masyarakat sebagai sekelompok orang yang dikuasai dan menguasai menjadi
bagian terpenting dari penguasa untuk melerai terjadinya konflik. Penguasa
sebagai yang menguasai mempunyai peran penting dalam penyelesaian konflik yang
berada didaearah kekuasaannya. Penyelesaian konflik seperti ini membutuhkan
konsep pemikiran dari para elit penguasa dalam pemecahannya, sehingga
keberadaan penguasa menjadi sentralistik dengan memberikan solusi-solusi
alternatif terhadap konflik yang ada. Hal ini dilakukan dengan konsep-konsep
hukum yang melekat dalam tatanan masyarakat itu sendiri, baik secara
hukum nasional, agama, maupun hukum adat. Penyelesaian konflik secara hirarki
lebih elok jika dikelola dengan penekanan terhadap hukum yang berlaku, karena
didalam sebuah hukum yang melingkupinya ada sebuah sanksi yang memaksa
seseorang untuk mentaati berbagai ketentuan hukum, karena apapun bentuk konflik
yang ada merupakan sebuah konsorium negatif dalam kehidupan masyarakat dan
menjadi pertentangan dalam hukum kemasyarakatan.
Ketiga adalah
melakukan resolusi konflik. Sumber konflik menjadi pertimbangan-pertimbangan
dalam penyelesaian dengan analisis rasioanal empiris dalam pengelolaannya,
pertimbangan-pertimbangan itu melihat dari individu dan kelompok masyarakat
yang berkonflik, misalnya indentitas, kelompok, pengakuan, dan pelbagai
perubahan untuk memenuhi kebutuhannya. Resolusi konflik menjadi bagian
terpenting dalam penyelesaian konflik yang beskala besar, namun tidak
menutup kemungkinan bagi konflik antar individu. penyelesaian dengan mencari
sumber konflik dengan menganalisi indikator-indikator konflik yang ada,
kemudian dipecahkan dengan konsep-konsep pemikiran yang realistis dan independensi
merupakan sebuah langkah konkrit dalam
pemahamannya, sehingga ketika sumber konflik sudah ditemukan, maka
solusi yang diharapkan juga dapat dihadirkan dengan persepsi bahwa solusi itu
yang terbaik dalam penanganannya. konsepsi ini memberikan pemikiran secara ilmiah dengan berbagai konsekuensi yang dihadapi,
akan tetapi ini menjadi lebih baik untuk tidak
mengulang konflik yang ada.
Interkoneksi
Hukum Islam Terhadap Teori Konflik
Arkoun dalam Syaukani10 mengatakan bahwa pembentukan hukum islam dalam
asas teori tertinggi (
asâs al-siyâdah al-‘ulyâ)
dapat diklasifikasikan pada empat persoalan. Pertama, wewenang agama. Agama
sebagai pondasi dasar umat islam mempunyai resolusi yang sangat kental dengan
sakralisasi kehidupan manusia, sebagai pandangan dan peta tujuan manusia dalam
mengaplikasikan konsep-konsep yang telah diwahyukan oleh Allah. swt. kepada
hamba-Nya dengan berbagai anjuran dan larangan yang harus diimplementasikan
dalalm kehidupan sosialnya sebagai paradigma yang melekat dan membentuk
karakter manusia menjadi lebih baik. Secara prinsip agama adalah berasal dari
dua kata yang terpisah, yaitu “a” bemakna tidak, dan “gama” mempunyai arti
kacau. Artinya bahwa, agama adalah tidak menjadikan kacau dalam kehidupan
ummatnya, agama menjadi panduan hidup dan pedoman kehidupan untuk berlaku baik,
bijaksana, tolong menolong, kejujuran, dan prinsip-prinsip kebaikan yang
diajarkan didalamnya11. Agama tidak hanya menjadi simbol
disposisi kehidupan sebagai tanda bahwa manusia itu beragama dengan
kepentingan-kepentingan jiwa yang melekat dalam dirinya. Agama harus
diaplikasikan dalam kehidupannya dengan konsekuensi mematuhi segala ketentuan
hukum yang mengatur didalamnya dengan cara “iqra’”. Membaca dalam prinsip ‘iqra’ bukan dimaknai
hanya membaca terhadap keberadaan agamanya, akan tetapi membaca, mempunyai
persepsi yang sangat luas dengan mengetahui, memikirkan, memahami, meneliti,
dan mengaplikasi dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat pemahaman
dan pengaplikasiannya, sehingga konektivitas jiwa dalam pergulatan agama
menjadi lebih erat kaitannya dengan keberadaan Tuhannya yang memberikan hukum
bagi umat beragama.
Kedua, posisi al-Qur’an
sebagai sumber eksplisit norma-norma yang didasari oleh wewenang Ilahi. Alquran
merupakan kitab suci yang disakralkan dalam perkembangannya sebagai sebuah
ajaran yang menjadi hukum bagi umat islam. Alquran menjadi bagian terpenting
dalam kehidupan umat islam sebagai pedoman dan tuntutan hidup keagamaan dengan
segala perintah dan larangan-Nya, sebagai dasar dalam memberikan solusi setiap
problematika kehidupan, sebagai obat dalam kesakitan, sebagai penenang dalam
kekacauan, sebagai pondasi dalam tatanan sosial umat manusia, sebagai hakim
dalam perilaku manusia, sebagai tempat berteduh ketika kepanasan, sebagai
payung disaat hujan, dan kemanfaatan lain yang ada dalalm kehidupan manusia.
Disadari atau tidak, segala tuntutan hidup manusia dijelaskan dalam kitabullah
sebagai wewenang Allah dalam mengajarkan kebaikan dan ketaatan manusia
kepada-Nya. Allah sebagai pencipta manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi
menjadi sebuah keharusan atas anugerah yang telah diberikan dengan rahmat dan
rahim bagi seluruh ummat manusia agar berpegang kepada prinsip-prinsip ajaran
Al-Quran. Tonggak sejarah Alquran memberikan eksplorasi manusia dalam
mengahadapi segala tantangan zaman dengan berbagai konsepsi yang berada
didalam-Nya. Kewenangan Allah dalam Alquran mengantarkan kepada suatu kebaikan
dalam mengetahui aspek-aspek cipataan-Nya sebagai kemanfaatan bagi manusia
secara universal.
Ketiga, sunnah dan wewenang Nabi.
Alquran memberikan penjelasan secara obyektif dengan konsep substansi pemahaman
yang tidak menjelaskan ketentuan teknis. Hadis menjadi bagian teknisi dari
Alquran yang mempunyai integrasi yang sangat tinggi dalam memahami makna
substansi Al-Quran. Hadis sebagai sunnah Rasulullah dari segala aspek kehidupan
yang dilatarbelakangi oleh Al-Quran, menggambarkan secara ekperimental tentang
makna kehidupan yang diajarkan oleh Alquran sebagai wewenang Nabi dalam
mengajarkan, menjelaskan dan mengarahkan umat manusia untuk bersikap dan
bersifat eksplisit dalam mengamalkan komponen-komponen Alquran sebagai pedoman
hidup. Sunnah memberikan ruang bagi umat untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang
tidak dijelaskan secara jelas oleh Alquran sebagai tuntutan manusia dalam
menghadapi segala zaman yang semakin kompleks terhadap problematika kehidupan
yang semakin luas. As-Sunnah menjadi pendamping Alquran dalam pengamalan
terhadap nilai-nilai islam secara kaffah dan professional terhadap seluruh
elemen manusia yang memberikan pengertian tentang substansi Alquran secara
menyeluruh dan konseptual. Pandangan sunnah adalah segala bentuk perbuatan yang
dilakukan oleh Rasulullah dengan segala wewenang yang dimiliki-Nya dan kearifan
yang diajarkan untuk mengantarkan hambanya menjadi manusia yang insan kamil
dengan janji Allah dalam Al-Qurannya yaitu di hari akhirat kelak sebagai reward yang diterimanya yaitu
surga dengan kehidupan yang kekal didalamnya. Sunnah menjadi bagian hukum dalam
islam sebagai pedoman kedua setelah Al-Quran, yang mengajarkan manusia
untuk mematuhi segala ketentuan yang ada didalamnya dengan tidak
menghilangkan nilai-nilai qurani. Sunnah memberikan penjelasan hukum tentang
peraturan-peraturan yang ada didalam Alquran sebagai pijakan keselamatan dan
kesadaran bagi manusia untuk berbuat sesuai dengan tuntutan ajaran islam.
Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari tuntutan Alquran sebagai pedoman dasar
manusia, dan sunnah adalah penyeimbang kehidupan dengan ketentuan-ketentuan pada
zamannya.
Keempat, prosedur pengembangan
oleh manusia dan kepatuhan kepada wewenang meliputi ijmâ` (konsensus umat), ijtihad dan cara-cara
pokoknya: qiyâs, istihsân, ikhtilâf (divergensi).
Kehidupan manusia mengalami berbagai perubahan-perubahan yang meliputi
zamannya, dengan kata lain setiap manusia mempunyai zamannya masing-masing
sesuai dengan perubahana yang ada. Perubahan zaman tidak bisa dilepaskan dari
masing-masing peran manusia dalam kehidupannya, dari perubahan secara
revoluioner, evolusioner dan reforamasi hingga transisi manusia dalam berbagai
perilaku kehidupan yang melekat pada masanya. Tuntutan hukum islam yang semakin
kompleks dalam berbagai perkembangan kehidupan manusia memberikan arahan yang compatible dalam mematuhi segala bentuk
hukum keimanan. Ada beberapa ketentuan hukum dalam islam yang tidak dijelaskan
secara implisit terhadap pola kehidupan yang ada, hal ini memberikan wewenang
terhadap pengemban amanah Rasulullah dalam memberikan arahan dan penjelasan
tentang makna hukum islam yang kurang dipahami sebagai suatu konsensus
realistis kehidupan. Ijma’, qiyas, ikhtihsan, ikhtilaf (devegerasi) sebagai
panduan keempat dalam menuntun hukum islam sebagai ikhtiar kebaikan dalam
keadaan zaman yang menginginkan suatu hukum yang jelas dengan segala
wewenangnya. Hal ini menunjukkan adanya campur tangan suatu nalar yang bergerak
dalam korpus yang terbatas (al-Qur’an dan hadits) diarahkan pada pemahaman yang
transendental (Ilâhîyah)
Hukum islam mempunyai beberapa
prinsip dalam penerapannya, antara Fiqih dan Syari’ah merupakan dua hukum
yang tidak dapat dipisahkan dalam hukum Islam. Najitamah12, mengungkapkan
bahwa perbedaannya adalah seperti yang disampaikan oleh Abu Ameenah dengan tiga
perbedaan, yaitu:
Pertama, Syari’ah merupakan hukum yang diwahyukan
Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunah. Sebagai pedoman dan
prinsip umat islam dalam perjalan hidup didunia ini, Alquran dan Sunnah menjadi
tuntunan yang diaplikasikan dalam kehidupannya, dalam kehidupan kemasyarakatan
mengajarkan manusia untuk berbuat baik antar sesama dengan prinsip-prinsip
keadilan dan kebijaksanaan dengan penekanan terhadap nilai-nilai agama dengan
tidak membuat sebuah kekacauan dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, Alquran
dan sunnah memberikan pemahaman secara universal dalam kehidupan umat beragama,
bagaimana hidup antar sesame mahluk Allah dengan hubungan-hubungan yang melekat
dalam kodratnya sebagai manusia, bagaimana hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya, dan bagaimana manusia menjadi pemimpin didunia dengan segala tanggung
jawab yang melekat dalam dirinya. Sehingga keberadaan Alquran dan sunnah
menjadi bagian terpenting dalam penyelesaian berbagai permasalahan dan
problematika kehidupan manusia, hal ini juga bisa diberlakukan kedalam konsep
konflik yang ada didalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dengan
berbagai globalisasi yang mengikutinya. Alquran menawarkan berbagai manajemen
dan resolusi dalam problemtaika masyarakat seperti konflik. Konsepsi syariah
dalam pengaturan terhadap manusia menjadi penting dengan eksistensi syariah
bagi umat manusia menjalani roda kehidupan. Syariah mengajarkan
kebaikan-kebaikan yang tidak pernah berubah dan tidak bisa dirubah dengan cara
apapun, karena keberadaannya menyesuaikan dengna zaman dan kondisi yang
ada. Sesuatu yang baik menurut syariah, maka baik untuk dilakukan sebagai hukum
bagi manusia dalam melakukan sesuatu, begitu juga sebaliknya. Permanennya
sebuah konsep hukum islam memberikan konsistensi dalam penerapannya, sehingga
perlakuannya juga menjadi akurasi dan keyakinan yang menonjolkan nilai-nilai
dan norma kehidupan yang hakiki. Sementara Fiqih adalah sebuah teknis dalam
melakukan syariah yang merespon
situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung dibahas dalam hukum
syari’ah. Fiqih berjalan sesuai dengan kebutuhan zaman dengan berbagai
paradigma dan perilaku manusia dalam kehidupannya, fiqih memberikan gambaran
secara lebih detail tentang pola kemasyarakatan dengan tetap merujuk sepenuhnya
kepada syariah. Artinya bahwa, fiqih menjalankan perintah-perintah syariah
dengan pola penyesuaian kehidupan masyarakat yang ada.
Allah, dalam Firman-Nya, yang
artinya, Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu13. Dalam
ayat ini Allah menganjurkan sebuah kewajiban bagi ummat manusia untuk
memelihara hubungan antara manusia dengan manusia dengan saling tolong menolong
antara sesama. Allah memberikan penguatan, bahwa dengan ketakwaan seorang hamba
terhadapnya dan jalinan silaturrahmi, maka akan dihindarkan dirinya dari
keberadaan sebuah pertikaian atau konflik. Lebih lanjut, Allah berfirman yang
artinya, Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal14.
Soejoeti dalam Sayukani15, memberikan
penjelasan bahwa konsep hukum menurut ahli fiqih pada dasarnya terletak di atas
ide, hukum itu bersifat keagamaan. Agama sebagai pedoman ummat manusia dalam
mengarungi kehidupan kemasyarakatan yang menjadi idelogi dan keyakinan
yang melekat dalam diri setiap individu sebagai sebuah prinsip yang dilakukan
dengan segala konskuensi yang diterimanya menjadi bagian yang amat penting
dalam perjalanannya di muka bumi ini. Islam, dalam hal ini bukan hanya sebatas
agama dengan hukum-hukum yang sudah ditentukan dan pengamalan-pengamalan yang
dianjurkan, akan tetapi Islam adalah sebuah value
yang mempunyai karakteristik dan konsepsi hukum yang menuntut seluruh
ummatnya untuk mengembangkan prinsip-prinsip yang ada didalam Alquran sebagai
kitab suci dengan penjelasan-penjelasan dalam Al-Hadist. Hukum dalam islam
sejak periode paling awal sejarah Islam, telah dipandang sebagai bagian dari
syari’ah. Adapun syari’ah sebagaimana telah dijelaskan diatas, adalah pola
tingkah laku manusia yang diatur oleh Allah SWT.
Apabila dikatakan kepada
mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan
kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu16. Dalam
konteks ini adalah hukum Allah yang sudah dimaktubkan dalam Alquran dan tunduk
kepada As-Sunnah yang diimplementasikan oleh Rasulullan dalam kehidupan
bermasyarakat, termasuk dalam hal ini adalah ketundukannya dalam hal
penyelesaian berbagai persoalan-persoalan hidup bagi dirinya sendiri atau bagi
kelompok masyarakatnya.
Konteks Negara Indonesia,
hukum Islam mempunyai ciri khas dalam penerapannya, dari kedua hukum yang
melekat diatas menjadi pembentukan hukum Islam yang ada, yaitu: Pertama, kontekstual.
Islam sebagai kekuatan agama yang menerapkan prinsip hukum sesuai dengan
situasi dan kondisi zaman dan tempat dimana keberadaannya. menjadi sebuah
keniscayaan untuk melakukan ijtihad dan berbagai penafsiran dari syariah dan
fiqih yang sudah ada sebagai pengembangan dan adaptasi hukum islam, sehingga
islam dapat direlevansikan menjadi salih
li kulli zaman wa makan Kedua , menghargai tradisi lokal. Kebudayaan
islam mempunyai cara dan pola tersendiri dalam menghargai satu sama lain,
termasuk didalam menghormati berbagai budaya lokal dalam suatu bangsa. Islam di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan-kebudayaan sebelum Islam, dari
berbagai sejarah yang ditorehkan oleh para mujahidin Islam dalam
penyebaran agama Islam di Indonesia, bagaimana para waliyullah (wali songo)
mengembangkan nilai-nilai Islam masuk dalam kebudayaan jawa dengan mengubah
pola pikir dan karakter masyarakat jawa dengan memasukkan nilai-nilai Islam
kedalamnya, sehingga Islam dapat diterima sebagai sebuah keyakinan agama bagi
mereka. Budaya lokal bangsa Indonesia menjadi bagian dari perjalanan Islam di
nusantara, tinggal bagaiman mengaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari
dengan memegang teguh kepada syariah (Alquran dan Al-Hadist)
Penutup
Teori konflik
memberikan pandangan kepada manusia sebagai
koneksi terhadap perilaku dan kehidupan dalam bermasyarakat. Masyarakat
mempunyai peran dan ketentuan-ketentuan dalam menjalankan sebuah kehidupan
dilingkungannya, dengan berbagai tujuan dan harapan yang menjadi capaiannya.
Konflik dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dihindarkan dengan berbagai
stigma yang ada didalamnya dengan berbagai gesekan-gesekan dan
benturan-benturan yang muncul dari berbagai faktor kehidupan manusia.
Keberadaan konflik mengimplikasikan terhadap sebuah perubahan dan
ketidaksepahaman masyarakat atau individu dalam menjalankan konsepsinya sebagai
manusia. Pendewasaan masyarakat dituntut dalam penyelesaian terhadap konflik
yang muncul dengan berbagai strategi dan konsep yang ada.
Pertimbangan-pertimbangan
dalam penyelesaian konflik di tengah-tengah masyarakat atau individu diperlukan
sebuah pendekatan hukum yang berdampak terhadap penyelesaian secara professional
dan proporsional sesuai dengan kebutuhan dan harapan secara bersama. Islam
sebagai agama menjadikan konsepsi pemikiran melalui Alquran dan Hadis dalam
penerapan terhadap penyelesaian konflik. Ketentuan Allah terhadap hamba-Nya
untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain, terhadap individu
dengan individu, kelompok dengan kelompok, atau individu dengan kelompok, atau
sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Andik Wahyun Muqoyyiidin,
“Potret Konflik Bernuansa Agama di Indonesia; Signifikansi Model Resolusi
Berbasis Teologi Transformatif”, Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember Tahun
2012, h. 315-340.
Defi Arini Rahayuningtias dan
Arief Sudrajat, “Konflik dan Pola Defiance Warga Perwira di Komplek Militer”,
Jurnal Paradigma, Volume 01, Nomor 03, Tahun 2013, h. 1-7.
Den G. Pruit dan Jeffry Z.
Rubbin, Teori konflik Sosial , ter. Helly P. Soejtipto dan Sri Mulyantini
Soetjipto, (cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). Departemen Agama
Republik Indonesia,
Alquran dan Terjemahan, (Jakarta:
Departemen Agama Republik Indonesia, 1989). Fikria Najitama. “Sejarah Pergumulan
Hukum Islam dan Budaya Serta Implikasinya Bagi Pembangunan Hukum Islam Khas
Indonesia”. Al-Mawarid, Edisi XVII, Tahun 2007, h. 101-114.
Imam Sayukani. “Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law
Dan Man-Made Law.
Ulumuddin, Volume VI, Tahun IV, Januari- Juni
2010, h. 498-505.
Lala Mulyowibowo Kolopaking, Djuara Pangihutan Lubis, August
Ernest Pattiselanno, “Jejaring Sosial dan Resolusi Konflik Masyarakat di
Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Provinsi Maluku)”,
Jurnal Pertanian Indonesia, Volume 12, Nomor 3, Desember
2007, h. 188-203.
Ramadhanita Mustika Sari, “Jaring pengaman Pencegah Konflik:
Kasus Masyarakat OKU Timur”, Tesis, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana, Universitas
Islam Negeri, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.