Kamis, 12 November 2015

Upaya Penanganan Konflik Antara Masyarakat Mamala dan Masyarakat Morela Dalam Perspektif Psikologi Sosial




Pendahuluan

Konflik berkepanjangan antara masyarakat negeri Mamala dan negeri Morela semakin sulit terlihat untuk diselesaikan. Perdamaian antara masyarakat kedua negeri sulit dipertahankan sejak pertama kali timbulnya pertikaian antara masyarakat kedua negeri sejak tahun 2006. Kondisi ini menimbulkan banyak kerugian di antara kedua negeri, baik dalam bentuk materil maupun jiwa. Jika ditelusuri melalui pemberitaan media sosial  dan media cetak nampak sekali jika  tingkat ketegangan masyarakat kedua negeri meningkat pada saat menjelang Perayaan Tujuh Syawal. Penyebab konflik berkepanjangan antara kedua negeri itu mempunyai hubungan yang erat dengan masalah sejarah dan adat istiadat kedua negeri yang sebenarnya sama, namun menjadi berbeda tanpa sebab yang masih perlu ditelaah lebih lanjut apa penyebabnya.




Persoalan yang ditimbulkan akibatnya semakin banyak, dan semakin sulit untuk telusuri dan ditegakkan keadilannya.  Maka dalam narasi ini dicoba untuk membahas bagaimana  penanganan konflik antara kedua negeri agar masalah yang ada tidak berlanjut kerumitannya.  Menyamakan persepsi tentang adat dan sejarah kedua negeri ditinjau dari referensi ilmiah yang mengedepankan metodologi ilmu sejarah, dan menghadirkan beberapa ahli sejarah Maluku dalam rangka mendudukkan persoalan sesuai adat istiadat yang berlaku dalam tataran budaya Siwalima. Menghadirkan ahli Tata Pemerintahan untuk membahas urgensi dari sebuah produk peraturan daerah tentang Pemerintahaan Daerah terkait dengan eksistensi negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Maluku, pentingnya catatan khusus ini, agar solusi pemecahan yang diambil benar-benar bersifat rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berbicara mengenai konflik antar kelompok, maka erat kaitannya dengan kepentingan. Konflik terjadi antar dua kelompok disebabkan oleh perbedaan pendapat, kepentingan atau tujuan antara dua atau lebih pihak yang mempunyai obyek yang sama (Acara Pukul Sapu dan Sejarah kedua Negeri). Konflik juga bisa terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dengan realita. Ketika suatu kelompok mempunyai harapan atau keinginan, dan ketika harapan itu terbentur oleh situasi nyata yang berlawanan, maka bisa menimbulkan konflik di dalam dan di luar kelompok. Namun dalam memahami konflik antar kelompok tidak sesederhana itu, banyak faktor yang menyebabkan mengapa timbul konflik antar kelompok tergantung konteksnya seperti apa. Masalah perekonomian, psikologis (kecemburuan, prasangka), hukum, ekonomi, serta perbedaan identitas kelompok (etnik, agama) menjadi masalah utama yang menyebabkan konflik terutama di negeri ini. Konflik intergroup juga bisa terjadi karena masalah politik, agama, etnik, sejarah dan ekonomi (Costarelli, 2006). Contohnya konflik yang terjadi antara orang mamala dan morela.

Definisi

Definisi konflik sangat kompleks dan beragam tergantung bagimana tempat dan persepsi terhadap konflik tersebut. menurut Rubin, dkk (dalam Isenhart & Spangel, 2000) konflik diartikan sebagai persepsi terhadap kepentingan berbeda. Menurut Swanström dan Weissmann (2005) konflik adalah perbedaan persepsi terhadap suatu isu oleh dua kelompok pada waktu yang sama. Wallensteen (dalam Swanström & Weissmann (2005) mendefinisikan konflik secara umum, ia mengatakan bahwa konflik adalah situasi yang dimana ada dua atau lebih kelompok yang menginginkan sumber yang langka pada waktu yang sama. Sumber langka tidak hanya berorentasi secara ekonomi saja, tetapi sejarah, lingkungan dan keamanan.

Dalam memahami konsep konflik, kita harus mengetahui tiga hal bagian dari konflik, yaitu persepsi, perasaan, dan konflik tindakan. Konflik persepsi berkaitan dengan pemahaman terhadap sesuatu yang dinginkan kepentingan, nilai yang berseberangan dengan orang lain atau kelompok lain. konflik sebagai perasaan berkaitan dengan reaksi emosi terhadap sesuatu, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka. Sedangkan konflik sebagai action merupakan ekspresi dari perasaan dan persepsi. Konflik sebagai action biasanya berhubungan dengan power, bisa berbentuk kekerasan, dan destruktif. Lalu bagaimana konflik antar kelompok?

Konflik antar kelompok terjadi ketika ada dan kepentingan sama atau berbeda dengan tujuan berbeda dari masing-masing kelompok. menururt teori realistis konflik (realistic conflict theory) bahwa dalam hubungan antar kelompok terdapat dua tujuan berbeda terhadap sesuatu yang sama. Hal ini menyebabkan setiap kelompok ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan kelompok lain. selain itu konflik antar kelompok juga dapat dijelaskan dengan teori identitas sosial. Teori ini melihat bahwa hubungan antar kelompok harus dilihat dari perspektif kelompok bukan individu. Setiap individu dalam masyarakat dikelompokkan berdasarkan katagori yang berbeda-beda, misal jenis kelamin, suku, agama, dan pekerjaan. Maka terbentuk identitas individu, yang nantinya dapat membentuk identitas kelompok. setiap kelompok merasa lebih unggul dari kelompok lain. kelompok menjadi pusat segalanya atau etnosentris dan cenderung besifat in-group, melihat kelompok lain sebagai musuh. Hal-hal sepeti ini yang berpotensi timbulnya konflik intergroup.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik intergroup merupakan ketidaksesuaian atau perselisihan yang terjadi antar kelompok, yang diakibatkan oleh kepentingan sama atau beda dan tujuan berbeda terhadap sesuatu isu dan terjadi pada waktu relatif sama.

Tipe konflik intergroup

Tajfel and Turner (dalam Hewstone & Cairns, 2006) membedakan tipe konflik intergroup menjadi dua tipe, yaitu :

a. Objective Vs Subjective Conflict
Konflik objektif merupakan konflik yang memiliki sasaran atau tujuan yang jelas. Misalkan kekuasaan, kekayaan dan wilayah. Factor penyebab Konflik objektif biasanya bukan berasal dari factor psikologis, tetapi lebih mengarah pada faktor sosial, ekonomi, politik, dan struktur sejarah. Sedangkan konflik subjektif lebih kearah faktor psikologis (prasangka, stereotype). Walaupun berbeda, konflik objektif dan subjektif dapat saling berhubungan dan konflik subjektif dapat bertahan lebih lama.

b. Explicit Vs Implicit Conflict
Konflik eksplisit (terbuka) adalalah konflik legitimasi dan institusional berdasarakan peraturan atau norma (kompetisi antar group atau kompetisi world cup dalam sepakbola). Menurut Tajfel and Turner perilaku terhadap out-group dalam konflik ini dibagi menjadi dua, yaitu : Instrumental behavior (perilaku sebagai alat) mengacu pada tindakan yang diarahkan pada in-group untuk memenangkan kompetisi (perilaku seperti itu) dapat diterangkan dalam kaitan dengan alasan untuk memenangkan) dan Noninstrumental behavior ialah perilaku yang berkaitan dengan aspek psikologis. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seseorang bersikap, dan berperilaku terhadap kelompok lain. Misalkan, Perilaku diskriminasi dan sikap prasangka terhadap out group.

Konflik implicit (tersembunyi) adalah konflik yang mengacu pada perbedaan yang ada di dalam kelompok diakibatkan ketiadaan institusi yang jelas. Pembedaan di dalam kelompok sengaja dihembuskan oleh anggota kelompok tersendiri atau dari luar. Padahal sebenarnya tidak ada sesuatu hal berbeda secara mendasar. Misalkan kasus masyarakat Mamala dan Morela. Masyarakat Mamala dan Morela memiliki banyak keasamaan, mulai dari bahasa, agama, budaya dan sejarah melalui pertukaran identitas dengan perkawinan antar negeri tesebut. Tetapi karena egoisme pengakuan acara Pukul Sapu dan egoisme pengaburan sejarah serta adat istiadat keduanya dalam Uli Sailesi yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, maka terjadilah konflik antara kedua kelompok masyarakat tersebut.

Penyebab konflik antar kelompok (intergroup)

Ada beberapa penyebab konflik antar kelompok, yaitu :
Kepentingan sama.
Bila dua kelompok mempunyai kepentingan sama terhadap sesuatu, maka timbul persaingan untuk mendapatkannya. Ketika persaingan terjadi, maka ada upaya upaya dari setiap kelompok untuk mendapatkan yang diinginkan, sehingga terkadang kelompok menggunakan tindakan-tindakan yang merugikan kelompok lain. Akibatnya timbul konflik antar kelompok (Bornstein, 2003). Misalkan: pada saat menjelang hari raya 7 Syawal. Kedua kelompok tersebut memeiliki tujuan sama, yaitu ingin mempopulerkan acara pukul sapu di negerinya. Dan pada akhirnya dapat menimbulkan konflik antar kelompok bila tidak ditangani secara baik.

Streotype, prasangka dan diskriminiasi (Sear, dkk, 1994)
Menururt Sears, dkk, (1983) Streotype, prasangka dan diskriminasi merupakan tiga komponen dalam antagonisme kelompok. Pertama, streotype—yang merupakan komponen kognitif. Streotype adalah keyakinan tentang sifat-sifat pribadi yang dimiliki orang dalam kelompok. Biasanya streotype berdasarkan katagori sosial. Kedua, prasangka—yang merupakan komponen afektif. Prasangka merupakan salah satu sikap yang cenderung negatif. Prasangka adalah sikap negatif terhadap kelompok tertentu atau seseorang karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu (Baron & Bryne, 1997). Dasar munculnya prasangka adalah kekeliruan dan generalisasi yang tidak fleksibel (Allport, 1974). Menurut Baron dan Bryne, (1997) bila prasangka diartikan sebagai siikap, maka dalam memahami prasangka ada dua aspek, yaitu skema kognitif. Skema ini berfungsi sebagai framework kognitif; bagaimana mengorganisasi, mengintrepetasi, dan me-recall informasi (e.g.Fisk & Tayler, 1995). dan evaluasi negatif. Seseorang yang berprasangka, terhadap anggota kelompok lain, maka cenderung mengevaluasi secara negatif. Ketiga, diskriminasi—yang merupakan komponen konatif. Diskriminasi adalah perlakuan berbeda dari pihak lain berdasarkan oleh keanggotaannya kelompoknya. Ketika seseorang mengalami perlakukan diskriminasi karena keanggotaanya sebagai aggota kelompok tertentu, maka, akan timbul konflik kecil pada diri orang tersebut. Bila ini terus berlanjut dan berlangsung lama, maka bisa terjadi konflik. Ketiga kriteria ini juga terlihat pada konflik antar kedua negeri Mamala dan Morela saat ini.

Identitas sosial atau katagori berbeda.
Setiap kelompok mempunyai identitas sosial berbeda. Indentitas suatu kelompok berkaitan dengan dengan atribut yang dimiliki. Seperti ciri-ciri, nilai yang dianut, tujuan, dan norma. Identifikasi social sangat berguna untuk proses katagori dan perbandingan sosial (Hogg & Grieve, 1999). Seseorang cenderung menilai homogen kelompoknya dan cenderung menilai kelompok lain berbeda. Hal ini sudah menjadi kenyataan dalam masyarakat Morela yang menganggap diri mereka sebagai garda terdepan dalam perjuangan melawan penjajah di Kapahaha dan berusaha mempopulerkannya melalui acara Pukul Sapu yang nyata sekali baru terlihat dalam satu dekade terakhir. Perbedaan identitas dapat memicu timbulnya konflik antar kelompok, bila tidak ditangani secara cepat dan tepat.

Ketidakadilan (injustice)
ketidakadilan sering kali menimbulkan konflik. Kita bisa melihat banyak konflik-konflik yang terjadi diakibatkan ketidakadilan. Menururt teori keadilan (equity theory), konflik terjadi karena adanya ketidakadilan dalam distribusi yang membuat orang atau kelompok menjadi distress dan frustasi. Akibatnya kelompok menggunakan cara menurut pandangan mereka benar, tetapi bagi kelompok lain hal tersebut dapat menimbulkan konflik. Namun perlu dipahami bahwa sebenarnya keadilan keadilan bersifat relatif atau subjektif bagi setiap orang atau kelompok.persepsi keadilan bagi setiap kelompok berbeda-beda. Orang atau kelompok lebih cenderung menilai sesuatu itu adil ketika hasil yang diperoleh lebih menguntungkan bagi kelompoknya sendiri. Kondisi ini terlihat saat menjelang hari raya Tujuh Syawal dalam hal usaha mempromosikan acara Pukul Sapu.

Perilaku agresif
Perilaku agresif yang dilakukan suatu kelompok terhadap kelompok lain dapat menimbulkan konflik antar kelompok. Ketika suatu kelompok menyerang kelompok lain, maka kelompok yang diserang akan membalas. Hal ini akan bisa berlanjut kepada konflik yang berkepanjangan. Seperti kondisi antara kedua negeri Mamala dan Morela saat ini.

Dari uraian diatas diketahui banyak faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya konflik intergroup, mulai dari kepentingan, sumberdaya, atau masalah psikologis. Namun yang tak kalah pentingnya adalah situasi di mana konflik itu terjadi. Situasi yang tidak menyenangkan (aversif situation) dapat meningkatkan kecenderungan timbulnya konflik intergroup (Forsyth, 1983).

Dinamika konflik intergroup

Interaksi antar kelompok merupakan suatu hal yang penting bagi setiap kelompok. Dengan berinteraksi, setiap kelompok akan memperoleh banyak manfaat. Kelompok akan mempunyai jaringan relasi serta kelompok bisa belajar dari kelompok lain. Namun tak jarang interaksi dapat menimbulkan konflik antar kelompok. konflik intergroup terjadi ketika dua atau lebih kelompok memperebutkan sesuatu yang sama dan terjadi pada waktu yang sama. Biasanya hal yang diperebutkan suatu hal yang penting atau sumber yang langka. Kondisi ini akan menimbulkan persaingan antar kelompok untuk meraih apa yang dinginkan. Persaingan antar kelompok dapat berpotensi menimbulkan konflik (Sherif, dkk dalam Forsyth, 1983). Menurut Campbell dan Sherif (dalam Echebarria & Guide,2003) Persaingan antar kelompok dapat membuat relasi antarkelompok semakin buruk dan sikap memilih in-group dan diskriminisai out-group. Setiap kelompok menganggap lebih baik dari kelompok lain. timbul suatu sikap bahwa kelompoknya-lah yang paling benar. Menganggap kelompok lain salah dan sebagai musuh. Timbul sikap etnosentris, yaitu pandangan yang menganggap kelompok diri sendiri adalah pusat segalanya.

Selain itu, persaingan antar kelompok membuat timbulnya permusuhan (hostility) antar kelompok tersebut. Menurut Sear, dkk. (1994) setiap kelompok merasa tidak senang bila kelompok yang menjadi lawannya memperoleh target yang ingin diraih setiap kelompok. Akibatnya timbul reaksi ketidaksenangan, yang pada akhirnya menimbulkan rasa iri, permusuhan dan persaan marah. Menurut DeSteno, dkk., (2004).rasa marah sangat berkaitan dengan kompetisi dan konflik. Rasa marah dapat menimbulkan bias dan kecenderungan untuk menimbulkan prasangka terhadap kelompok lain. Prasangka juga bisa lahir dari streotype yang terbentuk dari suatu kelompok. ketika kondisi ini terjadi, maka setiap kelompok akan cenderung menutup diri dari pihak luar dan cenderung mengurangi komunikasi dengan pihak lawan (Blake & Mounten, dalam Johson &Johson, 2000).

Ketika setiap kelompok berada pada situasi, yang dimana kepentingan kelompok yang menjadi dominan, maka setiap kelompok berasaha melakukan yang ‘terbaik’ bagi kelompok. setiap kelompok berusaha untuk meraih segala tujuan, dan kalau perlu dengan cara mengorbankan kelompok lain. Bila ini terjadi, maka akan terjadi konflik terbuka antar kelompok. konflik terbuka akan dapat menimbulkan korban jiwa. Kondisi ini merupakan puncak dari konflik. Ketika timbul korban jiwa, biasanya setiap kelompok mulai menyadari bahwa konflik yang terjadi perlu segera untuk diakhiri. Namun untuk mengakhiri konflik tidaklah mudah, perlu kerjasama dari kedua kelompok yang berkonflik. Ada niatan baik untuk mewujudkan tujuan bersama. Kalau tidak, maka konflik akan terus berlanjut, walau tidak separah sebelumnya. Kondisi seperti ini nampak sekali pada kondisi masyarakat kedua negeri Mamala dan Morela.

Konflik terbuka lebih mudah diatasi dari konflik yang bersifat psikologis. Menurut Tajfel and Turner (dalam Hewstone & Cairns, 2006) konflik yang bersifat psikologis lebih mampu bertahan lebih lama. Karena konflik psikologis melekat pada individu masing-masing kelompok, dan perlu waktu untuk mengatasinya. Misalkan, konflik secara terbuka (fisik) telah selesai, namun setiap kelompok masih berkembang hal –hal yang bersifat psikologis, seperti, prasangka, streotype, atau persaan marah. Kondisi inilah yang nantinya bisa memudahkan untuk munculnya konflik antar kelompok. untuk mengatasi hal seperti perlu dilakukan usaha bersama dari kedua kelompok yang berkonflik, yang nanti dijelaskan setelah ini.

Mengurangi konflik Intergroup

Ada beberapa cara yang harus dilakukan untuk mengurangi konflik, yaitu:

a). Komunikasi
Hal yang pertama dilakukan adalah melakukan kontak dengan kelompok yang menjadi lawan konflik. Hal ini bertujuan untuk membuka komuniksi antar kelompok—yang selama konflik tidak berjalan dengan baik. Pendekatan Komunikasi merupakan elemen penting dalam memahami konflik dan menemukan resolusi konflik (Elliz &Maoz, 2003). Komunikasi merupakan salah satu saran yang efektif untuk mengurangi konflik intergroup. Dengan komunikasi dapat mengurangi bias-bias yang terjadi dalam konflik.Selain itu, komunikasi dapat mengurangi prasangka-prasangka yang terjadi selama konflik (Allport, dalam Costarelli, 2006).

b). Berunding
Setelah terjalin komunikasi antar kelompok, yang harus dilakukan adalah mengadakan perundingan untuk membuat suatu kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengurangi konflik. Menurut Bila kedua kelompok tidak bisa menemui kesepakatan karena setiap kelompok masih berpegang pada ego kelompoknya masing-masing, maka perlu orang ketiga sebagai mediator. Diharapkan dengan adanya pihak ketiga, jalannya perundingan lebih bisa fokus dan terkontrol pada permasalahan.

Ada beberapa sifat yang harus dikembangkan setiap kelompok ketika dalam perundingan. Pertama, Keterbukaan, setiap kelompok harus terbuka terhadap informasi, keinginan keinginan dan permasalahan yang ada. Dengan sikap saling terbuka akan membuat setiap kelompok akan mengetahui, memahami apa yang sebenarnya yang terjadi pada setiap kelompok. Keterbukaan juga bermanfaat untuk mengklarifikasi isu-isu selama terjadi konflik. Kedua, Saling menghargai, setiap kelompok harus saling menghargai pendapat atau keinginan pada setiap kelompok. Dengan sikap ini dapat menjaga dan membuat suasana kondusif selama proses perundingan. Sikap saling menghargai membuat setiap kelompok merasa nyaman dan bebas dalam menyampaikan ide-ide dan keinginan yang dimiliki. Bila kedua sifat diatas dikembangkan dalam perundingan, maka tidak mustahil kesepakat bersama akan lebih cepat diperoleh.

c). Menerima dan menjalani keputusan yang disepakati
Setelah kesepakatan telah ditetapkan secara bersama, yang harus dilakukan setiap kelompok adalah menerima kesepakatan tersebut dengan lapang dada. Selanjut setiap kelompok melaksanakan ketetapan yang telah disepakati bersama.

d). Evaluasi
Evaluasi sangat diperlukan untuk menilai apakah kesepakatan yang telah disepakati dijalan dengan baik oleh setiap kelompok. Bila tidak berjalan dengan baik, maka proses evaluasi harus dilakukan oleh setiap kelompok. Evaluasi juga bermanfaat untuk mengidentifikasi hambatan-hambtan atau permasalahan yang terjadi setelah perundingan. Dengan adanya evaluasi setiap kelompok akan mengetahui apa-apa yang sebaiknya harus dilakukan ke depan.


Daftar Pustaka

Baron, R.A & Bryne. 1997. Social Psychology. (8 th edition). Boston:Ally & Bacon.
Bornstein, G. 2003.Intergroup Conflict: Individual, Group, and Collective Interests.
Personality and Social Psychology Review.2003, Vol. 7, No. 2, 129–145
Cho, B & Connelley,D.L. (2006) The Effect Of Conflict And Power Differentials On Social
Identity And Intergroup Discrimination.
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=320286
Isenhart, MW. & Spangel,M. 2000. Colaborative Aproach to Resolving Conflict.London:Sage
Publication.
Costarelli, S. 2006. Heldref Publications The Distinct Roles of Subordinate andSuperordinate
Group Power, Conflict, and Categorization on Intergroup Prejudice in a
Multiethnic Italian Territory The Journal of Social Psychology, 2006, 146(1), 5–13
DeSteno,D, Dasgupta, N., Monica Y. Bartlett, M.Y and Cajdric,A. 2004.Prejudice From Thin
Air The Effect of Emotion on Automatic Intergroup Attitudes. Psychological
Science. Volume 15—Number 5
Echebarria, A & Guede, E. E. F. 2003. Extending the Theory of Realistic Conflict to
Competition in Institutional Setting: Intergroup Status and Outcome. The Journal of
Social Psychology. 143(6),763-782
Ellis, D.G & Maoz,I.2003 A Communication And Cultural Codes Approach To Ethnonational
Conflict.The International Journal Of Conflict Management, Vol 14, No. 3/4, Pp.
255-272
Forsyth,D. R.1983. An Introduction to Group dynamics. California:Brooks/cole publishing
company
Hewstone. M And Cairns, E. 2006. Social Psychology And Intergroup Conflict.
From:http://www.ripon.edu/academics/psychology/FYS175/syllabus/Hewston.htm
Hogg & Grieve. 1999. Social identity theory and the crisis convidence in social psychology:A
comentari and some research on uncertain reduction. Asial journal of social
psychology (1999) 2:79-93
Johnson, D.W. & Johnson, F.P. (2000). Joining Together:Group Theory and Group Skill.
Seventh edition. Boston:Ally & Bacon.
Miles Hewstone, M. & Cairns. E. Social Psychology And Intergroup Conflict retrieved. 22
April 2006 http://www.ripon.edu/academics/psychology/
Reid, A.2004.Social Identity-Specific Collectivism (SISCOL) and Group Behavior. Self and
Identity, 3: 310–320, 2004
Rempel, Martin W., Fisher, & Ronald J.1997.Perceived Threat, Cohesion, And Group
Problem Solving In Intergroup Conflict. International Journal of Conflict
Management (1997), Vol. 8, Issue 3.
Sears, D.G., Freedman,J.L & Peplau, L.A. 1994. Psychology Sosial. Jilid 2. Alih
Bahasa:Michael Adriyanto. Jakarta :Erlangga
Swanström, N.L.P &. Weissmann, M. S. 2005.Conflict, Conflict Prevention andConflict
Management and beyond: a conceptual exploration. © Central Asia-Caucasus
Institute and Silk Road Studies Program, 2005
(http://www.silkroadstudies.org/new/docs/ConceptPapers/2005)
Wheelan, 1994. Group Procces A Development Perspective. Boston :Allyn & Bacon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.