Seperti daerah-daerah lainnya
di Indonesia, Kepulauan Maluku khususnya Pulau Ambon memiliki perjalanan
sejarah yang panjang dan tidak dapat dilepaskan dari sejarah Indonesia secara
keseluruhan. Daerah kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah ini sudah dikenal
di dunia internasional sejak dahulu kala. Pada awal abad ke-7 pelaut-pelaut
dari daratan Cina, khususnya pada zaman Dinasti Tang, kerap mengunjungi Maluku
untuk mencari rempah-rempah. Namun mereka sengaja merahasiakannya untuk
mencegah datangnya bangsa-bangsa lain ke daerah ini. Pada awal abad ke-9
pedagang Arab berhasil menemukan Kepulauan Maluku setelah mengarungi Samudra
Hindia. Para pedagang ini kemudian menguasai pasar Eropa melalui kota-kota
pelabuhan seperti Konstatinopel.
Pada Abad ke-14 merupakan masa
ke-emasan perdagangan rempah-rempah Timur Tengah yang membawa agama Islam masuk
ke Kepulauan Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik,
antara 1300 sampai 1400. Pada abad ke-12 wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
meliputi Kepulauan Maluku. Pada awal abad ke-14 Kerajaan Majapahit menguasai
seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Pada waktu itu para pedagang dari Jawa
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Di masa Dinasti Ming (1368 –
1643) rempah-rempah dari Maluku diperkenalkan dalam berbagai karya seni dan
sejarah. Dalam sebuah lukisan karya W.P. Groeneveldt yang berjudul Gunung Dupa,
Maluku digambarkan sebagai wilayah bergunung-gunung yang hijau dan dipenuhi
pohon-pohon cengkeh sebuah oase di tengah laut sebelah tenggara.
Marco Polo juga menggambarkan
perdagangan cengkeh di Maluku dalam kunjungannya di Sumatra. Maluku memiliki
sejarah penindasan dan penjajahan yang panjang mengingat daerah ini telah
dikuasai bangsa asing selama kurang lebih 2300 tahun lamanya dengan didominasi
secara berturut-turut oleh bangsa Arab, Portugis, Spanyol, dan Belanda. Melalui
perdagangan dengan para pedagang Muslim, bangsa Venesia kemudian datang untuk
memonopoli perdagangan rempah-rempah dari Eropa antara 1200 dan 1500, melalui
dominasi atas Mediterania ke kota pelabuhan seperti Iskandariyah (Mesir),
setelah jalur perdagangan tradisional mulai terganggu oleh Mongol dan Turki.
Dalam menunjang monopoli ini kemudian mereka ikut serta dalam Abad Eksplorasi
Eropa.
Portugal mengambil langkah
awal penjelajahan dengan berlayar ke sekitar tanjung selatan benua Afrika,
mengamankan rute-rute penting perdagangan, bahkan tanpa sengaja menemukan
pantai Brazil dalam pencarian ke arah selatan. Portugal akhirnya sukses dan
pembentukan daerah monompolinya sendiri dan memancing keukasaan maritim lain
seperti Spanyol-Eropa, Perancis, Inggris dan Belanda untuk mengganggu
posisinya. Karena tingginya nilai rempah-rempah di Eropa dan besarnya
pendapatan yang dihasilkan, Belanda dan Inggris segera terlibat dalam konflik
untuk mendapatkan monopoli atas wilayah ini. (http://malukuinstitute.org/mempertegas-ambon-sebagai-kota-niaga-berbasis-keberagaman/)
Bangsa Eropa
pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu
2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco
Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin
persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan
Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli,
begitupula Negeri Hitu, dan Mamala di Pulau Ambon. Namun hubungan dagang
rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem
monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang misionaris
terkenal adalah Francis Xavier.
Tiba di
Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada
tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di
Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan
Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5
tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke
Tidore dan Ambon. (http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/portugis.html)
Keuning (1973: 14) menegaskan
bahwa berdasarkan berita-berita orang Portugis ketika tiba di Ambon, telah
terjadi pertentangan tradisional di antara kedua kelompok uli ini yang
diakibatkan oleh pembagian dua (tweedeling) dalam struktur masyarakat. Kaum uli
lima tinggal di bagian terbesar dari semenanjung Hitu (Leihitu), sedangkan
Leitimor adalah daerah kaum uli siwa. Orang Portugis sendiri dalam pertentangan
ini menurut Keuning, memainkan peranan sebagai pihak yang mempercepat
pertentangan ini. Keuning juga menjelaskan bahwa uli lima di Hitu, sejak
permulaan abad ke 16 sebagian besar sudah memeluk agama Islam. Walaupun
demikian, masih banyak kepercayaan dan kebiasaan yang sudah berurat akar tetap
bertahan di bawah selimut agama Islam yang baru itu. Sedangkan di Leitimor
sebagai wilayah uli siwa pada zaman itu masih setia kepada keyakinannya yang
lama. Penghormatan terhadap arwah nenek moyang adalah unsur penting dari agama
Ambon yang lama
Peta Tujuh Negeri Uli Lima di Tanah Hitu |
Keuning dalam bukunya Sejarah
Ambon sampai pada akhir abad ke-17 (1973: 11-12), menjelaskan bahwa uli siwa
(persekutuan sembilan) dan uli lima (persekutuan lima) dahulu dikenal di
seluruh Maluku, dan masih terdapat di sebagian kepulauan ini pada masa kini.
Keuning mengutip rekonstruksi Holleman, yang menjelaskan bahwa uli dapat disebut
sebagai suku bangsa, yaitu suatu kelompok agak besar yang terdiri dari orang-orang
yang merasa bahwa mereka adalah kesatuan tersendiri dan mengira berasal dari
satu keturunan. Uli terdiri atas beberapa aman atau hena, suatu nama yang masih
dikenal di negeri-negeri Islam. Aman atau hena merupakan suatu kelompok klen
yang terdiri dari beberapa keturunan berdasarkan garis ayah/laki-laki
(patrilinial) atau yang disebut rumah tau yang terdiri dari sejumlah keluarga
yang hubungan keluarganya masih erat sekali.
Tiga Puluh Negeri Yang Tergabung dalam Tujuh Negeri Ulilima di Tanah Hitu |
Belanda, ketika menyerang dan
merebut benteng Portugis tersebut, dibantu oleh negeri-negeri dari uli lima
dari jazirah Hitu yang beragama Islam, sedangkan dari Leitimor (uli siwa) hanya
penduduk Nusaniwe dan Urimeseng yang memberi bantuan. Setelah Diego Barbudo
datang membawa 22 kepala kampung (raja, orang kaya) dari negeri-negeri dari Leitimor,
ia kemudian membawa sejumlah pemimpin lainnya dari pulau-pulau di sekitar
Ambon, yakni Saparua, Haruku dan Nusalaut, untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada
Belanda. Sikap yang sama diajukan oleh para pemimpin dari Hitu, dengan pimpinan
kapitan Hitu, dan uli lima lainnya (Leirissa, 2005: 24, 25). Berkumpulnya para pemimpin
negeri-negeri dari uli siwa dan uli lima di pulau Ambon, dan dari pulau-pulau di
sekitar Ambon, menjadi momentum bagi van der Haghen untuk mempersatukan para pemimpin
tersebut, menciptakan perdamaian, sekaligus membawa keuntungan politik dan ekonomi
baginya. Van der Haghen, dengan demikian berhasil menaklukan dan menguasai monopoli
perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.