Rabu, 02 September 2015

Hubungan Negeri-Negeri dalam Uli Sailesi dengan Negeri Mamala dalam Filsafat Siwalima




Pendahuluan

Sebelum menggambarkan negeri-negeri yang terdapat Uli Sailessi, alangkah baiknya kita meninjau filsafat hidup Siwalima orang Maluku, yang mempunyai kaitan erat dengan pengelompokkan negeri-negeri tersebut dalam  uli yang akan disebutkan kemudian. Filsafat hidup Siwalima sebagai kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku, kini menjadi jati diri dalam budaya orang Maluku bahkan kehidupan sosial masyarakat Maluku. Filsafat hidup Siwalima ini telah dikenal luas dan berfungsi dalam hubunganhubungan sosial orang Maluku sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Maluku. Siwalima menunjuk pada persekutuan (aliansi) antara kelompok uli (pata) siwa (kelompok siwa/sembilan) dan uli (pata) lima (kelompok lima/lima). Sebutan Siwalima ini beserta makna filosofisnya dikenal di seluruh Maluku, walaupun dengan istilah yang berbeda. Siwalima di Maluku Utara (sekarang propinsi Maluku Utara) dikenal dengan sebutan uli siwa dan uli lima, istilah ini juga dipakai oleh penduduk pulau Ambon. Orang Maluku Tengah menyebut pata siwa dan pata lima . Orang Maluku Tenggara menyebut ur siwa (ursiw) dan ur lima (urlim).1

Pembahasan Kaitan Uli dengan Filsafat Siwalima.

Siwalima ditilik dari aspek bahasa (etimologi), merupakan penggabungan dari kata Pata Siwa dan Pata Lima . Pata berarti kelompok atau bagian, sedangkan Siwa berarti sembilan dan Lima/rima artinya lima.2 Cooley menjelaskan bahwa kata pata sama dengan kata uli, berasal dari bahasa atau istilah asli (indigenous language) Maluku, keduanya berarti kelompok (grouping) atau bagian (division). Kata pata sering digunakan dalam pergaulan masyarakat Maluku sehari-hari, yang mengandung arti bagian, misalnya: “sagu salempeng di-pata dua ” (artinya: Sagu satu buah dibagi dua).3

Setiap negeri (desa) di Maluku Tengah tergolong ke dalam salah satu dari kedua kelompok pata atau uli tersebut. Patasiwa-patalima ini menurut Cooley, menunjukkan bahwa seluruh negeri yang tergolong pada salah satu kelompok mempunyai sistem adat yang serupa dalam segi-segi tertentu. Suatu negeri yang tergolong ke dalam kelompok sembilan (pata/uli siwa ) atau kelompok lima (pata/uli lima ), mempunyai akibat-akibat tertentu. Susunan sosial dari negeri-negeri yang tergolong pada kelompok sembilan dikatakan terdiri dari sembilan satuan yang lebih kecil, demikian pula susunan sosial dari negeri-negeri yang tergolong pada kelompok lima dikatakan terdiri dari lima satuan yang lebih kecil. Cooley juga menjelaskan bahwa kedua sistem adat di daerah Maluku Tengah ini dapat dihubungkan dengan daerah-daerah adat di pulau Seram. Ada persesuaian pendapat bahwa pembagian Patasiwa-Patalima ini pada mulanya ditentukan di pulau Seram, dengan pembatasan wilayahnya secara jelas. Orang-orang patasiwa adalah sekelompok suku Alifuru (suku asli pulau Seram) yang menghuni bagian Barat pulau Seram, yang sebagian besar terletak di sebelah Barat dari sungai Mala yang bermuara ke dalam teluk Elpaputih di sebelah Selatan. Orang-orang patalima menghuni daerah yang terletak di sebelah Timur perbatasan itu. Kedua kelompok ini juga memiliki perbedaan bahasa. 2,3

Kelompok patasiwa dibagi atas dua sub-kelompok yaitu: patasiwa hitam (patasiwa mete dalam bahas asli) dan patasiwa putih dengan pembagian wilayahnya masing-masing. Kelompok patasiwa putih ini berpindah dari wilayah patasiwa dan mendiami wilayah patalima , disebabkan oleh dilancarkannya ekspedisi-ekspedisi hongitochten oleh Belanda (sekitar 1615-1665). Cooley (1988: 120) lebih lanjut mengemukakan suatu data tentang pembagian kelompok penduduk di pulau Seram yang berasal dari zaman sebelum terjadinya pengelompokan patasiwa-patalima ini. Cooley menjelaskan bahwa di Seram Barat, sebelum abad ke-15, terdapat dua golongan suku Alifuru yaitu: Pata Aloene (Halune) dan Pata Wemale (Memale), dengan pembagian wilayahnya masing-masing. Kelompok Aloene mendiami wilayah yang dikenal sebagai Patasiwa, sedangkan Wemale mendiami wilayah yang dikenal sebagai Patalima .

Keuning dalam bukunya Sejarah Ambon sampai pada akhir abad ke-17 (1973: 11-12), menjelaskan bahwa uli siwa (persekutuan sembilan) dan uli lima (persekutuan lima) dahulu dikenal di seluruh Maluku, dan masih terdapat di sebagian kepulauan ini pada masa kini. Keuning mengutip rekonstruksi Holleman, yang menjelaskan bahwa uli dapat disebut sebagai suku bangsa, yaitu suatu kelompok agak besar yang terdiri dari orang-orang yang merasa bahwa mereka adalah kesatuan tersendiri dan mengira berasal dari satu keturunan. Uli terdiri atas beberapa aman atau hena, suatu nama yang masih dikenal di negeri-negeri Islam. Aman atau hena merupakan suatu kelompok klen yang terdiri dari beberapa keturunan berdasarkan garis ayah/laki-laki (patrilinial) atau yang disebut rumah tau yang terdiri dari sejumlah keluarga yang hubungan keluarganya masih erat sekali.4

Keuning (1973: 14) menegaskan bahwa berdasarkan berita-berita orang Portugis ketika tiba di Ambon, telah terjadi pertentangan tradisional di antara kedua kelompok uli ini yang diakibatkan oleh pembagian dua (tweedeling) dalam struktur masyarakat. Kaum uli lima tinggal di bagian terbesar dari semenanjung Hitu (Leihitu), sedangkan Leitimor adalah daerah kaum uli siwa. Orang Portugis sendiri dalam pertentangan ini menurut Keuning, memainkan peranan sebagai pihak yang mempercepat pertentangan ini. Keuning juga menjelaskan bahwa uli lima di Hitu, sejak permulaan abad ke 16 sebagian besar sudah memeluk agama Islam. Walaupun demikian, masih banyak kepercayaan dan kebiasaan yang sudah berurat akar tetap bertahan di bawah selimut agama Islam yang baru itu. Sedangkan di Leitimor sebagai wilayah uli siwa pada zaman itu masih setia kepadakeyakinannya yang lama. Penghormatan terhadap arwah nenek moyang adalah unsur penting dari agama Ambon yang lama.4

Keuning (1973: 15-17) menjelaskan bahwa Kedudukan batu pemali terhadap baileo termasuk salah satu ciri pembeda antara kelompok pata siwa dan pata lima. Batu pemali pada uli lima, letaknya di sisi baileo yang menghadap ke arah pantai, sedangkan pada uli siwa, batu pemalinya menghadap ke darat. Perbedaan yang lain antara kedua kelompok ini menurut Keuning yaitu pada uli lima, angka lima memainkan peranan penting. Mas kawin, denda adat, atau pemberian korban, dinyatakan dalam kelipatan lima, demikian juga dengan perlengkapan baileo ada hubungannya dengan angka lima. Angka sembilan bagi uli siwa mempunyai peran yang sama seperti angka lima bagi uli lima. Cara pembuatan kapal, juga dapat membedakan kedua kelompok uli ini.4

Uli Sailesi

Discan oleh Ivan Taniputera tanggal 25 Juli 2011 dari buku DE OPKOMST VAN HET  NEDERLANDISCH GEZAG IN OOST INDIE (1595-1610) Karya J.H. R. Mr.J.K.J. de Jonge, S Gravenhage, 1864. Halaman 556. 


Uli Sailesi yang merupakan salah satu uli yang bercirikan Ulilima. Uli Lima yang memiliki gelar pemimpin Upu Latu terdiri dari Lima Hena (5 Negri), yang masing-masing Hena dipimpin oleh Hena Upui. Hena terdiri dari Luma Inai (extended fam) yang dipimpin oleh Upui Elak,dan bagian dari Luma Inai adalah Mata Ruma yang dipimpin oleh Upu. Uli Sailesi yang merupakan salah satu uli yang bercirikan Ulilima, meliputi : Negeri Latu / Mamala, Negeri  Polut, Negeri  Hausihol, Negeri Loing dan Negeri Liang. Jika dikaitkan dengan rekonstruksi Holleman maka ke lima Negeri tersebut memang berasal dari satu keturunan  yang tempat tinggal pertamanya di puncak gunung Salahutu yang  disebut “Pausela” atau “Ulupokol”.  Kemudian  pindah ke “Iyal Uli”. Selanjutnya  karena dalam perkembangannya jumlah populasinya semakin banyak serta semakin banyaknya migrasi penduduk dari berbagai daerah, maka masyarakatnya menyebar ada yang ke Negeri Latu / Mamala yang membawa panji-panji langsung keturunan berdasarkan garis ayah/laki-laki. Ada yang ke Negeri Polut, Negeri Hausihol,  Negeri Liang dan Negeri Loing.

Skema Migrasi Setelah dari Iyal Uli serta setelah tahun 1812
Kesemuanya masih di gunung-gunung, kecuali Negeri Hausihol yang terletak di dekat kaki bukit Kapahaha. Setelah kekalahan perang Hitu II tahun 1646.  Kecuali Negeri Liang, Keempat negeri yang lainnya melebur dalam satu Negeri Mamala sekarang ini. Dan karena pertumbuhan jumlah populasi masyarakat yang besar akhirnya pada tahun 1812, Raja Mamala saat itu Latu Manut memberikan mandat kepada Sabar Thenu untuk membentuk satu negeri yakni Negeri Morela saat ini yang sebagian besar warganya berasal dari Negeri Hausihol. (Lihat: Latar Belakang Sejarah Negeri Mamala dan Negeri Morela)
Uli Sailesi yang merupakan salah satu uli yang bercirikan Ulilima, meliputi : Negeri Latu / Mamala, Negeri  Polut, Negeri  Hausihol, Negeri Loing dan Negeri Liang. Jika dikaitkan dengan rekonstruksi Holleman maka ke lima Negeri tersebut memang berasal dari satu keturunan  yang tempat tinggal pertamanya di puncak gunung Salahutu yang  disebut “Pausela” atau “Ulupokol”.  Kemudian  pindah ke “Iyal Uli”.
Hal-hal yang membuktikan bahwa Negeri Mamala adalah Negeri Uli Sailesi adalah sebagai berikut:
1.       Negeri Mamala ber-Pela-Batas dengan Negeri Waai, tepatnya di Hatu Ulu Hatu Waai
2.       Ketika terjadi peperangan berkepanjangan antara Negeri Liang dan Negeri Wai, yang menjadi pendamainya adalah Almarhum A.G. Malawat yang ketika itu menjabat sebagai pelaksana tugas Raja Mamala.

Peta Uli Sailesi  (Sumber : http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Map-island-Ambon.5624)



Frank Cooley dalam Ambonese Adat : A General Description menyebutkan pentingnya adat dalam kehidupan bermasyarakat di Ambon, antara lain ; Adat adalah pemberian nenek moyang atau leluhur dan harus di patuhi, adat juga merupakan representasi dari perintah leluhur sebagai pendiri komunitas. Adat adalah sebuah hukum dalam mengatur kehidupan bermasyarakat didalam komunitas (1962: 2-4). Kedua dimensi ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan bahwa Leluhur yang adalah pendiri dari komunitas, mendirikan desa (baca: negri) dan menetapkan adat sebagai sebuah sistem yang mengatur hidup mereka dimasa kini maupun mengatur hidup keturunan mereka di masa depan. Cooley menambahkan bahwa mereka yang menjalankan adat mendapatkan berkat dari leluhur (baca: Tete Nene Moyang), sedangkan mereka yang mengabaikan adat mendapat sebuah kutukan.
 




Referensi:
1.       Luhulima, 1971: 82
2.       Frank Cooley, Altar and Throne in Central Moluccan Societies (1988: 118-122)
3.       Frank Cooley, Ambonese Adat: A General Description (1962: 13)
4.       Keuning, Sejarah Ambon (1973: 11-12)
5     DE OPKOMST VAN HET  NEDERLANDISCH GEZAG IN OOST INDIE (1595-1610) Karya J.H. R. Mr.J.K.J. de Jonge, S Gravenhage, 1864
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.