Pendahuluan
Sebelum menggambarkan
negeri-negeri yang terdapat Uli Sailessi, alangkah baiknya kita meninjau
filsafat hidup Siwalima orang Maluku, yang mempunyai kaitan erat dengan
pengelompokkan negeri-negeri tersebut dalam uli yang akan disebutkan kemudian. Filsafat
hidup Siwalima sebagai kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku, kini menjadi
jati diri dalam budaya orang Maluku bahkan kehidupan sosial masyarakat Maluku.
Filsafat hidup Siwalima ini telah dikenal luas dan berfungsi dalam
hubunganhubungan sosial orang Maluku sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke
Maluku. Siwalima menunjuk pada persekutuan (aliansi) antara kelompok uli (pata)
siwa (kelompok siwa/sembilan) dan uli (pata) lima (kelompok lima/lima). Sebutan
Siwalima ini beserta makna filosofisnya dikenal di seluruh Maluku, walaupun
dengan istilah yang berbeda. Siwalima di Maluku Utara (sekarang propinsi Maluku
Utara) dikenal dengan sebutan uli siwa dan uli lima, istilah ini juga dipakai
oleh penduduk pulau Ambon. Orang Maluku Tengah menyebut pata siwa dan pata lima
. Orang Maluku Tenggara menyebut ur siwa (ursiw) dan ur lima (urlim).1
Pembahasan Kaitan Uli dengan Filsafat Siwalima.
Siwalima ditilik dari aspek
bahasa (etimologi), merupakan penggabungan dari kata Pata Siwa dan Pata Lima .
Pata berarti kelompok atau bagian, sedangkan Siwa berarti sembilan dan
Lima/rima artinya lima.2 Cooley menjelaskan bahwa kata pata sama
dengan kata uli, berasal dari bahasa atau istilah asli (indigenous language)
Maluku, keduanya berarti kelompok (grouping) atau bagian (division). Kata pata
sering digunakan dalam pergaulan masyarakat Maluku sehari-hari, yang mengandung
arti bagian, misalnya: “sagu salempeng di-pata dua ” (artinya: Sagu satu buah
dibagi dua).3
Setiap negeri (desa) di Maluku
Tengah tergolong ke dalam salah satu dari kedua kelompok pata atau uli
tersebut. Patasiwa-patalima ini menurut Cooley, menunjukkan bahwa seluruh
negeri yang tergolong pada salah satu kelompok mempunyai sistem adat yang
serupa dalam segi-segi tertentu. Suatu negeri yang tergolong ke dalam kelompok
sembilan (pata/uli siwa ) atau kelompok lima (pata/uli lima ), mempunyai akibat-akibat
tertentu. Susunan sosial dari negeri-negeri yang tergolong pada kelompok sembilan
dikatakan terdiri dari sembilan satuan yang lebih kecil, demikian pula susunan sosial
dari negeri-negeri yang tergolong pada kelompok lima dikatakan terdiri dari
lima satuan yang lebih kecil. Cooley juga menjelaskan bahwa kedua sistem adat
di daerah Maluku Tengah ini dapat dihubungkan dengan daerah-daerah adat di
pulau Seram. Ada persesuaian pendapat bahwa pembagian Patasiwa-Patalima ini
pada mulanya ditentukan di pulau Seram, dengan pembatasan wilayahnya secara
jelas. Orang-orang patasiwa adalah sekelompok suku Alifuru (suku asli pulau
Seram) yang menghuni bagian Barat pulau Seram, yang sebagian besar terletak di
sebelah Barat dari sungai Mala yang bermuara ke dalam teluk Elpaputih di
sebelah Selatan. Orang-orang patalima menghuni daerah yang terletak di sebelah
Timur perbatasan itu. Kedua kelompok ini juga memiliki perbedaan bahasa. 2,3
Kelompok patasiwa dibagi atas
dua sub-kelompok yaitu: patasiwa hitam (patasiwa mete dalam bahas asli) dan
patasiwa putih dengan pembagian wilayahnya masing-masing. Kelompok patasiwa
putih ini berpindah dari wilayah patasiwa dan mendiami wilayah patalima ,
disebabkan oleh dilancarkannya ekspedisi-ekspedisi hongitochten oleh Belanda (sekitar
1615-1665). Cooley (1988: 120) lebih lanjut mengemukakan suatu data tentang pembagian
kelompok penduduk di pulau Seram yang berasal dari zaman sebelum terjadinya
pengelompokan patasiwa-patalima ini. Cooley menjelaskan bahwa di Seram Barat,
sebelum abad ke-15, terdapat dua golongan suku Alifuru yaitu: Pata Aloene (Halune)
dan Pata Wemale (Memale), dengan pembagian wilayahnya masing-masing. Kelompok Aloene mendiami
wilayah yang dikenal sebagai Patasiwa, sedangkan Wemale mendiami wilayah yang
dikenal sebagai Patalima .
Keuning dalam bukunya Sejarah
Ambon sampai pada akhir abad ke-17 (1973: 11-12), menjelaskan bahwa uli siwa
(persekutuan sembilan) dan uli lima (persekutuan lima) dahulu dikenal di
seluruh Maluku, dan masih terdapat di sebagian kepulauan ini pada masa kini.
Keuning mengutip rekonstruksi Holleman, yang menjelaskan bahwa uli dapat disebut
sebagai suku bangsa, yaitu suatu kelompok agak besar yang terdiri dari orang-orang
yang merasa bahwa mereka adalah kesatuan tersendiri dan mengira berasal dari
satu keturunan. Uli terdiri atas beberapa aman atau hena, suatu nama yang masih
dikenal di negeri-negeri Islam. Aman atau hena merupakan suatu kelompok klen
yang terdiri dari beberapa keturunan berdasarkan garis ayah/laki-laki
(patrilinial) atau yang disebut rumah tau yang terdiri dari sejumlah keluarga
yang hubungan keluarganya masih erat sekali.4
Keuning (1973: 14) menegaskan
bahwa berdasarkan berita-berita orang Portugis ketika tiba di Ambon, telah
terjadi pertentangan tradisional di antara kedua kelompok uli ini yang diakibatkan
oleh pembagian dua (tweedeling) dalam struktur masyarakat. Kaum uli lima
tinggal di bagian terbesar dari semenanjung Hitu (Leihitu), sedangkan Leitimor adalah
daerah kaum uli siwa. Orang Portugis sendiri dalam pertentangan ini menurut Keuning,
memainkan peranan sebagai pihak yang mempercepat pertentangan ini. Keuning juga
menjelaskan bahwa uli lima di Hitu, sejak permulaan abad ke 16 sebagian besar sudah
memeluk agama Islam. Walaupun demikian, masih banyak kepercayaan dan kebiasaan
yang sudah berurat akar tetap bertahan di bawah selimut agama Islam yang baru itu.
Sedangkan di Leitimor sebagai wilayah uli siwa pada zaman itu masih setia
kepadakeyakinannya yang lama.
Penghormatan terhadap arwah nenek moyang adalah unsur penting dari agama Ambon
yang lama.4
Keuning (1973: 15-17)
menjelaskan bahwa Kedudukan batu pemali terhadap baileo termasuk salah satu
ciri pembeda antara kelompok pata siwa dan pata lima. Batu pemali pada uli
lima, letaknya di sisi baileo yang menghadap ke arah pantai, sedangkan pada uli
siwa, batu pemalinya menghadap ke darat. Perbedaan yang lain antara kedua
kelompok ini menurut Keuning yaitu pada uli lima, angka lima memainkan peranan
penting. Mas kawin, denda adat, atau pemberian korban, dinyatakan dalam
kelipatan lima, demikian juga dengan perlengkapan baileo ada hubungannya dengan
angka lima. Angka sembilan bagi uli siwa mempunyai peran yang sama seperti
angka lima bagi uli lima. Cara pembuatan kapal, juga dapat membedakan kedua
kelompok uli ini.4
Uli Sailesi
Discan oleh Ivan Taniputera tanggal 25 Juli 2011 dari buku DE OPKOMST VAN HET NEDERLANDISCH GEZAG IN OOST INDIE (1595-1610) Karya J.H. R. Mr.J.K.J. de Jonge, S Gravenhage, 1864. Halaman 556. |
Uli Sailesi yang merupakan salah satu uli yang bercirikan Ulilima. Uli Lima yang memiliki gelar pemimpin Upu Latu terdiri dari Lima Hena (5 Negri), yang masing-masing Hena dipimpin oleh Hena Upui. Hena terdiri dari Luma Inai (extended fam) yang dipimpin oleh Upui Elak,dan bagian dari Luma Inai adalah Mata Ruma yang dipimpin oleh Upu. Uli Sailesi yang merupakan salah satu uli yang bercirikan Ulilima, meliputi : Negeri Latu / Mamala, Negeri Polut, Negeri Hausihol, Negeri Loing dan Negeri Liang. Jika dikaitkan dengan rekonstruksi Holleman maka ke lima Negeri tersebut memang berasal dari satu keturunan yang tempat tinggal pertamanya di puncak gunung Salahutu yang disebut “Pausela” atau “Ulupokol”. Kemudian pindah ke “Iyal Uli”. Selanjutnya karena dalam perkembangannya jumlah populasinya semakin banyak serta semakin banyaknya migrasi penduduk dari berbagai daerah, maka masyarakatnya menyebar ada yang ke Negeri Latu / Mamala yang membawa panji-panji langsung keturunan berdasarkan garis ayah/laki-laki. Ada yang ke Negeri Polut, Negeri Hausihol, Negeri Liang dan Negeri Loing.
Skema Migrasi Setelah dari Iyal Uli serta setelah tahun 1812 |
Uli Sailesi yang merupakan salah satu uli yang bercirikan Ulilima, meliputi : Negeri Latu / Mamala, Negeri Polut, Negeri Hausihol, Negeri Loing dan Negeri Liang. Jika dikaitkan dengan rekonstruksi Holleman maka ke lima Negeri tersebut memang berasal dari satu keturunan yang tempat tinggal pertamanya di puncak gunung Salahutu yang disebut “Pausela” atau “Ulupokol”. Kemudian pindah ke “Iyal Uli”.
Hal-hal yang membuktikan bahwa
Negeri Mamala adalah Negeri Uli Sailesi adalah sebagai berikut:
1. Negeri
Mamala ber-Pela-Batas dengan Negeri Waai, tepatnya di Hatu Ulu Hatu Waai
2. Ketika
terjadi peperangan berkepanjangan antara Negeri Liang dan Negeri Wai, yang menjadi pendamainya adalah Almarhum A.G. Malawat yang ketika
itu menjabat sebagai pelaksana tugas Raja Mamala.
Peta Uli Sailesi (Sumber : http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Map-island-Ambon.5624) |
Frank Cooley dalam Ambonese
Adat : A General Description menyebutkan pentingnya adat dalam kehidupan
bermasyarakat di Ambon, antara lain ; Adat adalah pemberian nenek moyang atau
leluhur dan harus di patuhi, adat juga merupakan representasi dari perintah
leluhur sebagai pendiri komunitas. Adat adalah sebuah hukum dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat didalam komunitas (1962: 2-4). Kedua dimensi ini saling
berhubungan satu dengan yang lain. Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan
bahwa Leluhur yang adalah pendiri dari komunitas, mendirikan desa (baca: negri)
dan menetapkan adat sebagai sebuah sistem yang mengatur hidup mereka dimasa
kini maupun mengatur hidup keturunan mereka di masa depan. Cooley menambahkan
bahwa mereka yang menjalankan adat mendapatkan berkat dari leluhur (baca: Tete
Nene Moyang), sedangkan mereka yang mengabaikan adat mendapat sebuah kutukan.
Referensi:
1. Luhulima,
1971: 82
2. Frank
Cooley, Altar and Throne in Central Moluccan Societies (1988: 118-122)
3. Frank
Cooley, Ambonese Adat: A General Description (1962: 13)
4. Keuning, Sejarah Ambon (1973: 11-12)
5 DE OPKOMST VAN HET NEDERLANDISCH GEZAG IN OOST INDIE (1595-1610)
Karya J.H. R. Mr.J.K.J. de Jonge, S Gravenhage, 1864
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.