Pendahuluan
Tulisan ini
merupakan bagian dari penjelasan “Misteri Sembilan Bendera Panji Islam Mamala”
dan “Bendera Bergambar Harimau Champa atau Cheetah / Citah” yang bertujuan
menjelaskan hubungan dari “Bendera LatuLiu” dengan Syeikh Ibrahim As-Samarqandy {Ibrahim Zain al-Akbar} yang mengislamkan raja Champa “Che
Bong Nga”. Pemahaman dan pembahasan tentang Wali Songo dalam menjawab misteri
bendera Latu Liu, menjadi sangat penting mengingat bendera Latu Liu mempunyai
hubungan erat dengan kerajaan Champa dilihat dari seluruh gambaran bendera.
Sekaligus mencoba menjawab latar belakang Jamilu yang mengantar anak mantunya
{Pati Putih} berguru ke Sunan Giri seperti dikisahkan dalam Hikayat Tanah Hitu.
Penjabaran ini juga penting untuk melihat hubungan emosional yang erat antara
Majapahit, Demak dan Mamala di Ambon, hingga akhirnya Ratu Kalinyamat
memberikan bantuan sewaktu Tanah Hitu berperang melawan Portugis. Selain hal
itu, juga untuk menegaskan perbedaan penokohan antara Syeikh Maulana Malik Ibrahim
dan Syeikh Ibrahim Asmarqandy serta kaitannya dengan Syeikh Jamaluddin Al Akbar
yang terkenal dengan sebutan Syeikh Jumadil Kubra.
Perbedaan
Silsilah Wali Songo
|
Gambar 1. Silsilah Wali Songo
|
Syeikh
Ibrahim As Samarkand dan Syeikh Maulana Malik Ibrahim adalah dua wali yang
berbeda, namun sering dikaitkan dengan tokoh yang mengislamkan raja Champa.
Dari Champa menuju Maja[ahit. Penyusuran silsilah Wali Songo merupakan upaya
yang rumit, dikarenakan banyak literatur yang memberikan keterangan yang
berbeda.
Syeikh Ibrahim
Zainuddin Al Akbar As-Samarqandiy
Chermin
adalah negara Majapahit saat itu. Sayyid Ali Nurul Alam, sang putra dari
Jumadil Kubro yang menjabat sebagai patih di bawah koordinasi Mahapatih Gajah
Mada. Putranya kemudian melanjutkan posisi Raja Champa pada tahun 1471-1478,
namanya Sultan Maulana Sharif Abdullah Mahmud Umdatuddin alias Wan Bo Tri Tri. Beliau
mempunyai anak bernama Syarif Hidayatullah yang kemudian menjadi Sunan Gunung
Jati. Sebelumnya, anak JumadilKubro lainnya yakni Ibrahim Zainuddin Al Akbar
As-Samarqandiy alias Ibrahim Asmoro, menikah dengan putri Raja Champa bernama
Candra Wulan, salah satu anaknya adalah Sunan Ampel yang lahir di Champa,
beliau adalah paman dari Sunan Gunung Jati.{19} {1}
Putri Champa
menikah dengan raja Majapahit Brawijaya V yang makamnya masih bisa ditemukan di
Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Slamet Muljana menulis buku berjudul
“Runtuhnya Umat Hindu-Jawa kerajaan dan munculnya negara-negara Islam di
Nusantara, ”mengacu kepada Babad Tanah Jawi / Serat Kanda. putri Champa yang
menjadi istri Raja Majapahit Angkawijaya, dinamai Dwarawati hingga melahirkan
Retna Ayu. Putri Champa Dwarawati wafat 1320 Tahun Saka dan dimakamkan Secara
Islam di Citrawulan (sekarang Trowulan). Putri Campha adalah seorang Muslim.
Dia Diyakini bisa mengajak Prabu Brawijaya V masuk Islam setelahnya menikahinya.
Sebab, dalam ajaran Islam, perkawinan
beda agama dilarang. {1}
Champa telah
menjadi kerajaan Islam sejak Raja “Che Bo Nga” yang berkuasa Diislamkan oleh
Sayyid Hussein Jumadil Kubro. Namanya Sultan Zainal Abidin. Sultan Zainal
Abidin berkuasa pada 1360 dan kemudian meninggal dalam perang dengan orang-orang
Viet pada tahun 1390. {1}
Salah satu
tokoh yang memiliki andil besar dalam keberhasilan islamisasi di Jawa adalah
Ibrahim Asmarakandi. Ia disebut-sebut sebagai cendekiawan Muslim sekaligus sufi
yang merupakan keturunan asmara-kandi (Samarkand) Ia juga dikenal sebagai salah satu dai yang
berfokus pada Champa dan Indonesia khususnya Jawa. Ia juga ayah dari Raden
Rahmat (Sunan Ampel), salah satu dari sembilan wali terkenal (Sembilan wali)
yang juga berhasil menyebarkan Islam tidak hanya di Jawa tetapi juga di
Indonesia. Ironisnya, keberhasilannya menjadi salah satu ulama terkemuka
terutama dalam upaya-upaya islamisasi yang juga menghubungkan Samarkand,
Champa, dan Jawa diabaikan oleh para sejarawan. Salah satu buktinya adalah
fakta bahwa nama Samarkand tidak pernah disebut-sebut sebagai tokoh penting
dalam proses awal islamisasi di Indonesia. Kedatangan Islam serta penyebarannya
selalu berkorelasi dengan Gujarat, Malabar, Bengal, Colomader, Persia dan Arab
Saudi.{2}
Ada banyak
transkrip historiografi Islam periode pertama yang menyatakan bahwa Ibrahim
berhasil mempromosikan Islam di masyarakat dan membangun komunitas Muslim yang
sebenarnya menjembatani Samarkand, Champa, dan Jawa. Keberhasilan ini tidak
lepas dari jalur yang ditempuh selama kegiatan usaha islamisasi yang
dilakukannya. Sebagai gambaran, sebelum fokus ke Jawa, ia tinggal lama di
Champa dan berhasil membangun komunitas muslim di daerah tersebut. Setelah
mengislamkan champa, ia melanjutkan islamisasi di Sumatera dan akhirnya menetap
di Gisik.Proses pembentukan komunitas Muslim di Champa yang melibatkan Ibrahim
Asmarakandi dimulai saat ia tiba di daerah tersebut . Meski menempuh rute yang
panjang untuk menuju Champa dari asalnya, perjalanannya ke Champa dianggap
logis mengingat hubungan baik antara Turkistan dan kaisar Cina dari Dinasti
Yuan. Salah satu buktinya adalah dengan diangkatnya beberapa orang Turkistan
sebagai pejabat di istana negara. Selain itu, diasumsikan juga kuat bahwa mereka
juga membangun hubungan baik di daerah Champa mengingat komunitas Muslim sudah
ditemukan di Champa sejak abad ke-10. Mereka telah memiliki otonomi yang
dikenal sebagai tokoh da'i Islam dan menjadi pembantu kaisar Cina sejak abad
ke-15. Di sini, Salah satunya adalah Laksamana Cheng Ho yang terkenal. {2}
Pada abad
ke-14 hingga 15 M, Champa dikenal sebagai kerajaan besar dan merupakan
konfederasi dari lima provinsi; masing-masing dipimpin oleh satu pangeran.
Provinsi tersebut adalah Indrapura, Amarawati, Vijaya, Kauthara, dan
Panduranga. Kemuliaan kerajaan itu terjadi pada era Che Bong Nga 1360-1390 M.
Ibrahim Asmarakandi berhasil memasukkannya ke dalam agama Islam dan namanya
diubah menjadi Sultan Zainal Abidin. Daerah ini merupakan kota terkenal yang
banyak dikunjungi oleh para pedagang di dunia pada awal abad 15 M, termasuk
India dan timur tengah. {2}
Penting
untuk dicatat bahwa kedatangan Asmarakandi dan usahanya dalam dakwah Islam mengganggu
otoritas saat itu. Beberapa penguasa bahkan mengeluarkan instruksi untuk
menghukum semua orang di daerah itu yang mengikuti atau masuk Islam. Ia pun
mengeluarkan perintah untuk menghukum Ibrahim. Kondisi ini membuat Ibrahim
memutuskan untuk berhenti dan pindah tinggal di gunung Singasari yang masih di daerah Champa. Dia mulai mengislamkan
komunitas di daerah baru itu. Kegiatannya berdakwah di wilayah baru ini juga
menimbulkan kemarahan di kalangan penguasa saat itu yang kemudian memutuskan
untuk menghukumnya dengan hukuman mati. Untungnya, sebelum Ibrahim dieksekusi,
penguasa Champa meninggal dunia. Keuntungan bagi Ibrahim adalah raja baru itu
memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang Islam dan Ibrahim Asmarakandi.
Faktanya, dia kemudian masuk Islam dan bahkan menikahkan putrinya dengan
Ibrahim. Di sini, Ibrahim memiliki dua orang putra yaitu Ali Murtolo (Ali
Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kini dikenal sebagai Raja Pandhita dan Sunan
Ampel. Kisah-kisah ini dapat ditemukan di Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit,
dan Babad Tjirebon. {2}
Keberhasilan
Ibrahim Asmarakandi menjadi lingkaran dalam keluarga kaisar tidak dapat
disangkal memainkan peran penting dalam membantu dakwah Islam di Champa. Tidak
dapat disangkal bahwa Islam telah ada di daerah itu sejak abad ke-10 M dan ini
terjadi sebelum kedatangan Ibrahim di daerah tersebut. Namun, penyebarannya
masih tidak signifikan dan penyebaran Islam serta komunitas Muslim menjadi
lebih kuat dan mapan secara signifikan, ketika seorang yang disebut “ Syarif
Auliya” datang ke daerah itu. Beliau kemudian
dikenal sebagai Syarif Ibrahim Zainuddin al-Akbar. Beberapa sumber
seperti babad dan serat menyatakan bahwa Syarif Auliya adalah Syeikh Mahdum
Ibrahim Asmara atau Ibrahim Asmarakandi. {2}
Ibrahim Asmarakandi
menawarkan arah baru bahwa islamisasi pada era awal di Indonesia sebenarnya
berawal dari Samarkand. Selain itu, kajian tersebut juga menunjukkan bahwa
pendekatan dakwahnya adalah tasawuf. Oleh karena itu, meskipun hasil kajian
tersebut tidak serta merta mengubah fakta yang diyakini secara umum tentang
asal mula penyebar Islam pertama di Nusantara, setidaknya akan memberikan
posisi yang kuat bagi wawasan dan pandangan baru bahwa Samarkhand telah
memainkan peran yang tidak dapat disangkal. peran penting dalam proses
islamisasi di Nusantara (Indonesia). Ibrahim, bersama keluarga dan
rekan-rekannya, telah menjadi orang terdepan dalam proses islamisasi di Jawa
dan daerah lain di Indonesia sejak tahun 15 Masehi. Oleh karena itu, relatif
benar jika Samarkhand diberi posisi yang setara dengan Gujarat, Malabar,
Bengal, Kolomander, Persia dan Arab Saudi dalam hal peran-peran awal era
islamisasi di Indonesia. Selain itu, kajian ini juga akan menghasilkan
pengakuan tasawuf sebagai pendekatan yang cukup efektif sejarah proses
islamisasi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Ibrahim adalah seorang sufi
yang hebat dan juga karena fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Ibrahim memang
menggunakan tasawuf sebagai pendekatan dakwahnya. {3}
Walaupun ada
kesamaan pandangan bahwa Islam mulai masuk ke Indonesia sejak berkembang di
Makkah dan Madinah, namun pada masa syahabat, catatan sejarah hanya menemukan
data sejak kedatangan Ibrahim Asmarakandi. Hal ini dibuktikan dengan
diterimanya masyarakat Jawa, dari masyarakat kelas bawah sampai elit, terhadap
Islam dan terhadap Asmarakandi serta para keturunannya dan disini termasuk
Sunan Ampel. Oleh karena itu, sangat relevan untuk menyebutnya sebagai pelopor
dan bapak Islamisasi di Jawa. {3}
Ibrahim
Asmarakandi atau Ibrahim Al-Samarkandi diperkirakan lahir pada paruh awal
periode 14 Masehi. Berdasarkan babad tanah Jawi, ia dikenal sebagai Makdum
Brahim Asmara atau Maulana Ibrahim Asmara. Kata “Asmara” atau Asmarakandi
sepertinya merupakan hasil pengucapan dari dialek Jawa. Selain itu, juga cukup
terlihat bahwa kedatangan Asmarakandi ke Champ sebelum datang ke Jawa
menggunakan media perdagangan di Asia yang berpusat di Samarkand. Historiografi
Islam mencatat dengan jelas bahwa Samarkand telah menjadi bagian penting
sebelum 15 M sejarah islami. Hal tersebut tidak lepas dari penerimaan dan juga
dukungan dari otoritas pada saat itu untuk perkembangan ilmu pengetahuan di
Samarkand. Wewenang atau penguasa pada
saat itu tidak sekedar membatasi perannya dalam menjalankan pemerintahan tetapi
juga mendapat dukungan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. {3}
Era migrasi
Ibrahim Asmarakandi diperkirakan terjadi pada era Dinasti Timurid (1370 M-1506
M). Samarkand, terutama di bawah kekuasaan Timur Lenk (1336-1405 M), tidak
hanya menjadi pusat perkembangan Islam tetapi juga pusat seni arsitektur, ilmu
sekuler modern. Ia juga memainkan peran penting dalam perdagangan di Asia dan
merupakan kawasan perdagangan strategis yang menghubungkan dua benua. Ulugh Bek
(1409–1499) yang menggantikan Timur Lenk terkenal karena memiliki pengetahuan
yang dalam dan luas tentang Islam serta peran aktifnya. dalam pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya melalui perguruan tinggi atau yang biasa disebut Madrasah
di Samarkand. {3}
Salah satu
poin penting dari penuturan ini adalah bahwa Ibrahim Asmara-kandi, tidak
seperti pemahaman pada umumnya, bukanlah Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang
populer di Muslim Nusantara sebagai dai atau dai pertama yang menyebarkan Islam
di Jawa. Bahkan dalam historiografi Jawa, Ibrahim diidentifikasi sebagai
Maulana Malik Ibrahim. Identifikasi yang salah ini menyebabkan rumitnya
mempelajari kisah hidupnya termasuk silsilah dan silsilah keluarganya.
Faktanya, kekeliruan ini juga membawa konsekuensi lain, yakni penyangkalan
Ibrahim Asmarakandi sebagai tokoh sejarah sendiri. Menariknya, situs kuburan
dan gapura serta bilik masjid yang ada di dalam kawasan purbakala menunjukkan
letak yang berbeda serta jaman yang berbeda dengan yang dimiliki Maulana Malik
Ibrahim. Menurut Babad Cerbon, Syekh Ibrahim Asmoroqondi adalah putera
Syekh Karnen dan berasal dari negeri Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini
otentik, berarti Syekh Ibrahim as-Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand,
melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena negeri
Tulen yang dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tuylen, kepulauan kecil yang
terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhstan, tepatnya dia
arah barat Laut Samarkand.Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim
Asmoroqondi disebut dengan nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh
Jatiswara. Seperti dalam sumber historiografi lain, dalam naskah
Nagarakretabhumi, tokoh Molana Ibrahim Akbar disebut sebagai ayah dari Ali
Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal
dengan sebutan Raja Pandhita dan Sunan Ampel. {3}
|
Gambar 2. Silsilah Wali Songo dikutip dari Ref no. 6 |
Selain
karena sangat sulitnya mendapatkan kepastian dalam mendefinisikan dan
menentukan nama asli atau asli dari Ibrahim Asmara-kandi, hal ini dikarenakan
adanya kekurangan yang dibuat oleh historiografi Jawa yang
mengidentifikasikannya sebagai Maulana Ibrahim, bahkan lebih dari itu. sulit
untuk melacak silsilah keluarganya. Sofwan dkk. menyatakan bahwa Kitab Purwaka
Caruban Nagari dan Kitab Hikmatil Asyirah menyebutkan Syekh Ibrahim Asmarakandi
sebagai putra Syekh Jamaluddin Jumadil Kubro dan ayah Sunan Ampel. Di sini,
nama Ibrahim Asmarakandi disebut sebagai Ibrahim Zainal al-Akbar.Diakui, cukup
sulit untuk menentukan silsilah mana atau data mana yang dapat dibenarkan
sebagai yang valid. Salah satu penyebab terbesarnya adalah tidak adanya dokumen
yang dapat mendukung setiap data tersebut di atas. Sebagai gambaran, narasumber
yang benar-benar menceritakan kisah biografi Maulana Jamaludin Akbar Husein,
Jamaluddin Jumadil Kubro, atau Jamaluddin al-Husein yang diklaim sebagai nama
ayah Ibrahim hampir mustahil ditemukan. Artinya silsilah keluarga Ibrahim
Asmarakandi masih menjadi misteri hingga saat ini.Meskipun demikian, penting
untuk dicatat bahwa tidak ada satupun ahli sejarah yang menyangkal kelahiran
Ibrahim di Samarkand. Ada beberapa bukti yang membuktikan hal tersebut dan
salah satunya adalah adanya naskah “Usul Nem Bis” yang terdiri dari enam bab
yang tersebar. secara luas di banyak sekolah tradisional (pesantren). Dalam
manuskrip ini, setiap bab secara konsisten diawali dengan “Bismillah al-rahman al-rahim”. Naskah ini ditulis oleh Ibrahim
Asmara yang nama belakang diambil dari ejaan al- Samarkandi sebagai asalnya
dari Samarkand di Asia Tengah. Penambahan nama daerah asal penulis sebagai nama
belakang merupakan hal yang lumrah dan masih umum sampai saat ini. {3}
Keseragaman
silsilah Sunan Ampel juga mendukung anggapan bahwa Ibrahim Asmarakandi berasal
dari Samarkand. Asumsi Ibrahim al-Samarkandi berasal dari Samarkand di Asia didasarkan
pada tiga hal: fakta bahwa istilah Al-samarkandi dilafalkan Asmarakandi,
keberadaan kitab Usul Nem Bis, keseragaman silsilah Sunan Ampel. Dalam berbagai
silsilah, sosok tersebut selalu dikorelasikan dengan nama Husein bin Ali bin
Abi Thalib yang asal-usulnya dikenal luas di beberapa negara besar di luar Arab
khususnya di Khurasan. Untuk diketahui bahwa Khurasan pada masa itu meliputi
sebagian besar Asia Tengah termasuk Samarkand.
Selain itu, ditemukannya Suluk Ngasmara atau Asmara; sebuah kitab
tasawuf, yang bertanggal 15 M, juga mendukung data yang ada. Suluk ini diyakini
kuat karena ditulis oleh Ibrahim Asmara-kandi yang juga digunakan oleh
Zoetmulder (1990), sebagai data pembanding dalam pembahasan Kitab Sunan Bonang.
Di sini, walaupun hanya membandingkan antara dokumen Kitab Sunan Bonang dan
Suluk Ngasmara dari segi sastra, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa
pengarang Mahdum Ibrahim Asmara adalah kakek dari Sunan Bonang. {3}
Aspek
sejarah penting lainnya dari Ibrahim Asmarakandi adalah lokasi kuburan.
Kebanyakan sejarawan memiliki pandangan yang sama tentang kuburan Ibrahim
Asmarakandi. Secara historis, setelah sukses mengislamkan masyarakat di Champa,
ia berniat membuka wilayah dakwah baru di Jawa yang berada di bawah kekuasaan
Majapahit saat itu. Ia datang ke Jawa melalui pelabuhan Tuban dan pindah ke
sisi timur pelabuhan untuk memulai upaya islamisasi di Gisik. Sayangnya,
impiannya untuk menjadikan kawasan itu sebagai pusat islamisasi belum terwujud.
Setelah tinggal di Gisik, akhirnya ia meninggal dunia dan dimakamkan di depan
pantai. Kuburan selalu dianggap sakral oleh masyarakat sekitar serta sebagian
besar Muslim tradisional. Makam ini dikenal dengan nama Makam Sunan Gesik atau
Sunan Gesik. Sekarang, Gisik telah berubah menjadi Gisikharjo yang secara
administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Palang, Tuban-Jawa Timur. {3}
Semua
pembahasan di atas memberikan petunjuk yang sangat penting bahwa Ibrahim
Asmarakandi adalah salah satu dai Islam pertama di Jawa, yang profil dan
sejarahnya hingga saat ini masih belum jelas. Historiografi Jawa yang
mengidentifikasi dan mempersonifikasikan Ibrahim asmarakandi sebagai Makdum
Ibrahim disebut-sebut menjadi salah satu faktor di balik misteri tersebut.Personifikasi
yang salah ini menimbulkan berbagai pendapat sejarawan tentang latar belakang
keluarga dan silsilah Ibrahim. Meskipun demikian, ada satu cara pandang yang
sama di antara mereka, yaitu Ibrahim adalah seorang pengkhotbah yang berasal
dari Samarkand. Selain itu, makam yang berada di tepi pantai Gesik juga
merupakan hal lain yang disepakati oleh sebagian besar ahli sejarah. {3]
Setelah
tinggal di Champa kurang lebih 20 tahun, Ibrahim memutuskan untuk membuka
kawasan dakwah baru dan pilihannya adalah membukanya di Jawa sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi. Salah satu alasan di balik pilihan
ini adalah optimisme bahwa upaya tersebut akan berhasil karena pada saat itu
Jawa sebagian besar berada di bawah kekuasaan Majapahit dan terdapat hubungan
yang erat antara Champa dan Kerajaan Majapahit. Ini karena salah satu penguasa
Majapahit adalah ipar istrinya. Dewi Darawati, adik Dewi Condrowulan, menikah
dengan Prabu Brawijaya (Raja Majapahit). Babad Walisongo menceritakan bahwa
perjalanan Ibrahim ke Jawa ditemani oleh keluarga besarnya dan di sini termasuk
kedua putranya, Raden Burereh (keponakannya) serta sejumlah kerabat dan
teman-temannya. Mereka melakukan perjalanan menyusuri Sumatera hingga pelabuhan
Palembang. {3}
Di Palembang,
kedatangan Ibrahim disambut oleh Adipati Arya Damar. Adipati Arya Damar
sebenarnya adalah salah satu pangeran dari Majapahit yang dipercaya sebagai
penguasa di Palembang. Menariknya, dalam pertemuan mereka, Ibrahim menyempatkan
diri berdiskusi tentang keyakinan mereka; mereka Islam dan Hindu. Di sini,
Ibrahim menekankan aspek tasawuf dan spiritual Islam yang memiliki kemiripan
dengan Hindu. Diceritakan dalam sejarah bahwa Adipati Arya Damar tergerak
dengan diskusi tersebut hingga akhirnya ia masuk Islam dan berganti nama
menjadi Ario Abdullah. Keputusannya menjadi seorang Muslim tidak dapat
disangkal telah terbuka bagi penyebaran dan kemapanan Islam. komunitas Muslim
di antara masyarakat elit di Palembang; para penguasa dan bangsawan. Akibatnya,
Islam kemudian diterima oleh sebagian besar masyarakat pada tingkat status yang
lebih rendah. {3}
|
Gambar 3. Silsilah Wali Songo Dikutip dari Ref no.6 |
Seperti
semua sayyid Hadrami, turunan
keenam Imam Syiah, Jafar
al-Sadiq, melalui cicitnya, Ahmad al-Muhajir merupakan keturunan Nabi pertama
yang menetap di Hadramaut. Silsilah untuk enam generasi berikutnya itu tetap
identik dengan beberapa keluarga terkemuka sayyid Hadrami (misalnya, Mahayudin
1984: 40, 47, 50, 54-5; al-Baqir 1986: 17, 42). Nenek moyang terakhir
Jamaluddin dengan kategori sayyid adalah
Muhammad 'Sahib Mirbat yang cucunya bernama Abd al-Malik, dikatakan telah menetap
di Nasrabad, di India, di mana keturunannya dikenal sebagai keluarga Adhamat
Khan dan melahirkan gelar bangsawan, cucunya Ahmad bahkan dipanggil 'Syah'
(al-Haddad 1403/1983: 6-7; al-Baqir 1986: 42).
Jamaluddin putranya Ahmad Jalal Shah dan anak saudara-saudaranya
dikatakan telah berkumpul di seluruh Asia Tenggara, Jamaluddin sendiri pertama
kali menginjakkan kaki di Champa dan Aceh, lalu berlayar pergi ke Semarang dan
menghabiskan bertahun-tahun di Jawa, dan akhirnya melanjutkan lebih jauh ke
timur ke 'pulau Bugis', di mana dia meninggal (al-Haddad 1403/1983: 8-11).
Putranya, Ibrahim Zain al-Akbar, menikah dengan seorang putri Champa dan melahirkan dua putra, Maulana Ishaq dan
Rahmatullah, alias Sunan Ampel. Melalui putranya yang lain, Ali Nur al-Alam,
Jamaluddin menjadi buyut Sunan Gunung Jati, dan melalui putra ketiga, Zain
al-Alim, kakek dari wali lain, Maulana Malik Ibrahim.{4}
Jamaluddin
al-Akbar ini memiliki banyak kesamaan dengan Jumadil Kubra dari babad. Al-Baqir
juga memperhatikan hal ini, berkomentar bahwa buku-buku berbahasa Jawa sering
salah menuliskan nama Jamaluddin sebagai Jumadil Kubra (al-Baqir 1986: 43n). Kisah
Jamaluddin adalah produk dari upaya awal abad ke-20 untuk 'mengoreksi' legenda
Jawa. Kubra diganti dengan Akbar yang lebih 'tepat', dan Jumadi dengan nama
Arab yang paling mirip, Jamaluddin. Selanjutnya, silsilah yang lebih kredibel
dibangun, sayyid Hadrami dengan nyaman juga menjadi keturunan dari Jafar
al-Sadiq, seperti Jumadil Kubra dari babad. Berbeda dan seringkali legenda yang
saling bertentangan yang melibatkan Jumadil Kubra digabungkan menjadi satu
kesatuan yang kurang lebih koheren.[4]
Semua cerita
yang dikisahkan di atas menghasilkan kesimpulan yang penting, yaitu fakta bahwa
Ibrahim Asmarakandi memang mengambil peran yang sangat penting dalam proses
islamisasi pertama baik di Champa maupun di Jawa. Ia berhasil menjadikan Islam
tidak hanya disebarkan dan diterima oleh masyarakat umum dari kalangan bawah
tetapi juga oleh masyarakat elit. Hal itu dibuktikan dengan naiknya Raja Champa
menjadi Muslim dan juga dengan pernikahan Ibrahim dengan putrinya, Dewi
Condrowulan. Tak hanya di champa, Ibrahim juga berhasil membangun komunitas
muslim di Palembang. Terbukti dengan disahkannya Adipati Palembang, Adipati
Arya Damar, menjadi Muslim. Penyebaran Islam di semua lapisan dan golongan
masyarakat muslim di palembang juga terjadi di Tuban. Ibrahim dan keluarganya
berhasil menjaga hubungan baik dengan para elit dan salah satu strateginya
adalah melalui pilihannya untuk menikahkan cucunya dengan putra adipati Tuban.
{2}
Keberhasilan
Ibrahim Asmarakandi dalam mengislamkan Champa dan Jawa tidak lepas dari
pendekatan tasawufnya. Penelitian Zoetmouder menemukan bahwa ia adalah salah
satu sufi terkenal di masanya bahkan telah menyusun secara lengkap bukunya
tentang tasawuf yang terkenal oleh masyarakat judul “Suluk ngasmara”. Buku ini
diperkirakan lebih tua dari “Suluk Wujil” karangan Sunan Bonang. {2}
Sunan Ampel {Raden Rahmat}
Setelah Syekh Ibrahim As Samarkand wafat, maka Sunan Ampel
diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai mufti atau pemimpin agama Islam di
Pulau Jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan Sunan
merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta, atau Ngampel
Denta (menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsme), itu dinisbahkan kepada tempat
tinggalnya, sebuah nama tempat dekat Surabaya. {5}
Menurut tradisi, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan
istana Majapahit, bahkan isterinya pun berasal dari kalangan istana, bernama
Nyai Ageng Manila putri seorang Adipati di Tuban, bernama Arya Teja. la
dikaruniai beberapa putera dan puteri, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana
Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang
merupakan isteri dari Sunan Kudus. Di antaranya yang menjadi penerusnya adalah
Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana
membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai
utara Pulau Jawa tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan mendapat restu
dari penguasa kerajaan. {5}
Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuangan Ibrahim As Samarkand. Memulai aktivitasnya
dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi
bagian dari Surabaya, yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang
pertama di Jawa. Agar pesantren yang didirikan di Ampel Denta yang berawa-rawa,
daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit mendapat simpatik, mula-mula ia
merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan abad ke-15, pesantren tersebut
menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh. Para pemuda-pemudi Islam
dididik sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh
pulau Jawa. Di antara muridnya Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan
Sunan Giri, Raden Patah (Raden Fatah, putera Prabu Brawijaya V, raja Majapahit)
yang kemudian menjadi Sultan Pertama dari Kesultanan Islam di Bintoro Demak
(1475 M.), Raden Makdum Ibrahim yang dikenal dengan Sunan Bonang (putera Raden
Rahmat), Raden Kosim Syarifuddin yang dikenal dengan Sunan Drajat (putera Raden
Rahmat), Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk dakwah
islamiyah disana, dan banyak lagi muballig yang mempunyai andil besar dalam
dakwah Islam di Pulau Jawa, dan Madura. {5}
Sunan Ampel
turut membidani lahirnya Kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibukota
di Bintoro, Demak, tahun 1477 atau 1479 M. la pula yang menunjuk muridnya Raden
Fatah, putra Prabu Brawijaya VI Majapahit, menjadi Sultan Demak tahun 1475 M
dengan gelar: Sultan Alam Akbar AI Fatah. Kota Demak terletak sekitar 25 km di
selatan Kota Kudus. Karenanya, tidaklah berlebihan jika kemudian Sunan Ampel
dipandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di
Nusantara.{5}
Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Wali Songo dan pendiri
kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di Desa Giri, Kebomas, Kabupaten
Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan (nama lama dari daerah Banyuwangi)
tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku,
Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. {5}
Menurut tradisi Sunan Giri merupakan keturunan Rasulullah
SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi,
Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi
ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul
Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin
Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren di
Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah Ba ‘Alawi Hadramaut. {5}
Beberapa
babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian
babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang muballigh yang
datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu
putri dari Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan (sekarang beralih
nama Banyuwangi) pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit, Maulana Ishaq
menikah dengan Dewi Sekardadu menurunkan dua orang putera, yakni pertama Raden
Paku alias Sunan Giri dan kedua Dewi Saroh yang kemudian menjadi isteri Sunan
Kalijaga. {5}
Raden Paku
atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin
kemudian mendirikan sebuah pesantren Giri di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti,
Kebomas. Dalam bahasa Sansekerta, kata ‘giri’ berarti ‘gunung’ atau ‘bukit’.
Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri. Zainal Abidin
Sultan Ternate (1486 - 1500) adalah salah seorang yang pernah menuntut ilmu di
Giri dan menjadi murid Sunan Giri Prabu Satmata. {7}
Pesantren
Giri tidak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit,
namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Pesantren ini kemudian
menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa,
bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa, Sumba,
Flores, Ternate, Sulawesi dan Maluku. {5}
Terkait
peran aktif Sunan Giri dengan pesantrennya, sangat menggelitik sikap dan
tindakan Raja Majapahit20, konon karena khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan, hingga kemudian Majapahit memberi keleluasaan
padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itu pun berkembang menjadi
salah satu pusat kekuasaan Kesultanan yang disebut Giri Kedaton. Sunan Giri
memerintah Kesultanan Giri Kedaton dengan Gelar Prabu Satmoto pada tahun
1487-1506 M.22 Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat
politik yang penting di Jawa waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari
Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer
Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya,
Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti,
pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. {5}
Mamala di
Tanah Hitu {Ambon}
Hikayat Tanah Hitu menceritakan kisah Jamilu yang mengantar
anak mantunya Pati Putih berguru pada Sunan Giri yang saat itu bersamaan dengan
Sultan Zaenal Abidin dari Ternate. Hubungan emosional yang erat antara Mamala
di Tanah Hitu dengan para Wali Songo terlihat ketika Tanah Hitu berperang
melawan Portugis.
Catatan: Pembahasan selanjutnya pada artikel ini akan
dijadikan satu dengan pembahasan pada artikel Misteri Bendera Panji Islam di Mamala.
Daftar Pustaka
1.
Ismardi, Zulkifli, Kamiruddin, Afrizal Ahmad,
THE INFLUENCE OF HINDUISM TOWARD ISLAM BANI: STUDY OF RELIGIOUS THOUGHT OF
MUSLIM CHAMPA, VIET NAM,State Islamic University of Sultan Syarif Kasim Riau,
Indonesia 20zulkifli.marjuni@uin-suska.ac.id
2.
.Anonym, THE IMMIGRATION OF MOSLEM DESCENDENTS
OF NORTH-AFRICA FROM THE PHILIPPINES TO MAINLAND CHINA
3.
Mukaffa Z, A NEW ACCOUNT ON THE POTRAIT OF
IBRAHIM ASMARAKANDI AND HIS SUFISM APPROACH IN ISLAMIZATION OF JAVA,UIN Sunan
Ampel, Surabaya – Indonesia | zumrotul_mukafah@yahoo.com
4.
Bruinessen Van Marthin, Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and
Jamaluddin al-Akbar,Traces of Kubrawiyya Influence in Early Indonesian
Islam,In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150 (1994), no: 2,
Leiden, 305-329
5.
Sulistiono
Budi, WALI SONGO DALAM PENTAS SEJARAH
NUSANTARA, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah ,Jakarta.
6.
Slideshare
(adab-2013)lesson#-7-relationship-(adab-in
following-madzhab)-(5-oct-2013)Available at https://www.slideshare.net/zhulkeflee/slideshare-adab2013lesson7relationshipadabin-followingmadzhab5oct2013
7.
H.J.de Graaf, “South East Asian Islam to The
Eighteenth Century”, The Cambridge History of Islam, Editor PM Holt, Ann
K.S.Lambton, Berbad Lewis, Cambridge at the University Press, 1970,