Jumat, 30 Oktober 2020

Peralihan Mamala dari Ulisiwa menjadi Ulilima di Ambon (Tanah Hitu)

 Pendahuluan



Penjelasan peralihan Mamala dari Ulisiwa menjadi Ulilima merupakan fakta sejarah yang perlu diperhatikan dalam sejarah Tanah Hitu (Ambon). Hal ini menjadi penting, mengingat fakta ini terkubur dengan keberadaan sejarah Tanah Hitu yang sudah ada.


Uraian



Mamala adalah  sebutan  untuk  Latu  yang  dulunya terletak  di perbukitan  yang  menjorok ke laut (Tanjung)  sehingga  oleh  bangsa Iberia disebut sebagai  Mamala.  Sehingga  sebutan ini terdapat  di beberapa tempat  seperti  Mamala di Hawai, Mamala di Kerala India dll.  Dahulunya Mamala adalah ulisiwa bersama Halong, Hutumuri, Baguala, dan  Hatiwe.  Ulisiwa dari semua negeri  di  Ambon  menurut  Hatib Kadir dalam tesis nya mempunyai  ciri batu pamalinya di belakang  baileo,  untuk  Mamala kategori  ulisiwanya Mamala saat itu  terletak di pegunungan  Salahutu yang disebut  "Ulu Pokol".


Penyebutan  tentang ulisiwanya Mamala ini tidak ditemukan  di HTH,  tetapi terdapat  dalam  Rhumpius dan Valentin.  Tetapi kemudian  keterangan  tentang peralihan Ulisiwa menjadi  ulilimanya Mamala dipertegas oleh HTH yang menyebutkan ketika Pati Putih (Anak mantunya Jamilu)   sekembalinya  dari Giri bersama Sultan Ternate. Sultan Ternate  dan Pati Putih saat itu sudah bersepakat untuk  menjaga kebersamaan  posisi  dan derajat Ternate dan Tanah Hitu. Saat itu Pati Putih menerangkan inilah sembilan  kampung (Uli Siwa)  ditambah Hitu menjadi sepuluh. 


Dalam  perkembangan selanjutnya  keempat negeri  di atas  lebih memilih Portugis. 


Saat di tegakkan kerajaan  Tanah Hitu yang meliputi  tujuh uli atau tigapuluh negeri dari Seith,  Negeri Lima  hingga Tial.  Terkumpul  dalam tujuh uli yang  berkategorikan ulilima,  yakni Uli Solemata, Saylesi, Halawang,  Sawani, Hatunuku,  Nau Binau dan Ala.  Kesemuanya  umumnya  terdiri  dari Lima negeri kecuali pada Uli Solemata (Tulehu, Tengah-Tengah, Tial) dan Uli Halawang yang hanya terdiri  dari Hunut, Mossapal  dan Tomu. 


Dari ketigapuluh negeri tersebut... Mamala selalu disebut sebagai  "Latu of het eugentlyc Mamala"


Perkembangan  kerajaan  Tanah Hitu sebenarnya  layu sebelum  berkembang oleh  karena  bersamaan dengan pertempuran panjang melawan Portugis.  


Pada saat era Jamilu, wilayah  ulisiwa yang  terbentang dari Ureng hingga Alang semuanya dimasukkan  dalam wilayah  Tanah Hitu  (Lihat HTH) 


Pada masa "Uka Latu Unus Halaene" (Kakak Kandung Kapitan Kakiali) beliau mengklaim lagi wilayah  tersebut. Sehingga  beliau  dibenci bukan hanya oleh Belanda tetapi juga  oleh orang orang  ulisiwa di wilayah  tersebut .  Hal ini terlihat ketika Belanda menyerang Kapahaha sebagian orang ulisiwa ini ikut membantu  Belanda. 


Mulanya sebagian masyarakat  Maluku beranggapan  bahwa ulisiwa dan ulilima ini adalah  karena pengaruh Tidore(ulisiwa) dan Ternate (Ulilima). Ternyata  dibantah oleh Ziwar Efendi... Yang  menyatakan ulisiwa dan ulilima di Ambon  adalah budaya adat asli masyarakat  Ambon yang diperkuat oleh tesisnya  Hatib Kadir.


Kesimpulan


Penjelasan ini memperlihatkan posisi Mamala yang sudah ada sebelum terbentuknya kerajaan Islam Tanah Hitu.

Senin, 14 September 2020

Bendera Latu Liu, Benderanya Sang Raja Champa di Vietnam Yang Bermigrasi Ke Jailolo Hingga Ke Mamala di Tanah Hitu {Ambon}

Pendahuluan

Pemaparan tentang hal ini merupakan bagian dari tulisan-tulisan   “Bendera bergambar Harimau Champa atau Cheetah/ Citah” dan  “Pengaruh Wali SongoTerhadap Champa di Vietnam dan Mamala di Tanah Hitu {Ambon}”. Ketiganya merupakan penjelasan dari tulisan “Misteri Sembilan Panji Islam Mamala”.  Historiografi runtuhnya kerajaan Champa di Vietnam tahun 1471 dan historiografi pemilihan raja Jailolo antara Jamilu {didukung oleh Ternate} dan Ketarabumi akhir abad ke-15, juga menjadi kunci penyingkapan keberadaan bendera Latu Liu di Mamala, dengan memastikan bahwa Mihirsihul-lah yang membawa bendera tersebut, yang oleh masyarakat Mamala disebut sebagai bendera Latu Liu. Pada topik kali ini memuat pembahasan tentang komposisi  simbol serta membahas definisi dan fungsi dari simbol secara umum, terkhusus yang ada pada bendera Latu Liu yang menggambarkan identitas  dari  Mihirsihul  yang sebenarnya merupakan raja Champa. Raja Champa yang sebelum Islam bernama “Che Bong Nga” atau “Paman Bunga” setelah di-Islamkan oleh  Syeikh Ibrahim As-Samarkandy {Ibrahim Zain al-Akbar}, berganti nama menjadi Zainal Abidin. Hal ini menjadi kunci penyingkapan identitas “Mihirsihul” sang “Latu Liu” yang membawa bendera ini ke Mamala, yang sebelumnya sempat menetap di Jailolo.

Gambaran Umum Bendera Latu Liu





Gambar 2. Bendera Latu Liu

Senin, 07 September 2020

Pengaruh "WaliSongo" terhadap Champa di Vietnam dan Mamala di Tanah Hitu {Ambon}

 

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan bagian dari penjelasan  “Misteri Sembilan Bendera Panji Islam Mamala” dan “Bendera Bergambar Harimau Champa atau Cheetah / Citah” yang bertujuan menjelaskan hubungan  dari “Bendera LatuLiu” dengan Syeikh Ibrahim As-Samarqandy {Ibrahim Zain al-Akbar} yang mengislamkan raja Champa “Che Bong Nga”. Pemahaman dan pembahasan tentang Wali Songo dalam menjawab misteri bendera Latu Liu, menjadi sangat penting mengingat bendera Latu Liu mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Champa dilihat dari seluruh gambaran bendera. Sekaligus mencoba menjawab latar belakang Jamilu yang mengantar anak mantunya {Pati Putih} berguru ke Sunan Giri seperti dikisahkan dalam Hikayat Tanah Hitu. Penjabaran ini juga penting untuk melihat hubungan emosional yang erat antara Majapahit, Demak dan Mamala di Ambon, hingga akhirnya Ratu Kalinyamat memberikan bantuan sewaktu Tanah Hitu berperang melawan Portugis. Selain hal itu, juga untuk menegaskan perbedaan penokohan antara Syeikh Maulana Malik Ibrahim dan Syeikh Ibrahim Asmarqandy serta kaitannya dengan Syeikh Jamaluddin Al Akbar yang terkenal dengan sebutan Syeikh Jumadil Kubra.

Perbedaan Silsilah Wali Songo

Gambar 1. Silsilah Wali Songo


Syeikh Ibrahim As Samarkand dan Syeikh Maulana Malik Ibrahim adalah dua wali yang berbeda, namun sering dikaitkan dengan tokoh yang mengislamkan raja Champa. Dari Champa menuju Maja[ahit. Penyusuran silsilah Wali Songo merupakan upaya yang rumit, dikarenakan banyak literatur yang memberikan keterangan yang berbeda.

Syeikh Ibrahim Zainuddin Al Akbar As-Samarqandiy

Chermin adalah negara Majapahit saat itu. Sayyid Ali Nurul Alam, sang putra dari Jumadil Kubro yang menjabat sebagai patih di bawah koordinasi Mahapatih Gajah Mada. Putranya kemudian melanjutkan posisi Raja Champa pada tahun 1471-1478, namanya Sultan Maulana Sharif Abdullah Mahmud Umdatuddin alias Wan Bo Tri Tri. Beliau mempunyai anak bernama Syarif Hidayatullah yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jati. Sebelumnya, anak JumadilKubro lainnya yakni Ibrahim Zainuddin Al Akbar As-Samarqandiy alias Ibrahim Asmoro, menikah dengan putri Raja Champa bernama Candra Wulan, salah satu anaknya adalah Sunan Ampel yang lahir di Champa, beliau  adalah  paman dari Sunan Gunung Jati.{19} {1}

Putri Champa menikah dengan raja Majapahit Brawijaya V yang makamnya masih bisa ditemukan di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Slamet Muljana menulis buku berjudul “Runtuhnya Umat Hindu-Jawa kerajaan dan munculnya negara-negara Islam di Nusantara, ”mengacu kepada Babad Tanah Jawi / Serat Kanda. putri Champa yang menjadi istri Raja Majapahit Angkawijaya, dinamai Dwarawati hingga melahirkan Retna Ayu. Putri Champa Dwarawati wafat 1320 Tahun Saka dan dimakamkan Secara Islam di Citrawulan (sekarang Trowulan). Putri Campha adalah seorang Muslim. Dia Diyakini bisa mengajak Prabu Brawijaya V masuk Islam setelahnya menikahinya. Sebab, dalam ajaran Islam,  perkawinan beda agama dilarang. {1}

Champa telah menjadi kerajaan Islam sejak Raja “Che Bo Nga” yang berkuasa Diislamkan oleh Sayyid Hussein Jumadil Kubro. Namanya Sultan Zainal Abidin. Sultan Zainal Abidin berkuasa pada 1360 dan kemudian meninggal dalam perang dengan orang-orang Viet pada tahun 1390.  {1}

Salah satu tokoh yang memiliki andil besar dalam keberhasilan islamisasi di Jawa adalah Ibrahim Asmarakandi. Ia disebut-sebut sebagai cendekiawan Muslim sekaligus sufi yang merupakan keturunan asmara-kandi (Samarkand)  Ia juga dikenal sebagai salah satu dai yang berfokus pada Champa dan Indonesia khususnya Jawa. Ia juga ayah dari Raden Rahmat (Sunan Ampel), salah satu dari sembilan wali terkenal (Sembilan wali) yang juga berhasil menyebarkan Islam tidak hanya di Jawa tetapi juga di Indonesia. Ironisnya, keberhasilannya menjadi salah satu ulama terkemuka terutama dalam upaya-upaya islamisasi yang juga menghubungkan Samarkand, Champa, dan Jawa diabaikan oleh para sejarawan. Salah satu buktinya adalah fakta bahwa nama Samarkand tidak pernah disebut-sebut sebagai tokoh penting dalam proses awal islamisasi di Indonesia. Kedatangan Islam serta penyebarannya selalu berkorelasi dengan Gujarat, Malabar, Bengal, Colomader, Persia dan Arab Saudi.{2}

Ada banyak transkrip historiografi Islam periode pertama yang menyatakan bahwa Ibrahim berhasil mempromosikan Islam di masyarakat dan membangun komunitas Muslim yang sebenarnya menjembatani Samarkand, Champa, dan Jawa. Keberhasilan ini tidak lepas dari jalur yang ditempuh selama kegiatan usaha islamisasi yang dilakukannya. Sebagai gambaran, sebelum fokus ke Jawa, ia tinggal lama di Champa dan berhasil membangun komunitas muslim di daerah tersebut. Setelah mengislamkan champa, ia melanjutkan islamisasi di Sumatera dan akhirnya menetap di Gisik.Proses pembentukan komunitas Muslim di Champa yang melibatkan Ibrahim Asmarakandi dimulai saat ia tiba di daerah tersebut . Meski menempuh rute yang panjang untuk menuju Champa dari asalnya, perjalanannya ke Champa dianggap logis mengingat hubungan baik antara Turkistan dan kaisar Cina dari Dinasti Yuan. Salah satu buktinya adalah dengan diangkatnya beberapa orang Turkistan sebagai pejabat di istana negara. Selain itu, diasumsikan juga kuat bahwa mereka juga membangun hubungan baik di daerah Champa mengingat komunitas Muslim sudah ditemukan di Champa sejak abad ke-10. Mereka telah memiliki otonomi yang dikenal sebagai tokoh da'i Islam dan menjadi pembantu kaisar Cina sejak abad ke-15. Di sini, Salah satunya adalah Laksamana Cheng Ho yang terkenal. {2}

Pada abad ke-14 hingga 15 M, Champa dikenal sebagai kerajaan besar dan merupakan konfederasi dari lima provinsi; masing-masing dipimpin oleh satu pangeran. Provinsi tersebut adalah Indrapura, Amarawati, Vijaya, Kauthara, dan Panduranga. Kemuliaan kerajaan itu terjadi pada era Che Bong Nga 1360-1390 M. Ibrahim Asmarakandi berhasil memasukkannya ke dalam agama Islam dan namanya diubah menjadi Sultan Zainal Abidin. Daerah ini merupakan kota terkenal yang banyak dikunjungi oleh para pedagang di dunia pada awal abad 15 M, termasuk India dan timur tengah.  {2}

Penting untuk dicatat bahwa kedatangan Asmarakandi dan usahanya dalam dakwah Islam mengganggu otoritas saat itu. Beberapa penguasa bahkan mengeluarkan instruksi untuk menghukum semua orang di daerah itu yang mengikuti atau masuk Islam. Ia pun mengeluarkan perintah untuk menghukum Ibrahim. Kondisi ini membuat Ibrahim memutuskan untuk berhenti dan pindah tinggal di gunung Singasari yang  masih di daerah Champa. Dia mulai mengislamkan komunitas di daerah baru itu. Kegiatannya berdakwah di wilayah baru ini juga menimbulkan kemarahan di kalangan penguasa saat itu yang kemudian memutuskan untuk menghukumnya dengan hukuman mati. Untungnya, sebelum Ibrahim dieksekusi, penguasa Champa meninggal dunia. Keuntungan bagi Ibrahim adalah raja baru itu memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang Islam dan Ibrahim Asmarakandi. Faktanya, dia kemudian masuk Islam dan bahkan menikahkan putrinya dengan Ibrahim. Di sini, Ibrahim memiliki dua orang putra yaitu Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kini dikenal sebagai Raja Pandhita dan Sunan Ampel. Kisah-kisah ini dapat ditemukan di Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Tjirebon. {2}

Keberhasilan Ibrahim Asmarakandi menjadi lingkaran dalam keluarga kaisar tidak dapat disangkal memainkan peran penting dalam membantu dakwah Islam di Champa. Tidak dapat disangkal bahwa Islam telah ada di daerah itu sejak abad ke-10 M dan ini terjadi sebelum kedatangan Ibrahim di daerah tersebut. Namun, penyebarannya masih tidak signifikan dan penyebaran Islam serta komunitas Muslim menjadi lebih kuat dan mapan secara signifikan, ketika seorang yang disebut “ Syarif Auliya” datang ke daerah itu. Beliau kemudian  dikenal sebagai Syarif Ibrahim Zainuddin al-Akbar. Beberapa sumber seperti babad dan serat menyatakan bahwa Syarif Auliya adalah Syeikh Mahdum Ibrahim Asmara atau Ibrahim Asmarakandi. {2}

Ibrahim Asmarakandi menawarkan arah baru bahwa islamisasi pada era awal di Indonesia sebenarnya berawal dari Samarkand. Selain itu, kajian tersebut juga menunjukkan bahwa pendekatan dakwahnya adalah tasawuf. Oleh karena itu, meskipun hasil kajian tersebut tidak serta merta mengubah fakta yang diyakini secara umum tentang asal mula penyebar Islam pertama di Nusantara, setidaknya akan memberikan posisi yang kuat bagi wawasan dan pandangan baru bahwa Samarkhand telah memainkan peran yang tidak dapat disangkal. peran penting dalam proses islamisasi di Nusantara (Indonesia). Ibrahim, bersama keluarga dan rekan-rekannya, telah menjadi orang terdepan dalam proses islamisasi di Jawa dan daerah lain di Indonesia sejak tahun 15 Masehi. Oleh karena itu, relatif benar jika Samarkhand diberi posisi yang setara dengan Gujarat, Malabar, Bengal, Kolomander, Persia dan Arab Saudi dalam hal peran-peran awal era islamisasi di Indonesia. Selain itu, kajian ini juga akan menghasilkan pengakuan tasawuf sebagai pendekatan yang cukup efektif sejarah proses islamisasi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Ibrahim adalah seorang sufi yang hebat dan juga karena fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Ibrahim memang menggunakan tasawuf sebagai pendekatan dakwahnya. {3}

Walaupun ada kesamaan pandangan bahwa Islam mulai masuk ke Indonesia sejak berkembang di Makkah dan Madinah, namun pada masa syahabat, catatan sejarah hanya menemukan data sejak kedatangan Ibrahim Asmarakandi. Hal ini dibuktikan dengan diterimanya masyarakat Jawa, dari masyarakat kelas bawah sampai elit, terhadap Islam dan terhadap Asmarakandi serta para keturunannya dan disini termasuk Sunan Ampel. Oleh karena itu, sangat relevan untuk menyebutnya sebagai pelopor dan bapak Islamisasi di Jawa.  {3}

Ibrahim Asmarakandi atau Ibrahim Al-Samarkandi diperkirakan lahir pada paruh awal periode 14 Masehi. Berdasarkan babad tanah Jawi, ia dikenal sebagai Makdum Brahim Asmara atau Maulana Ibrahim Asmara. Kata “Asmara” atau Asmarakandi sepertinya merupakan hasil pengucapan dari dialek Jawa. Selain itu, juga cukup terlihat bahwa kedatangan Asmarakandi ke Champ sebelum datang ke Jawa menggunakan media perdagangan di Asia yang berpusat di Samarkand. Historiografi Islam mencatat dengan jelas bahwa Samarkand telah menjadi bagian penting sebelum 15 M sejarah islami. Hal tersebut tidak lepas dari penerimaan dan juga dukungan dari otoritas pada saat itu untuk perkembangan ilmu pengetahuan di Samarkand.  Wewenang atau penguasa pada saat itu tidak sekedar membatasi perannya dalam menjalankan pemerintahan tetapi juga mendapat dukungan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. {3}

Era migrasi Ibrahim Asmarakandi diperkirakan terjadi pada era Dinasti Timurid (1370 M-1506 M). Samarkand, terutama di bawah kekuasaan Timur Lenk (1336-1405 M), tidak hanya menjadi pusat perkembangan Islam tetapi juga pusat seni arsitektur, ilmu sekuler modern. Ia juga memainkan peran penting dalam perdagangan di Asia dan merupakan kawasan perdagangan strategis yang menghubungkan dua benua. Ulugh Bek (1409–1499) yang menggantikan Timur Lenk terkenal karena memiliki pengetahuan yang dalam dan luas tentang Islam serta peran aktifnya. dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya melalui perguruan tinggi atau yang biasa disebut Madrasah di Samarkand. {3}

Salah satu poin penting dari penuturan ini adalah bahwa Ibrahim Asmara-kandi, tidak seperti pemahaman pada umumnya, bukanlah Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang populer di Muslim Nusantara sebagai dai atau dai pertama yang menyebarkan Islam di Jawa. Bahkan dalam historiografi Jawa, Ibrahim diidentifikasi sebagai Maulana Malik Ibrahim. Identifikasi yang salah ini menyebabkan rumitnya mempelajari kisah hidupnya termasuk silsilah dan silsilah keluarganya. Faktanya, kekeliruan ini juga membawa konsekuensi lain, yakni penyangkalan Ibrahim Asmarakandi sebagai tokoh sejarah sendiri. Menariknya, situs kuburan dan gapura serta bilik masjid yang ada di dalam kawasan purbakala menunjukkan letak yang berbeda serta jaman yang berbeda dengan yang dimiliki Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Cerbon, Syekh Ibrahim Asmoroqondi adalah putera Syekh Karnen dan berasal dari negeri Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini otentik, berarti Syekh Ibrahim as-Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand, melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena negeri Tulen yang dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tuylen, kepulauan kecil yang terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhstan, tepatnya dia arah barat Laut Samarkand.Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim Asmoroqondi disebut dengan nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Seperti dalam sumber historiografi lain, dalam naskah Nagarakretabhumi, tokoh Molana Ibrahim Akbar disebut sebagai ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan Raja Pandhita dan Sunan Ampel. {3}

Gambar 2. Silsilah Wali Songo dikutip dari referensi no 6
Gambar 2. Silsilah Wali Songo dikutip dari Ref no. 6


Selain karena sangat sulitnya mendapatkan kepastian dalam mendefinisikan dan menentukan nama asli atau asli dari Ibrahim Asmara-kandi, hal ini dikarenakan adanya kekurangan yang dibuat oleh historiografi Jawa yang mengidentifikasikannya sebagai Maulana Ibrahim, bahkan lebih dari itu. sulit untuk melacak silsilah keluarganya. Sofwan dkk. menyatakan bahwa Kitab Purwaka Caruban Nagari dan Kitab Hikmatil Asyirah menyebutkan Syekh Ibrahim Asmarakandi sebagai putra Syekh Jamaluddin Jumadil Kubro dan ayah Sunan Ampel. Di sini, nama Ibrahim Asmarakandi disebut sebagai Ibrahim Zainal al-Akbar.Diakui, cukup sulit untuk menentukan silsilah mana atau data mana yang dapat dibenarkan sebagai yang valid. Salah satu penyebab terbesarnya adalah tidak adanya dokumen yang dapat mendukung setiap data tersebut di atas. Sebagai gambaran, narasumber yang benar-benar menceritakan kisah biografi Maulana Jamaludin Akbar Husein, Jamaluddin Jumadil Kubro, atau Jamaluddin al-Husein yang diklaim sebagai nama ayah Ibrahim hampir mustahil ditemukan. Artinya silsilah keluarga Ibrahim Asmarakandi masih menjadi misteri hingga saat ini.Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak ada satupun ahli sejarah yang menyangkal kelahiran Ibrahim di Samarkand. Ada beberapa bukti yang membuktikan hal tersebut dan salah satunya adalah adanya naskah “Usul Nem Bis” yang terdiri dari enam bab yang tersebar. secara luas di banyak sekolah tradisional (pesantren). Dalam manuskrip ini, setiap bab secara konsisten diawali dengan “Bismillah al-rahman  al-rahim”. Naskah ini ditulis oleh Ibrahim Asmara yang nama belakang diambil dari ejaan al- Samarkandi sebagai asalnya dari Samarkand di Asia Tengah. Penambahan nama daerah asal penulis sebagai nama belakang merupakan hal yang lumrah dan masih umum sampai saat ini.  {3}

Keseragaman silsilah Sunan Ampel juga mendukung anggapan bahwa Ibrahim Asmarakandi berasal dari Samarkand. Asumsi Ibrahim al-Samarkandi berasal dari Samarkand di Asia didasarkan pada tiga hal: fakta bahwa istilah Al-samarkandi dilafalkan Asmarakandi, keberadaan kitab Usul Nem Bis, keseragaman silsilah Sunan Ampel. Dalam berbagai silsilah, sosok tersebut selalu dikorelasikan dengan nama Husein bin Ali bin Abi Thalib yang asal-usulnya dikenal luas di beberapa negara besar di luar Arab khususnya di Khurasan. Untuk diketahui bahwa Khurasan pada masa itu meliputi sebagian besar Asia Tengah termasuk Samarkand.  Selain itu, ditemukannya Suluk Ngasmara atau Asmara; sebuah kitab tasawuf, yang bertanggal 15 M, juga mendukung data yang ada. Suluk ini diyakini kuat karena ditulis oleh Ibrahim Asmara-kandi yang juga digunakan oleh Zoetmulder (1990), sebagai data pembanding dalam pembahasan Kitab Sunan Bonang. Di sini, walaupun hanya membandingkan antara dokumen Kitab Sunan Bonang dan Suluk Ngasmara dari segi sastra, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa pengarang Mahdum Ibrahim Asmara adalah kakek dari Sunan Bonang. {3}

Aspek sejarah penting lainnya dari Ibrahim Asmarakandi adalah lokasi kuburan. Kebanyakan sejarawan memiliki pandangan yang sama tentang kuburan Ibrahim Asmarakandi. Secara historis, setelah sukses mengislamkan masyarakat di Champa, ia berniat membuka wilayah dakwah baru di Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit saat itu. Ia datang ke Jawa melalui pelabuhan Tuban dan pindah ke sisi timur pelabuhan untuk memulai upaya islamisasi di Gisik. Sayangnya, impiannya untuk menjadikan kawasan itu sebagai pusat islamisasi belum terwujud. Setelah tinggal di Gisik, akhirnya ia meninggal dunia dan dimakamkan di depan pantai. Kuburan selalu dianggap sakral oleh masyarakat sekitar serta sebagian besar Muslim tradisional. Makam ini dikenal dengan nama Makam Sunan Gesik atau Sunan Gesik. Sekarang, Gisik telah berubah menjadi Gisikharjo yang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Palang, Tuban-Jawa Timur. {3}

Semua pembahasan di atas memberikan petunjuk yang sangat penting bahwa Ibrahim Asmarakandi adalah salah satu dai Islam pertama di Jawa, yang profil dan sejarahnya hingga saat ini masih belum jelas. Historiografi Jawa yang mengidentifikasi dan mempersonifikasikan Ibrahim asmarakandi sebagai Makdum Ibrahim disebut-sebut menjadi salah satu faktor di balik misteri tersebut.Personifikasi yang salah ini menimbulkan berbagai pendapat sejarawan tentang latar belakang keluarga dan silsilah Ibrahim. Meskipun demikian, ada satu cara pandang yang sama di antara mereka, yaitu Ibrahim adalah seorang pengkhotbah yang berasal dari Samarkand. Selain itu, makam yang berada di tepi pantai Gesik juga merupakan hal lain yang disepakati oleh sebagian besar ahli sejarah. {3]

Setelah tinggal di Champa kurang lebih 20 tahun, Ibrahim memutuskan untuk membuka kawasan dakwah baru dan pilihannya adalah membukanya di Jawa sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi. Salah satu alasan di balik pilihan ini adalah optimisme bahwa upaya tersebut akan berhasil karena pada saat itu Jawa sebagian besar berada di bawah kekuasaan Majapahit dan terdapat hubungan yang erat antara Champa dan Kerajaan Majapahit. Ini karena salah satu penguasa Majapahit adalah ipar istrinya. Dewi Darawati, adik Dewi Condrowulan, menikah dengan Prabu Brawijaya (Raja Majapahit). Babad Walisongo menceritakan bahwa perjalanan Ibrahim ke Jawa ditemani oleh keluarga besarnya dan di sini termasuk kedua putranya, Raden Burereh (keponakannya) serta sejumlah kerabat dan teman-temannya. Mereka melakukan perjalanan menyusuri Sumatera hingga pelabuhan Palembang. {3}

Di Palembang, kedatangan Ibrahim disambut oleh Adipati Arya Damar. Adipati Arya Damar sebenarnya adalah salah satu pangeran dari Majapahit yang dipercaya sebagai penguasa di Palembang. Menariknya, dalam pertemuan mereka, Ibrahim menyempatkan diri berdiskusi tentang keyakinan mereka; mereka Islam dan Hindu. Di sini, Ibrahim menekankan aspek tasawuf dan spiritual Islam yang memiliki kemiripan dengan Hindu. Diceritakan dalam sejarah bahwa Adipati Arya Damar tergerak dengan diskusi tersebut hingga akhirnya ia masuk Islam dan berganti nama menjadi Ario Abdullah. Keputusannya menjadi seorang Muslim tidak dapat disangkal telah terbuka bagi penyebaran dan kemapanan Islam. komunitas Muslim di antara masyarakat elit di Palembang; para penguasa dan bangsawan. Akibatnya, Islam kemudian diterima oleh sebagian besar masyarakat pada tingkat status yang lebih rendah. {3}

Gambar 3. Silsilah Wali Songo Dikutip dari Ref no.6


Seperti semua sayyid Hadrami, turunan  keenam  Imam Syiah, Jafar al-Sadiq, melalui cicitnya, Ahmad al-Muhajir merupakan keturunan Nabi pertama yang menetap di Hadramaut. Silsilah untuk enam generasi berikutnya itu tetap identik dengan beberapa keluarga terkemuka sayyid Hadrami (misalnya, Mahayudin 1984: 40, 47, 50, 54-5; al-Baqir 1986: 17, 42). Nenek moyang terakhir Jamaluddin  dengan kategori sayyid adalah Muhammad 'Sahib Mirbat yang cucunya bernama Abd al-Malik, dikatakan telah menetap di Nasrabad, di India, di mana  keturunannya dikenal sebagai keluarga Adhamat Khan dan melahirkan gelar bangsawan, cucunya Ahmad bahkan dipanggil 'Syah' (al-Haddad 1403/1983: 6-7; al-Baqir 1986: 42).  Jamaluddin putranya Ahmad Jalal Shah dan anak saudara-saudaranya dikatakan telah berkumpul di seluruh Asia Tenggara, Jamaluddin sendiri pertama kali menginjakkan kaki di Champa dan Aceh, lalu berlayar pergi ke Semarang dan menghabiskan bertahun-tahun di Jawa, dan akhirnya melanjutkan lebih jauh ke timur ke 'pulau Bugis', di mana dia meninggal (al-Haddad 1403/1983: 8-11). Putranya, Ibrahim Zain al-Akbar, menikah dengan seorang putri Champa  dan melahirkan dua putra, Maulana Ishaq dan Rahmatullah, alias Sunan Ampel. Melalui putranya yang lain, Ali Nur al-Alam, Jamaluddin menjadi buyut Sunan Gunung Jati, dan melalui putra ketiga, Zain al-Alim, kakek dari wali lain, Maulana Malik Ibrahim.{4}

Jamaluddin al-Akbar ini memiliki banyak kesamaan dengan Jumadil Kubra dari babad. Al-Baqir juga memperhatikan hal ini, berkomentar bahwa buku-buku berbahasa Jawa sering salah menuliskan nama Jamaluddin sebagai Jumadil Kubra (al-Baqir 1986: 43n). Kisah Jamaluddin adalah produk dari upaya awal abad ke-20 untuk 'mengoreksi' legenda Jawa. Kubra diganti dengan Akbar yang lebih 'tepat', dan Jumadi dengan nama Arab yang paling mirip, Jamaluddin. Selanjutnya, silsilah yang lebih kredibel dibangun, sayyid Hadrami dengan nyaman juga menjadi keturunan dari Jafar al-Sadiq, seperti Jumadil Kubra dari babad. Berbeda dan seringkali legenda yang saling bertentangan yang melibatkan Jumadil Kubra digabungkan menjadi satu kesatuan yang kurang lebih koheren.[4]

Semua cerita yang dikisahkan di atas menghasilkan kesimpulan yang penting, yaitu fakta bahwa Ibrahim Asmarakandi memang mengambil peran yang sangat penting dalam proses islamisasi pertama baik di Champa maupun di Jawa. Ia berhasil menjadikan Islam tidak hanya disebarkan dan diterima oleh masyarakat umum dari kalangan bawah tetapi juga oleh masyarakat elit. Hal itu dibuktikan dengan naiknya Raja Champa menjadi Muslim dan juga dengan pernikahan Ibrahim dengan putrinya, Dewi Condrowulan. Tak hanya di champa, Ibrahim juga berhasil membangun komunitas muslim di Palembang. Terbukti dengan disahkannya Adipati Palembang, Adipati Arya Damar, menjadi Muslim. Penyebaran Islam di semua lapisan dan golongan masyarakat muslim di palembang juga terjadi di Tuban. Ibrahim dan keluarganya berhasil menjaga hubungan baik dengan para elit dan salah satu strateginya adalah melalui pilihannya untuk menikahkan cucunya dengan putra adipati Tuban. {2}

Keberhasilan Ibrahim Asmarakandi dalam mengislamkan Champa dan Jawa tidak lepas dari pendekatan tasawufnya. Penelitian Zoetmouder menemukan bahwa ia adalah salah satu sufi terkenal di masanya bahkan telah menyusun secara lengkap bukunya tentang tasawuf yang terkenal oleh masyarakat judul “Suluk ngasmara”. Buku ini diperkirakan lebih tua dari “Suluk Wujil” karangan Sunan Bonang.  {2}

Sunan Ampel {Raden Rahmat}

Setelah Syekh Ibrahim As Samarkand wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai mufti atau pemimpin agama Islam di Pulau Jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan Sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta, atau Ngampel Denta (menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsme), itu dinisbahkan kepada tempat tinggalnya, sebuah nama tempat dekat Surabaya. {5}

Menurut tradisi, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan isterinya pun berasal dari kalangan istana, bernama Nyai Ageng Manila putri seorang Adipati di Tuban, bernama Arya Teja. la dikaruniai beberapa putera dan puteri, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan isteri dari Sunan Kudus. Di antaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan mendapat restu dari penguasa kerajaan. {5}

Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuangan  Ibrahim As Samarkand. Memulai aktivitasnya dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya, yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Jawa. Agar pesantren yang didirikan di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit mendapat simpatik, mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan abad ke-15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh. Para pemuda-pemudi Islam dididik sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh pulau Jawa. Di antara muridnya Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah (Raden Fatah, putera Prabu Brawijaya V, raja Majapahit) yang kemudian menjadi Sultan Pertama dari Kesultanan Islam di Bintoro Demak (1475 M.), Raden Makdum Ibrahim yang dikenal dengan Sunan Bonang (putera Raden Rahmat), Raden Kosim Syarifuddin yang dikenal dengan Sunan Drajat (putera Raden Rahmat), Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk dakwah islamiyah disana, dan banyak lagi muballig yang mempunyai andil besar dalam dakwah Islam di Pulau Jawa, dan Madura. {5}

Sunan Ampel turut membidani lahirnya Kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibukota di Bintoro, Demak, tahun 1477 atau 1479 M. la pula yang menunjuk muridnya Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya VI Majapahit, menjadi Sultan Demak tahun 1475 M dengan gelar: Sultan Alam Akbar AI Fatah. Kota Demak terletak sekitar 25 km di selatan Kota Kudus. Karenanya, tidaklah berlebihan jika kemudian Sunan Ampel dipandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di Nusantara.{5}

Sunan Giri

Sunan Giri adalah nama salah seorang Wali Songo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di Desa Giri, Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan (nama lama dari daerah Banyuwangi) tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. {5}

Menurut tradisi Sunan Giri merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren di Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah Ba ‘Alawi Hadramaut. {5}

Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang muballigh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan (sekarang beralih nama Banyuwangi) pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit, Maulana Ishaq menikah dengan Dewi Sekardadu menurunkan dua orang putera, yakni pertama Raden Paku alias Sunan Giri dan kedua Dewi Saroh yang kemudian menjadi isteri Sunan Kalijaga. {5}

Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin  kemudian mendirikan sebuah pesantren Giri di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Sansekerta, kata ‘giri’ berarti ‘gunung’ atau ‘bukit’. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri. Zainal Abidin Sultan Ternate (1486 - 1500) adalah salah seorang yang pernah menuntut ilmu di Giri dan menjadi murid Sunan Giri Prabu Satmata. {7}  

Pesantren Giri tidak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Pesantren ini kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Sulawesi dan Maluku. {5}

Terkait peran aktif Sunan Giri dengan pesantrennya, sangat menggelitik sikap dan tindakan Raja Majapahit20, konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan, hingga kemudian Majapahit memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itu pun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan Kesultanan yang disebut Giri Kedaton. Sunan Giri memerintah Kesultanan Giri Kedaton dengan Gelar Prabu Satmoto pada tahun 1487-1506 M.22 Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. {5}

Mamala di Tanah Hitu {Ambon}

Hikayat Tanah Hitu menceritakan kisah Jamilu yang mengantar anak mantunya Pati Putih berguru pada Sunan Giri yang saat itu bersamaan dengan Sultan Zaenal Abidin dari Ternate. Hubungan emosional yang erat antara Mamala di Tanah Hitu dengan para Wali Songo terlihat ketika Tanah Hitu berperang melawan Portugis.

Catatan: Pembahasan selanjutnya pada artikel ini akan dijadikan satu dengan pembahasan pada artikel Misteri Bendera Panji Islam di Mamala.

 

 

 Daftar Pustaka

1.      Ismardi, Zulkifli, Kamiruddin, Afrizal Ahmad, THE INFLUENCE OF HINDUISM TOWARD ISLAM BANI: STUDY OF RELIGIOUS THOUGHT OF MUSLIM CHAMPA, VIET NAM,State Islamic University of Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia 20zulkifli.marjuni@uin-suska.ac.id

2.      .Anonym, THE IMMIGRATION OF MOSLEM DESCENDENTS OF NORTH-AFRICA FROM THE PHILIPPINES TO MAINLAND CHINA

3.      Mukaffa Z, A NEW ACCOUNT ON THE POTRAIT OF IBRAHIM ASMARAKANDI AND HIS SUFISM APPROACH IN ISLAMIZATION OF JAVA,UIN Sunan Ampel, Surabaya – Indonesia | zumrotul_mukafah@yahoo.com

4.      Bruinessen Van Marthin,  Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar,Traces of Kubrawiyya Influence in Early Indonesian Islam,In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150 (1994), no: 2, Leiden, 305-329

5.       Sulistiono Budi,  WALI SONGO DALAM PENTAS SEJARAH NUSANTARA,  Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ,Jakarta.

6.      Slideshare (adab-2013)lesson#-7-relationship-(adab-in following-madzhab)-(5-oct-2013)Available at https://www.slideshare.net/zhulkeflee/slideshare-adab2013lesson7relationshipadabin-followingmadzhab5oct2013

7.      H.J.de Graaf, “South East Asian Islam to The Eighteenth Century”, The Cambridge History of Islam, Editor PM Holt, Ann K.S.Lambton, Berbad Lewis, Cambridge at the University Press, 1970,

 

 

Sabtu, 05 September 2020

Bendera Bergambar Harimau Champa atau “Cheetah”/Citah

 Bendera ini berukuran sekitar 100 x 40 cm, warnanya kini sudah pudar hitam keabu-abuan. Di dalam bendera tersebut terdaoat tiga buah gambar. Gambar yang paling bawah dan atas bergambarkan harimau Champa atau “Cheetah”/Citah dengan kepala  pada masing-masing harimau mengarah ke logo atau gambar perisai di bagian tengah dengan tulisan dua kalimat syahadat. Di sekeliling pinggiran perisai berpola segitiga sebanyak delapan buah yang bertuliskan dua kalimat syahadat yang tersebar di delapan segitiga tesebut. Latar dasar dari ketiga gambar pada bendera tersebut warnanya sudah mulai memudar. Kedelapan segitiga tersebut menyerupai pola segiempat yang tumpang tindih yang salah satunya diputar, dalam banyak kasus merupakan tanda otonom {Signs and Simbols Their Design and Meaning}. {24} Pola segitiga sebanyak delapan buah yang mengelilingi bulatan ini mempunyai kesamaan dengan bendera Iraq tahun  1959-1963. {1}

Gambar 1. Bendera Bergambar Harimau Champa


Kedelapan segitiga tersebut, mengelilingi dua  bulatan yang berisi kaligrafi tulisan Dua kalimat Syahadat, demikian pula dengan kedelapan segitiga tersebut memperlihatkan penggalan kata dari dua kalimat Syahadat. Pada lingkaran bagian dalam terdapat formasi tulisan berupa hizib. Pengertian simbol bulatan yang berisi dua kalimat Syahadat tersebut sebagai berikut:  Manusia modern mungkin memiliki sifat yang lebih spontan hubungannya dengan garis lurus dibandingkan dengan kurva. Aktivitas sehari-hari dengan permukaan tanah dan dengan segala jenis konstruksi terutama didasarkan pada dua prinsip horizontal dan vertikal. Sedangkan untuk simbol yang berbentuk bulat lebih berhubungan dengan indera daripada pikiran. Di dalam lingkaran, seseorang akan menemukan garis dengan pengulangan yang kekal, tanpa awal maupun akhir, dan mengelilingi pusat yang tak terlihat tapi sangat tepat. Ini membandingkan dengan ide perjalanan waktu, yang mana datang entah dari mana dan tidak ada habisnya.

Perasaan berada di dalam lingkaran mungkin bisa diartikan sebagai dorongan menuju pusat  atau pencarian kesatuan hidup yang misterius. Sebaliknya dengan akal, kehidupan yang aktif memancar dari yang tak terlihat dari pusat ke luar, ke sekeliling. Berdiri di luar lingkaran, kita diingatkan tentang matahari, pemberi kehidupan yang sangat diperlukan dengan sinar-sinarnya memancar dalam bentuk lingkaran, dan bulan yang menerangi malam melalui refleksi.  {2}

Harimau yang terdapat bendera sesuai dengan ciri khas yang menunjang adanya ukuran kaki belakang yang lebih panjang dari kaki depan. Harimau Champa atau “Cheetah”/Citah digambarkan dengan harimau loreng yang sangat galak. {3,4}

Fakta Harimau

Kamuflase

Para ilmuwan telah mengklasifikasikan kucing menjadi 37 spesies - kucing domestik dan 36 kucing liar. Masing-masing spesies kucing ini, mulai dari singa dan macan tutul, hingga kucing caracal dan pemancing, memiliki warna dan pola bulu yang berbeda.

Banyak kucing menghabiskan banyak waktu dalam bayang-bayang. Saat sinar matahari menyentuh daun pohon, semak dan rerumputan, hal itu menciptakan pola bercak terang dan gelap yang berbeda di mana-mana. Bintik atau garis pada bulu kucing sering kali cocok dengan pola tersebut. Dengan demikian, kucing menyatu dengan latar belakangnya sehingga lebih mudah baginya untuk tetap tidak diperhatikan musuh atau menyelinap di mangsa.

Warna dan pola bulu kucing bervariasi tergantung pada lingkungan tempat mereka tinggal.

Harimau: memiliki garis-garis vertikal di atas tubuhnya yang berwarna kuning-orrange. Garis-garisnya menyatu dengan rerumputan. Penandaan tersebut membantu harimau untuk mengintai mangsanya tanpa disadari. Harimau di wilayah Sumatera memiliki belang paling banyak, dan harimau di wilayah Siberia memiliki belang paling sedikit. Garis-garis harimau seperti sidik jari manusia; tidak ada dua harimau yang memiliki pola garis yang sama.

Leopord: bulunya ditandai dengan mawar hitam kecil yang rapat. Beberapa macan tutul merembes tidak memiliki bintik-bintik - mereka disebut macan kumbang hitam {black panthers}. Tapi kucing ini benar-benar macan tutul biasa dengan bulu gelap. Pola normal bintik-bintik dapat dilihat jika diamati dengan cermat.

Singa: hidup di jalur hutan berduri dengan padang rumput yang diselingi. bulunya berwarna coklat tanpa bercak atau pola di atasnya. Pewarnaan seragam ini membantu singa menyatu dengan latar belakang di padang rumput terbuka.

Snow Leopord: Warna bulunya berkisar dari abu-abu lembut hingga putih bersih di bagian bawah, dengan mawar besar.

“Clouded Leopord”: Warna tubuh bervariasi dari abu-abu hingga coklat tanah, dengan bercak gelap yang dilapisi dengan hitam. ia mendiami hutan hijau yang lebat di mana ia berburu di malam hari.

Kucing Pemancing {Fishing Cat}: Tanda tubuh terdiri dari serangkaian titik memanjang yang diatur dalam baris yang kurang lebih memanjang dari kepala ke ekor

Caracal: Pewarnaannya adalah coklat kemerahan unifom

“Cheetah” / Citah :  memiliki bintik-bintik hitam padat. sekarang sudah punah di India. {6}

Harimau berhasil memburu mangsanya hanya dalam 10 hingga 20 persen percobaan. Tidak seperti “cheetah”/ Citah, harimau tidak bisa berlari mengejarnya dalam jarak jauh. Ia membunuh dengan mengintai mangsanya dari belakang, merayap di atasnya, dan kemudian melompat ke atasnya. Seekor harimau biasanya mengeluarkan 2-3  air mata dan menyerah jika tidak berhasil menjatuhkan mangsanya.{5}

Sekilas Tentang “Cheetah” atau Citah

Citah (bahasa Sanskerta: chitraka, berarti "berbintik", bahasa Inggris: cheetah, bahasa Latin: Acinonyx jubatus) adalah anggota keluarga kucing (Felidae) yang berburu mangsa dengan menggunakan kecepatan dan bukan taktik mengendap-endap atau bergerombol. Hewan ini adalah hewan yang tercepat di antara hewan darat dan dapat mencapai kecepatan 110 km/jam dalam waktu singkat sampai 460 m, dengan akselerasi 0 – 100 km/jam dalam waktu 3,5 detik, lebih cepat dari beberapa mobil balap. Konon, selama bertahun-tahun citah hanya dikenal sebagai cerita hantu. Menurut cerita, binatang pemangsa besar dengan garis-garis mirip harimau pada tubuhnya ini sering membawa kabur orang-orang yang berada di perbatasan Mozambik. Penduduk di sana sering memberi julukan citah dengan "magwa". {6}

Gambar 2. "Cheetah" / Citah


Citah juga dikenal sebagai pemangsa paling efisien di  bumi. Mengejar dan menerkam mangsa hanya ketika mangsa itu ada dalam jangkauannya. Hewan ini tergolong pintar dengan kemampuannya mendeteksi hewan yang paling lemah. Ia menjatuhkan korban bukan dengan menerkam seperti singa atau harimau. Tapi pada sentuhan kecil di kaki belakang korban yang sedang berlari kencang. Saat korban jatuh, citah kemudian menerkam tengkuk korban untuk kemudian selanjutnya dicengkram hingga kehabisan darah. {5}

Mengingat penggunaan istilah harimau Champa atau “Cheetah”/Citah yang sesuai dengan KBBI tentang definisi ganbar citah atau harimau pada bendera masjid, maka istilah harimau Champa atau “Cheetah”/Citah tetap digunakan pada tulisan ini, apalagi banyak referensi terkait dengan Champa menyebut harimau yang gambaran sebetulnya adalah citah {Cheetah}

Harimau Champa atau “Cheetah”/Citah dalam penyebutan sering disebut harimau campa. Urang Campa adalah sebutan bagi komunitas Campa dalam bahasa mereka sendiri. Sedangkan di Malaysia mereka disebut sebagai Melayu Champa.{7}

Kepala dari kedua harimau tersebut mengarah kepada gambar perisai yang terdiri dari kaligrafi Dua Kalimat syahadat disertai delapan segitiga yang bertuliskan lapadz kata dari kalimat  Syahadat.

Rub el Hizb (bahasa Arab: Ų±ŲØŲ¹ Ų§Ł„Ų­Ų²ŲØ rubŹæ al-įø„izb) adalah simbol Islam berbentuk oktagram, dipresentasikan sebagai dua kotak {segi empat} yang saling tumpang tindih, yang terdapat pada sejumlah lambang dan bendera. Dalam bahasa Arab, RubŹ» berarti "seperempat", sedangkan Hizb berarti kelompok atau partai. Awalnya, ini digunakan dalam Alquran, yang dibagi menjadi 60 Hizb (60 kelompok dengan panjang yang kira-kira sama); simbol menentukan setiap seperempat Hizb, sedangkan Hizb adalah setengah dari satu juz '. Tujuan utama dari sistem pemisah ini adalah untuk memudahkan pengajian Alquran.  {8}

Gambar 3. Pola Segi Delapan dengan Lafaz Syahadat


Gambaran perisai dari bendera harimau Champa atau “Cheetah”/Citah ini juga mempunyai kemiripan dengan “Surya Majapahit”. Surya Majapahit (Matahari Majapahit) adalah lambang yang biasa ditemukan di reruntuhan yang berasal dari zaman Majapahit. Lambang tersebut biasanya berbentuk sinar matahari berujung delapan dengan bagian yang membulat di tengahnya yang menggambarkan dewa-dewa Hindu. Lambang tersebut  berbentuk diagram kosmologis yang dihalangi oleh sinar matahari "Surya Majapahit" yang khas,  atau lingkaran sederhana dengan sinar matahari yang khas. Karena popularitas lambang matahari ini pada zaman Majapahit, maka diperkirakan lambang matahari ini dijadikan sebagai lambang kerajaan kerajaan Majapahit.{9}

Gambar 4. Perbandingan dengan Surya Majapahit


Pembahasan

Dari lambang-lambang yang ada pada bendera, memperlihatkan jati diri masyarakat Mamala yang ramah, dan menjunjung  nilai-nilai agama Islam dengan berdasarkan pada kalimat Syahadat, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Allah”. Bendera memperlihatkan prinsip dalam berumallah, membangun persaudaraan sesama, dengan prinsip-prinsip Islam, ramah terhadap segala golongan dan agama, namun jika akidah agamanya diganggu, maka mereka akan cepat sekali menanggapinya. Ramah namun bersahaya diperlihatkan oleh gambaran harimau yang memalingkan mukanya.

Bendera menjadikan Tauhid, sebagai  sentral dari sikap dalam hidup, merupakan akar utama yang harus memberikan energi kepada pokok, dahan, dan daun kehidupan, yang menentukan gerak dan gerak dan kualitas air kehidupan.  Semua aktivitas  kehidupan mestilah berangkat dari Tauhid tersebut.

Gambaran pola segi delapan pada perisai bendera, tidak seperti gambaran pada bendera Iraq tahun 1959-1963, yang polanya berasal dua persegi empat yang susunannya bersilang. Sekalipun tidak mempunyai pola yang sama persis, namun pola segi delapan tetap menjadi benang merah hubungan antara keberadaan bendera yang berkaitan dengan Iraq dalam hal ini adalah dinasti Abbasyiah. Pola segidelapan dari perisai bendera lebih menyerupai bendera surya Majapahit, yang memberikan saksi hubungan antara kerajaan Champa dan kerajaan Majapahit serta Mamala.

Bendera ini disebut sebagai bendera tokoh leluhur Mamala yang bernama “Uka Leka / Lekalahabessy”. Beliau merupakan panglima perang kerajaan Champa yang menemani “Latu Liu” yang merupakan raja kerajaan Champa yang bermigrasi ke Mamala.

Kesimpulan

Bendera ini merupakan salah satu bukti penegasan Islam di Mamala

Saran

Diperlukan upaya penelitian lebih lanjut dalam kajian sejarah yang telah dituturkan di atas

 

 

Referensi

1.     Elie Podeh, The Symbolism of The Arab Flag in Modern Arab States,Between Commonality and Uniqueness,Article in Nations and Nationalism · January 2011

2.     Adrian Frutiger, Signs and Symbols Their Design and Meaning, Copyright © 1989 Weiss Verlag GmbH, Dreieich, West Germany

3.     Ciri-ciri Harimau, Available at https://www.ciri-ciri.id/2017/09/ciri-ciri-harimau.html

4.     Harimau Campa Di Kamus Besar Bahasa Indonesia {KBBI} available at https://lektur.id/arti-harimau-campa/#:~:text=Harimau%20Campa%20Di%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia%20(KBBI)&text=Harimau%20campa%20adalah%20harimau%20loreng,berasal%20dari%20kata%20dasar%20harimau.

5.     Sahni Rasleen Kaur, Tales of the Tiger, Centre for Environment Education 2006

6.     Citah, https://id.wikipedia.org/wiki/Citah

7.     Djati Palinngam R, Sekilas Tragedi Sejarah Bangsa Champa, available at https://www.kompasiana.com/fadz/5509df858133114e70b1e30d/sekilas-tragedi-sejarah-bangsa-champa

8.     Rub El Hizb, https://en.wikipedia.org/wiki/Rub_el_Hizb

9.     Surya Majapahit,https://en.wikipedia.org/wiki/Surya_Majapahit

 

 

Jumat, 31 Juli 2020

Peperangan, Perlawanan, dan Penentangan Di Desa Hunut kuno. (Bagian 2)



Untuk mengenal desa Hunut di abad ke 17, dapat dilihat dalam Generale Lantbeschrijving Of Amboina, karangan pegawai VOC terkenal, ahli tanaman dan ilmuan yang bernama Georgius Everhardus Rumphius (1627 - 1702). Menurut Rumphius, dari segi sejarah, nama Hunut merujuk pada nama sebuah kumpulan lima negeri, di jazirah leitimor, kawasan pesisir Teluk Amboina. Tiga dari lima desa itu sudah punah, antara lain akibat peperangan antar desa di abad ke 16. Di paruh kedua abad ke 17, apa yang masih tersisa dari kelompok desa itu dibagi dua. Penduduk di bagian terbesar termasuk Hunut itu sendiri, menetap di Hitulama, di pantai timur laut, bagian yang lebih kecil menetap di Hukunalo yang juga disebut Rumahtiga, terletak di pesisir utara teluk Amboina. Penduduk Hunut beragama islam, yang lainnya berintegrasi dengan penduduk Hukunalo, dan memeluk agama Kristen.

Gambar posisi  negeri Mamala Lama 


Menurut Antropolog Joost Manusama Hunut merupakan bagian integral dari Hitu, dan ketika kemudian Hitu terbagi menjadi Hitulama dan Hitumesen, maka Hunut menjadi bagian dari Hitumesen. Pada perkara kepemilikan lahan seperti diurai sebelumnya, Orang-orang Hunut tidak berhasil dalam proses hukum mereka, hal ini juga dapat dilihat dalam Memorie van Overgave yaitu memorandum serah tugas dari Balthasar Coyett di thn 1706. Seperti tertulis dalam dokumen ini, maka tidak lama setelah De Haas meninggalkan kawasan tersebut di thn 1691, perkara pengadilan antara penduduk Hunut yang di wakili oleh Timolhalat dan desa-desa lain dengan Halong di barisan depan, telah diputus dengan keputusan yang memenangkan Halong. Bahkan penduduk Halong menerima dokumen kepemilikan lahan yang tercatat di sekretariat VOC. Bertahun tahun kemudian persoalan itu masih dibicarakan secara teratur dalam surat menyurat VOC. Pada bulan Desember 1705, keturunan kedua pihak bersangkutan bertemu lagi di pengadilan. Coyett menyarankan agar permintaan orang-orang Hunut ditolak.

Kawasan lahan yang menjadi sengketa di pengadilan, adalah bekas desa-desa Hunut, Lulung, Irish, dan Sahulau, yang merupakan Federasi kampong-kampong alifuru dengan rajanya bergelar Latu Timolhalat, dari kampong Lulung, kawasan Federasi dari empat kampong itu adalah bagian dari Ulilima, yang ditinggal lari oleh mereka ketika diserang oleh kelompok Federasi alifuru ulisiwa yakni kampong Halong, Hutumuri, Baguala, Mamala, dan Hatiwe. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah catatan Valentin, bahwa jauh sebelum kedatangan bangsa Portugis, Orang-orang ulisiwa Halong, Hutumuri, Baguala, Mamala, dan Hatiwe telah melakukan penyerangan besar-besaran terhadap empat kampong yakni Hunut, Loeloeng, Irish, dan Sahulau. Keempat kampong ini terletak di pesisir Teluk Ambon, dikepalai seorang Raja bergelar Latu Timolhalat atau Raja Timur Barat, dan di kawasan ini terdapat pantai bernama Tuhuima dan pantai Huhu, serta terdapat air sungai yang besar dan jernih, air yg bernama air guru-guru ini di hulunya terdapat air terjun besar. Kapal-kapal sering mengambil air dari sungai yang jernih tersebut. 

Dalam penyerangan ini, orang-orang Hunut, Loeloeng, Irish, dan Sahulau banyak yang dibunuh, rumah-rumah dan semua yang ada dihancurkan berkeping keping. Orang-orang Hunut, Irish, dan Sahulau yang tinggal sedikit melarikan diri ke kampong Hitu, sedangkan orang-orang Loeloeng melarikan diri ke pegunungan, sekarang menjadi wilayah Mamala. Usai penyerangan kawasan itu menjadi sepi, tak bertuan, maka orang-orang Halong, Hutumuri, Baguala, dan Hatiwe menduduki tanah-tanah dikawasan itu, dan tidak memberikan sedikitpun kepada orang Mamala, sehingga orang Mamala marah, kemudian melakukan penyerangan kepada bekas kelompoknya tersebut. Orang Mamala berhasil merebut tanah-tanah Sepanjang air Lapiaso, yang bermuara di pantai Huhu, hingga air guru-guru yang bermuara di pantai Tuhuima. 

Seperti di ceritakan sebelumnya sebagaimana ditulis dalam catatan Valentin, bahwa orang-orang Halong, Hutumuri, Baguala, dan Hatiwe telah menduduki tanah-tanah hasil rampasan perang dari desa Hunut, Loeloeng, Irish, dan Sahulau. Mereka tidak memberikan bagian sedikitpun kepada orang Mamala, yang mengakibatkan orang Mamala marah dan melakukan penyerangan dan berhasil menguasai sebagian wilayah tersebut. Dua peristiwa perang kelompok alifuru ulisiwa dan alifuru Ulilima yang sejak dulu dukenal dengan Perang Alifuru 1 dan Perang Alifuru 2.

Setelah kecewa berat dengan kelompoknya dari ulisiwa, maka orang-orang Mamala beralih ke ulilima, hingga datangnya pendatang baru dari Jailolo dan Jawa, yang kemudian mendirikan kerajaan Tanah Hitu.

Daftar Pustaka:

 Rumphius’s Lantbeschrijving adalah W. Buijze (ed), De Generale Lant-beschrijvinge van het Ambonse Gouvernement ofwel De Ambonsche Lant-beschrijvinge door G.E. Rumphius. Den Haag, 2001.
Gerrit Knaap, Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden: 2004
G. J. Knaap (ed.), Memories van Overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw. ’s-Gravenhage:1987




Kamis, 30 Juli 2020

Peperangan, Perlawanan, dan Penentangan Di Desa Hunut Kuno. (Bagian 1)


Sebuah permohonan ditulis sejumlah penduduk di Ambon kepada pemerintah Hindia Belanda, diterima di Batavia tanggal 14 Juli 1695. Merupakan dokumen pendek tetapi rinciannya menarik tentang perihal kehidupan masyarakat umum di Ambonnya di abad ke 17, ketika masih dikuasai oleh Kompeni ( VOC).


Dengan mengatasnamakan semua penduduk desa Houmit (Hunut), sekitar tiga orang dari rakyat kecil, dengan berlinang air mata, dan segala kerendahan hati, menyampaikan perihal keadaan mereka yang menyedihkan, di telapak kaki para anggota pemerintah agung di Batavia. Seluruh lahan, bahkan seluruh kawasan mereka telah diambil oleh orang-orang dari lima desa lain, sehingga mereka susah mencari nafkah. Para penyerang telah menduduki lahan-lahan mereka, menebang pohon-pohon cengkeh dan kelapa yang tua serta menggantinya dengan tanaman baru, mereka juga memanen sagu dan buah- buahan lainnya. Pada zaman pemerintahan gubernur VOC di Ambon sebelumnya, penduduk desa Hunut telah menyeret para penyerang ke meja hijau, tetapi mereka kalah dan menduga adanya permainan busuk dengan kesaksian palsu, para terdakwa dari lima desa menyatakan bahwa mereka adalah pemilik sah lahan-lahan tersebut yang diperoleh sebagai warisan. Namun mereka yang dari desa Hunut menyatakan tidak tau menau bahwa mereka dari desa Hunut, sebab semenjak VOC mengusir Portugis dari Amboina yaitu di tahun 1605, tak seorang anak perempuan mereka yang beralih menganut agama Kristen, atau menikah resmi dengan orang dari kelompok terdakwa.

Dari pernyataan itu, dimengerti bahwa orang-orang Hunut beragama Islam sementara yang berasal dari lima desa, diantaranya empat desa sudah beragama Kristen. Nampaknya selama masa pendudukan Portugis, dan masa lama sebelum itu, penduduk desa Hunut yang telah bergabung dengan penduduk Hitu tidak kembali ke lahan-lahan  atau bekas desa mereka. Dalam masa pemerintahan Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshorn yang memerintah Amboina sejak 1647 hingga 1665, para penyerang dari lima desa itu telah menduduki dan menggarap lahan-lahan orang Hunut. Selama pemerintahan Gubernur Dirk de Haas dari 1687 hingga 1691, Orang-orang Hunut membawa perkara mereka ke pengadilan, akan tetapi setelah De Haas pindah, perkara itu dikeluarkan dari pengadilan dan berakhir dengan keputusan pertama yang sudah disebutkan diatas, yakni orang Hunut tetap tidak memenangkan perkara tersebut. Dengan demikian maka untuk bertahan hidup mereka bergantung pada kerelaan hati penduduk Hitu untuk memberikan lahan kepada mereka di wilayah Hitu.

Daftar Pustaka:

 Rumphius’s Lantbeschrijving adalah W. Buijze (ed), De Generale Lant-beschrijvinge van het Ambonse Gouvernement ofwel De Ambonsche Lant-beschrijvinge door G.E. Rumphius. Den Haag, 2001.
Gerrit Knaap, Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden: 2004
G. J. Knaap (ed.), Memories van Overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw. ’s-Gravenhage:1987

Sabtu, 01 Oktober 2016

Pengorbanan Halaene sang Raja Mamala Untuk Tanah Hitu (Ambon)



Pendahuluan

Mamala sebagai suatu negeri terbentuk jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Islam Tanah Hitu di Ambon.  Mamala adalah ulisiwa bersama dengan Halong, Hatiwe, Hutumuri dan Baguala.  Mamala termasuk dalam uli Saylesi dengan pimpinan atau raja yang bergelar Latu Polonunu.  Peralihan dari ulisiwanya Mamala menjadi ullima setelah kedatangan Mihirsihul dari Kesultanan tertua Jailolo yang merupakan ayah dari Jamilu {Klan Nusatapi di Tanah Hitu} {Gb 1}, Kiyai Pati atau Ulima Sitaniya dan Sallat. Keberadaan Mamala sebagai negeri akhirnya tenggelam bersama dengan terbentuknya Kerajaan Islam Tanah Hitu, yang keberadaannya muncul bersamaan dengan perlawanan imperialisme Portugis. Latu Polonunu pertama Mamala sewaktu sudah menjadi Ulilima adalah Mihirsihul. Peninggalannya yang masih ada di Mamala saat ini adalah Bendera Harimau Champa  dan Bendera Latu Liu. Halaene yang merupakan cicit dari Jamilu  menjadi pimpinan uli Saylesi sekaligus menjadi Hukom di Tanah Hitu. Penyebutan ulisiwa dan ulilima merupakan budaya asli Ambon, bukan adopsi dari Tidore {Ulisiwa} dan Ternate {Ulilima}, seperti yang dijelaskan oleh Ziwar Effendi.{1,2,3,4} Pemaparan ini sekaligus memaparkan bahwa Klan Nusatapi adalah leluhur Mamala sekaligus raja Uli Saylesi yang bergelar Latu Polonunu. Dalam uraian yang panjang ini juga menjelaskan landaad tahun 1637 tentang dua raja yang dimaksud adalah raja negeri Mamala dan raja negeri Hitu {bukan dua raja dalam Kerajaan Tanah Hitu}, sekaligus menjelaskan Kakiali yang kemudian menggantikan Halene namun tidak tertulis dalam Landaag tahun 1637 dan kenapa Samusamu kemudian menjadi raja setelah meninggalnya Kakiali.


Gb 1. Silsilan Klan Nusatapi / Silsilah Jamilu {Latu Polonunu}


Era Kedatangan Belanda di Maluku

Di Maluku terdapat dua pulau terbesar yakni Buru dan Seram selain Ambon yang jauh lebih kecil, sekitar lima puluh kilometer panjangnya. Ambon memiliki teluk yang menjorok dalam  pulau ini dan membagi menjadi bagian utara dan bagian selatan,serta hanya dihubungkan oleh tanah genting yang sempit. Bahkan sebelum munculnya Ternate dan Tidore, teluk ini adalah tempat yang popular pelabuhan perdagangan. Ibukota pada waktu itu di daerah pinggiran air besar Mamala {Way Solopay}, bagian utara Ambon. Sebagai hasil dari perdagangan, selain orang Jawa, orang Melayu juga banyak tinggal di sana dan banyak bahasa Melayu dituturkan di pelabuhan. Islam ditemukan pertama kali di antara para imigran ini dan kemudian di antara yang lainnya penduduk Tanah Hitu. Populasi selatan teluk Ambon mempertahankannya kepercayaan tradisional. Sementara Tanah Hitu sendiri tidak mengejar penaklukan untuk meluaskan wilayahnya, perlu waktu yang cukup lama untuk mempertahankan kemerdekaannya dari Ternate dan Tidore {Gb.2} Sebelumnya posisi Kerajaan Islam Tanah Hitu berada dalam posisi sejajar dengan Ternate sekembalinya Pati Tuban {Pati Putih} yang merupakan anak mantu Jamilu, sekaligus Perdana ke empat dan Sultan Zainal Abidin {Sultan Ternate} pulang berguru dari Sunan Giri untuk sertifikasi pembentukan Kerajaan Islam. Pada akhir abad keenam belas, mereka menjadi milik Ternate.{5}

Gb.2 Ternate, Hitu dan VOC


Ambon bagian Selatan adalah yang paling penting pada akhir abad keenam belas karena menjadi basis Portugis, setelah mengalami pengusiran dari masyarakat Tanah Hitu sewaktu mereka mau mendirikan banteng di pesisir barat Mamala yakni Pikapoli atau Hasamuling {Gb.3}. Yakni tempat pertama kali Portugis disambut oleh Jamilu. Pada bulan Maret 1599, untuk pertama kali dikunjungi oleh kapal Belanda, milik armada Belanda Jacob van Neck. Sub-komandan mereka adalah Jacob van Heemskerk, keduanya hibernasi di Nova Zembla tahun sebelumnya.  Masyarakat Tanah Hitu, berharap bantuan Belanda untuk membantu melawan Portugis, tetapi Belanda datang hanya untuk berdagang. Setahun kemudian skuadron Belanda lain tiba, di bawah Steven van der Hagen yang bersedia memberikan bantuan militer. Aliansi formal antara Belanda dan Tanah Hitu kemudian dibentuk pada tahun 1600, tetapi Van der Hagen gagal menaklukkan benteng Portugis yang kuat.{5}

Gb.3 Pikapoli atau Hasamuling {Dikutip dari ref no 14}

Portugis kemudian memutuskan untuk mengambil tindakan drastis untuk mengakhiri Belanda memasuki di kepulauan Indonesia. Sampai pada tahun 1601 hanya tersisa  tiga puluh armada kapal perang dari Malaka. Tujuan pertama Portugis adalah pelabuhan Banten, tetapi akhirnya mereka mengangkat blokade ini setelah mereka diserang oleh lima skuadron kapal Belanda, yang menenggelamkan beberapa kapal Portugis. Selepas kemenangan di pantai Bantam ini, prestise Belanda di Jawa mencapai puncaknya. Portugis segera pindah ke Ambon, mereka menuju Tanah Hitu  untuk memberikan hukuman karena telah beraliansi dengan Belanda. Kemudian mereka mencoba menaklukkan Ternate, tetapi ternyata mereka juga tidak berhasil. Armada Portugis babak belur dan kembali ke Malaka. {5}

Karena ekspedisi yang gagal ini, posisi Portugis di Maluku  sangat lemah baik secara militer maupun politik. Pada akhir 1604, para pemimpin Tanah Hitu membuat permintaan bantuan mendesak  kepada Van der Hagen yang sedang bersama dengan armada dari Belanda yang telah tiba di Bantam, sekarang di bawah bendera VOC. Van der Hagen kemudian berlayar ke Ambon untuk upaya baru menaklukkan benteng Portugis. VOC mendirikan pos pertama di Mamala. Kali ini  Portugis segera menyerah.  Belanda mengambil Victoria. Tak lama kemudian mereka juga menguasai benteng Portugis di Tidore.  Ini berarti akhir dari Pemerintahan Portugis di Maluku. {5,6,7}

Ambon sebenarnya menjadi koloni pertama Belanda pada Februari 1605. VOC menganggap Ambon Selatan {Leitimor} diambil alih dari Portugal, sebagai wilayahnya sendiri di bawah "hak penaklukan". Bahkan Kapitan Hitu membuat perjanjian baru setelah kapitulasi Portugis dengan VOC, di mana ia menjanjikan setia selamanya kepada Belanda dan Perusahaan. Dalam perjanjian yang sama, mereka menyatakan tidak akan memasok cengkeh kepada orang lain selain Belanda. Sementara 1600 perjanjian itu masih disimpulkan berdasarkan kesetaraan, Hitu dianggap sebagai "Eternal Covenant" pada tahun 1605, tetapi sebenarnya adalah pengikut Belanda.{5}
Semua ini membuat VOC berpusat Ambon.  Sedangkan tempat lainnya merupakan cabang VOC, seperti Banten, Jakarta dan Ternate, dan semua tunduk pada otoritas lokal; yang ada di Ambon.{5}

Era Kedatangan Belanda Menurut Hikayat Tanah Hitu {Dari Disertasi Manusama} {8}

Pada saat itu, ada kekalahan dan kemenangan di kedua sisi. Saya menyebutkan kemenangan Muslim atas orang-orang kafir: pertama kemenangan atas kapal di Bandan, kedua atas yang lain di pantai Hitu dan ketiga bersama dengan armada Bandan atas yang lain dan keempat akhir dari sekoci bersenjata dan kelima pengeringan layar persegi. Aku tidak memberitahumu lebih banyak. Dan orang-orang kafir juga meraih kemenangan atas umat Islam, sejak pertempuran suci di Ambon berlangsung tujuh puluh tahun dari pertempuran Don Duarte  hingga pertempuran melawan Furtado. Ketika Furtado belum tiba, sebuah kapal Belanda di bawah pimpinan van Warwijck voer op 3 Maart 1599 tiba di Hitu. Ia memasuki teluk Hitu dan orang-orang Tanah Hitu bertanya kepada mereka, "Dari mana Anda berasal dan apa nama negara Anda?" Dan mereka menjawab: "Kami datang dari Belanda  dan gelar raja kami adalah Pangeran". Orang-orang Tanah Hitu berkata, "Bolehkah kami meminta armada Anda untuk membantu kami?" Mereka berkata: "Mengapa itu tidak boleh. Itu mungkin, tetapi biarkan Pangeran dan raja-raja besar di Belanda tahu itu, sehingga kita dapat mendengar dari mereka perintah apakah itu diizinkan atau tidak." Keempat perdana berkata, "Jika demikian, maka sampaikan pesan ini dari kami terlebih dahulu. Apa yang akan menjadi keinginan Pangeran dan para bangsawan, haruskah kita pergi ke sana atau dikirim ke sini?" Dan dengan hadiah sebagai bukti Ambon, mereka berlayar kembali ke Belanda untuk menyampaikan pesan kepada para penguasa besar Belanda. Ketika Monsun Barat tiba, Kapten Admiral datang.

Steven van der Hagen tiba di Ambon pada tanggal 2 Mei 1600. Mereka bertemu empat perdanas dan menyimpulkan kesepakatan tentang pembayaran dan memutuskan apa yang harus dilakukan: Suatu tindakan yang tidak konsisten dengan adat akan ditinggalkan oleh kedua belah pihak. Sebagai hadiah disepakati: Jika benteng itu ditaklukkan, orang Hitu membayar empat ratus Bahar kepada Belanda. Benteng dan senjata serta orang kulit berwarna milik orang Tanah Hitu dan kulit putih milik Belanda. Jika sebuah kapal ditangkap, empat puluh Bahar harus dibayar. Kapal dan senjata serta kulit putih adalah milik Belanda, orang kulit berwarna untuk Tanah Hitu. Kemudian dia pergi ke Kota Laha dan menjelajahi benteng Portugis. Dan mereka  berlayar kembali ke Belanda dan menyerahkan semua janji kepada Pangeran Oranye dan para penguasa besar di negeri Maurice. Enam orang yang disebut orang penting, ini adalah pedagang besar dan kaya, terkenal di Belanda, adalah pemilik kapal dagang yang berlayar ke negara-negara Leeward. Dan saya katakan, seperti yang telah dilaporkan kepada saya, bahwa setelah kapal berlayar, kapten Portugis berkata kepada empat perdana, "Ayo, mari kita berdamai dan memulihkan ketertiban di tanah Ambon." Tetapi keempat perdanas menolak, karena mereka ingat perjanjian dengan Laksamana Steven van der Hagen. Karena mereka tidak ingin melanggar perjanjian itu, kedua belah pihak bertarung tanpa henti sampai kedatangan Furtado.

Kisah kedatangan Furtado. Ketika Furtado datang dengan armadanya Ambon 9 Februari 1602, ia menyerang negeri Hitu. Dan negeri Hitu dipindahkan ke Gunung Binau dan dia memanjatnya dan bertempur di sana. Setelah beberapa waktu dia menaklukkan gunung itu pada tanggal 7 April 1602 dan semua negeri tunduk kepadanya. Perdana Tubanbesi dan orang kaya Patiwani dibawa pergi oleh orang-orang kafir yang terkutuk itu, sementara empat perdana melarikan diri ke tanah Besar {Huamual}. Orang-orang kafir menyerang Negro Luhu, Lasidi dan Kambelo. Kemudian mereka menyerang negeri Iha dan orang-orang Iha  keluar dan melawan mereka. Setelah waktu yang singkat, perintah orang-orang kafir dipatahkan karena mereka dilempari batu oleh negeri itu, yang mengenai kepala Furtado di kepala, dan kemudian mereka mundur dan kembali ke Kota Laha. Itu adalah akhir pertarungan Antoni Furtado di Ambon. Dan saya menceritakan tentang pengalihan dari empat perdanas ke Tanah besar {Huamual}. Perdana Tanihitumesen menetap di Anin dan perdana Pati Tuban menetap di Waiputih dan perdana Nusatapi menetap di Gamusungi, yaitu negeri Luhu. Dan Kapitan Hitu naik perahu untuk mencari bantuan sejauh Seram. Dan dia bertemu dua kapal Belanda  dari armada di bawah Wolphert Hermanszoon dan dia mengajukan pertanyaan: "Di mana penjaga armada?" Dan jawabannya adalah, "Penjaga armada ada di Bandan." Kemudian Kapitan Hitu berlayar ke Bandan dan bertemu dengan kapten Belanda dan keduanya mengadakan diskusi dan musyawarah. Empat orang dibawa ke kapal oleh penjaga armada yakni Hatumenabessy, Hatuwaila ibn Syatu-ela, Lessy dan Waran setelah itu mereka pergi, dan Kapitan Hitu-pun kembali ke Ambon.

Ketika Monsun Barat tiba, sebuah kapal lain datang ke Ambon dan menemui empat perdanas. Dan keempat perdanas memerintahkan Mihirjiguna, putra Kapitan Hitu, dan pahlawan Sibori, putra Tubanbesi, untuk pergi dengan kapal bersama mereka berdua untuk memenuhi armada. Dan ketika mereka tiba di Jawa, setelah mereka akhirnya tiba di tanah Banten, mereka terus menunggu. Setelah beberapa waktu, armada muncul dan Mihirjiguna dan pahlawan Sibori bertanya, mengatakan, "Dari mana datangnya armada ini dan kepada siapa milik armada ini?" Dan mereka menjawab: "Armada ini adalah armada Belanda, berasal dari tanah Maurits dan armada ini milik Pangeran Oranye dan komandan armada ini adalah laksamana Matelief  dan Steven van der Hagen. Dan Mihirjiguna berkata, "Kemana kamu pergi?" Dan mereka menjawab, "Kami mencari musuh kami, yang disebut Portugis." Kemudian Mihirjiguna dan pahlawan Sibori berkata, "Pergilah bersama kami ke Ambon, karena musuh itu ada di Ambon." Dan mereka, pada gilirannya, menjawab kata-kata Mihirjiguna: "Jika itu berguna, kita akan pergi bersama ke Ambon." Kemudian Mihirjiguna menggambar perjanjian itu dan menunjukkannya kepada Laksamana Matelief  dan Steven van der Hagen.  Isinya berbunyi: "Jika benteng itu ditaklukkan, kami memberikan empat ratus cengkeh bahar. Benteng dan senjata milik orang Tanah Hitu dan dari pendudukan orang kulit berwarna kembali ke orang kulit berwarna dan orang kulit putih ke orang kulit putih. kapal ditaklukkan, diberikan empat puluh bahar.Kapal dan senjata  serta orang kulit putih dan kapal mereka, adalah milik Belanda.

Setelah ini, ketika hari yang baik telah tiba, mereka berlayar dengan Mihirjiguna dan pahlawan Sibori ke Ambon dan memasuki benteng benteng Portugis. Setelah kedatangan mereka, kapten Portugis meminta mereka bertanya pada dengan mengatakan, "Dari mana datangnya armada ini?" Mereka menjawab: "Armada ini dari Belanda". Dan mereka berkata kepada kapten Portugis, "Tinggalkan negara ini." Dan kapten Portugis berkata, "Mengapa Anda berbicara demikian.  Mengapa kita harus meninggalkan tanah ini milik kita?" Dan sang laksamana berkata: "Bukan kamu milik negara ini, karena yang lain adalah pemilik negara ini. Mereka telah memberikannya kepada kita dan mereka ada di samping kita." Kemudian Mihirjiguna dan pahlawan Sibori dibawa keluar dan kapten Portugis terdiam dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Keesokan paginya kunci-kunci itu diserahkan dan diserahkan kepada para laksamana dan Portugis meninggalkan benteng dan menetap di luarnya. Dan mereka diberi haluan, dan Anda berlayar kembali ke tanah mereka. Lalu kata adminraals Cornelis Matelief  dan Steven van der Hagen ke Kapitan Hitu dan empat perdanas: "Apa yang harus kita lakukan dengan benteng ini?" Dan Kapitan Hitu dan orang kayas berkata, "Yang terbaik adalah jika kita menghancurkan benteng itu dan membuangnya ke laut." Laksamana dan Steven van der Hagen berkata: "Memang benar, apa yang Anda katakan, tetapi kami telah mengambil benteng itu karena kami akan mencuri seorang pria dari istrinya. Lalu ketika pria itu datang untuk menemukan istrinya, di mana tempat untuk mengambilnya? jawab? Tempat itu tidak lain adalah benteng, dan dari sana kita akan melawannya. " Kapitan Hitu dan empat perdanas berkata: "Jika seperti yang dikatakan para laksamana, kami mengizinkan Belanda menduduki benteng itu, tetapi melaksanakan apa yang harus dilakukan oleh benteng dengan orang-orang kulit berwarna. Belanda hanya memiliki perintah dan di sana naik". Laksamana Matelief  dan Steven van der Hagen berkata: "Kami setuju, jika demikian dikatakan." Kemudian  Frederik Houtman diangkat menjadi gubernur benteng Ambon. Laksamana Matelief  dan Steven van der Hagen pulang dengan armada mereka untuk melapor kepada Pangeran dan para bangsawan di Belanda.

Ketika Monsun Barat tiba, armada itu kembali ke Hitu dan (kemudian) menuju Kota Laha . Baginda Cili Ali dan kimelaha Aja dan hamba raja Ambalau datang untuk bertanya kepada para laksamana, dengan mengatakan, "Ambon sudah terbebas dari bahaya. Mari kita pergi ke Maluku untuk membantu Ternate." Dan Laksamana Matelief dan Steven van der Hagen berbicara dan kedua Laksamana itu menjawab: "Jika memiliki kelebihan, kami ingin pergi ke Maluku". Baginda Cili Ali dan kimelaha Aja berkata, "Mengapa berbicara tentang manfaat lagi, sekarang Kapitan Hitu mengatakan bahwa upahnya untuk kita semua." Laksamana itu berkata, "Mengapa apa yang sudah berlalu harus diulangi lagi?" Kiyaicili dan Kimelaha berkata, "Jika Anda berbicara demikian, beri tahu kami apa yang diinginkan laksamana, agar kami dapat mendengarnya." Admirals Matelief dan Steven van der Hagenmengatakan: "Beri kami hasil dari tiga negeri dan kami akan pergi ke Ternate". Kiyaicili Ali dan kimelaha dan hamba raja berkata, "Apa tiga negeris itu?" Para laksamana berkata: "Kami bertanya pada Luhu, Lasidi dan Kambelo, ketiga negeris di negeri itu". Kimelaha dan Kiyaicili menolak, dan para laksamana bersikeras. Kimelaha dan Kiyaicili berkata, "Mari kita pulang dulu, besok kita akan bicara lagi",dan mereka kembali ke rumah. Kapitan Hitu dan empat perdanas Hitu dipanggil dan Baginda Cili Ali berkata kepada kimelaha dan semua orang kaya: "Apa yang akan kita lakukan, ketika negeri Ternate sedang dalam kesulitan". Mereka menjawab: "Keinginan mereka adalah hasil dari tiga negeris. Jika kita memberi bahwa kita melakukan kesalahan, kita tidak memberikannya, maka kita juga bertindak salah. Apa yang bisa kita lakukan sekarang?" Kapitan Hitu berkata: "Ternate telah dihancurkan, dan di samping itu semua harta benda telah dirampok oleh orang-orang kafir itu. Semoga dengan kehendak Tuhan yang paling tinggi dan dengan restu dari agama nabi Allah, Tuhan memberkatinya dan memberikan keselamatan kepadanya, negeri Ternate dan kerajaan dipulihkan. Dari mana harus datangnya kompensasi kepada penghuni istana pangeran? Karena seluruh populasi - dan Tuhan yang tahu yang terbaik - dalam kesulitan, hasilnya hanya bisa datang dari Ambon. Ketika tiba saatnya bagi subyek untuk kembali dan Ternate untuk dikembalikan ke kejayaannya, hasilnya akan cukup mengalir ke Ternate di masa depan. " Dan dia berkata, "Jika armada itu ingin membantu Ternate - Insya Allah - pembayaran akan ditanggung oleh Hitu." Setelah itu, Kimelaha dan Kiyaicili berbicara dengan Admirals Comelis Matelief dan Steven van der Hagen dan semua kapten armada.

Kapitan Hitu berbicara dan semua kapten setuju dengan kata-katanya dan Kapitan Hitu berbicara kepada orang banyak dan para laksamana berkata: "Izinkan putra Kapitan Hitu ikut dengan kami sehingga kami bisa membawanya ke Pangeran dan para penguasa di Belanda. ". Putra Kapitan Hitu, Wansa  Halaene, diberi izin untuk menemani para laksamana ke Maluku. dan akhirnya mereka tiba di Ternate. Sebuah benteng dibangun, di negeri Melayu. Seluruh penduduk kembali ke Ternate, dan Yang Mulia Sultan Mudafar, putra Sultan Said Aldin, bayang-bayang Tuhan di dunia, diangkat menjadi raja, dan gubernur serta tentaranya ditempatkan di darat untuk menjaga benteng. Kemudian armada berlayar dan membawa Wansa Halaene, putra Kapitan Hitu, dan putra raja Nusaniwe dan putra orang kaya Lakatua dan putra orang kaya Hehuat ke Belanda, Halaene; Laurens, putra Don Marcus, Hukom  Hatiwe; Martinho, putra Antoni Hehuwat, kepala Tawiri; Sibori, saudara Femando dari Nusaniwe; yang terakhir meninggal di Channel pada 1608. Saya katakan bahwa pada masa Gubernur Houtman, seorang laksamana bernama Simon Hoen datang dengan armadanya. Dia membagikan banyak hadiah dan mengucapkan kata-kata yang menyanjung sehingga semua orang Ambon akan memenuhi keinginannya. Lalu datanglah seorang laksamana lain, Pieter Both, yang membawa Wansa Halaene kembali ke tahu. Dia juga murah hati, dan kemudian Gubernur Houtman pergi, karena tinggal Gubernur Houtman adalah enam tahun 1605 – 1611 . Jasper Jansz diangkat menjadi gubernur, yang hanya bertahan selama tiga tahun  1611 - 1615

 Pada saat itu, jenderal, Gerard Reynst, datang. Dia datang dari Batavia, pergi ke Maluku, dari Maluku dia datang ke Ambon, lalu ke Bandan, dari Bandan dia kembali ke Ambon. Pada saat itu, negro Luhu dan Kambelo menerima Inggris, yang menetap di Kambelo. Gubernur Jasper Jansz mengirim armadanya ke pantai Kambelo untuk membiarkan Inggris pergi, tetapi mereka tidak mau. Kedua belah pihak dengan keras kepala menempel pada posisi mereka, dan kedua belah pihak menembak dan menembak. Setelah beberapa waktu, jenderal Gerard Reynst datang dan perdana Kapitan Hitu mengirim seseorang ke kimelaha Syabidin, karena kimelaha itu adalah penguasa tanah Ambon; karena itu ia diperintahkan untuk melakukannya menanyakan. Kimelaha Syabidin berkata: "Mengapa saya harus bertanya lagi, sekarang saya sudah mengusirnya dari negeri Luhu. Bahwa mereka sekarang di negeri Kambelo adalah di luar pengetahuan saya. Biarkan jendral melakukan apa yang diinginkannya tetapi jenderal harus adil, karena tempat di mana Inggris tinggal adalah wilayah pangeran Ternate dan negeri Kambelo tunduk pada pangeran Ternate. Kemudian Jenderal Reynst dan Gubernur Jasper Jansz memerintahkan agar mereka mengangkat senjata untuk menyerang Kambelo.
Dan perdana Kapitan Hitu berkata kepada jenderal dan gubernur: "Bersabarlah agar kami dapat mengirim seseorang ke orang kaya di Kambelo. Jika mereka mendengarkan kami - Puji Tuhan - kami ingin berhubungan baik dengan mereka. sayangnya kita tidak bisa berbuat apa - apa ". Dan sang jenderal dan gubernur setuju dengan kata-kata Kapitan Hitu itu, dan sebuah pesan nasehat dan tulus dikirim ke orang kaya di negeri Kambelo. Dan mereka mengikutinya, dan kemudian mereka pindah ke pantai Eran, dan Belanda memasuki negeri itu, dan Inggris pergi, naik ke kapal mereka, dan berlayar kembali ke tanah mereka. Dan sang jenderal dan gubernur kembali ke Kota  Laha. Dan Arend Blok dipromosikan menjadi gubernur 1615-1618  sebagai penerus Jasper Jansz dan ia kembali ke Batavia dan gubernur Arend Blok menetap di benteng Ambon. Pada waktu itu timbul keresahan, sehingga terjadi perkelahian melawan negeri Kristen, yang menjadi sasaran Belanda, bernama  Hutumuri.

Setelah beberapa waktu mereka didamaikan oleh Kapitan Hitu dan tidak ada lagi gangguan. Ketika setelah beberapa waktu tahun yang ditunjuk untuk tujuan itu Arend Blok kembali dan Herman van Speult diangkat sebagai penggantinya .

Peran dan Akhir Perjalanan Halaene Sang Raja Mamala

Pada 1606 Matelief de Jonge, pemimpin armada yang mencoba menaklukkan Malaka dari Portugis, membawa serta tiga putra Maluku tengah kepala-kepala "untuk mengangkat mereka menjadi pangeran."  Salah satunya adalah Halaene, sang putra Kapitan Hitu, yang ketika itu berusia dua puluh tahun melakukan perjalanan jauh ke Belanda dan kembali ke Ambon pada 1611. Belanda berharap akan politik kekuasaan Halaene akan mengikuti Belanda ketika dia menjadi Hukom di Tanah Hitu. {Gb.4}  VOC telah memastikan kesetiaan ayahnya dengan memberinya  sebagai lisensi perdagangan perkebunan dan cengkeh terbaik Ambon. Politik yang luas dari jaringan keluarga Kapitan telah membantu perusahaan melawan Portugis, tetapi pada 1630-an mereka telah menjadi  ancaman potensial bagi kepentingan VOC sendiri. Halaene menjadi musuh VOC ketika ia menolak kesepakatan perdagangan yang telah disetujui oleh ayahnya. {9}

Gb.4 Halaene IRaja Mamala} dengan Gelar Latu Polonunu

Sewaktu kedatangan Jans Pieterschoen di Kota Laha, didengar oleh Kapitan Tepil.  Kapitan Tepil segera memikirkan upaya apa yang diberikan buat masyarakat Banda, setelah mengetahui tujuan Jan Pietershoen yang hendak menuju Banda. Kapitan Tepil yang berhutang budi terhadap bantuan masyarakat Banda sewaktu perang melawan Portugis, segera memikirkan hal ini. Dalam pertimbangan beliau saat itu yakni jika  tak mampu menolong dengan persenjataan apalagi dengan makanan, maka sebaiknya dengan nasehat {perkataan}. Kapitan Tepil bersama enam orang lainnya segera bergabung dengan angkatan tersebut, Kemudian Halaene ibn Kapitan Tepil  bersama tiga puluh anak-anak orang kaya lainnya mengikuti dengan kapal Inggris di belakangnya. Ketika angkatan sudah masuk di pantai Lonthor dan berlabuh di pelabuhan Kumber. Kapitan Tepil berkata kepada jenderal untuk menunggu sampai beliau menanyakan kepada orang-orang kaya Tanah Banda untuk mau berdamai atau tidak.  Jenderal menyambut perkataan Kapitan Tepil dengan menyebutkan bahwa mereka bukan meminta untuk berdamai, tetapi untuk berperang. Sekalipun demikian jenderal akhirnya mengikuti kemauan Kapitan Tepil. Maka Kapitan Tepil segera naik dan pergi menuju negeri Salamon dan bertemu dengan orang-orang kaya Tanah Banda semuanya.{10}

Kapitan Tepil membuka percakapan dengan menyebutkan bahwa beliau bukan utusan jenderal. Kedatangannya bersama-sama jenderal, karena mengingat hubungan baik antara Tanah Hitu dan Tanah Banda sejak dulu. Selanjutnya  dia berkata, yang hanya bisa dia lakukan hanya dengan memberikan masukan dan nasehat, karena tidak bisa dengan memberikan makanan dan senjata. Sambil  mengatakan tidak ada daya, tetapi hal ini merupakan pekerjaan yang benar, tidak dapat kita cegah perbuatan itu, tetapi ikhtiar dulu kepada budi akal kita supaya jangan sampai menyesal kemudian, demikian Kapitan Tepil menjelaskan. Sambil menegaskan kelengkapan empat pada orang-orang Kaya Banda yakni kelenegkapan negeri, kelengkapan senjata, kelengkapan manusia dan kelengkapan makanan.  Jika sudah lengkap hadapi;ah, tetapi jika belum maka berdamailah dulu. Para orang Kaya menolak dan terjadilah perang antara keduanya, hingga banyak penduduk Banda yang mengungsi ke Seram dan Gorom, sebagian lagi dievakuasi oleh bantuan dari Makassar. Sekembalinya Kapitan Tepil dari Banda. Mihirjiguna menghadap kepada ayahnya Kapitan Tepil ke Batavia, untuk bernegoisasi dengan Belanda tentang nasib masyarakat Banda.Mihirjiguna meninggal dalam perjalanan pulang karena sakit. {10}

Sejak meninggalnya Mihirjiguna, Halaene kemudian diangkat menjadi Hukom di Tanah Hitu.  Halaene orang yang tegas, pembawaanya seperti raja ada padanya, pembawaannya seperti bendahara {perdana} ada padanya, dan pembawaannya seperti hulubalangpun ada padanya. Kemana-mana dia selalu membawa senjata. Halaene dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Halaene di sebut sebagai “Capitein Caus”, dikarenakan sebagai seorang Hukom, dia berperan sebagai Kapitan Hitu, terutama sewaktu ayahnya sedang ke Batavia. Upayanya memasukkan negeri negeri ulisiwa masuk ke dalam kekuasaan Tanah Hitu. Perilaku Halaene yang tanpa kehadiran ayahnya Tepil yang dianggap berlebihan oleh Samusamu yang merasa lebih tua dan merasa tidak anggap keberadaanya. {1,3,10}

Terlahir dalam keluarga yang sangat berpengaruh, terbina dalam sebuah keniscayaan yang membentuk pribadinya menjadi pemuda pemberani, tangguh, bijak, dan cerdas dalam banyak hal. Dialah Unus Halaene putera kedua Kapitan Tepil, cucu dari Hukum Abubakar, dan cicit dari perdana Jamilu atau kapitan Hitu pertama pada kerajaan Tanah Hitu. Kendatipun tumbuh dan besar dalam keluarga bangsawan, namun sifatnya tetap merakyat, tidak sombong dan sangat bermurah hati kepada masyarakat kurang mampu. Kedermawanan dan kebaikannya bukan saja dikenal di Tanah Hitu, akan tetapi terkenal pula di seantero Tanah Ambon. Disisi lain dalam dirinya mengalir darah Ksatria, menjadikan Unus Halaene seorang yang tegas dan keras dalam menyikapi permasalahan-permasalahan besar, tidak suka mentolelir kesalahan-kesalahan fatal. Hal ini ditunjukkannya ketika ayahnya, Kapitan Tepil melakukan kunjungan ke Batavia. Selama kapitan Tepil di Batavia, tidak ada perang maupun fitnah yg terjadi di Tanah Ambon dan sekitarnya, Orang-orang Belanda pun tidak berani berbuat semena-mena terhadap rakyat, gubernur Belanda paling segan dengan sosok yang satu ini, sehingga Belanda membuat siasat jahatnya, dan meracuni Halaene. Karena beliau diracuni Belanda maka wafat lah beliau sekitar tahun 1631, mendahului ayahnya. Sepeninggal Halaene maka adiknya yang bernama Kakiali  dinobatkan menjadi Hukom Tanah Hitu{Gb.5}. Sebelum kemudian menjadi Kapitan Hitu. Jabatan Kapitan Hitu dan Hukom merupakan jabatan tertinggi di Tanah Hitu, jabatan ini secara turun temurun, dengan gelar adatnya Latu Polanunu, Raja Mamala, sebagian orang menganggapnya sebagai Raja Tanah Hitu, yang berkedudukan di wilayah Mamala sekarang. {1,3,10}

Gb 5. Kakiali Menggantikan Halaene

Seperti orang-orang Ternate, orang orang tanah Hitu {Hituese}  menyambut hangat orang Belanda karena sentimen anti-Portugis . Selama pemerintahan kapitan Hitu Tepil, 1602-1633, hubungan Belanda-Hitu cukup baik, alasannya antara lain karena Tepil sendiri menyadari bahwa  kekuatan militer Eropa adalah fenomena yang bisa berakibat fatal bagi setiap orang negara adat yang menentangnya. Dia pernah mengalami ini sendiri tahun 1602, ketika orang Hitu menderita kekalahan yang mengerikan di tangan pasukan ekspedisi Portugis di bawah komando Andrea Furtado de Mendonya. Belanda, melihat Tepil sebagai orang berpengaruh yang kerjasamanya sangat diperlukan untuk stabilitas dari wilayah tersebut. Meskipun demikian ada beberapa situasi yang bisa dengan mudah memicu terjadinya konflik terbuka antara Hitu dan VOC, seperti harga cengkeh, membebaskan akses kepada pedagang  asing dari Asia, dan kontrol atas sejumlah negeri di bagian barat pulau Ambon, seperti Larike, Wakasihu, Tapi, Uring, dan Asilulu. Secara menyeluruh hubungan umumnya tetap baik (Tiele 1886: 211-212, 223; Knaap 1987b: 8, 18). Sekitar tahun 1630, bagaimanapun, Kebijakan Tepil dipertanyakan oleh banyak orang Hitu, khususnya oleh desa-desa di bagian  Timur, yang berkumpul  di Kapahaha dengan Samusamu yang merupakan anggota elit Hitu lainnya (Rumphius 1910: 69; Knaap 1987b: 82-87). {11}

Karena kepentingan strategis dan ekonomisnya, Belanda mempertahankan dan memerhatikan Hitu,dan menggunakan setiap kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak pengaruh dalam urusan internal tanah Hitu . Kejadian-kejadian ini kapan saja terjadi khususnya bila seorang anggota elit yang berkuasa meninggal dunia maka seorang penerus harus dinominasikan (Knaap 1987b: 84-85). Kesempatan seperti itu muncul dengan sendirinya pada kematian Tepil pada bulan April 1633. Menurut Rumphius, almarhum lebih memilih adiknya, Latu Lisalaik, sebagai  penggantinya, pendapat yang tampaknya sejalan dengan bagian tertentu dalam Hikayat Tanah Hitu. Namun, untuk menghindari konsentrasi kekuatan lebih lanjut di tangan satu orang, Belanda berhasil membagi  fungsi Tepil menjadi  tiga pesaing utama untuk suksesi: Latu Lisalaik menjadi kepala desa Hila saja, sementara saudara lelaki lainnya, Barus, menjadi kepala klan Nusatapi, yang otomatis membuatnya menjadi salah satu dari klan Nusatapi empat perdana yang secara tradisional memerintah negara. Akhirnya, Tepil putra tertua yang masih hidup, Kakiali, menjadi kapitan Hitu. Posisi dari kapitan Hitu adalah kepemimpinan yang paling bergengsi dan berpengaruh di tanah Hitu  (Rumphius 1910: 96; Manusama 1977: 59, 60, 126,128). {11}

Kakiali segera berangkat dengan rencana anti-Belanda, bekerja sama dengan kimelaha dan menyematkan harapannya pada koalisi kekuatan dengan kesultanan Makassar yang kemudian berkembang pesat. Untuk menghentikan  perkembangan,ini pada bulan Mei 1634 Gubernur Anthonie van den Heuvel melakukan penangkapan mengejutkan dua belas pemimpin Hitu terkemuka, termasuk Kakiali. Kakiali dituduh mencoba bergabung dalam koalisi anti-Belanda. Dalam beberapa hari, semua pemimpin yang ditangkap,dibebaskan kecuali Kakiali dan Tamalesi, kepala desa Wakal. Kakiali dan Tamalesi dipenjara. Pada 1636 (tidak menjelang akhir 1635 sebagai Rumphius secara keliru menyatakan) bahwa mereka diangkut ke Batavia. Dalam Sementara itu, karena kebencian pada intervensi Belanda, hamper seluruh tanah Hitu telah bangkit untuk melawan Belanda (Rumphius 1910: 104-105, 114-116, 124; VOC 1116: 188v- 189r). {11}

Apa yang terjadi di tanah Hitu pada saat perkembangan dramatis  di wilayah VOC sendiri? Kakiali dan Tamalesi masih menjadi tawanan. Lawan utama Kakiali yakni Kayoan yang merupakan perdana Tanahitumesen yang baru saja dinominasikan sebagai Kapitan  Hitu sementara, pergi ke Batavia  dan beberapa pemimpin lain untuk mencoba membebaskan Kakiali. Kayoan melakukannya karena dia menyadari bahwa pembebasan Kakiali adalah satu-satunya cara memulihkan persatuan dan kedamaian di tanah Hitu. Sewaktu Kayoan kembali ke Ambon pada awal 1636, ia tampaknya ingin sekali  dinominasikan sebagai kapitan Hitu, saat itu oleh Gubernur Jenderal sendiri. Fakta mengejutkan lainnya adalah pencalonan Latu Lisalaik, yang sudah memegang gelar kehormatan orangkaya Bulang, untuk menjadi perdana Nusatapi yang sudah diduduki Barus, saudaranya sendiri. Latu Lisalaik  sama sekali tidak senang dengan penunjukan barunya; dia secara terbuka menolak untuk menerima Itu. Dalam percakapan dengan otoritas lokal VOC di akhir April dia menyatakan bahwa Gubernur Jenderal tidak memiliki hak untuk  mencalonkan staf  pemerintahan di tanah Hitu, sama seperti dia sendiri tidak memiliki hak untuk mempromosikan Gubernur Belanda Ambon menjadi raja. Populasi penduduk tanah Hitu tetap tinggal di benteng pedalaman mereka dan tidak ingin ada hubungannya dengan Belanda,terkecuali pengikut terdekat Tanahitumesen dan Latu Lisalaik. Menjelang akhir tahun 1636, Latu Lisalaik memimpin delegasi kedua dari tanah Hitu ke Batavia untuk mengurus pembebasan Kakiali (Colenbrander 1899a: 232; Knaap 1987b: l40, 141, 149-151). {11}

Pada 25 April 1637, Van Diemen tiba di Hila dengan Hitu. Di Hitu, VOC lawan telah membentengi diri mereka sendiri di dua tempat, Wawani dan Kapahaha. Yang paling anti-Belanda adalah orang-orang Wawani, yang terdiri uli Nau-Binau, Leala, dan Hatunuku, dan sebagian Sawani. Di Kapahaha berkonsentrasi pada uli Saylesi, yang lebih menguntungkan menuju rekonsiliasi dengan Belanda dibandingkan dengan Wawani. Sejak awal krisis, Wawani menuntut pembebasan Kakiali dan Tamalesi sebagai prasyarat untuk negosiasi lebih lanjut. Akhirnya, Belanda memutuskan untuk menggunakan umpan ini. Alhasil, Kakiali,  kembali dengan Van Diemen dan sekali lagi menawarkannya kerjasama untuk menenangkan Hitu, diangkut dengan Tamalesi dari Victoria ke Hila sehari sebelum Van Diemen tinggal di sana (Enkhuizcn 399: 65, 67, 82, 176, 180, 183, 184). Melalui Latu Lisalaik, para pemimpin Wawani mengirim kabar bahwa mereka siap untuk bertemu dengan Van Diemen. Kakiali dan Tamalesi dibebaskan pada 26 April. Mereka pergi segera ke Wawani, di mana semua kepala desa berkumpul untuk mempersiapkan delegasi ke Gubernur Jenderal. Tamalesi juga membantu dalam melibatkan Kapahaha dalam proses perdamaian. Akhirnya, pada 3 Mei, delegasi dari Wawani dipimpin oleh Barus, akting perdana Nusatapi, hadir untuk Van Diemen di Hila. Pada kesempatan itu diputuskan bahwa orang Hitu juga akan berpartisipasi dalam landdag di Castle Victoria itu dijadwalkan untuk bulan itu. Keesokan harinya, Van Diemen berangkat dari Hila, membawa serta Kakiali, yang pembebasannya harus menunggu landdag (Enkhuizen 399: 186--189, 194-199). {11}

Sementara itu, tidak ada kemajuan dalam hubungan di antara  Hitu dan Belanda. Para pemimpin utama tidak menunjukkan keinginan untuk berkunjung Gubernur Jenderal di Victoria. Karena itu, pada 20 Mei, Van Diemen memutuskan untuk memberikan Kakiali kebebasan penuh. Kakiali mendapat sambutan hangat oleh pengikutnya di kembalinya yang pasti ke Wawani, dan para pemimpin di sana membuat resolusi terakhir untuk menghadiri landdag (Rumphius 1910: 149; Enkhuizen 399: 210.212, 213). Pada 31 Mei, Kakiali dengan delegasi 100  orang menghadiri landdag,  tidak hanya dari Hitu sendiri tetapi juga dari Uring, Asilulu, Wakasihu, Tapi, Alang, dan Lilibooy. Kedua pihak dengan cepat sepakat untuk memulihkan perdamaian dan memperbarui perjanjian yang lama. Belanda dijanjikan monopoli cengkeh, yang berarti bahwa Hitu harus menahan diri untuk tidak menerima pedagang asing ke pantainya. Di kembali Van Diemen mengizinkan Hitu mengembalikan pemerintahan tradisionalnya. Kakiali menjadi kapitan Hitu {Gb.6}. Kayoan, perdana Tanahitumesen, kehilangan posisi kapitan Hitu dan diberi judul kehormatan orangkaya tua sebagai gantinya. Barus secara resmi dipulihkan sebagai Perdana Nusatapi di tempat Latu Lisalaik yang tua dan sakit, yang tidak pernah menginginkan posisi ini. Soulisa adalah perdana Totohatu dan Beraim-ela perdana Patih Tuban. Hitu juga menyatakan  mereka adalah teman dan bukan subyek dari Sultan Tcrnate dan bahwa mereka tidak memiliki klaim apa pun ke desa Uring, Asilulu, Larike, Wakasihu, Tapi, Alang, dan Lilibooy. Pada bulan Juni saya, baik Hitu dan sekutu mereka dari desa terakhir bersumpah setia kepada Belanda. Akhirnya, Gubernur VOC yang baru, Johan Ottens, mengambil sumpah  dia akan melindungi dan mengenali Hituese sebagai teman dan sekutu sejati Republik Belanda (Karlsruhe 480: 179v-186r; Enkhuizen 399: 2 16).{11}

 
Gb.6  Kakiali sebagai Kapitan Hitu {Latu Polonunu/ Raja Mamala}


Silsilah Raja Mamala sejak Uli Lima

Yang tercatat pernah menjadi Raja Mamala, sebagai berikut:
  1.  Mihirsihul
  2. Jamilu
  3. Abu Bakar {Healatu}
  4.  Kapitan Tepil
  5.  Halaene 
  6.  Kakiali
  7. Haniayi 
  8. Samusamu   
  9. Sibori 
  10.  Bangay  
  11. Kakipati 
  12. Mombo Malawat {1727}



Catatan:
Keberadaan Samusamu yang merupakan ayah dari Tulukabesy, kemudian menjadi  raja Mamala, dipastikan karena campur tangan Belanda yang berupaya merusak tatanan adat masyarakat Tanah Hitu.  Keberadaan dan peran Latu Polonunu dalam lani kapata {Gb.7} Di dalam kapata atau nyanyian adat (lannea) masyarakat Hitu seperti yang dituturkan langsung kepada peneliti oleh penulis buku “Lani Nusa, Lani Lisa” sebagai berikut:{12}

Gb.7. Peran penting Latu Polonunu di Tanah Hitu {Dikutip dari ref no.12}


Upu hatta rulu-u, hai uli halawang-e
Upu latua polanunu, hai uli kassalessy
Rele Hitu-o, sairele Hitu-o
Sai rele Hitu tumbah nisa nurua sei pare
Upu monia lolo helu, uli nau hena helu
Upu wakai surinaya, hai uli solemata
Upu titai wa’a Hitu, hala tita nusa Hitu
Hala tita nusa hitu, ile uli kassalessy

Lani tersebut kurang lebih terjemahannya sebagai berikut:
Empat tuan turun {datang} dari Uli Halawang
Tuan Latu Polonunu dari Uli Saylesi
Mengitari Tanah Hitu, mendayung sekitar Tanah Hitu
Mendayung sekitar Tanah Hitu, terpancar
Seberkas cahaya terang benderang
Tuan Mony baru menuju Uli Nau Hena Helu
Tuan Wakang sudah masuk dari Uli Solemata
Tuan yang perintah di Tanah Hitu, dialah Uli Saylesi

Latu Polonunu yang memerintah di Tanah Hitu yang dimaksud adalah Jamilu, Kapitan Hitu pertama sekaligus raja Mamala kedua. Fakta sejarah ini kemudian membuat sejarawan Ambon Maryam Lestaluhu, membuat kesimpulan yang rancu, menyimpulkan bahwa Mamala, Hitu dan Hila termasuk dalam Uli Halawang. {Gb.8}

Gb 8. Maryam Lestaluhu  {Sejarawan Ambon} keliru membuat kesimpulan {ref no 13} 


Daftar Pustaka

1. Rhumpiuus, DE GENERALE LANT-BESCHRIJVINGE VAN HET AMBONSE GOUVERNEMENT of De Ambonsche Lantbeschrijvinge
2. WM Abdul Hadi, Dari Hitu Ke Barus,Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,2008 hal:12
3. Valentijns F,Oud en Niew Oost-Indien, hal 106
4. Eric Hiariej,dkk, Identitas Lokal dan Nasional dalam Konteks Modernitas Global,2017
5. Burgers Herman,DE GAROEDA EN DE OOIEVAAR,Indonesiƫ van kolonie tot nationale staat
,KITLV Uitgeverij Leiden 2011, hal 13-38
6. Mamala, available at http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/Mamala.440p
7. Indonesia. List of Dutch Colonial Forts and possesions available at https://www.colonialvoyage.com/indonesia-list-dutch-colonial-forts-possessions/
8. Hikayat Tanah Hitu, Available at: http://gw.peter.bakker.name/haghen/Hikayat.htm
9. Ricci Ronit, Exile in Colonial Asia, Kings, Convicts, Commemoration, University of Hawai Press, Honolulu,2016R
10. Hikayat Tanah Hitu, Sifar Ar Rijal {Imam Ridjali},Sumber: www.anu.edu.au
11. Knaab GJ, Crisis and Failure War and Revolt in The Ambon Islands, 1636-1637, Royal Institute of Linguistic and Anthropology, Leiden, Cakalele Vol.3. 1992
12. Abdurahman, Sejarah Sosial Kerajaan Hitu Ambon, Puslitbang Lektur dan Khasanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RI, 2012
13. Assagaf H, Posisi Islam dalam Sejarah Pemerintahan Negeri Adat di Pulau Ambon, Dialektika, Vol 9 no 2, Januari Desember 2015

14.Pattikayhatu, JA, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984